Anda di halaman 1dari 100

CURRICULUM VITAE

• Nama : Dr. H. Harun Hudari, SpPD, KPTI ,FINASIM


• TTL : Palembang, 3 Mei 1970
• Pendidikan : - Spesialis Penyakit Dalam FK Universitas Sriwijaya
th 2008
- Subspesialis Konsultan Penyakit Tropik Infeksi
FK UNSRI th 2017
• Riwayat Pekerjaan :
• 1. Dokter PTT Puskesmas Muara Rupit 1997 – 2000
2. Dokter PNS RSUD Dr. MM Dunda Gorontalo 2001 – 2004
3. Dokter Spesialis Penyakit Dalam RSUD Banyuasin
2008 – 2016
4. Dokter Spesialis Penyakit Dalam FK UNSRI/RSMH
Palembang 2009 – sekarang
• HP : 081271621966
TATALAKSANA HIV AIDS
DAN PIMS

Dr. H. Harun Hudari, SpPD, K-PTI, FINASIM

Divisi Penyakit Tropik Infeksi


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RS Dr. Moh. Hoesin/FK UNSRI
Palembang
Deskripsi Singkat
• Tujuan kebijakan pengendalian PIMS adalah menurunkan
angka kesakitan dan kematian akibat Infeksi Menular
Seksual dan Infeksi Saluran Reproduksi, yang bisa dicegah
dan diobati.
• Prinsip umum pengendalian PIMS adalah: memutuskan
mata rantai penularan; mencegah berkembangnya PIMS
dan komplikasinya.
• Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit,
namun secara dramatis terapi ARV terbukti menurunkan
angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas
hidup ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat.
Pokok Bahasan
1. Tatalaksana IMS
2. Tatalaksana pengobatan ARV
3. Tatalaksana interaksi dan efek samping obat
4. Tatalaksana IO dan Komorbid
PB 1. Tatalaksana IMS
Tatalaksana Infeksi Menular Seksual (IMS):

a. Duh tubuh uretra


b. Duh tubuh vagina
c. Ulkus genitalia
d. Penyakit radang panggul (nyeri perut bag
bawah)
e. Pembengkakan skrotum
f. Bubo inguinal
g. Konjungtivitis neonatorum
h. Vegetasi genital
i. Duh tubuh anus
a. Pengobatan Duhtubuh Uretra
PENGOBATAN URETRITIS GONOKOKUS PENGOBATAN URETRITIS NON-GONOKOKUS

Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, per oral Azitromisin 1 g,dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU
Doksisiklin* 2x100 mg, per oral, 7 hari

PILIHAN PENGOBATAN LAIN


Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis tunggal Eritromisin 4x500 mg, per oral, 7 hari

ATAU
Tiamfenikol 3,5 g, per oral, dosis
tunggal ATAU
Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis
tunggal
*Tidak boleh diberikan kepada anak di bawah 12 tahun

IM = intra muskular
PENGOBATAN SINDROM DUH TUBUH URETRA
Pengobatan untuk gonore tanpa komplikasi
DITAMBAH
Pengobatan untuk klamidiosis

Pasien dianjurkan untuk kontrol kembali bila gejala


tetap ada sesudah 7 hari.
Pengobatan duh tubuh uretra persisten
PENGOBATAN URETRITIS PENGOBATAN URETRITIS
GONOKOKUS NON-GONOKOKUs
Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, per oral Azitromisin 1 g,dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU
Doksisiklin* 2x100 mg, per oral, 7 hari

PILIHAN PENGOBATAN LAIN


Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis tunggal Eritromisin 4x500 mg, per oral, 7 hari
ATAU
Tiamfenikol 3,5 g, per oral, dosis tunggal
ATAU
Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis
tunggal
PENGOBATAN TRIKOMONIASIS
Dianjurkan: Metronidazol 2 g, dosis tunggal
Pilihan lain: Metronidazol 2x500 mg / hari, per oral, selama 7 hari
*Tidak boleh diberikan kepada anak di bawah 12 tahun
IM = intramuscular
b. Pengobatan duh tubuh vagina
karena servisitis
PENGOBATAN SERVISITISIS PENGOBATAN SERVISITIS NON-
GONOKOKUS GONOKOKUS
Sefiksim 400 mg, dosis tungga, per Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
oral ATAU
ATAU
Doksisiklin*2x100 mg, per oral, 7 hari

PILIHAN PENGOBATAN LAIN


Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis Eritromisin 4x500 mg, per oral, 7 hari
tunggal ATAU

Tiamfenikol*3,5 g, per oral, dosis


tunggal ATAU Seftriakson 250 mg,
injeksi IM, dosis tunggal
*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau anak di bawah 12
tahun

IM = intra muskular
Pengobatan duh tubuh vagina
karena vaginitis
TRIKOMONIASIS VAGINOSIS BAKTERIALIS KANDIDIASIS VAGINALIS
Metronidazol** 2 g per Metronidazol** 2 g per Mikonazol atau klotrimazol 200 mg
oral dosis tunggal oral dosis tunggal intravagina, setiap hari, selama 3 hari
ATAU
Klotrimazol 500 mg intravagina dosis
tunggal ATAU
Flukonazol* 150 mg, per oral dosis
tunggal, ATAU
Itrakonazol* 200 mg, per oral dosis
tunggal
PILIHAN PENGOBATAN LAIN
Metronidazol**2x500 Metronidazol** 2x500 mg, Nistatin, 100.000 IU, intravagina,
mg/hari, per oral, selama 7 hari setiap hari selama 7 hari
selama 7 hari
Klindamisin 2x300 mg/hari
per oral, selama 7 hari
*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau anak di bawah 12 tahun
**Pasien dalam pengobatan metronidazole dianjurkan untuk menghindari minum alkohol
PENGOBATAN SINDROM DUH TUBUH VAGINA KARENA INFEKSI SERVIKS
Pengobatan untuk gonore tanpa komplikasi
DITAMBAH
Pengobatan untuk klamidiosis
PENGOBATAN SINDROM DUH TUBUH VAGINA KARENA VAGINITIS
Pengobatan untuk trikomoniasis
DITAMBAH
Pengobatan untuk vaginosis bacterial
BILA ADA INDIKASI
Pengobatan untuk kandidiasis vaginalis
c. Rincian pengobatan ulkus genitalis
Sifilis stadium Chancroid Herpes genitalis Herpes Limfogranulo
1&2 episode genitalis ma
pertama rekurens venereum
Obat yang Benzatin- Siprofloksasin* Asiklovir 2x500 Asiklovir 5x200 Doksisiklin *,
dianjurkan benzilpenisilin2,4 2x500 mg/hari per mg/hari, per oral, mg/hari,per oral 2x100 mg/hari,
juta IU, dosis oral, selama 3 hari selama 7 hari selama 5 hari per oral,
tunggal, injeksi ATAU ATAU ATAU selama 14 hari,
intramuskular Eritromisin base, Asiklovir 3x400 Asiklovir 3x400 ATAU
4x500 mg/hari, per mg/hari, selama 5 mg/hari selama 5 Eritromisin
oral, selama 7 hari hari hari base 4x500
ATAU ATAU ATAU mg/hari, per
Azitromisin 1g, per Valasiklovir, 2x500 Valasiklovir oral, selama 14
oral, dosis tunggal mg/hari, per oral, 2x500 mg/hari, hari
selama 5 hari per oral, selama 5
ATAU hari
Obat pilihan Penisilin-prokain Seftriakson 250
lain injeksi IM 600.000 mg, injeksi
U/hari selama 10 intramuscular,
hari dosis tunggal
Alergi Doksisiklin*
penisilin dan 2x100 mg/hari
tidak hamil per oral, selama
30 hari ATAU
Eritromisin 4x500
mg/ hari selama
30 hari
Catatan: Asiklovir tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan anak <12 tahun
Tes kulit utk Benzil-Benzatin Penisilin
• Campur bubuk benzil-benzatin penisilin 2,4 juta Unit dengan
akuades steril sesuai petunjuk sehingga membentuk suspensi
• Ambil 0,1 cc suspensi menggunakan tabung injeksi 1cc (tipe
tuberkulin), tambahkan akuades atau akuabides agar terjadi
larutan 1 cc
• Suntikkan secara intradermal sebanyak 0,02 cc dengan jarum
suntik ukuran 26 atau 27 pada permukaan volar lengan bawah
• Tepi bentol kemerahan akibat injeksi ditandai dengan bolpen
• Amati selama 15 - 20 menit
• Bila diameter bentol kemerahan meluas lebih dari 3 mm
dibandingkan lesi awal, tes kulit dinyatakan positif
Desensitisasi Benzil-Benzatin Penisilin
Tahap Waktu Dosis
1 0 menit 100 U per oral (penisilin V)
2 15 menit 200 U per oral
3 30 menit 400 U per oral
4 45 menit 800 U per oral
5 1 jam 1.600 U per oral
6 1 jam 15 menit 3.200 U per oral
7 1 jam 30 menit 6.400 U per oral
8 1 jam 45 menit 12.800 U per oral
9 2 jam 25.000 U per oral
10 2 jam 15 menit 50.000 U per oral
11 2 jam 30 menit 100.000 U per oral
12 2 jam 45 menit 200.000 U per oral
13 3 jam 400.000 U per oral
14 3 jam 15 menit 200.000 U subkutan (penisilin G)
15 3 jam 30 menit 400.000 U subkutan
16 3 jam 45 menit 800.000 U subkutan
17 4 jam 1.000.000 U intra muscular
d. Pengobatan pasien Penyakit Radang Panggul
(PRP) rawat jalan
PENGOBATAN NYERI PERUT BAGIAN BAWAH PENGOBATAN NYERI PERUT BAGIAN BAWAH
KARENA GONORE DENGAN KOMPLIKASI KARENA KLAMIDIOSIS
Sefiksim 1x400 mg/hari, per oral, selama 5 hari Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU
Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 7 hari

PILIHAN PENGOBATAN LAIN


Kanamisin 1x2 g/hari, injeksi IM, selama 3 hari Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari
ATAU
Tiamfenikol** 1x3,5 g/hari, per oral, selama 5
hari ATAU
Seftriakson 1x250 mg/hari, injeksi IM, selama 3
hari
PENGOBATAN BAKTERI ANAEROB
Metronidazol *** 2x500 mg/hari, per oral, selama 14 hari
*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun
**Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil dan menyusui
***Pasien dalam pengobatan metronidazole dianjurkan untuk menghindari minum alcohol
IM = intramuskular
Pengobatan pasien PRP rawat inap
PENGOBATAN NYERI PERUT BAGIAN BAWAH PENGOBATAN NYERI PERUT BAGIAN BAWAH
KARENA GONORE DENGAN KOMPLIKASI KARENA KLAMIDIOSIS
Sefiksim 1x400 mg/hari, per oral, selama 5 hari,ATAU Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
ATAU
Levofloksasin* 1x500 mg/hari, per oral, selama 5 hari Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 7 hari

PILIHAN PENGOBATAN LAIN


Kanamisin 1x2 g/hari, injeksi IM, selama 3 hari ATAU Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari

Tiamfenikol** 1x3,5 g/hari, per oral, selama 5 hari ATAU


Seftriakson 1x250 mg/hari, injeksi IM, selama 3 hari

PENGOBATAN BAKTERI ANAEROB

Pilihan 1.
Metronidazol *** 2x500 mg/hari, per oral, selama 14 hari ATAU
Kloramfenikol 4x500 mg/hari, per oral atau intravena
Pilihan 2.
(tanpa pengobatan untuk gonore & klamidiosis di atas)
Klindamisin 900 mg injeksi IM, setiap 8 jam, ATAU
Gentamisin 1,5 mg/kgBB, injeksi intravena, setiap 8 jam

*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun
**Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil dan menyusui
***Pasien dalam pengobatan metronidazol dianjurkan untuk menghindari minum alcohol
IM = intramuskular
PENGOBATAN SINDROM NYERI PERUT BAGIAN BAWAH

Pengobatan untuk gonore dengan komplikasi


DITAMBAH

Pengobatan untuk klamidiosis


DITAMBAH

Pengobatan untuk bakteri anaerob


e. Pengobatan pembengkakan skrotum
PENGOBATAN PEMBENGKAKAN PENGOBATAN PEMBENGKAKAN
SKROTUM KARENA GONOKOKUS SKROTUM KARENA KLAMIDIOSIS
Sefiksim 400 mg, per oral selama 5 hari Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU
Doksisiklin*2x100 mg, per oral, 7 hari

PILIHAN PENGOBATAN LAIN


Kanamisin 2 g, injeksi IM selama 3 hari Eritromisin 4x500 mg, per oral, 7 hari
ATAU ATAU
Tiamfenikol 3,5 g, per oral, selama 3 hari
ATAU Tetrasiklin 4x500 mg /hari, per oral,
Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis selama 14 hari
tunggal
*Tidak boleh diberikan kepada anak di bawah 12 tahun
IM = intra muskular
f. Pengobatan bubo inguinal ditujukan pada
chancroid dan limfogranuloma venereum (LGV)
PENGOBATAN CHANCROID PENGOBATAN LGV

Siprofloksasin* 2x500 mg/hari per oral, Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 14 hari
selama 3 hari ATAU
ATAU
Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari Eritromisin 4x500 mg, per oral, selama 14
ATAU hari
Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral

PILIHAN PENGOBATAN LAIN

Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis Tetrasiklin 4x500 mg /hari, per oral, selama
tunggal 14 hari
*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun

IM = intra muscular
g. Pengobatan Bayi dengan konjungtivitis
neonatorum

PENGOBATAN KONJUNGTIVITIS PENGOBATAN KONJUNGTIVITIS


GONORE KLAMIDIA
Seftriakson 50-100 mg/kgBB, injeksi Sirop eritromisin basa, 50 mg/kgBB/hari
intramuskular, dosis tunggal ATAU per oral, 4 kali sehari, selama 14 hari
ATAU
Kanamisin 25mg/kgBB (maksimal 75 Trimetropim-sulfametoksasol 40—200
mg) injeksi intramuskular, dosis tunggal mg, per oral, 2 kali sehari, selama 14
ATAU hari
Pengobatan ibu dengan bayi yang
menderita konjungtivitis neonatorum
PENGOBATAN SERVISITIS GONORE PENGOBATAN SERVISITIS NON-GONORE
Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, per oral Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral
ATAU ATAU

Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 7


hari
Pilihan pengobatan lain
Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis tunggal Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7
ATAU hari
Tiamfenikol 3,5 g, per oral, dosis tunggal
ATAU
Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis
tunggal
*Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil dan menyusui
IM = intramuskular
PENGOBATAN SINDROM KONJUNGTIVITIS NEONATORUM
Pengobatan BAYI

Terlebih dulu diberikan pengobatan untuk gonore


Bila 3 hari tidak ada perbaikan DIIKUTI
Pengobatan untuk klamidiosis
Pengobatan IBU

Pengobatan untuk gonore tanpa komplikasi


DITAMBAH
Pengobatan klamidiosis
h. Beberapa cara pengobatan kutil kelamin

PENGOBATAN DENGAN BAHAN KIMIA PENGOBATAN DENGAN BAHAN FISIK


Tinktura podofilin 10-25%, lindungi bagian Dapat dipilih salah satu cara di bawah ini:
yang sehat dengan vaseline album, kemudian a. Krioterapi dengan nitrogen cair
dicuci setelah 4 jam, ATAU b. Krioterapi dengan CO2 padat
Larutan trichloroacetic acid (TCA) 80-90% c. Bedah listrik/elektrokauterisasi
ATAU d. Pembedahan (bedah skalpel)
Podofilotoksin 0,5%
i. Pengobatan proktitis akibat PIMS
N. gonorrhoeae C. trachomatis T. pallidum Herpes simpleks

virus
Sefiksim 400 mg, Azitromisin 1 g, Benzatin- Asiklovir 5x200
dosis tunggal, per dosis tunggal, per benzilpenisillin 2,4 mg/hari per oral,
oral oral ATAU juta IU, dosis selama 7 hari
tunggal, injeksi ATAU
intramuscular ATAU
ATAU Doksisiklin* 2x100 Penisilin-prokain Asiklovir
mg/hari, per oral, 7 injeksi IM 600.000 3x400mg/hari
hari U/hari selama 10 selama 7 hari ATAU
hari
Seftriakson 250 mg, Valasiklovir 2x500
injeksi IM, dosis mg/hari, per oral,
tunggal selama 7 hari
Catatan tentang Sifilis
Untuk diagnosis, ada dua stadium, yaitu:
• Stadium dini (early), yaitu sifilis dengan gejala:
– Sifilis stadium 1: dengan ulkus durum, tidak nyeri
– Sifilis stadium 2: dengan gejala-gejala klinis
• Stadium laten (latency), yaitu sifilis tanpa gejala klinis, berdasarkan
tes serologi:
– Early latency : kurang dari 1 tahun
– Late latency : lebih dari 1 tahun
Tetapi sulit membedakan, karena itu cukup laten saja, karena
pengobatannya sama, yaitu dengan 7,2 juta Unit Benzatin Penisilin.

Untuk pengobatan:
• Stadium dini (stadium 1 dan 2) dengan 2,4 juta Unit Benzatin
Penisilin
• Stadium laten dengan 7,2 juta Unit Benzatin Penisilin/
PB 2. Tatalaksana Pengobatan Antiretroviral
Permenkes no 87 tahun 2014
Pasal 1
Pengobatan antiretroviral merupakan bagian
dari pengobatan HIV danAIDS untuk mengurangi
risiko penularan HIV, menghambat perburukan
IO, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV,
dan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam
darah sampai tidak terdeteksi.
Pasal 2
Pengobatan antiretroviral sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 diberikan kepada:
a. Penderita HIV dewasa dan anak usia 5 (lima) tahun ke atas
yang telah menunjukkan stadium klinis 3 atau 4 atau jumlah sel
Limfosit T CD4 < 350 sel/mm3;
b. Ibu hamil dengan HIV;
c. Bayi lahir dari ibu dengan HIV;
d. Penderita HIV bayi atau anak usia kurang dari 5 (lima) tahun;
e. Penderita HIV dengan tuberkulosis;
f. Penderita HIV dengan hepatitis B;
g. Penderita HIV pada populasi kunci;
h. Penderita HIV yang pasangannya negatif; dan/atau
a. Penderita HIV pada populasi umum yang tinggal di daerah
epidemi HIV meluas
Pasal 3
1) Pengobatan antiretroviral diberikan setelah
mendapatkan konseling, memiliki orang terdekat
sebagai pengingat atau Pemantau Meminum Obat
(PMO) dan patuh meminum obat seumur hidup.
2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuaidengan ketentuan peraturan
perundangan.

Pasal 4
Pengobatan antiretroviral dapat diberikan secara
komprehensif dengan pengobatan IO dan komorbiditas
serta pengobatan penunjang lain yang diperlukan.
Pasal 5
1) Pengobatan antiretroviral dimulai di rumah sakit yang
sekurang-kurangnya kelas C dan dapat dilanjutkan di
Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
yang memiliki kemampuan pengobatan antiretroviral.
2) Pada daerah dengan tingkat epidemi HIV meluas dan
terkonsentrasi,pengobatan antiretro viral dapat dimulai
di Puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
yang memiliki kemampuan pengobatan antiretroviral.
3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)untuk pengobatan antiretroviral yang
diberikan kepada bayi dan anak usia kurang dari 5
(lima) tahun.
Kajian khusus untuk kesiapan terapi ARV
pada anak dgn HIV
• Kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena atau
berisiko terinfeksi HIV dan situasi kesehatannya.
• Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediaannya untuk
mematuhi pengobatan ARV dan pemantauannya.
• Kaji pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan
pengobatannya serta informasi mengenai status infeksi HIV
dalam keluarga.
• Kaji status ekonomi, termasuk kemampuan untuk membiayai
perjalanan ke klinik, kemampuan membeli atau menyediakan
tambahan makanan untuk anak yang sakit dan kemampuan
membayar bila ada penyakit yang lain.
Alur tatalaksana HIV di fasyankes
Rekomendasi tes laboratorium untuk persiapan
inisiasi terapi ARV
Fase Rekomendasi
Rekomendasi lain (bila ada)
manajemen HIV Utama
Setelah diagnosis Jumlah CD4a, Skrining HBsAgb
HIV TB Anti-HCVc
Antigen kriptokokus jika jumlah CD4 ≤ 100
sel/mmd
Skrining infeksi menular seksual
Pemeriksaan penyakit non komunikabel kronik
dan komorbide
Follow-up
Jumlah sel CD4a Follow-up sebelum ARV
sebelum ARV
Inisiasi ARV Jumlah sel CD4a, f Serum kreatinin dan/atau eGFR, dipstik urin
untuk penggunaan TDFg
Hemoglobinh
SGPT untuk penggunaan NVPi
Keterangan
a. Jika tidak tersedia CD4, gunakan stadium klinis
b. Jika memungkinkan, tes HbsAg harus dilakukan untuk mengidentifikasi orang dengan HIV dan
koinfeksi hepatitis B dan siapa ODHA yang perlu inisiasi ARV dengan TDF
c. Direkomendasikan pada ODHA yang mempunyai riwayat perilaku terpapar hepatitis C, atau pada
populasi dengan prevalensi tinggi hepatitis C. Populasi risiko tinggi yang dimaksud adalah
penasun, LSL, anak dengan ibu yang terinfeksi hepatitis C, pasangan dari orang yang terinfeksi
hepatitis C, pengguna narkoba intranasal, tato dan tindik, serta kelompok yang mendapat
transfusi berulang, seperti ODHA talasemia dan yang menjalani hemodialisis
d. Dapat dipertimbangkan jika tersedia fasilitas pemeriksaan antigen kriptokokus (LFA) mengingat
prevalensi antigenemia pada ODHA asimtomatik di beberapa tempat di Indonesia mencapai 6.8-
7.2%.
e. Pertimbangkan penilaian ada tidaknya penyakit kronis lain terkait penatalaksanaan HIV seperti
hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan diabetes
f. Terapi ARV dapat dimulai sambil menunggu hasil CD4. Pemeriksaan CD4 awal tetap diperlukan
untuk menilai respons terapi.
g. Untuk ODHA dengan risiko tinggi mengalami efek samping TDF: penyakit ginjal, usia lanjut, IMT
rendah, diabetes, hipertensi, penggunaan PI atau obat nefrotoksik lainnya. Dipstik urin digunakan
untuk mendeteksi glikosuria pada ODHA non diabetes.
h. Untuk anak dan dewasa yang berisiko tinggi mengalami efek samping terkait AZT (CD4 rendah
atau Indeks Massa Tubuh rendah)
i. Untuk ODHA dengan risiko tinggi efek samping NVP, misalnya ARV naif, wanita dengan CD4 > 250
sel/mm3 dan koinfeksi HCV. Namun enzim hati awal memiliki nilai prediktif yang rendah untuk
memonitor toksisitas NVP.
Konsep Umum ART 4 S
• Start
– Memulai terapi ARV pada Odha yang baru dan belum
pernah menerima sebelumnya
– Restart: memulai kembali setelah berhenti sementara
• Substitute
– Mengganti salah satu/ sebagian komponen ART dengan
obat dari lini pertama
• Switch
– Mengganti semua rejimen ART (beralih ke lini kedua)
• Stop
– Menghentikan pengobatan ARV
Sebelum mulai
• Yakinkan bahwa status klien adalah HIV positif
• Lakukan evaluasi Klinis:
– Tentukan stadium klinis
– Diagnosis dan pengobatan IO
– Profilaksis IO dan adherence terhadap pengobatan IO
– Pertimbangkan apakah perlu ARV
• Bahas dengan Odha mengenai kemungkinan
adherence terhadap ARV
• Edukasi mengenai tujuan terapi ARV
Start
Rekomendasi Inisiasi ART pada
Dewasa dan Anak

Populasi Rekomendasi

Dewasa dan anak Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4, atau jika
> 5 tahun jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3
Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis dan berapapun jumlah CD4:
 Koinfeksi TBa
 Koinfeksi Hepatitis B
 Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
 Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif (pasangan
serodiskordan), untuk mengurangi risiko penularan
 LSL, PS, Waria, atau Penasunb
 Populasi umum pada daerah dengan epidemi HIV meluas

Anak < 5 tahun


Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis dan berapapun jumlah CD4c
Keterangan
a Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan
dalam 2-8 minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB.
Pada ODHA dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai
dalam 2 minggu setelah mulai terapi TB. Untuk ODHA dengan meningitis
kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan kriptokokus.

b Dengan memperhatikan kepatuhan

c Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif, maka harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera
dilakukan diagnosis konfirmasi (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR
DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan
untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan
penilaian ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila
hasilnya negatif, maka pemberian ARV dihentikan.
Jenis obat ARV yg tersedia di Indonesia

NRTI NNRTI PI
Zidovudine (AZT) Nevirapine (NVP) Lopinavir/ritonavir
Stavudine (d4T) Efavirenz (EFV) (LPV/r)
Lamivudine (3TC) Rilpivirine (RPV)
Emtricitabine (FTC)
Abacavir (ABC)

NtRTI
Tenofovir (TDF)
Paduan ARV Lini Pertama utk
dewasa dan anak > 5 tahun
2 NRTI + 1 NNRTI

Paduan ARV lini pertama untuk dewasa


Paduan pilihan TDFa + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDTc
Paduan alternatif AZTb + 3TC + EFV (atau NVP)
TDFa + 3TC (atau FTC) + NVP

Catatan:
a Jangan memulai TDF jika CCT hitung < 50 ml/menit, atau pada kasus diabetes lama,
hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
b Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi
c Kombinasi dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV
Paduan ARV Lini Pertama utk anak < 5 tahun
2 NRTI + 1 NNRTI
Pilihan NRTI ke-1 Pilihan NRTI ke-2 Pilihan NNRTI
Zidovudin (AZT)a Nevirapin (NVP)
Lamivudin (3TC)
Stavudin (d4T)b Efavirenz (EFV)d
Emtricitabine (FTC)
Tenofovir (TDF)c Rilpivirine (RPV)
Catatan:
a Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama. Namun bila Hb anak < 7,5 g/dl maka dipertimbangkan pemberian
Stavudin(d4T).
b Dengan adanya risiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang, maka dipertimbangkan mengubah d4T
ke AZT (bila Hb anak > 10 gr/dl) setelah pemakaian 6 – 12 bulan. Bila terdapat efek anemia berulang maka dapat
kembali ke d4T.
c Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun. Selain itu perlu dipertimbangkan efek samping
osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh karena penggunaan ARV diharapkan tidak mengganggu
pertumbuhan tinggi badan.
d EFV dapat digunakan pada anak ≥ 3 tahun atau BB ≥ 10 kg, jangan diberikan pada anak dengan gangguan psikiatrik
berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB.
Substitusi
Alasan Substitusi
• Toksisitas/efek samping
• Hamil
• Risiko hamil
• TB baru
• Ada obat baru
• Stok obat habis
Prinsip penanganan efek samping ARV
• Tentukan beratnya toksisitas
• Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah toksisitas terjadi karena
(satu atau lebih) ARV atau karena obat lainnya
• Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus atau sumbatan bilier jika timbul
ikterus)
• Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi. Penanganan secara umum
adalah:
– Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua obat ARV, beri terapi suportif dan
simtomatis; berikan lagi ARV dengan paduan yang sudah dimodifikasi (contoh: substitusi 1 ARV
untuk obat yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA stabil
– Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa menghentikan pemberian ARV secara
keseluruhan
– Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati perifer) memerlukan
penggantian obat. Untuk reaksi lain, pertimbangkan untuk tetap melanjutkan pengobatan; jika tidak
ada perubahan dengan terapi simtomatis, pertimbangkan untuk mengganti 1 jenis obat ARV
– Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.
• Tekankan pentingnya tetap meminum obat meskipun ada toksisitas pada reaksi ringan dan
sedang
• Jika diperlukan, hentikan pemberian terapi ARV apabila ada toksisitas yang mengancam
jiwa. Perlu diperhatikan waktu paruh masing-masing obat untuk menghindari kejadian
resistansi.
Waktu terjadinya toksisitas ARV
Waktu Toksisitas
Dalam beberapa  Gejala gastrointestinal adalah mual, muntah dan diare. Efek samping ini
minggu pertama bersifat self-limiting dan hanya membutuhkan terapi simtomatik
 Ruam dan toksisitas hati umumnya terjadi akibat obat NNRTI, namun
dapat juga oleh obat NRTI seperti ABC dan PI
Dari 4 minggu  Supresi sumsum tulang yang diinduksi obat, seperti anemia dan
dan sesudahnya neutropenia dapat terjadi pada penggunaan AZT
 Penyebab anemia lainnya harus dievaluasi dan diobati
 Anemia ringan asimtomatik dapat terjadi
6-18 bulan  Disfungsi mitokondria, terutama terjadi oleh obat NRTI, termasuk asidosis
laktat, toksisitas hati, pankreatitis, neuropati perifer, lipoatrofi dan
miopati
 Lipodistrofi sering dikaitkan dengan penggunaan d4T dan dapat
menyebabkan kerusakan bentuk tubuh permanen
 Asidosis laktat jarang terjadi dan dapat terjadi kapan saja, terutama
dikaitkan dengan penggunaan d4T. Asidosis laktat yang berat dapat
mengancam jiwa
 Kelainan metabolik umumnya terjadi oleh PI, termasuk hiperlipidemia,
akumulasi lemak, resistansi insulin, diabetes dan osteopenia
Setelah 1 tahun  Disfungsi tubular renal dikaitkan dengan TDF
Efek samping/Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat
substitusi pada dewasa dan anak > 5 tahun
Obat ARV Tipe Toksisitas Faktor Risiko Pilihan Substitusi
TDF Disfungsi tubulus Sudah ada penyakit ginjal sebelumnya AZT atau d4T
renalis Usia lanjut
Sindrom Fanconi IMT < 18,5 atau BB < 50 kg
DM tak terkontrol
Hipertensi tak terkontrol
Penggunaan bersama obat nefrotoksik lain atau
boosted PI
Menurunnya densitas Riwayat osteomalasia dan fraktur patologis
mineral tulang Faktor risiko osteoporosis atau bone-loss
lainnya
Asidosis laktat atau Penggunaan NRTI yang lama
hepatomegali dengan Obesitas
steatosis
Eksaserbasi hepatitis B Jika TDF dihentikan karena toksisitas lainnya Gunakan alternatif
(hepatic flares) pada koinfeksi hepatitis B obat hepatitis
lainnya seperti
entecavir
Efek samping/Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat
substitusi pada dewasa dan anak > 5 tahun (lanj)

Obat ARV Tipe Toksisitas Faktor Risiko Pilihan


Substitusi
AZT Anemia atau anemia atau neutropenia sebelum Dewasa: TDF
neutropenia berata, mulai terapi Anak: d4T atau
miopati, lipoatrofi atau Jumlah CD4 ≤ 200 sel/mm3 (dewasa) ABC
lipodistrofi
Intoleransi saluran Dewasa: TDF
cerna beratb Anak: d4T atau
ABC
Asidosis laktat atau IMT > 25 atau BB > 75 kg (dewasa) Dewasa: TDF
hepatomegali dengan Penggunaan NRTI yang lama Anak: ABC, atau
steatosis LPV/r jika ABC tak
tersediac
Efek samping/Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat
substitusi pada dewasa dan anak > 5 tahun (lanj)

Obat ARV Tipe Toksisitas Faktor Risiko Pilihan Substitusi


d4T Neuropati perifer, Usia tua Dewasa: AZT
lipoatrofi atau Jumlah CD4 ≤ 200 sel/mm3 atau TDFd
lipodistrofi (dewasa) Anak: AZT atau
penggunaan bersama INH ABC, pada
atau ddI asidosis laktat
gunakan ABC
Asidosis laktat atau IMT > 25 (atau BB > 75 kg)
hepatomegali dengan (dewasa)
steatosis, pankreatitis Penggunaan nukleosida
akut analog yang lama
Efek samping/Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat
substitusi pada dewasa dan anak > 5 tahun (lanj)

Obat ARV Tipe Toksisitas Faktor Risiko Pilihan Substitusi


EFV Toksisitas susunan saraf Sudah ada gangguan mental atau NVP
pusat persisten (seperti depresi sebelumnya Jika ODHA tidak
mimpi buruk, depresi, Penggunaan siang hari dapat mentoleransi
kebingungan, halusinasi, NNRTI lain,
psikosis)e gunakan LPV/rc
Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit hati atau pada anak
sebelumnya dapat juga
Koinfeksi HBV dan HCV digunakan 3 NRTIf
penggunaan bersama obat jikaLPV/rc tidak
hepatotoksik lain tersedia
Kejang Riwayat kejang
Hipersensitivitas Faktor risiko tidak diketahui
obatgGinekomastia pada
pria
Efek samping/Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat
substitusi pada dewasa dan anak > 5 tahun (lanj)

Obat ARV Tipe Toksisitas Faktor Risiko Pilihan Substitusi


NVP Hepatotoksisitash, i Sudah ada penyakit liver EFV
sebelumnya Jika ODHA tidak
Koinfeksi HBV dan HCV dapat
penggunaan bersama obat mentoleransi
hepatotoksik lain NNRTI lain,
CD4 >250 sel/mm3 pada gunakan LPV/rc
wanita atau pada anak
CD4 >400 sel/mm3 pada pria dapat digunakan
Hipersensitivitas obatg, i Faktor risiko tidak diketahui 3 NRTIf
Keterangan
a Anemi berat adalah Hb < 7,5 g/dl (anak) < 8 g/dl (dewasa) dan neutropenia berat jika hitung neutrofil
< 500/mm3. Singkirkan kemungkinan malaria pada daerah endemis.
b Batasannya adalah intoleransi saluran cerna refrakter (berulang) dan berat yang dapat menghalangi
minum obat ARV (mual dan muntah persisten).
c Penggunaan PI dalam paduan lini pertama mengakibatkan menyempitnya pilihan obat berikutnya bila
sudah terjadi kegagalan terapi.
d AZT dan d4T mempunyai pola resistansi yang hampir serupa, berbeda dengan TDF. Pada substitusi
setelah pemakaian lama d4T ke TDF, harus diperhatikan bagaimana supresi virus dan riwayat
kepatuhan ODHA.
e Toksisitas SSP ini bersifat self-limiting. Karena EFV menyebabkan pusing, dianjurkan untuk diminum
saat malam hari.
f Penggunaan triple NRTI mungkin kurang poten dibanding paduan lain
g Ruam kecil sampai sedang dan toksisitas hati dapat diatasi dengan pemantauan, terapi simtomatik
dan perawatan suportif. Ruam yang berat didefinisikan sebagai lesi luas dengan deskuamasi,
angioedema, atau reaksi mirip serum sickness, atau lesi disertai gejala konstitusional seperti demam,
lesi oral, melepuh, edema fasial, konjungtivitis seperti Sindrom Stevens-Johnson. Pada ruam yang
berat, apalagi jika disertai peningkatan SGOT >5 kali BAN, dapat mengancam jiwa, oleh karena itu
hentikan NVP atau EFV. Kedua obat NRTI lainnya diteruskan hingga 1-2 minggu ketika ditetapkan
paduan ARV berikutnya mengingat waktu paruh yang lebih pendek disbanding NVP atau EFV.
h Hepatotoksisitas yang dihubungkan dengan pemakaian NVP jarang terjadi pada anak terinfeksi HIV
yang belum mencapai usia remaja.
i Menaikkan secara bertahap dosis NVP atau yang disebut eskalasi dosis dapat menurunkan risiko
toksisitas
Stop
Alasan Stop
• Toksisitas/Efek samping
• Gagal Pengobatan
• Adherence buruk
• Stok obat habis
• Kekurangan Biaya
• Keputusan pasien
Strategi menghentikan ARV
• Khususnya jenis NNRTI karena mempunyai
waktu paruh yang panjang
Switch
Alasan Switch

• Gagal Pengobatan secara Klinis

• Gagal Pengobatan secara Imunologis

• Gagal Pengobatan secara Virologis


Alur Evaluasi Terapi ARV
Kegagalan Terapi ARV
Paduan ART Lini Kedua Dewasa pd Remaja dan Dewasa

a Rifampisin sebaiknya tidak digunakan pada pemakaian LPV/r.


Paduan OAT yang dianjurkan adalah 2SHZE, selanjutnya
diteruskan dengan HE dengan evaluasi rutin kelainan mata.
Namun, pada infeksi meningitis TB yang perlu tetap
menggunakan rifampisin maka LPV/r dapat digunakan dengan
dosis ganda LPV/r 800 mg/200 mg 2x sehari atau 2 x 2 tablet.
Paduan ART Lini Kedua pd Anak

Lini pertama Lini kedua

AZT (atau d4T) + 3TC + NVP ABC (atau TDFa) + 3TC (atau FTC) +
(atau EFV) LPV/r
TDFa + 3TC (atau FTC) + NVP AZT + 3TC + LPV/r
(atau EFV)
ABC + 3TC + NVP (atau EFV)
Pemantauan pengobatan ARV
• Memantau respon pengobatan
• Memantau efek samping dan toksisitas ARV
• Memantau kemungkinan Sindrom Pulih Imun
(SPI)
Rekomendasi tes laboratorium setelah ART
Fase
Yang diperlukan (bila ada
penatalaksanaan Rekomendasi
atau atas indikasi)
HIV
Selama menggunakan Jumlah sel CD4 (tiap 6 serum kreatinin tiap 6 bulan pada
ARV bulan)a penggunaan TDF
Hb pada penggunaan AZT (dalam 3
bulan pertama perlu pemeriksaan
intensif)
Fungsi hati (SGPT/SGOT) tiap 6 bulan
HIV RNA (6 bulan setelah inisiasi ARV,
tiap 12 bulan setelahnyaa)
Gagal terapi Jumlah sel CD4 HBsAg (bila sebelum switch belum
HIV RNAb pernah di tes, atau jika hasil baseline
sebelumnya negatif)

a Pada ODHA dengan kepatuhan dan hasil pengobatan ARV yang baik, frekuensi pemantauan CD4 dan HIV
RNA dapat dikurangi
b Tes HIV RNA (viral load) sangat dianjurkan untuk menentukan kegagalan terapi
Sindrom Pulih Imun (SPI)
• Frekuensi IRIS diperkirakan 10% – 25% dari
Odha yg menerima ART.
• Pada 23% – 25% Odha dgn HAART terjadi > 1
sindrom inflamasi yg sesuai dgn SPI.
• SPI adalah perburukan kondisi klinis akibat
respon inflamasi berlebihan pada saat
pemulihan respon imun setelah ART.
Manifestasinya dapat berbentuk penyakit
infeksi maupun non-infeksi.
Sindrom Pulih Imun dapat muncul dalam 2
bentuk: paradoksikal dan unmasking.
• Bentuk paradoksikal muncul ketika suatu IO
yang terdiagnosis sebelum pemberian ARV
berespon baik terhadap pengobatannya, tetapi
kemudian memburuk sebagai akibat langsung
pemulihan imunitas setelah dimulainya ARV.
• Bentuk unmasking ketika IO yang ada sebelum
ARV tetap tidak terdiagnosis (laten) dan
pemulihan respon imun setelah dimulainya ART
memicu manifestasi IO tersebut.
Kriteria diagnosis SPI menurut International
Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI)
1. Menunjukkan respons terhadap ART dengan:
a. mendapat terapi ARV
b. penurunan viral load > 1 log copy/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi
inflamasi yang terkait dgn inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya
yang telah berhasil disembuhkan (Expected clinical
course of a previously recognized and successfully
treated infection)
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV
Tatalaksana IRIS
• Berikan atau lanjutkan terapi anti-mikroba
spesifik untuk SPI yang terjadi.
• Berikan steroid sistemik jika respons inflamasi
berat
• Terapi ARV tetap dilanjutkan.
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
(PPIA)
• Tanpa upaya pencegahan, 20-50% bayi dari
ibu HIV dapat tertular HIV:
– 5-10% selama masa kehamilan
– 10-20% pada saat persalinan, dan
– 5-20% pada saat menyusui.
• Dengan upaya yang tepat, risiko penularan dapat
diturunkan menjadi kurang dari 2%.
Upaya PPIA komprehensif
• Prong 1: pencegahan primer agar perempuan
pada usia reproduksi tidak tertular HIV.
• Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak
direncanakan pada perempuan dengan HIV.
• Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu
hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya.
• Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial
dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta
anak dan keluarganya.
• Layanan PPIA dilaksanakan melalui layanan
kesehatan reproduksi:
– kesehatan ibu dan anak (KIA),
– keluarga berencana (KB) dan
– kesehatan reproduksi remaja (KRR).
• Layanan PPIA diintegrasikan dengan upaya
pencegahan sifilis kongenital.
• Pintu masuk layanan PPIA adalah tes HIV pada ibu
hamil, mulai K1
Upaya Pencegahan agar Bayi HIV (-)
1. Pemberian ARV pada ibu hamil
Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi
ARV, tanpa memandang jumlah CD4, karena
kehamilan itu sendiri merupakan indikasi
pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hidup.
Pemberian ARV dapat segera dimulai setelah ibu
didiagnosis HIV berapapun usia kehamilan. Ibu
yang sudah mendapat ARV sebelum kehamilan,
ARV dapat diteruskan tanpa perlu diganti. ARV
tetap diteruskan setelah melahirkan hingga
seterusnya.
2. Persalinan yang aman
Dapat berupa persalinan per vaginam maupun
seksio sesarea. Persalinan per vaginam dapat
dipilih jika ibu sudah mendapat pengobatan ARV
dengan teratur selama setidaknya enam bulan
dan/atau viral load kurang dari 1.000 kopi/mm3
pada minggu ke-36. Persalinan per vaginam
maupun seksio sesarea tersebut dapat dilakukan
di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa
memerlukan alat pelindung diri khusus, selama
fasilitas tersebut melakukan prosedur
kewaspadaan standar
3. Pemberian ARV pencegahan pada bayi
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik
yang diberi ASI eksklusif maupun susu
formula, diberi Zidovudin dalam 12 jam
pertama selama enam minggu.
Kondisi Bayi Dosis Zidovudin
Bayi cukup bulan Zidovudin 4 mg/kg BB/12 jam selama 6 minggu, atau dengan
dosis disederhanakan:
 Berat lahir 2000-2499 g = 10 mg 2x sehari
 Berat lahir ≥ 2500 g = 15 mg 2x sehari
bayi dengan berat < 2000 g harus mendapat dosis mg/kg,
disarankan dengan dosis awal 2 mg/kg sekali sehari
Bayi prematur < 30 Zidovudin 2 mg/kg BB/12 jam selama 4 minggu pertama,
minggu kemudian 2 mg/kg BB/8 jam selama 2 minggu
Bayi prematur 30-35 Zidovudin 2 mg/kg BB/12 jam selama 2 minggu pertama,
minggu kemudian 2 mg/kg BB/8 jam selama 2 minggu, lalu 4 mg/kg
BB/12 jam selama 2 minggu
4. Pemberian nutrisi yang aman pada bayi.
Ibu sebaiknya diberikan penjelasan mengenai pilihan
nutrisi yang aman bagi bayinya sebelum melahirkan.
Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau
susu formula saja (bukan mixed feeding). Ibu dengan
HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya
yang HIV negatif atau tidak diketahui status HIV-nya,
jika SELURUH syarat AFASS (affordable/terjangkau,
feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima,
sustainable/ berkesinambungan dan safe/aman)
dapat dipenuhi.
Di negara berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi.
Karena itu, WHO menganjurkan pemberian ASI
eksklusif 6 bulan, yang cukup aman selama ibu
mendapat terapi ARV secara teratur dan benar.
Jadwal Imunisasi Bayi Lahir dari Ibu HIV
PB 3. Tatalaksana Interaksi dan
Efek Samping Obat
Toksisitas ARV menurut kelas
Kelas ARV Toksisitas
NRTI Toksisitas Mitokondria (Lipodistrofi,
Asidosis Laktat)
NtRTI Disfungsi tubulus ginjal proksimal
NNRTI Reaksi hipersensitifitas dan
Hepatotoksisitas
PI Gangguan Metabolik
Reaksi hipersensitifitas
• Sebagian besar menyebabkan ruam ringan
(umumnya berupa lesi makulo papular) sampai
sedang (pada 1-6 minggu pertama terapi).
• Dapat juga disertai kelainan sistemik seperti
demam, mialgia, atralgia, dan peningkatan enzim
hati, hingga reaksi yang berat dan mengancam
jiwa [mis Stevens-Johnson Syndrome atau Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN)].
• Pada kasus ruam yang ringan (derajat 1 dan 2)
tanpa kelainan sistemik, obat dapat dilanjutkan.
Hepatotoksisitas
– Terjadi pada 10% pasien dengan NVP (atau lebih,
jika disertai ko-infeksi Hepatitis B atau C)
– Paling sering pada 12 minggu pertama terapi
– Biasanya menyebabkan peningkatan tes fungsi hati,
hepatomegali
– Sering ringan-sedang tetapi bisa berat (potensial
fatal)
– Hentikan NVP untuk toksisitas derajat 3 atau lebih
tinggi (transaminases >200). Jangan memulai lagi
NVP
Faktor risiko terjadinya Hepatotoksisitas
• Ko-infeksi Hepatitis B atau C
• Alkohol
• Peningkatan enzim hati sebelum memulai terapi ARV
• Penggunaan obat hepatotoksik lain

Tatalaksana
• Hentikan NVP, jika toksisitas derajat 3 atau lebih
(transaminase > 200)
• Lain-lain: mengatasi gejala lain yang dapat terjadi,
seperti: mual, nyeri kepala, mialgia
Anemia
• AZT yg sering menyebabkannya
• Terjadinya setelah penggunaan 4 – 12 minggu
• Tatalaksananya: substitusi AZT dgn TDF
(dewasa) atau d4T atau ABC (anak)
• Transfusi darah  jika timbul simtom atau
efek samping grade 4
• Jangan berikan AZT jika Hb < 10g/dL pada
awal terapi ARV
Nefrotoksisitas
• Gangguan ginjal akibat TDF berupa toksisitas tubular
dengan/atau tanpa penurunan fungsi ginjal (Laju Filtrasi
Glomerulus/LFG/eGFR).
• Sebagian besar adalah sindrom Fanconi yang ditandai
dengan:
– asidosis tubulus renalis
– glukosuria pada pasien dengan kadar gula normal
– Hipofosfatemia
– hipourisemia dan
– proteinemia tubular.
• Apabila timbul sindrom GGA atau sindrom Fanconi maka
TDF harus dihentikan dan diganti dengan obat ARV lain.
Efek samping SSP
• Dapat terjadi pada penggunaan Efavirenz.
• Gejala yang ditimbulkan dapat berupa sedasi,
mabuk, pusing, bingung, depersonalisasi,
mimpi yang abnormal. Dan biasanya membaik
dalam 2-4 minggu
• Dianjurkan untuk minum obat sebelum waktu
tidur untuk mengurangi dampak dari gejala ini
• Jika terjadi gejala berat (misal pikiran bunuh
diri atau gejala psikotik): hentikan EFV
Interaksi Rifampisin dan ARV
Rifampisin dapat:
• Menurunkan kadar EFV dalam darah sampai 26%,
dan tetap merupakan ARV pilihan pertama pada
ko-infeksi TB-HIV.
• Menurunkan kadar NVP dalam darah sampai
37%, dan masih dapat digunakan sebagai pilihan
kedua pada koinfeksi TB-HIV jika EFV tidak dapat
digunakan.
• Menurunkan kadar LPV sampai 75%, dan RTV
sampai 35% (tidak boleh digunakan bersama)
Interaksi Metadon dan ARV

• EFV menurunkan AUC metadon sebesar 57%


• NVP menurunkan AUC metadon sebesar 51%
• LPV menurunkan AUC metadon sebesar 36%
Obat Yang Sebaiknya Tidak Digunakan Dgn ARV
Obat Antiretroviral
Kategori Obat
EFV NVP LPV/r
Obat Jantung - - Amiodaron
Penurun Kolesterol - - Rovastatin
Simvastatinb
Antimikroba - - Rifampisin
Obat Saluran Cerna Cisaprid - Cisaprid
Neuroleptik Pimozid - Pimozid
Psikotropik Triazolam - Triazolam
Midazolama Midazolama
Derivat Ergot Dihidroergotamin - Dihidroergotamin
Ergonovin Ergonovin
Ergotamin Ergotamin
Metilergonovin Metilergonovin
ARV lain NNRTI lainnya ATV +/- RTV
NNRTI lainnya
Herbal Herbal Herbal Herbal
Obat Lain - Ketokonazol Alfuzosin
Salmeterol
Sildenafil

a Penggunaan midazolam oral merupakan kontraindikasi. Midazolam parenteral dapat digunakan dosis tunggal dan dapat diberikan
dengan monitoring pada prosedur sedasi. Alternatif yang dianjurkan adalah temazepam, lorazepam, oxazepam
b Alternatif yang dianjurkan fluvastatin, pitavastatin, and pravastatin (kecualin pravastatin dengan DRV/r) memiliki interaksi obat
minimal. Gunakan atorvastatin and rosuvastatin dengan hati-hati; mulai dengan dosis terendah dan titrasi sesuai toleransi dan efikasi
PB 4. Tatalaksana Infeksi Oportunistik (IO)
dan Komorbid
IO adalah infeksi oleh organisme yang biasanya tidak menyebabkan
penyakit pada orang dgn sistem kekebalan yang normal (sehat), tetapi
dapat mengenai orang dengan sistem kekebalan yang tertekan.

Penyebab IO adalah:
• Bakteri/Mycobacterium • Protozoa
– Salmonella – Toksoplasma
– Mycobacterium Avium – Cryptospodia
Complex • Virus
– Tuberkulosis – Cytomegalovirus
• Jamur – Herpes simplex
– Candida albicans – Herpes zoster
– Pneumocystis jiroveci – Hepatitis
– Human Papilloma Virus
– Aspegillus
• Keganasan
– Cryptococcus
– Sarkoma Kaposi
– Histoplasma – Limfoma
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)

• Utk mencegah Pneumocystis pneumonia,


toksoplasmosis dan infeksi bakteri, dan malaria
• Pada ODHA dewasa yang akan memulai terapi
ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3;
dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2
minggu sebelum ARV
Kriteria
Usia Kriteria inisiasi Dosis Monitoring
pemberhentiana
Dosis trimetoprim Sampai risiko transmisi HIV
Semua bayi, dimulai usia 6 Dilihat klinis dengan
Bayi terpajan HIV 4-6 mg/kgBB sekali berakhir atau infeksi HIV
minggu setelah lahir interval tiap 3 bulan
sehari (sesuai IDAI) sudah disingkirkan

Sampai usia 5 tahun tanpa


Bayi HIV <1 tahun Semua bayib melihat % CD4 atau gejala
klinisc
Dosis trimetoprim
Stadium klinis WHO 2,3 5 mg/kg BB sekali Dilihat klinis dengan
dan 4 tanpa melihat % CD4 sehari interval tiap 3 bulan
atau
Anak HIV 1-5 tahun Bila CD4 mencapai > 25%
Stadium klinis WHO
berapapun dan CD4 <25%
Atau semuanyab
Jika CD4 ≥ 200 sel/mm3
Stadium klinis WHO
setelah 6 bulan ARV d
berapapun dan CD4 <200
Anak: trimetoprim Jika tidak tersedia
sel/mm3 d
5 mg/kgBB sekali pemeriksaan CD4, PPK
Atau stadium klinis WHO Dilihat klinis dengan
> 5 tahun- dewasa sehari diberhentikan setelah 2
2, 3 atau 4 b interval tiap 3 bulan
Dewasa: 960 mg tahun ART
Tuberkulosis aktif, sekali sehari Sampai pengobatan TB
berapapun nilai CD4 selesai apabila CD4 > 200
sel/mm3d
a KTX dihentikan bila ODHA dgn sindrom Stevens-Johnson, penyakit hati berat, anemia atau pansitopenia berat, atau HIV
negatif. Kontraindikasi KTX: alergi sulfa, penyakit liver berat, penyakit ginjal berat, dan defisiensi G6PD.
b Pd semua ODHA tanpa melihat CD4 atau stadium klinis pada prevalensi HIV tinggi, kematian bayi tinggi akibat penyakit-
penyakit infeksi, atau pelayanan dengan infrastruktur terbatas.
c Jika inisiasi awal untuk profilaksis Pneumocystis pneumonia atau toksoplasmosis
d Pd wilayah dgn prevalensi infeksi bakteri tinggi atau endemis malaria, batasan CD4 adalah <350 sel/mm3.
Tatalaksana Ko-infeksi TB

• Prinsip tata laksana pengobatan TB pada


ODHA sama seperti pasien TB umumnya.
• Obat TB pada ODHA sama efektifnya dengan
pasien TB.
• Yang membedakannya adalah bahwa untuk
Odha yang menderita TB, untuk fase lanjutan
pemberian Obat Anti TB diberikan setiap hari.
Pengobatan Pencegahan INH (PP INH)

• Profilaksis primer: pd infeksi TB laten


Diberikan INH 300 mg/hari selama 6 bulan
(total 180 dosis). Vitamin B6 diberikan dengan
dosis 25 mg per hari atau 50 mg selang sehari
atau 2 hari sekali untuk mengurangi efek
samping INH.
• Profilaksis sekunder: ODHA yang baru
menyelesaikan pengobatan TBnya dan
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap.
• Pemantauan pengobatan PP INH ini dilakukan selama
dan setelah pemberian PP INH dengan tujuan untuk
memastikan kepatuhan ODHA dan mengetahui efek
samping secara dini.
• Pemantauan dilakukan setiap kunjungan selama 6
bulan pengobatan.
• Efek proteksi dari pemberian PP INH bertahan sampai
dengan 3 tahun, sehingga pemberian PP INH ulang
dapat dilakukan setelah 3 tahun.
• Kontraindikasi PP INH adalah sebagai berikut:
– TB aktif
– Klinis yang mengindikasikan adanya gangguan fungsi hati
– Neuropati perifer berat
– Riwayat alergi INH
– Riwayat resistan INH
Algoritma PP INH
Tatalaksana Kandidiasis Oral dan Esofageal
a. Kandidiasis orofaring
• Pilihan (7-14 hari):
– Fluconazole 100 mg PO 1x/hari
– Itraconazole oral solution 200 mg PO 1x/hari
– Clotrimazole troches 10 mg PO 5x/hari
– Nystatin suspensi 4-6 mL 4x/hari atau 1-2 flavored pastilles 4-
5x/hari
• Jika refrakter dgn fluconazole:
– Itraconazole oral solution ≥200 mg PO 1x/hari
– Amphotericin B 0,.3 mg/kg IV 1x/hari
b. Kandidiasis esofagus:
• Diperlukan terapi sistemik
• Pilihan (14-21 hari):
‒ Fluconazole 100 mg (sampai 400 mg) PO atau IV 1x/hari
‒ Itraconazole oral solution 200 mg PO 1x/hari*
‒ Voriconazole 200 mg PO 2x/hari*
‒ Caspofungin 50 mg IV 1x/hari
Koinfeksi Hepatitis B dan C
• Koinfeksi HBV pada ODHA berapapun jumlah CD4-nya
merupakan indikasi untuk memulai pengobatan ARV.
Pilihan pengobatan ODHA dengan koinfeksi HBV adalah
pemberian paduan ARV yang terdiri dari dua obat yang
aktif terhadap HIV dan HBV, tanpa memandang jumlah
HBV DNA. Pilihannya adalah kombinasi Tenofovir dengan
salah satu dari Lamivudin atau Emtricitabin, dengan
tujuan menghindari resistansi.
• Terapi HCV dapat diberikan pada Odha dengan terapi ARV
yang sudah stabil. Kondisi stabil adalah teratasinya IO,
peningkatan jumlah CD4, dan teraturnya penggunaan
ARV. Pada ODHA yang sudah stabil dalam ARV, namun
CD4 belum mencapai 350 sel/mm3, terapi HCV dapat
dimulai jika CD4 sudah di atas 200 sel/mm3.
Tatalaksana Diare Kronik
• Terapi diare kronik adalah rehidrasi, simtomatik
dan terapi sesuai dengan etiologi.
• Diare kronik tanpa perdarahan dapat diberikan
terapi empiris kotrimoksasol atau metronidazol.
• Diare kronik disertai perdarahan dapat diberikan
siprofloksasin sebagai terapi empiris shigella,
tetapi harus hati-hati pada pasien dengan
kemungkinan tuberkulosis. Dapat diberikan juga
metronidozol jika dicurigai kolitis amuba.
• Jika pengobatan di atas tidak memberikan
respon, rujuk ke rumah sakit rujukan ARV.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai