Anda di halaman 1dari 14

A.

Kewirausahaan
- Wirausaha menunjuk pada perilaku (behavioral)
- Pengusaha menunjuk pada pelaku (dalam arti
luas)
- Pengertian yang digunakan adalah pengusaha
yang mempunyai ciri-ciri kewirausahaan.
1. ‘the right stuff theory’ – kewirausahaan
muncul karena bakat alami (anugrah).
2. ‘the great person theory’ – kewirausahaan
muncul karena individu yang memiliki
bakat/anugrah terus mengembangkannya.
3. ‘the neccesity theory‘ – kewirausahaan
muncul karena lingkungan yang memaksa.
4. ‘ensemble theory’ - kewirausahaan
muncul karena interaksi secara dinamis
antara individu dan lingkungannya.
(Tropman & Morningstar, 1989 : 9)
1. ‘Great Person’ School -The entrepreneur has an intiative ability-a sixth
sense-and trait, and instincts he/she is born with

2. Psychological Charac-teristics School -Entrepreneur have


unique value, attitude and needs wich drive them

3. Classical School -The central character-ristic of entrepreneur-rial behavior is


innovation

4. Management School -Entrepreneurs are organizers of an economic venture;


they are people who organize, own, manage, and assume the risk.

5. Leadership School -Entrepreneurs are leaders of people; they have the ability
to adapt their style to the needs of people.

6. Intrapreneurship School -Entrepreneurial skills can be useful


in complex organizati-ons; intrapreneurship is the depelopment of
independent units to create, market, and expand services.
1. sebagai hasil proses belajar, dimana seseorang memutuskan untuk terjun
berwirausaha berdasarkan sejumlah pertimbangan dan proses introduksi
dalam dirinya dengan sejumlah hal yang ada dalam lingkungannya. Hal
tersebut berproses dalam diri individu sepanjang perjalanan hidupnya.
(Ward (dalam EWC, 1977); Berlew, 1975, Pletner, 1975, Timmons, 1975,
Churchil, 1987, Sukardi, 1991)
2. dari perspektif teori peran, dalam hal ini tingkahlaku pengusaha merupakan
konsekwensi dari tuntutan seperangkat peran (role sets, role prescriptions) yang
tampil dalam kegiatan-kegiatan pelaksanaan peran sebagai pencetus gagasan
berusaha, pendiri, pengeleola dan pelembaga perusahaannya. ( J.S. Mill dalam
Robert, 1986, Deaux & Wrighsman, 1984)
3. dari perspektif teori kebutuhan dan motivasi, dimana tingkahlaku pengusaha berawal
dari adanya kebutuhan untuk memperbaiki kehidupan, menemukan kesempatan agar
yang bersangkutan mampu untuk beraktualisasi diri. Kebutuhan untuk berprestasi dan
mandiri mendorong seseorang memilih pengusaha sebagai karir kehidupannya. (
McClelland, 1961, Wolman, 1973, Atkinson, 1978, Kirchhoff, 1988)
4. dari perspektif teori persepsi, dimana tingkahlaku pengusaha muncul didasarkan atas
pandangan pribadinya yang didasarkan pada pengamatan terhadap lingkungannya dan
pengalaman pribadinya yang tidak memberi kesempatan untuk mengembangkan diri.
(Wilken, 1979; EWC, 1977; Vesper, 1985; Rondstat, 1986; Crossley, 1988).
 dapat dilihat dari perspektif teori motivasi dan
perbedaan individual (Kanfer dalam Dunnette & Hough,
2002). Dari perspektif teori motivasi, tingkahlaku
pengusaha muncul dalam diri individu yang
bersangkutan atas adanya dorongan kebutuhan atau
kepentingan untuk beraktualisasi diri; munculnya
dorongan tersebut disebabkan oleh karena adanya
sejumlah nilai dalam diri individu. Dari perspektif teori
perbedaan individual, tingkahlaku pengusaha dipandang
sebagai kemampuan yang dimiliki oleh pengusaha dalam
merintis, mendirikan, melembagakan dan mengelola
usahanya mempunyai perbedaan-perbedaan tertentu.
Perbedaan tersebut muncul sebagai akibat sejumlah
faktor baik yang ada dalam diri pengusaha maupun yang
ada pada lingkungan pengusaha (konteks).
1. merupakan ciri khas yang melekat pada individu
pengusaha bukan semata-mata merupakan atribut
yang diberikan oleh lingkungan kepadanya.
2. karakteristik pengusaha menjadi ciri berbagai
tingkahlakunya dalam mempertahankan
perusahaannya.
3. tingkahlaku pengusaha dalam berbagai
karakteristiknya muncul dalam berbagai situasi sesuai
dengan tuntutan lingkungan berusahanya.
4. pemilikan karakteristik pengusaha selain sebagai ciri
tingkahlaku juga penggerak, pengarah tingkahlakunya
dalam berbagai situasi.
 Sukardi(1991), menyimpulkan sembilan sifat
sebagai dasar tingkah laku pengusaha, yaitu
:
 Instrumental
 Prestatif
 Keluwesan Bergaul
 Kerja Keras
 Keyakinan Diri
 Pengambilan Risik
 Swa-Kendali (Personal Control)
 Inovatif
 Kemandirian
1. Menurut Hofstede (2005 : 8) : “ A value is
a broad tendency to prefer certain state
of affair over others” - “human mental
programming”
2. Menurut Robbins (1991 : 158) : “Values :
basic convictions that a specific mode of
conduct or end state of existence is
personally or socially preferable to an
opposite or convers mode of conduct or
end state of existence”.
3. Menurut Schwartz (1994 : 21) “Values are
desirable transsituational goals, varying in
importance, that serve as guiding
principles in the life of a person or the
social entity.”
 Secara ringkas makna yang terkandung dalam definisi nilai Schwartz tersebut adalah :
1.Nilai memuat kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok sosial.
2.Nilai dapat memotivasi tindakan, memberikan arah dan kedalaman emosional.
3.Nilai berfungsi sebagai standar untuk menilai dan menjustifikasi suatu tindakan.
4.Nilai diperoleh melalui sosialisasi terhadap kelompok dominan dan melalui pengalaman
belajar yang unik.

 Dalam upaya penyesuaian diri dalam sebuah konteks sosial, kelompok-kelompok dan
individu-individu mentransform secara kognitif kebutuhan-kebutuhan yang melekat dalam
dirinya dan mengekspresikannya ke dalam bahasa nilai-nilai yang spesifik. Secara spesifik
nilai-nilai tersebut merepresentasikan tujuan-tujuan yang disadari (concious goals),
sebagai respon terhadap tiga kebutuhan yang bersifat universal ( kebutuhan biologis
sebagai organisme, kebutuhan sosial, dan kelangsungan hidup kelompok) dimana seluruh
individu dan masyarakat harus menyesuaikan diri.
 Respon dari ketiga kebutuhan universal tersebut ditemukan 56 (lima puluh enam) nilai
spesifik (single value), yang kemudian dikelompokkan menjadi 10 (sepuluh) kelompok
nilai. Hal inilah yang disebut sebagai ‘Tipe Nilai Motivasional (TNM)’.
1. TNM Power, tujuan yang ingin dicapai adalah status sosial, kebanggaan,
kontrol, dan dominasi atas orang lain. Nilai-nilainya adalah kekuasaan
sosial, wewenang, kekayaan, menjaga citra publik, pengakuan sosial.
Sumbernya adalah interaksi dan kelompok.
2. TNM Achievement, tujuan yang ingin dicapai adalah sukses pribadi dengan
memperlihatkan komptensi berdasarkan standar sosial. Nilai-nilainya adalah
kesuksesan, kemampuan, ambisius, berpengaruh, cerdas, dan kehormatan
diri. Sumbernya adalah interaksi dan kelompok.
3. TNM Hedonism, tujuan yang ingin dicapai adalah kesenangan dan kepuasan
pancaindra untuk diri sendiri. Nilai-nilainya adalah kesenangan dan
menikmati hidup. Sumbernya adalah organisme.
4. TNM Stimulation, tujuan yang ingin dicapai adalah kegembiraan, sesuatu
yang baru dan tantangan dalam kehidupan. Nilai-nilainya adalah
keberanian, kehidupan yang bervariasi, kehidupan yang menggairahkan.
Sumbernya adalah organisme.
5. TNM Self-Direction, tujuan yang ingin dicapai adalah kebebasan berpikir dan
memilih tindakan, mencipta dan mengeksplorasi. Nilai-nilainya adalah
kreativitas, kebebasan, kemandirian, ingin tahu, memilih tujuan sendiri.
Sumbernya adalah organisme dan interaksi.
6. TNM Universalism, tujuan yang ingin dicapai adalah pemahaman, apresiasi,
toleransi, dan melindungi kesejahteraan seluruhmanausia dan alam. Nilai-
nilainya adalah berpandangan luas, bijaksana, keadilan sosial, persamaan,
dunia yang damai, dunia yang indah, kesaatuan dengan alam, melindungi
lingkungan. Sumbernya adalah kelompok dan organisme.
7. TNM Benevolence, tujuan yang ingin dicapai adalah pemeliharaan dan
peningkatan kesejahteraan orang lain yang sering dijumpai dalam kontak
personal. Nilai-nilainya adalah suka menolong, jujur, suka memaafkan, setia,
bertanggung jawab, persahabatan sejati, cinta yang dewasa. Sumbernya adalah
organisme, interaksi dan kelompok.
8. TNM Tradition, tujuan yang ingin dicapai adalah kehormatan, tanggung
jawab, penerimaan terhadap adat istiadat dan ide-ide yang ada pada
kebudayaan dan agama. Nilai-nilainya adalah sederhana, menerima nasib,
saleh/beriman, menghormati tradisi, moderat. Sumbernya adalah kelompok.
9. TNM Confomity, tujuan yang ingin dicapai adalah menahan diri dalam
bertindak, kehendak hati, dorongan-dorongan yang mungkin membuat marah
atau melukai orang lain dan maupun melanggar harapan dan norma sosial.
Nilai-nilainya adalah kesopanan, kepatuhan, disiplin diri, menghormati orang
tua dan sesepuh/senior. Sumbernya adalah interaksi dan kelompok.
10. TNM Security, tujuan yang ingin dicapai adalah keamanan, keharmonisan,
stabilitas masyarakat, hubungan, dan diri sendiri. Nilai-nilainya adalah
keamanan keluarga, keamanan nasional, ketertiban sosial, kebersihan,
membalas pertolongan, rasa memiliki. Sumbernya adalah organisme, interaksi
dan kelompok.
 Dimensi pertama adalah tipe nilai higher order openess to change
(nilai-nilai yang menekankan pada kepemilikan pemikiran dan
tindakan yang bebas dan menyukai perubahan), TNM-nya adalah
self direction dan stimulation; yang berlawanan dengan tipe nilai
higher order consrvation (nilai-nilai yang menekankan pada
pembatasan diri yang submisif, pemeliharaan praktik-praktik
tradisional, dan perlindungan terhadap stabilitas), TNM-nya adalah
security, conformity, dan tradition.
 Dimensi yang kedua adalah tipe nilai higher order self-enhancement
(nilai-nilai yang menekankan pengejaran kesuksesan pribadi dan
relatif mendominasi orang lain), TNM-nya adalah power dan
achievement; yang berlawanan dengan tipe higher order self
transcendence (nilai-nilai yang menekankan pada penerimaan orang
lain secara sama dan memperhatikan kesejahteraan mereka), TNM-
nya adalah universalism dan benevolence. TNM hedonism termasuk
di dalam tipe nilai higher order openess to change dan tipe nilai
higher order self enhancement
1. Kajian sejumlah literatur - inti kebudayaan
Bugis adalah siri’ dan pesse (Abdullah,
Mattulada, Zainal Abidin, dsb).
2. Nilai utama dalam kebudayaan Bugis
(Rahman Rahim, 1985) Kejujuran (lempu’)
Kecendekiaan (acca)Kepatutan
(asitinajang)Keteguhan (getteng) dan
Usaha (akkareso).
3. Tamar (2000) merumuskan konfigurasi
sistem nilai budaya Bugis dalam
membentuk etos kerja yang terdiri dari 7
nilai yakni : siri’, pesse, lempu, acca,
getteng, sitinaja, dan reso.

Anda mungkin juga menyukai