I. PENGERTIAN FILSAFAT & PEMIKIRAN FILSAFAT. a. Pengertian Filsafat. Philien: Cinta, Senang, Suka; Shopia: Kebijaksanaan. Philoshopia: “Cinta, suka, senang terhadap kebijaksanaan”. Kebijaksanaan: keputusan berdasar “kebenaran” (logika) dan “kebaikan” (moral) atas pertimbangan “kemanusiaan”. Menurut Louis Katshof; Filsafata: aktivitas berfikir dilakukan secara “Cermat dan Serius”. Cermat: pemikiran dengan mempertimbangkan segala aspek yang ‘berkaitan langsung’ dan ‘tidak langsung’, yang ‘tampak’ maupun yang ‘tidak tampak’ dengan segala kemungkinanya. Serius: memperoleh jawaban ‘esensial‘ (tak terbantahkan). Jawaban yang tidak sekedar ‘fungsional’ atau ‘kegunaanya’. b. Pemikiran Filsafat. Filsafat: Ilmu, pemikiran filsafat harus menemukan “kebenaran” keilmuan. Ciri-ciri pemikiran filsafat: a. Logis: berdasar pada ‘logika’, pemikiran harus dapat difahami dengan ‘akal sehat’. b. Komprehensif: pemikiran bersifat ‘menyeluruh’, memperhatikan seluruh aspek yang berhubungan, langsung, tidak langsung, fisis dan non fisis. Hasil pemikiran bersifat ‘mendasar’ atau ‘substansi’ dan ‘esensi’. c. Sistematis: pemikiran bersifat ‘urut’ dan ‘runtut’. Urut: menunjukkan pemikiran yang teratur secara ‘induktif-deduktif’ atau ‘deduktif-induktif’. Runtut: pemikiran tidak ‘loncat-loncat’, ‘dikotomi’ dan tidak ‘paradog’. d. Kritis: motifasi untuk ‘selalu ingin tahu’ (mengetahui) segala sesuatu, dan ‘tidak mudah percaya’ (berhenti) sebelum membuktikan. e. Objektif: pemikiran yang sesuai dengan ‘fakta’ dan ‘data empiris’. Fakta: gambaran tentang objek yang terdapat pada ‘pikiran’. Data: ‘kenyataan di lapangan’ tentang objek tersebut. Empiri: objeh yang dapat diamati dengan ‘inderawi’ manusia. f. Universal: hasil pemikiran menunjukkan “kebenaran” yang tidak terikat “ruang, waktu, dan tempat”.
II. PANCASILA: HASIL PEMIKIRAN FILSAFAT.
Pancasila: sengaja di buat oleh “Faunding Father” (BPUPKI & PPKI). Prosesnya melalu ‘perdebatan, adu argumen, dan diskusi’ dalam forum ‘formil’ (BPUPKI & PPKI) dan ‘non formil’ (di luar sidang Panitia IX). Perdebatan (diskusi) resmi: untuk menyusun “Rancangan Dasar Negara” – “PANCASILA”, (BPUPKI, Panitia IX, PPKI). SIDANG BPUPKI (30 Mei – 1 Juni 1945) Dalam sidang terdapat “3 (tiga) tokoh” yang menyampaikan “pemikiran” tentang Rancangan (calon) Dasar Negara. 1. Prof. dr. Soepomo. Sebelum berfikir ‘Dasar Negara’, tentukan dulu “Azas Negara” atau ‘teori negara’ yang di anut. a. Teori Individualistik (liberalisme) - Tms Hobbes. Negara: ‘persekutuan individu-individu’ yang bersatu, dan persekutuan berdasarkan “aturan atau ketentuan” yang menjamin “kebebasan” masing-masing individu. Jika peraturan negara tidak menjamin kemerdekaan setiap individu, tidak mungkin bersatu. Teori Individualistik: ‘tdk cocok bagi bangsa Indonesia’; sebab mengutamakan ‘kebebasan mutlak’ kepada setiap individu. b. Teori Kelas (Teori Sosial, Claas Teoiry) Karl Marx & Leinin (15-16). Negara: kekuasaan yang diraih melalui “persekutuan masyarakat kelas” tertentu (kelompok sosial masyarakat) tertentu untuk menindas kelas (kelompok) yang lain. ‘Negara: simbol kekuasaan’, dipergunakan oleh penguasa (kelompok) untuk ‘menindas kelompok lain’. Teori kelas tidak cocok bagi bangsa Indonesia, setiap kelompok masayarakat selalu berhadapan, berebut kekuasaan, dan saling menindas. c. Teori Integralistik (Spinoza & Hegel 16-17). Negara: “hasil perjuangan seluruh masyarakat tanpa kecuali”. Bukan hasil dari sekelompok masyarakat tertentu, golongan tertentu, atau individu tertentu. Negara harus menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya tanpa kecuali, dan melindungi seluruh rakyat sebagai “satu persatuan”. Negara tidak boleh memihak kepada sekelompok masyarakat tertentu, golongan, apalagi perseorang. Negara “harus melindungi seluruh warga masyarakat sebagi satu kesatuan integral”. Negara: harus mengusahakan terwujudnya masyarakat “Bhinneka Tunggal Ika”, jauh dari “dominasi dan diskriminasi”. Teori Integralistik: Azas disepakati forum. Diusulkan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan majelis perwakilan rakyat (DPR). 2. Mr. Moh. Yamin. Mengusulkan 5 (lima) azas Dasar Negara: 1. Peri Ketuhanan. 2. Peri Kemanusiaan. 3. Peri Kesatuan. 4. Peri Kerakyatan (demokrasi). 5. Peri Keadilan Sosial. 3. Ir. Soekarno. Mengemukakan 5 (lima) azas Dasar Negara: 1. Internasionalisme (kemanusiaan). 2. Nasionalisme (persatuan) 3. Gotong royong (demokrasi) 4. Keadilan Sosial. 5. Ketuhanan Yang berkebudayaan. Kelima azas (usul kawan ahli bahasa) diberi nama “Pancasila”. PANITIA IX (17-22 Juli 1945). Diskusi & adu argumentasi menentukan ‘Rancangan Dasar Negara’ dilakukan Panitia IX (22 Juli 1945) hasilkan “Piagam Jakarta” atau ‘Jakarta Carter’: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. 3. Persatuan Indonesia. 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. SIDANG PPKI (18-8-1945). Sebelum sidang telah disepakati “perubahan” pada rumusan Dasar Negara; seperti tertulis dalam Pembukaan UUD’45: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Kemanusiaan Yang adil dan beradab. 3. Persatuan Indonesia. 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasar proses histori, Pancasila sengaja dibuat sebagai “Dasar Negara”. Artinya: sebagai “landasan untuk menyelenggarakan pemerintahan negara di pusat dan daerah”, dan sebagai “landasan kegiatan bagi para penyelenggara negara dan warga negara seluruhnya”. Pancasila Dasar Negara: hasil pemikiran para “faunding fathers”; hakekatnya merupakan “Filsafat Negara Republik Indonesia”. Hasil pemikiran para pendiri negara Indonesia; berarti Pancasila Dasar Negara: “Karya besar bangsa Indonesia” atau ‘hasil kreasi bangsa Indonesia’ yang layak dihargai dan dibanggakan. Kedudukannya “sama” dengan ‘Filsafat Liberalisme’ dan ‘Filsafat Sosialisme’: sebagai ‘Dasar Negara’ atau ‘Filsafat Negara’. Bangsa Indonesia layak bangga; filsafat negara yang dipilih: “buah pikiran (filsafat) bangsa sendiri”, di beri nama “Pancasila”. Filsafat Pancasila: diangkat dari “budaya original bangsa Indonesia”, yang menjadi simbol ‘Budaya Nasional Indonesia’. III. KARAKTERISTIK FILSAFAT PANCASILA. Pancasila Filsafat Negara: “sistem nilai” yang terdiri 5 (lima) sila, sebagai ‘satu kesatuan mutlak’. Artinya tidak boleh dan tidak bisa di tiadakan 1 (satu) sila sekalipun. Sebagai “sistem nilai”, filsafat Pancasila memiliki ciri- ciri: 1. Bersifat Organis. Kelima sila pancasila: satu kesatuan sistem nilai bersifat “mutlak” dan “saling berhubungan secara organis”. Mutlak: setiap sila harus ada. Berhubungan organis: setiap sila saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri meski dalam posisi dan fungsi berbeda. 2. Bersifat HierarKhis Berbentuk Piramid. Kelima sika pancasila: satu kesatuan sistem nilai yang menggambarkan susunan (tingkatan) kualitas dan kuantitas, luasan ruang lingkup, yang saling berkorelasi dalam bentuk segitiga. 3. Bersifat Saling Menjiwai dan merefleksi. Kelima sila pancasila: satu kesatuan sistem nilai yang mempunyai korelasi “saling menjiwai dan merefleksikan makna” di antara sila satu dengan sila-sila yang lain. 4. Fundamental Norm. Pancasila Dasar Negara: “norma fundamental bagi NKRI”, bersifat ‘mutlak’. 5 (lima) sistem nilai dalam Pancasila harus menjadi “landasan dasar” bagi penyelenggaraan NKRI, dan harus dikonkritkan dalam “Hukum Dasar Negara” yang tertulis. Kelima sistem nilai Dasar Negara: “mengikat dan memaksa” segenap penyelenggara negara, dan warga negara seluruhnya tanpa kecuali. Sebab kelima sistem nilai sudah menjilma menjadi “hukum dasar tertulis” alias “konstitusi NKRI”: UUD’45. 5. Sesuai 4 (empat) Syarat Filsafat. a. Causa Material: Asal mula bahan dari budaya bangsa. b. Causa Efisien: asal mula tujuan, sebagai dasar negara. c. Causa Formalis: asal mula bentuk, sengaja di buat melalui perdebatan dan diskusi pada forum sidang BPUPKI, Panitia IX, dan sidang PPKI. d. Causa Finalis: asal mula karya, sesudah selesai di bentuk dan ditetapkan menjadi Dasar negara pada tanggal 18-8- 1945; merupakan hasil karya bangsa Indonesia.
IV. HAKEKAT SILA-SILA PANCASILA.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa. Subjek pokok: “Tuhan”. Diberi awalan ‘ke’ akhiran ‘an’: “sifat-sifat Tuhan”. Maha: ‘besar’ atau ‘lebih’. Esa: “abadi” atau “kekal”. Bangsa Indonesia harus percaya dan yakin terhadap sifat “Tuhan Yang Besar, Kekal, dan Abadi”; sebagai “kausa prima”: sebab segala makhluk yang ada di alam semesta. Tuhan sebagai “kausa Prima” bermakna: setiap manusia Indonesia, bangsa Indonesia, dan Negara Indonesia ‘asal mulanya’ adalah dari ‘Tuhan’. Kepercayaan dan keyakinan ini: “Ciri Karakteristik” bangsa Indonesia; sebagai “bangsa religius”. (Pemb. UUD’45, al. 3) Tuhan menciptakan manusia Indonesia (bangsa Indonesia): bersifat “Jamak, Plural, Majemuk”, dan tidak Tunggal. Kodrat atau fitrah bangsa Indonesia: berbeda jenis, suku bangsa, lokal (wilayah daerah), keyakinan dan kepercayaan, kebudayaan (adat-istiadat, bahasa, kesenian dll). Perbedaan kodrati: “tidak elok” dipertentangkan, justru dipahami alasanya agar ‘positif’. Berdasar Ketuhan Yang Maha Esa: “kausa prima”, bangsa Indonesia dapat ‘hidup bersama dan berdaulat’ dalam “Bhinneka Tunggal Ika”. Atas dasar Ketuhan Yang Maha Esa: perbedaan kepercayaan dan keyakinan kepada “Tuhan” yang “Besar, Kekal, Abadi” di jamin “kemerdekaanya” oleh bangsa dan negara Indonesia. Berdasarkan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia: 1. Negara “Monotheis”. Negara mengakui, yakin, dan percaya kepada “Tuhan Yang Besar, Kekal, dan Yang Abadi”. Indonesia: bukan negara “Agama”, bukan negara “Atheis”, atau “Sekuler”. 2. Negara memandang keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Kekal dan Abadi: “hak azasi manusia yang hakiki”. Keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan dan agama: “Fitrah Tuhan kepada manusia”, maka tidak bisa di tekan, di paksa, dan dirampas oleh siapapun juga termasuk negara. Keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan dan agama: bukan pemberian negara, bangsa, masyarakat, keluarga, dan orang tua; tetapi “anugrah Tuhan”. 3. Negara “menjamin kemerdekaan” setiap warga negara dan penduduk, dalam menjalankan keyakinan dan kepercayaannya kepada Tuhan dan agama, melaksanakan ibadah menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing. 4. Negara “berhak dan wajib melindungi, memelihara, dan membina kerukuan antar umat beragama” dalam menjalankan keyakinan dan kepercayaan mereka terhadap Tuhan Yang Besar, Kekal, dan Abadi. 5. Negara menganut “nilai mutlak”. Keyakinan kepada Tuhan sebagai “kausa prima”: manusia, bangsa, dan negara Indonesia “asal mulanya dari Tuhan”. Segala tindakan, perbuatan, dan keputusan manusia Indonesia, warga negara, dan para penyelenggara negara: harus dipertanggungjawabkan secara “hukum negara” dan “hukum Tuhan”. 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Subjek pokok: “manusia” harus sesuai sifat-sifatnya: ‘adil’ dan ‘beradab’ (bukan biadab). Adil: tidak memihak, atau seimbang. Beradab: “berbudipekerti luhur”, menghargai “harkat martabat” manusia sebagai “makhluk Tuhan”. Menurut bangsa Indonesia, manusia: bukan makhluk “individu” (Thomas hobes dalam Liberalisme) atau makhluk “sosial” (Karl Maxs dalam Sosialisme). Manusia: makhluk “monoplural” (majemuk tunggal) sekaligus “monodualis” (dwi tunggal). Monoplural: terdiri “struktur kodrat, sifat kodrat, kedudukan kodrat”; monodualis: “jasmani-rokhani, individu-sosial, pribadi mandiri- makhluk Tuhan”. (Noto Nagoro, dan Driyarkara). Dalam perspektif bangsa Indonesia, manusia: “sama kedudukan”-nya dihadapan Tuhan , sebagai ‘makhluk’. Artinya ‘Ciptaan’ harus tunduk, patuh pada ‘Pencipta’. Menurut hukum Tuhan, sesama makhluk: ‘wajib dan harus’ saling menghormati, menghargai harkat dan martabat kemanusiaan, tolong-menolong. Bukan menindas, menjajah, menakhlukkan, mendominasi, mendiskriditkan, menghancurkan dan memusnahkan. Berdasarkan makna sila ke 2, bangsa dan negara Indonesia menempatkan manusia di dunia: “sederajad”, tidak terbatas ‘ruang, waktu, tempat maupun status sosial’. Disebut: “Internasionalisme manusia”. Atas dasar penjelasan tsb, makna Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap: 1. Bangsa Indonesia menjunjung tinggi “budipekerti luhur”: menghormati “harkat martabat” manusia. 2. Manusia (Indonesia): Makhluk “Majemuk Tunggal” dan “Dwi Tunggal”. 3. Kedudukan manusia: ‘sama’, sebagai “Makhluk” atau ‘Ciptaan’ harus patuh, tunduk kepada ‘Pencipta’. 4. Sesama manusia (makhluk): “wajib saling menghargai, menghormati, dan tolong-menolong”. Bukan menindas, menjajah, menakhlukkan, menghancurkan, dan memusnahkan. 5. Manusia di muka bumi: “sederajad”, tanpa batas “ruang, waktu, tempat, dan status sosial”. Manusia yang adil dan beradab: rasa kemanusiaan bersifat “Internasionalisme”. (Soekarno). 3. Persatuan Indonesia. Subjek pokok: “satu”, awalan ‘per’ akhiran ‘an’: sifatnya “tunggal” atau seperti “satu”. Indonesia (James Richardson Logan): masyarakat yang berdomisili di antara 2 (dua) benua dan 2 (dua) samodra, terdiri dari berbagai suku bangsa, memiliki kebudayaan “unik”, dan hidup berdampingan secara harmonis. Bangsa Indonesia: “bhinneka” (Sabang – Meraoke) telah mengikrarkan diri sebagai bangsa “Tunggal Ika” yaitu: sebagai bangsa yang satu, “bangsa Indonesia”. Realita ini: bukti nyata berkembangnya rasa “cinta tanah air”, semangat “Nasionalisme Indonesia”, serta “bangga menjadi bangsa Indonesia”. Rasa cinta tanah air Indonesia dan bangga menjadi bangsa Indonesia: semangat “nasionalisme Indonesia” yang harus ditumbuh-kembangkan kepada segenap warga dari berbagai suku bangsa, budaya, agama, dan kepercayaan. Tujuannya agar semangat “nasionalisme Indonesia” dapat berkembang luas hingga menumbuhkan rasa “cinta dan bangga” pada “Dasar Negara, Bentuk Negara, Sistem Tatanegara, dan Tujuan Negara”. Nasionalisme Indonesia, cinta tanah air dan rasa bangga menjadi bangsa Indonesia harus terus dipelihara, jangan sampai tersesat pada sifat “Chaufinisme”. Semangat nasionalisme “sempit” menjadi “congkak & sombong”. Berdasarkan sila ketiga, mengandung makna: a. Bangsa Indonesia: bangsa bhinneka, yang mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang “satu” atau “tunggal”. b. Bangsa yang “harmonis dan rukun” dalam hidup berdapingan dengan suku bangsa berbeda, agama dan kepercayaan berbeda, serta kebudayaan berbeda (adat istiadat, bahasa, kesenian). c. Nasionalisme Indonesia: “kesadaran segenap warga” bahwa “dirinya”: sebagai bangsa Indonesia. Memiliki rasa “cinta Tanah Air, bangga menjadi bangsa Indonesia”, bangga kepada “Dasar negara”, cinta kepada “Bentuk Negara”, “Sistem Tatanegara Indonesia”, dan berusaha mewujudkan “Tujuan Negara”. d. Nasionalisme Indonesia tidak boleh bersifat “Chaufinisme”. 4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan. Subjek pokok: “rakyat”, - ‘ke’ dan ‘an’: sifat sesuai kehendak rakyat. “Kedaulatan Negara”: di tangan Rakyat. Rakyat: ‘jamak’. Relita yakyat Indonesia: dari berbagai suku bangsa, daerah, budaya, agama, pendidikan, dan kepentingan atau keinginan yang berbeda. Guna merealisasikan keinginan bersama yang berbeda-beda: perlu “perencanaan, pemetaan, penataan (skala prioritas) dan kesadaran” seluruh yakyat. Harus ada “sistem demokrasi”. Sistem demokrasi: “Konstirusional” dan “Mutlak”. Dari dua macam terdapat tiga jenis sistem demokrasi: “Demokrasi Langsung, Demokrasi Perwakilan, dan Demokrasi campuran”. Menurut sila ke 4: Indonesia menganut sistem demokrasi “konstitusional”, dalam bentuk “Perwakilan”. (UUD’45, Bab I, Ps. 1, a. 1 dan 2). Disebut : “Demokrasi Pancasila”. Kehendak rakyat: prakteknya harus ‘dipimpin’, (dipandu, diarahkan) oleh ‘hikmat’ agar mencapai ‘kebijaksanaan’; melalui “musyawarah” dan atau “perwakilan”. Musyawarah: dilakukan atas kesadaran (semangat) “kekeluargaan, persaudaraan, dan gotong-royong”. Atas dasar ‘kerelaan dan keiklasan’ dari semua anggota keluarga dan saudara. Tujuannya: meraih yang berguna/ bermanfaat bagi seluruhnya. Seluruh rakyat dari berbagai suku bangsa, daerah, golongan (budaya, agama, profesi, dsb); harus meiliki “wakil representatif dan kompeten” pada sistem demokrasi. Peran dan kedudukan “Wakil Rakyat”: sangat ‘vital’ bagi terwujudnya “kehendak rakyat”; pengemban amanat “kedaulatan Rakyat” melalui ‘kontrak politik: “Pemilu”. Makna sila ke 4: 1. Kedaulata Negara:ada “di tangan rakyat” (Republik). 2. Rakyat: “jamak”, perlu sistem untuk menjalankan kedaulatan rakyat, - “sistem demokrasi”. 3. Sistem demokrasi Indonesia: “Konstitusional”, berbentuk “Perwakilan”. Sering disebut : “Demokrasi Pancasila”. 4. Wakil-wakil rakyat: di pimpin, di pandu atau di arahkan untuk “musyawarah” secara “hikmat” guna mencapai “kebijaksanaan”. 5. Dalam musyawarah dilandasi semangat “kekeluargaan, persaudaraan, dan gotong-royong”; atas dasar “keiklasan dan kerelaan” layaknya dalam keluarga dan saudara. 6. Wakil-wakil rakyat: harus memiliki “kompetensi” dan ‘merepresentasikan’ kondisi riil rakyat dan kehendaknya. 7. Peran dan kedudukan wakil rakyat: ‘vital’, pengemban kedaulatan rakyat berdasarkan kontrak politik – ‘Pemilu’. 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Subjek pokok: “adil”, sifat adil dari “negara” (organisasi
atau persekutuan hidup bersama: penyelenggara) yang dapat dirasakan oleh “anggota atau rakyat Indonesia” seluruhnya. Sifat adil (keadilan): “Tujuan dibuatnya negara”, harus diwujudkan secara nyata “dapat dirasakan” seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial adalah prinsip keadilan bersifat: a. Legal: adil secara “hukum, hak dan kewajibannya”. b. Distributif: adil ‘pembegian danpenyaluran’, ‘tugas, wewenang’ terhadap ‘hasilpembangunan’. c. Komulatif: adil dalam “jumlah” (kuantitas) berdasar “proporsi” dan “urgensi”-nya. Makna sila ke 5: 1. Sifat adil dari “negara” (penyelenggara negara) kepada “setiap anggota negara” (rakyat atau warga negara) seluruhnya. 2. Sifat adil (keadilan): “Tujuan negara” yang harus “direalisasikan”. 3. Sifat adil yang diwujud dalam bentuk: Legal: resmi secara hukum. Distributif: pembagian dan penyaluran tugas, wewenang, dan hasil pembangunan. Komulatif: proporsi dan urgensi.