Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, per oral Azitromisin 1 g,dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU
Doksisiklin* 2x100 mg, per oral, 7 hari
ATAU
Tiamfenikol 3,5 g, per oral, dosis
tunggal ATAU
Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis
tunggal
*Tidak boleh diberikan kepada anak di bawah 12 tahun
IM = intra muskular
PENGOBATAN SINDROM DUH TUBUH URETRA
Pengobatan untuk gonore tanpa komplikasi
DITAMBAH
Pengobatan untuk klamidiosis
IM = intra muskular
Pengobatan duh tubuh vagina
karena vaginitis
TRIKOMONIASIS VAGINOSIS BAKTERIALIS KANDIDIASIS VAGINALIS
Metronidazol** 2 g per Metronidazol** 2 g per Mikonazol atau klotrimazol 200 mg
oral dosis tunggal oral dosis tunggal intravagina, setiap hari, selama 3 hari
ATAU
Klotrimazol 500 mg intravagina dosis
tunggal ATAU
Flukonazol* 150 mg, per oral dosis
tunggal, ATAU
Itrakonazol* 200 mg, per oral dosis
tunggal
PILIHAN PENGOBATAN LAIN
Metronidazol**2x500 Metronidazol** 2x500 mg, Nistatin, 100.000 IU, intravagina,
mg/hari, per oral, selama 7 hari setiap hari selama 7 hari
selama 7 hari
Klindamisin 2x300 mg/hari
per oral, selama 7 hari
*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau anak di bawah 12 tahun
**Pasien dalam pengobatan metronidazole dianjurkan untuk menghindari minum alkohol
PENGOBATAN SINDROM DUH TUBUH VAGINA KARENA INFEKSI SERVIKS
Pengobatan untuk gonore tanpa komplikasi
DITAMBAH
Pengobatan untuk klamidiosis
PENGOBATAN SINDROM DUH TUBUH VAGINA KARENA VAGINITIS
Pengobatan untuk trikomoniasis
DITAMBAH
Pengobatan untuk vaginosis bacterial
BILA ADA INDIKASI
Pengobatan untuk kandidiasis vaginalis
c. Rincian pengobatan ulkus genitalis
Sifilis stadium Chancroid Herpes genitalis Herpes Limfogranulo
1&2 episode genitalis ma
pertama rekurens venereum
Obat yang Benzatin- Siprofloksasin* Asiklovir 2x500 Asiklovir 5x200 Doksisiklin *,
dianjurkan benzilpenisilin2,4 2x500 mg/hari per mg/hari, per oral, mg/hari,per oral 2x100 mg/hari,
juta IU, dosis oral, selama 3 hari selama 7 hari selama 5 hari per oral,
tunggal, injeksi ATAU ATAU ATAU selama 14 hari,
intramuskular Eritromisin base, Asiklovir 3x400 Asiklovir 3x400 ATAU
4x500 mg/hari, per mg/hari, selama 5 mg/hari selama 5 Eritromisin
oral, selama 7 hari hari hari base 4x500
ATAU ATAU ATAU mg/hari, per
Azitromisin 1g, per Valasiklovir, 2x500 Valasiklovir oral, selama 14
oral, dosis tunggal mg/hari, per oral, 2x500 mg/hari, hari
selama 5 hari per oral, selama 5
ATAU hari
Obat pilihan Penisilin-prokain Seftriakson 250
lain injeksi IM 600.000 mg, injeksi
U/hari selama 10 intramuscular,
hari dosis tunggal
Alergi Doksisiklin*
penisilin dan 2x100 mg/hari
tidak hamil per oral, selama
30 hari ATAU
Eritromisin 4x500
mg/ hari selama
30 hari
Catatan: Asiklovir tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan anak <12 tahun
Tes kulit utk Benzil-Benzatin Penisilin
• Campur bubuk benzil-benzatin penisilin 2,4 juta Unit dengan
akuades steril sesuai petunjuk sehingga membentuk suspensi
• Ambil 0,1 cc suspensi menggunakan tabung injeksi 1cc (tipe
tuberkulin), tambahkan akuades atau akuabides agar terjadi
larutan 1 cc
• Suntikkan secara intradermal sebanyak 0,02 cc dengan jarum
suntik ukuran 26 atau 27 pada permukaan volar lengan bawah
• Tepi bentol kemerahan akibat injeksi ditandai dengan bolpen
• Amati selama 15 - 20 menit
• Bila diameter bentol kemerahan meluas lebih dari 3 mm
dibandingkan lesi awal, tes kulit dinyatakan positif
Desensitisasi Benzil-Benzatin Penisilin
Tahap Waktu Dosis
1 0 menit 100 U per oral (penisilin V)
2 15 menit 200 U per oral
3 30 menit 400 U per oral
4 45 menit 800 U per oral
5 1 jam 1.600 U per oral
6 1 jam 15 menit 3.200 U per oral
7 1 jam 30 menit 6.400 U per oral
8 1 jam 45 menit 12.800 U per oral
9 2 jam 25.000 U per oral
10 2 jam 15 menit 50.000 U per oral
11 2 jam 30 menit 100.000 U per oral
12 2 jam 45 menit 200.000 U per oral
13 3 jam 400.000 U per oral
14 3 jam 15 menit 200.000 U subkutan (penisilin G)
15 3 jam 30 menit 400.000 U subkutan
16 3 jam 45 menit 800.000 U subkutan
17 4 jam 1.000.000 U intra muscular
d. Pengobatan pasien Penyakit Radang Panggul
(PRP) rawat jalan
PENGOBATAN NYERI PERUT BAGIAN BAWAH PENGOBATAN NYERI PERUT BAGIAN BAWAH
KARENA GONORE DENGAN KOMPLIKASI KARENA KLAMIDIOSIS
Sefiksim 1x400 mg/hari, per oral, selama 5 hari Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU
Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 7 hari
Pilihan 1.
Metronidazol *** 2x500 mg/hari, per oral, selama 14 hari ATAU
Kloramfenikol 4x500 mg/hari, per oral atau intravena
Pilihan 2.
(tanpa pengobatan untuk gonore & klamidiosis di atas)
Klindamisin 900 mg injeksi IM, setiap 8 jam, ATAU
Gentamisin 1,5 mg/kgBB, injeksi intravena, setiap 8 jam
*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun
**Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil dan menyusui
***Pasien dalam pengobatan metronidazol dianjurkan untuk menghindari minum alcohol
IM = intramuskular
PENGOBATAN SINDROM NYERI PERUT BAGIAN BAWAH
Siprofloksasin* 2x500 mg/hari per oral, Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 14 hari
selama 3 hari ATAU
ATAU
Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari Eritromisin 4x500 mg, per oral, selama 14
ATAU hari
Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis Tetrasiklin 4x500 mg /hari, per oral, selama
tunggal 14 hari
*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun
IM = intra muscular
g. Pengobatan Bayi dengan konjungtivitis
neonatorum
virus
Sefiksim 400 mg, Azitromisin 1 g, Benzatin- Asiklovir 5x200
dosis tunggal, per dosis tunggal, per benzilpenisillin 2,4 mg/hari per oral,
oral oral ATAU juta IU, dosis selama 7 hari
tunggal, injeksi ATAU
intramuscular ATAU
ATAU Doksisiklin* 2x100 Penisilin-prokain Asiklovir
mg/hari, per oral, 7 injeksi IM 600.000 3x400mg/hari
hari U/hari selama 10 selama 7 hari ATAU
hari
Seftriakson 250 mg, Valasiklovir 2x500
injeksi IM, dosis mg/hari, per oral,
tunggal selama 7 hari
Catatan tentang Sifilis
Untuk diagnosis, ada dua stadium, yaitu:
• Stadium dini (early), yaitu sifilis dengan gejala:
– Sifilis stadium 1: dengan ulkus durum, tidak nyeri
– Sifilis stadium 2: dengan gejala-gejala klinis
• Stadium laten (latency), yaitu sifilis tanpa gejala klinis, berdasarkan
tes serologi:
– Early latency : kurang dari 1 tahun
– Late latency : lebih dari 1 tahun
Tetapi sulit membedakan, karena itu cukup laten saja, karena
pengobatannya sama, yaitu dengan 7,2 juta Unit Benzatin Penisilin.
Untuk pengobatan:
• Stadium dini (stadium 1 dan 2) dengan 2,4 juta Unit Benzatin
Penisilin
• Stadium laten dengan 7,2 juta Unit Benzatin Penisilin/
PB 2. Tatalaksana Pengobatan Antiretroviral
Permenkes no 87 tahun 2014
Pasal 1
Pengobatan antiretroviral merupakan bagian
dari pengobatan HIV danAIDS untuk mengurangi
risiko penularan HIV, menghambat perburukan
IO, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV,
dan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam
darah sampai tidak terdeteksi.
Pasal 2
Pengobatan antiretroviral sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 diberikan kepada:
a. Penderita HIV dewasa dan anak usia 5 (lima) tahun ke atas
yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah sel
Limfosit T CD4 < 350 sel/mm3;
b. Ibu hamil dengan HIV;
c. Bayi lahir dari ibu dengan HIV;
d. Penderita HIV bayi atau anak usia kurang dari 5 (lima) tahun;
e. Penderita HIV dengan tuberkulosis;
f. Penderita HIV dengan hepatitis B;
g. Penderita HIV pada populasi kunci;
h. Penderita HIV yang pasangannya negatif; dan/atau
a. Penderita HIV pada populasi umum yang tinggal di daerah
epidemi HIV meluas
Pasal 3
1) Pengobatan antiretroviral diberikan setelah
mendapatkan konseling, memiliki orang terdekat
sebagai pengingat atau Pemantau Meminum Obat
(PMO) dan patuh meminum obat seumur hidup.
2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuaidengan ketentuan peraturan
perundangan.
Pasal 4
Pengobatan antiretroviral dapat diberikan secara
komprehensif dengan pengobatan IO dan komorbiditas
serta pengobatan penunjang lain yang diperlukan.
Pasal 5
1) Pengobatan antiretroviral dimulai di rumah sakit yang
sekurang-kurangnya kelas C dan dapat dilanjutkan di
Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
yang memiliki kemampuan pengobatan antiretroviral.
2) Pada daerah dengan tingkat epidemi HIV meluas dan
terkonsentrasi,pengobatan antiretro viral dapat dimulai
di Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
yang memiliki kemampuan pengobatan antiretroviral.
3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)untuk pengobatan antiretroviral yang
diberikan kepada bayi dan anak usia kurang dari 5
(lima) tahun.
Kajian khusus untuk kesiapan terapi ARV
pada anak dgn HIV
• Kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena atau
berisiko terinfeksi HIV dan situasi kesehatannya.
• Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediaannya untuk
mematuhi pengobatan ARV dan pemantauannya.
• Kaji pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan
pengobatannya serta informasi mengenai status infeksi HIV
dalam keluarga.
• Kaji status ekonomi, termasuk kemampuan untuk membiayai
perjalanan ke klinik, kemampuan membeli atau menyediakan
tambahan makanan untuk anak yang sakit dan kemampuan
membayar bila ada penyakit yang lain.
Alur tatalaksana HIV di fasyankes
Rekomendasi tes laboratorium untuk persiapan
inisiasi terapi ARV
Fase Rekomendasi
Rekomendasi lain (bila ada)
manajemen HIV Utama
Setelah diagnosis Jumlah CD4a, Skrining HBsAgb
HIV TB Anti-HCVc
Antigen kriptokokus jika jumlah CD4 ≤ 100
sel/mmd
Skrining infeksi menular seksual
Pemeriksaan penyakit non komunikabel kronik
dan komorbide
Follow-up
Jumlah sel CD4a Follow-up sebelum ARV
sebelum ARV
Inisiasi ARV Jumlah sel CD4a, f Serum kreatinin dan/atau eGFR, dipstik urin
untuk penggunaan TDFg
Hemoglobinh
SGPT untuk penggunaan NVPi
Keterangan
a. Jika tidak tersedia CD4, gunakan stadium klinis
b. Jika memungkinkan, tes HbsAg harus dilakukan untuk mengidentifikasi orang dengan HIV dan
koinfeksi hepatitis B dan siapa ODHA yang perlu inisiasi ARV dengan TDF
c. Direkomendasikan pada ODHA yang mempunyai riwayat perilaku terpapar hepatitis C, atau pada
populasi dengan prevalensi tinggi hepatitis C. Populasi risiko tinggi yang dimaksud adalah
penasun, LSL, anak dengan ibu yang terinfeksi hepatitis C, pasangan dari orang yang terinfeksi
hepatitis C, pengguna narkoba intranasal, tato dan tindik, serta kelompok yang mendapat
transfusi berulang, seperti ODHA talasemia dan yang menjalani hemodialisis
d. Dapat dipertimbangkan jika tersedia fasilitas pemeriksaan antigen kriptokokus (LFA) mengingat
prevalensi antigenemia pada ODHA asimtomatik di beberapa tempat di Indonesia mencapai 6.8-
7.2%.
e. Pertimbangkan penilaian ada tidaknya penyakit kronis lain terkait penatalaksanaan HIV seperti
hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan diabetes
f. Terapi ARV dapat dimulai sambil menunggu hasil CD4. Pemeriksaan CD4 awal tetap diperlukan
untuk menilai respons terapi.
g. Untuk ODHA dengan risiko tinggi mengalami efek samping TDF: penyakit ginjal, usia lanjut, IMT
rendah, diabetes, hipertensi, penggunaan PI atau obat nefrotoksik lainnya. Dipstik urin digunakan
untuk mendeteksi glikosuria pada ODHA non diabetes.
h. Untuk anak dan dewasa yang berisiko tinggi mengalami efek samping terkait AZT (CD4 rendah
atau Indeks Massa Tubuh rendah)
i. Untuk ODHA dengan risiko tinggi efek samping NVP, misalnya ARV naif, wanita dengan CD4 > 250
sel/mm3 dan koinfeksi HCV. Namun enzim hati awal memiliki nilai prediktif yang rendah untuk
memonitor toksisitas NVP.
Konsep Umum ART 4 S
• Start
– Memulai terapi ARV pada Odha yang baru dan belum
pernah menerima sebelumnya
– Restart: memulai kembali setelah berhenti sementara
• Substitute
– Mengganti salah satu/ sebagian komponen ART dengan
obat dari lini pertama
• Switch
– Mengganti semua rejimen ART (beralih ke lini kedua)
• Stop
– Menghentikan pengobatan ARV
Sebelum mulai
• Yakinkan bahwa status klien adalah HIV positif
• Lakukan evaluasi Klinis:
– Tentukan stadium klinis
– Diagnosis dan pengobatan IO
– Profilaksis IO dan adherence terhadap pengobatan IO
– Pertimbangkan apakah perlu ARV
• Bahas dengan Odha mengenai kemungkinan
adherence terhadap ARV
• Edukasi mengenai tujuan terapi ARV
Start
Rekomendasi Inisiasi ART pada
Dewasa dan Anak
Populasi Rekomendasi
Dewasa dan anak Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4, atau jika
> 5 tahun jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3
Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis dan berapapun jumlah CD4:
Koinfeksi TBa
Koinfeksi Hepatitis B
Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif (pasangan
serodiskordan), untuk mengurangi risiko penularan
LSL, PS, Waria, atau Penasunb
Populasi umum pada daerah dengan epidemi HIV meluas
c Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif, maka harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera
dilakukan diagnosis konfirmasi (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR
DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan
untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan
penilaian ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila
hasilnya negatif, maka pemberian ARV dihentikan.
Jenis obat ARV yg tersedia di Indonesia
NRTI NNRTI PI
Zidovudine (AZT) Nevirapine (NVP) Lopinavir/ritonavir
Stavudine (d4T) Efavirenz (EFV) (LPV/r)
Lamivudine (3TC) Rilpivirine (RPV)
Emtricitabine (FTC)
Abacavir (ABC)
NtRTI
Tenofovir (TDF)
Paduan ARV Lini Pertama utk
dewasa dan anak > 5 tahun
2 NRTI + 1 NNRTI
Catatan:
a Jangan memulai TDF jika CCT hitung < 50 ml/menit, atau pada kasus diabetes lama,
hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
b Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi
c Kombinasi dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV
Paduan ARV Lini Pertama utk anak < 5 tahun
2 NRTI + 1 NNRTI
Pilihan NRTI ke-1 Pilihan NRTI ke-2 Pilihan NNRTI
Zidovudin (AZT)a Nevirapin (NVP)
Lamivudin (3TC)
Stavudin (d4T)b Efavirenz (EFV)d
Emtricitabine (FTC)
Tenofovir (TDF)c Rilpivirine (RPV)
Catatan:
a Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5 g/dl maka dipertimbangkan pemberian
Stavudin(d4T).
b Dengan adanya risiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang, maka dipertimbangkan mengubah d4T
ke AZT (bila Hb anak > 10 gr/dl) setelah pemakaian 6 – 12 bulan. Bila terdapat efek anemia berulang maka dapat
kembali ke d4T.
c Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun. Selain itu perlu dipertimbangkan efek samping
osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh karena penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu
pertumbuhan tinggi badan.
d EFV dapat digunakan pada anak ≥ 3 tahun atau BB ≥ 10 kg, jangan diberikan pada anak dengan gangguan psikiatrik
berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB.
Substitusi
Alasan Substitusi
• Toksisitas/efek samping
• Hamil
• Risiko hamil
• TB baru
• Ada obat baru
• Stok obat habis
Prinsip penanganan efek samping ARV
• Tentukan beratnya toksisitas
• Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah toksisitas terjadi karena
(satu atau lebih) ARV atau karena obat lainnya
• Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus atau sumbatan bilier jika timbul
ikterus)
• Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi. Penanganan secara umum
adalah:
– Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua obat ARV, beri terapi suportif dan
simtomatis; berikan lagi ARV dengan paduan yang sudah dimodifikasi (contoh: substitusi 1 ARV
untuk obat yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA stabil
– Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa menghentikan pemberian ARV secara
keseluruhan
– Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati perifer) memerlukan
penggantian obat. Untuk reaksi lain, pertimbangkan untuk tetap melanjutkan pengobatan; jika tidak
ada perubahan dengan terapi simtomatis, pertimbangkan untuk mengganti 1 jenis obat ARV
– Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.
• Tekankan pentingnya tetap meminum obat meskipun ada toksisitas pada reaksi ringan dan
sedang
• Jika diperlukan, hentikan pemberian terapi ARV apabila ada toksisitas yang mengancam
jiwa. Perlu diperhatikan waktu paruh masing-masing obat untuk menghindari kejadian
resistansi.
Waktu terjadinya toksisitas ARV
Waktu Toksisitas
Dalam beberapa Gejala gastrointestinal adalah mual, muntah dan diare. Efek samping ini
minggu pertama bersifat self-limiting dan hanya membutuhkan terapi simtomatik
Ruam dan toksisitas hati umumnya terjadi akibat obat NNRTI, namun
dapat juga oleh obat NRTI seperti ABC dan PI
Dari 4 minggu Supresi sumsum tulang yang diinduksi obat, seperti anemia dan
dan sesudahnya neutropenia dapat terjadi pada penggunaan AZT
Penyebab anemia lainnya harus dievaluasi dan diobati
Anemia ringan asimtomatik dapat terjadi
6-18 bulan Disfungsi mitokondria, terutama terjadi oleh obat NRTI, termasuk asidosis
laktat, toksisitas hati, pankreatitis, neuropati perifer, lipoatrofi dan
miopati
Lipodistrofi sering dikaitkan dengan penggunaan d4T dan dapat
menyebabkan kerusakan bentuk tubuh permanen
Asidosis laktat jarang terjadi dan dapat terjadi kapan saja, terutama
dikaitkan dengan penggunaan d4T. Asidosis laktat yang berat dapat
mengancam jiwa
Kelainan metabolik umumnya terjadi oleh PI, termasuk hiperlipidemia,
akumulasi lemak, resistansi insulin, diabetes dan osteopenia
Setelah 1 tahun Disfungsi tubular renal dikaitkan dengan TDF
Efek samping/Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat
substitusi pada dewasa dan anak > 5 tahun
Obat ARV Tipe Toksisitas Faktor Risiko Pilihan Substitusi
TDF Disfungsi tubulus Sudah ada penyakit ginjal sebelumnya AZT atau d4T
renalis Usia lanjut
Sindrom Fanconi IMT < 18,5 atau BB < 50 kg
DM tak terkontrol
Hipertensi tak terkontrol
Penggunaan bersama obat nefrotoksik lain atau
boosted PI
Menurunnya densitas Riwayat osteomalasia dan fraktur patologis
mineral tulang Faktor risiko osteoporosis atau bone-loss
lainnya
Asidosis laktat atau Penggunaan NRTI yang lama
hepatomegali dengan Obesitas
steatosis
Eksaserbasi hepatitis B Jika TDF dihentikan karena toksisitas lainnya Gunakan alternatif
(hepatic flares) pada koinfeksi hepatitis B obat hepatitis
lainnya seperti
entecavir
Efek samping/Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat
substitusi pada dewasa dan anak > 5 tahun (lanj)
AZT (atau d4T) + 3TC + NVP ABC (atau TDFa) + 3TC (atau FTC) +
(atau EFV) LPV/r
TDFa + 3TC (atau FTC) + NVP AZT + 3TC + LPV/r
(atau EFV)
ABC + 3TC + NVP (atau EFV)
Pemantauan pengobatan ARV
• Memantau respon pengobatan
• Memantau efek samping dan toksisitas ARV
• Memantau kemungkinan Sindrom Pulih Imun
(SPI)
Rekomendasi tes laboratorium setelah ART
Fase
Yang diperlukan (bila ada
penatalaksanaan Rekomendasi
atau atas indikasi)
HIV
Selama menggunakan Jumlah sel CD4 (tiap 6 serum kreatinin tiap 6 bulan pada
ARV bulan)a penggunaan TDF
Hb pada penggunaan AZT (dalam 3
bulan pertama perlu pemeriksaan
intensif)
Fungsi hati (SGPT/SGOT) tiap 6 bulan
HIV RNA (6 bulan setelah inisiasi ARV,
tiap 12 bulan setelahnyaa)
Gagal terapi Jumlah sel CD4 HBsAg (bila sebelum switch belum
HIV RNAb pernah di tes, atau jika hasil baseline
sebelumnya negatif)
a Pada ODHA dengan kepatuhan dan hasil pengobatan ARV yang baik, frekuensi pemantauan CD4 dan HIV
RNA dapat dikurangi
b Tes HIV RNA (viral load) sangat dianjurkan untuk menentukan kegagalan terapi
Sindrom Pulih Imun (SPI)
• Frekuensi IRIS diperkirakan 10% – 25% dari
Odha yg menerima ART.
• Pada 23% – 25% Odha dgn HAART terjadi > 1
sindrom inflamasi yg sesuai dgn SPI.
• SPI adalah perburukan kondisi klinis akibat
respon inflamasi berlebihan pada saat
pemulihan respon imun setelah ART.
Manifestasinya dapat berbentuk penyakit
infeksi maupun non-infeksi.
Sindrom Pulih Imun dapat muncul dalam 2
bentuk: paradoksikal dan unmasking.
• Bentuk paradoksikal muncul ketika suatu IO
yang terdiagnosis sebelum pemberian ARV
berespon baik terhadap pengobatannya, tetapi
kemudian memburuk sebagai akibat langsung
pemulihan imunitas setelah dimulainya ARV.
• Bentuk unmasking ketika IO yang ada sebelum
ARV tetap tidak terdiagnosis (laten) dan
pemulihan respon imun setelah dimulainya ART
memicu manifestasi IO tersebut.
Kriteria diagnosis SPI menurut International
Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI)
1. Menunjukkan respons terhadap ART dengan:
a. mendapat terapi ARV
b. penurunan viral load > 1 log copy/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi
inflamasi yang terkait dgn inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya
yang telah berhasil disembuhkan (Expected clinical
course of a previously recognized and successfully
treated infection)
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Tatalaksana IRIS
• Berikan atau lanjutkan terapi anti-mikroba
spesifik untuk SPI yang terjadi.
• Berikan steroid sistemik jika respons inflamasi
berat
• Terapi ARV tetap dilanjutkan.
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
(PPIA)
• Tanpa upaya pencegahan, 20-50% bayi dari
ibu HIV dapat tertular HIV:
– 5-10% selama masa kehamilan
– 10-20% pada saat persalinan, dan
– 5-20% pada saat menyusui.
• Dengan upaya yang tepat, risiko penularan dapat
diturunkan menjadi kurang dari 2%.
Upaya PPIA komprehensif
• Prong 1: pencegahan primer agar perempuan
pada usia reproduksi tidak tertular HIV.
• Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak
direncanakan pada perempuan dengan HIV.
• Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu
hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya.
• Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial
dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta
anak dan keluarganya.
• Layanan PPIA dilaksanakan melalui layanan
kesehatan reproduksi:
– kesehatan ibu dan anak (KIA),
– keluarga berencana (KB) dan
– kesehatan reproduksi remaja (KRR).
• Layanan PPIA diintegrasikan dengan upaya
pencegahan sifilis kongenital.
• Pintu masuk layanan PPIA adalah tes HIV pada ibu
hamil, mulai K1
Upaya Pencegahan agar Bayi HIV (-)
1. Pemberian ARV pada ibu hamil
Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi
ARV, tanpa memandang jumlah CD4, karena
kehamilan itu sendiri merupakan indikasi
pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hidup.
Pemberian ARV dapat segera dimulai setelah ibu
didiagnosis HIV berapapun usia kehamilan. Ibu
yang sudah mendapat ARV sebelum kehamilan,
ARV dapat diteruskan tanpa perlu diganti. ARV
tetap diteruskan setelah melahirkan hingga
seterusnya.
2. Persalinan yang aman
Dapat berupa persalinan per vaginam maupun
seksio sesarea. Persalinan per vaginam dapat
dipilih jika ibu sudah mendapat pengobatan ARV
dengan teratur selama setidaknya enam bulan
dan/atau viral load kurang dari 1.000 kopi/mm3
pada minggu ke-36. Persalinan per vaginam
maupun seksio sesarea tersebut dapat dilakukan
di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa
memerlukan alat pelindung diri khusus, selama
fasilitas tersebut melakukan prosedur
kewaspadaan standar
3. Pemberian ARV pencegahan pada bayi
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik
yang diberi ASI eksklusif maupun susu
formula, diberi Zidovudin dalam 12 jam
pertama selama enam minggu.
Kondisi Bayi Dosis Zidovudin
Bayi cukup bulan Zidovudin 4 mg/kg BB/12 jam selama 6 minggu, atau dengan
dosis disederhanakan:
Berat lahir 2000-2499 g = 10 mg 2x sehari
Berat lahir ≥ 2500 g = 15 mg 2x sehari
bayi dengan berat < 2000 g harus mendapat dosis mg/kg,
disarankan dengan dosis awal 2 mg/kg sekali sehari
Bayi prematur < 30 Zidovudin 2 mg/kg BB/12 jam selama 4 minggu pertama,
minggu kemudian 2 mg/kg BB/8 jam selama 2 minggu
Bayi prematur 30-35 Zidovudin 2 mg/kg BB/12 jam selama 2 minggu pertama,
minggu kemudian 2 mg/kg BB/8 jam selama 2 minggu, lalu 4 mg/kg
BB/12 jam selama 2 minggu
4. Pemberian nutrisi yang aman pada bayi.
Ibu sebaiknya diberikan penjelasan mengenai pilihan
nutrisi yang aman bagi bayinya sebelum melahirkan.
Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau
susu formula saja (bukan mixed feeding). Ibu dengan
HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya
yang HIV negatif atau tidak diketahui status HIV-nya,
jika SELURUH syarat AFASS (affordable/terjangkau,
feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima,
sustainable/ berkesinambungan dan safe/aman)
dapat dipenuhi.
Di negara berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi.
Karena itu, WHO menganjurkan pemberian ASI
eksklusif 6 bulan, yang cukup aman selama ibu
mendapat terapi ARV secara teratur dan benar.
Jadwal Imunisasi Bayi Lahir dari Ibu HIV
PB 3. Tatalaksana Interaksi dan
Efek Samping Obat
Toksisitas ARV menurut kelas
Kelas ARV Toksisitas
NRTI Toksisitas Mitokondria (Lipodistrofi,
Asidosis Laktat)
NtRTI Disfungsi tubulus ginjal proksimal
NNRTI Reaksi hipersensitifitas dan
Hepatotoksisitas
PI Gangguan Metabolik
Reaksi hipersensitifitas
• Sebagian besar menyebabkan ruam ringan
(umumnya berupa lesi makulo papular) sampai
sedang (pada 1-6 minggu pertama terapi).
• Dapat juga disertai kelainan sistemik seperti
demam, mialgia, atralgia, dan peningkatan enzim
hati, hingga reaksi yang berat dan mengancam
jiwa [mis Stevens-Johnson Syndrome atau Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN)].
• Pada kasus ruam yang ringan (derajat 1 dan 2)
tanpa kelainan sistemik, obat dapat dilanjutkan.
Hepatotoksisitas
– Terjadi pada 10% pasien dengan NVP (atau lebih,
jika disertai ko-infeksi Hepatitis B atau C)
– Paling sering pada 12 minggu pertama terapi
– Biasanya menyebabkan peningkatan tes fungsi hati,
hepatomegali
– Sering ringan-sedang tetapi bisa berat (potensial
fatal)
– Hentikan NVP untuk toksisitas derajat 3 atau lebih
tinggi (transaminases >200). Jangan memulai lagi
NVP
Faktor risiko terjadinya Hepatotoksisitas
• Ko-infeksi Hepatitis B atau C
• Alkohol
• Peningkatan enzim hati sebelum memulai terapi ARV
• Penggunaan obat hepatotoksik lain
Tatalaksana
• Hentikan NVP, jika toksisitas derajat 3 atau lebih
(transaminase > 200)
• Lain-lain: mengatasi gejala lain yang dapat terjadi,
seperti: mual, nyeri kepala, mialgia
Anemia
• AZT yg sering menyebabkannya
• Terjadinya setelah penggunaan 4 – 12 minggu
• Tatalaksananya: substitusi AZT dgn TDF
(dewasa) atau d4T atau ABC (anak)
• Transfusi darah jika timbul simtom atau
efek samping grade 4
• Jangan berikan AZT jika Hb < 10g/dL pada
awal terapi ARV
Nefrotoksisitas
• Gangguan ginjal akibat TDF berupa toksisitas tubular
dengan/atau tanpa penurunan fungsi ginjal (Laju Filtrasi
Glomerulus/LFG/eGFR).
• Sebagian besar adalah sindrom Fanconi yang ditandai
dengan:
– asidosis tubulus renalis
– glukosuria pada pasien dengan kadar gula normal
– Hipofosfatemia
– hipourisemia dan
– proteinemia tubular.
• Apabila timbul sindrom GGA atau sindrom Fanconi maka
TDF harus dihentikan dan diganti dengan obat ARV lain.
Efek samping SSP
• Dapat terjadi pada penggunaan Efavirenz.
• Gejala yang ditimbulkan dapat berupa sedasi,
mabuk, pusing, bingung, depersonalisasi,
mimpi yang abnormal. Dan biasanya membaik
dalam 2-4 minggu
• Dianjurkan untuk minum obat sebelum waktu
tidur untuk mengurangi dampak dari gejala ini
• Jika terjadi gejala berat (misal pikiran bunuh
diri atau gejala psikotik): hentikan EFV
Interaksi Rifampisin dan ARV
Rifampisin dapat:
• Menurunkan kadar EFV dalam darah sampai 26%,
dan tetap merupakan ARV pilihan pertama pada
ko-infeksi TB-HIV.
• Menurunkan kadar NVP dalam darah sampai
37%, dan masih dapat digunakan sebagai pilihan
kedua pada koinfeksi TB-HIV jika EFV tidak dapat
digunakan.
• Menurunkan kadar LPV sampai 75%, dan RTV
sampai 35% (tidak boleh digunakan bersama)
Interaksi Metadon dan ARV
a Penggunaan midazolam oral merupakan kontraindikasi. Midazolam parenteral dapat digunakan dosis tunggal dan dapat diberikan
dengan monitoring pada prosedur sedasi. Alternatif yang dianjurkan adalah temazepam, lorazepam, oxazepam
b Alternatif yang dianjurkan fluvastatin, pitavastatin, and pravastatin (kecualin pravastatin dengan DRV/r) memiliki interaksi obat
minimal. Gunakan atorvastatin and rosuvastatin dengan hati-hati; mulai dengan dosis terendah dan titrasi sesuai toleransi dan efikasi
PB 4. Tatalaksana Infeksi Oportunistik (IO)
dan Komorbid
IO adalah infeksi oleh organisme yang biasanya tidak menyebabkan
penyakit pada orang dgn sistem kekebalan yang normal (sehat), tetapi
dapat mengenai orang dengan sistem kekebalan yang tertekan.
Penyebab IO adalah:
• Bakteri/Mycobacterium • Protozoa
– Salmonella – Toksoplasma
– Mycobacterium Avium – Cryptospodia
Complex • Virus
– Tuberkulosis – Cytomegalovirus
• Jamur – Herpes simplex
– Candida albicans – Herpes zoster
– Pneumocystis jiroveci – Hepatitis
– Human Papilloma Virus
– Aspegillus
• Keganasan
– Cryptococcus
– Sarkoma Kaposi
– Histoplasma – Limfoma
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)