DI SUSUN OLEH :
RINA KURNIANINGTYAS
1813211K042
BAB I
PENDAHULUAN
Penjelasan determinasi
Kebudayaan merupakan sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna
yang dimiliki bersama yang dapat diidentifikasi, dan bersifat publik. Seiring makin
berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimungkinkannya penggunaan akal yang dimiliki
manusia untuk melihat segala fenomena yang ada dan terjadi dalam masyarakat. Model
pandangan yang mengemuka untuk mengganti pandangan ‘tradisional’ sebelum dalam
kajian budaya (antropologi) paling awal adalah teori evolusi kebudayaan dan teori difusi
kebudayaan. Kedua teori ini muncul dengan mengusung karakteristiknya sendiri-sendiri
dan masing-masing mengklaim sebagai paradigma yang seharusnya dipakai untuk
melakukan kajian terhadap manusia dan perjalanan perkembangannya.
a. TEORI EVOLUSI KEBUDAYAAN
Dalam buku yang ditulis tahun 1874, Tylor memaparkan bahwa kebudayaan manusia dalam sejarah evolusinya
berjalan melalui tiga tahap perkembangan yang masing-masing tahapan dibedakan berdasarkan unsur ekonomi
dan teknologi yang mereka gunakan. Ketiga tahapan perkembangan kebudayaan manusia tersebut adalah
savagery, barbarian dan civilization.
Manusia hanya bertahan hidup dengan cara
berburu dan meramu dengan menggunakan
Pada tahap pertama
peralatan yang mereka ciptakan dari benda-
(savagery) benda yang ada di sekitar mereka, seperti kayu,
tulang dan batu.
Terjadinya evolusi
kebudayaan berhubungan
Mengemukakan sebuah erat dengan kondisi
rumusan yang dapat lingkungan, dimana setiap
memudahkan dalam kebudayaan memiliki culture
melakukan kajian. Sebuah core, berupa teknologi dan
‘hukum’ evolusi kebudayaan, organisasi kerja. Dengan
yaitu C = E x T demikian, terjadinya evolusi
C merupakan kebudayaan dalam sebuah kebudayaan
(culture), E adalah energi ditentukan oleh adanya
(energy) sedangkan T adalah interaksi yang terjalin antara
teknologi (technology kebudayaan tersebut dengan
lingkungan yang ada di
dalamnya.
V. Gordon Childe
Determinasi Kebudayaan adalah keyakinan bahwa budaya di mana kita dibesarkan menentukan
siapa kita pada lingkungan tersebut. Maka kebudayaan lingkungan termasuk faktor yang sangat
penting bagi budi dan akal manusia untuk hidup dan sangat menentukan faktor perilaku
kedepan seorang manusia. Tidak lagi faktor biologis yang menentukan perilaku manusia itu
sendiri tetapi faktor kebuadayaan lingkunganlah yang menentukan perilaku. Kebanyakan
Antropologi kebudayaan sangat tidak menyukai atau menolak dengan adanya determinasi
kebudayaan. Asumsi yang muncul mengenai determinasi kebudayaan yaitu bahwa manusia
memiliki kapasitas sangat luas untuk mengadopsi suatu perilaku dan bahkan keyakinan. Lebih
jauh lagi dapat kalian lihat di refrensi mengenai tentang determinasi kebudayaan.
Hal inilah yang disebut determinisme kebudayaan yang menetapkan segala konsep-konsep
kebudayaan sebagai konsep utama dalam kaitan fenomena kehidupan manusia. Konsep kebudayaan
(Saifuddin, 2006, hal.72) adalah sentral bagi paradigma determinisme kebudayaaan, sebagaimana
halnya sentral bagi semua paradigma antropologi. Paradigma determinasi kebudayaan tidak bergerak
keluar dari premis bahwa kebudayaan menentukan perilaku. Determinisme cenderung jauh dalam
generalisasi sehingga paradigma besar dalam antropologi dapat digolongkan menjadi tiga yakni
materialisme kebudayaan, strukturalisme, dan interpretivisme untuk memandang antropologi secara
umum dan dari generalisasi ketiga paradigma tersebut akan relevansi dengan perubahan kebudayaan
sekarang.
Stuktur Fungsional
Munculnya fungsionalisme-(struktural) sebagai paradigma yang membukakan pintu pemahaman baru
terhadap gejala sosial-budaya telah membuat peristiwa ini dikatakan sebagai revolusi dalam antropologi
(Jarvie, 1964). Asumsi dasarnya adalah bahwa segala sesuatu itu memiliki fungsi. Fungsi inilah yang
menjelaskan keberadaannya. Termasuk di dalamnya keberadaan unsur kebudayaan (Montagu, 1974).
Model yang digunakan adalah model organisme (Radcliffe-Brown 1952) atau model mesin. Namun,
berbeda dengan kaum evolusionis -yang juga menggunakan model organisme-, kaum fungsionalis tidak
berupaya merekonstruksi tahap-tahap evolusi kebudayaan atau unsur-unsurnya. Mereka lebih tertarik
untuk mengetahui fungsi berbagai gejala sosial-budaya, seperti halnya fungsi suatu organ dalam
organisme.
Seiring dengan munculnya kritik terhadap paradigma fungsionalisme-(struktural), arus kritik terhadap
filsafat positivisme dalam ilmu sosial-budaya juga semakin menguat. Pengaruh filsafat ini dipandang
telah membuat paradigma fungsionalisme-(struktural) kurang dapat mengungkap aspek maknawi dari
kehidupan manusia. Sejumlah ahli antropologi kemudian mempertanyakan ketepatan paradigma itu
untuk memahami gejala sosial-budaya sebagai gejala simbolik.
Asimilasi Budaya
Asimilasi adalah pembaruan dau kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas
kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-
usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Untuk mengurangi perbedaan itu,
asimisali meliputi usaha-usaha mempererat kesatuan tindakan, sikap dan perasaan dengan
memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama.
Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut, diantaranya :
a. Terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
b. Terdapat pergaulan antara individu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang
relatif lama.
c. Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri.
Faktor Pendorong