Anda di halaman 1dari 21

JOURNAL READING

INVASIVE ASPERGILLOSIS AFTER KIDNEY


TRANSPLANT - TREATMENT APPROACH
(CASE REPORT)

OLEH :
AHMAD SETYO ABDI
30101507355

PEMBIMBING :
dr. Lusito, Sp.PD

ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
IDENTITAS JURNAL
JUDUL JURNAL
PENULIS JURNAL
TANGGAL TERBIT
ABSTRACT
INTRODUCTION
INVASIF ASPERGILLOSIS

 Invasif Aspergilosis (IA) terjadi pada pasien penerima


transplantasi ginjal sebesar 0,7% hingga 4% (walaupun
kejadiannya lebih kecil dibandingkan penerima transplantasi
organ lain) dengan tingkat kematian dari 65% menjadi 92%.

 Tujuan artikel ini adalah untuk menyajikan kasus invasif


aspergillosis (IA) pasca transplantasi yang berhasil diobati dengan
perawatan konservatif dan bedah, pada pria 44 tahun penerima
allograft ginjal kedua.
CASE REPORT
Seorang laki-laki berusia 44 tahun di rawat di ICU bagian Anesthesiology and
Reanimation, Klinik Pusat, Universitas Tuzla dengan transplantasi ginjal ke-dua,
diperlukan persiapan terapi khusus, karena ia peka dengan konsentrasi Panel Reactive
Antibody (PRA) kelas I 11% dan PRA kelas II 76%

Pada Human Leukocyte Antigen (HLA) profil Donor Antibodi Spesifik (DSA) sudah di
lakukan tes.

Cross-match pertama positif, setelah itu dilakukan perlakuan desensitisasi khusus.

Setelah pemberian rituximab, empat plasmapheresis dilakukan.

Pada hari transplantasi, induksi dilakukan dengan anti-thymocyte globulin (ATG) dan
glukokortikosteroid.
 Setelah transplantasi, plasmapheresis dengan ATG dilakukan
 Selanjutnya plasmapheresis dilakukan pada hari pertama dan kedua setelah
transplantasi

 Pasien memiliki diuresis pada hari pertama setelah transplantasi, yang secara
bertahap menurun pada hari kedua dan ketiga
 Pada hari keempat pasien anurik.

Fine needle biobsy di tempat cangkokan (transplantasi) dilakukan dan menunjukan


antibodi CD4 positif untuk kapiler peritubular dan humoral rejection (Gambar a)
Perawatan dilanjutkan dengan plasmapheresis, ATG, setengah dari dosis standar
tacrolimus dan mikofenolat mofetil.

Setelah pemberian ke-lima ATG, limfosit menurun sementara trombosit tetap stabil.

Setelah 14 kali plasmaphereses selama 14 hari sudah negatif dan pengobatan ATG
sudah ditangguhkan. Diberikan Dosis penuh tacrolimus dan mikofenolat mofetil selama
pengobatan.

Empat hari setelah perawatan keadaan pasien stabil, tetapi hari berikutnya status klinis
pasien memburuk dengan dispnea dan demam.
Pemeriksaan mikroskopissputum ditemukan spora spesies Aspergillus secara dan hasil
CT thoraks menunjukkan gambaran khas cavernous space di basal paru kanan
(Gambar b).

 Aspofungin diberikan untuk tujuh hari (70 mg / hari)


 Vorikonazol diberikan untuk sepuluh hari pertama secara intravena (6 mg / kg
setiap 12 jam sehari , lalu 4 mg / kg setiap 12 jam) dan dilanjutkan 200 mg per oral
dua kali per hari.

Bahkan dengan perawatan ini, tidak ada perbaikan dalam gambaran klinis. Sementara
CT scan paru menunjukkan abscess collection di paru kanan. Oleh karena itu, terapi
pembedahan diusulkan.
Lobektomi dilakukan dan abscess collection ditemukan (Gambar c).

Pemeriksaan mikroskopis mengindetifikasi Aspergillus (Gambar d). Selain aspergillosis,


pasien memiliki infeksi Cytomegalovirus (CMV) yang dikonfirmasi oleh PCR.
Pasien diterapi dengan gancyclovir yang direkomendasikan selama sepuluh hari (5 mg /
kg / hari)

Terapi tidak memberikan hasil, jumlah limfosit menurun dan graft-nefroktomi harus
dilakukan.

Setelah graft-nephroctomy dilakukan, pasien diterapi dengan continous veno-venous


hemodiafiltration dialyses (CV-VHDF), dengan vorikonazol tiga bulan selanjutnya
(200mg dua kali per hari).

Setelah satu bulan diagnosis, hasil tes Galactomannan (GM) negatif. Meski negatif
hasil, terapi vorikonazol tetap dilanjutkan untuk dua bulan berikutnya. Terapi dialisis
dilakukan tiga kali per minggu dengan monitoring pasien terus menerus, yang secara
klinis sudah stabil dengan nilai laboratorium yang memadai.
DISCUSSION
 Terapi kortikosteroid yang berkepanjangan, kegagalan cangkok
yang membutuhkan hemodialisis, lamanya dari dyalisis,
leukopenia dan potent imunosupresif terapi menjadi faktor risiko
terjadinya Invasif Aspergilosis (IA) setelah transplantasi ginjal.

 Tidak ada pedoman untuk transplantasi ginjal yang


merekomendasikan penggunaan tes GM (tes Galactomannan)
untuk mendeteksi antibodi Aspergillus. Penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa diagnosis invasif aspergilosis hanya dapat
dikonfirmasi dengan mengidentifikasi jamur dengan sampel
biopsi.
 Sebagai pencegahan dan pengobatan Aspergillosis, vorikonazol
lebih efektif, kurang nefrotoksik dan memiliki mortalitas yang
lebih rendah dibandingkan dengan amfoterisin B.

 Lama terapi dengan vorikonazol harus segera dihentikan dalam


dua minggu bila semua tanda dan gejala dari Aspergillosis telah
hilang, bahkan beberapa penulis menyarankan terapi selama 6
bulan dengan vorikonazol setelah pembedahan.
CONCLUSION
 Pada penerima allograft ginjal yang sangat sensitif dan diterapi
dengan ATG akan berguna untuk melakukan tes GM sebelum
transplantasi karena kemungkinan infeksi jamur terutama
Aspergillus.

 Aspergillosis diobati dengan vorikonazol dan pembedahan, dan


graft-nefrektomi jika diperlukan.

 Direkomendasi untuk semua host yang immunocompromised dan


penerima transplantasi organ harus telah diuji dengan tes GM (tes
Galactomannan)

Anda mungkin juga menyukai