Anda di halaman 1dari 44

Demam Tifoid

SEJARAH

Sekitar 430-424 SM, Thucydides menulis tentang wabah


tifoid yang membunuh sepertiga dari penduduk Athena
Koloni Inggris Jamestown, Virginia, demam tifoid
menewaskan lebih dari 6000 pemukim antara 1607 dan 1624
Selama Perang Saudara Amerika.
Pada ke-19 abad, angka kematian demam tifoid di Chicago
rata-rata 65 per 100.000 orang per tahun.
Carrier paling terkenal demam tifoid – adalah Maria
Mallon (Tifoid Maria). Pada tahun 1907, ia menjadi carrier
Amerika pertama untuk diidentifikasi dan dilacak. Dia
dianggap bertanggung jawab dengan lima puluh tiga kasus
tifoid dan tiga kematian
SEJARAH

Pada tahun 1880 Karl Joseph Eberth


menggambarkan basil yang ia curigai adalah
penyebab tifoid. Pada tahun 1884 ahli patologi Georg
Theodor Agustus Gaffky (1850-1918) menegaskan
temuan Eberth, dan organisme diberi nama
Eberthella typhi dan Gaffky-Eberth bacillus.
Almroth Edward Wright mengembangkan vaksin
whole-cell typhoid inaktif pada tahun 1896 dan
dialnjutkan pada tahun 1909 oleh Frederick F.
Russell, seorang dokter Angkatan Darat AS
DEFINISI
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever,
Eberth disease) adalah penyakit infeksi akut pada
usus halus (terutama didaerah illeosekal) yang
disebabkan bakteri Salmonella typhi dengan gejala
demam (>380C) selama 7 hari atau lebih, disertai
gangguan saluran pencernaan dan gangguan
kesadaran
Nama tifoid sendiri berasal dari gejala
neuropsikiatrik yang umum ada pada penyakit ini
yaitu “τῦϕος” (Yunani) yang artinya stupor/sopor.
Epidemiologi
o Negara berkembang (Indonesia) 96% kasus demam
tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya
disebabkan oleh Salmonella paratyphi.
o 90% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3 – 19
tahun
o Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di
bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di atas 5
tahun.
o Demam tifoid menduduki urutan kedua setelah
gastroenteritis
Epidemiologi
Etiologi
Samonella typhi
termasuk bakteri
famili
Enterobacteriaceae
dari genus Salmonella
 Bentuk batang
 Gram negatif
 Tidak berspora
 Flagela Peritrich
 Motile Bakteri Salmonella typhi
 Berkapsul
 tumbuh dengan baik
pada suhu optimal 37°C
Etiologi
Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama
dilingkungan kering dan beku, dapat bertahan hidup
beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering,
pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1
minggu
Berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau
produknya tanpa merubah warna dan bentuknya.
Mati pada pemanasan suhu 54,4°C selama satu jam dan
60°C selama 15 menit. Salmonella mempunyai
karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa,
namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa.
Etiologi
S. typhi mempunyai tiga macam antigen, yaitu:
 Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)

 Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat


termolabil.
 Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi antigen terhadap fagositosis.
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap
ketiga macam antigen tersebut.
Salmonella typhi mempunyai makromolekuler lipopolisakarida
kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan
dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat mempunyai plasmid faktor-R yang
berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.
Patofisiologi
Secara garis besar patogenesis terjadi 3 proses:
 Proses invasi kuman S. Typhi ke dinding selepitel usus
 Proses kemampuan hidup dalam makrofag

 Berkembangbiaknya kuman dalam makrofag

Mekanisme pertahanan tubuh


(1) Mekanisme pertahanan non spesifik disaluran pencernaan,
baik secara kimiawi maupun fisik
(2) Mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh
humoral dan selular.
Patofisiologi
S. TYPHI
ALIRAN DARAH
(BAKTEREMIA RES (HATI DAN
Infeksi Feco – Oral PRIMER) LIMPA)

ALIRAN DARAH
LAMBUNG MATI (BAKTEREMIA
SEKUNDER)
ALIRAN GETAH
HIDUP DAN
BENING
USUS HALUS BERKEMBANG
MESENTERIKA
BIAK

FOLIKEL
MULTIPLIKASI
INTESTINUM MULTIPLIKASI SEL
LOKAL
PMN

USUS
Patofisiologi

Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat


melewati barier asam lambung, yaitu
(1) Jumlah kuman yang masuk, Untuk menimbulkan
infeksi, diperlukan S. Typhi sebanyak 103 – 109 yang tertelan
melalui makanan atau minuman
(2) Kondisi asam lambung, Keadaan asam lambung dapat
menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0
sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada
penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau
aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam
lambung. Pada keadaan tersebut S. Typhi lebih mudah
melewati pertahanan tubuh.
Patofisiologi

Kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus 


mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan
flora normal usus.
Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar
dengan kekuatan peristaltik usus.
Bakteri anaerob di usus juga akan merintangi
pertumbuhan kuman  menimbulkan suasana asam
Patofisiologi

Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme


pertahanan  melekat pada permukaan usus 
menembus epitel usus dan masuk ke dalam kripti
lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya
akan difagositosis  kapsul kuman  plaque Peyeri
pada ileum  KGB mesenterium dan mencapai
aliran darah  Bakteremia pertama yang
asimptomatis.
Patofisiologi

Kuman akan masuk kedalam organ sistem


retikuloendotelial (hepar&limpa)  pembesaran
organ + nyeri tekan. Dari sini kuman akan masuk
kedalam peredaran darah, sehingga terjadi Bakteremia
kedua yang simptomatis
Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan
masuk kedalam kandung empedu dan berkembang
biak  kuman + asam empedu dikeluarkan dan
masuk kedalam usus halus  invasi epitel usus
kembali  tukak pada mukosa diatas plaque Peyeri 
perdarahan & perforasi  peritonitis.
Patofisiologi

Pada masa bakteremia kuman mengeluarkan


endotoksin yang sangat berperan membantu proses
radang lokal dimana kuman ini berkembang biak
yaitu merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen
oleh leukosit pada jaringan yang meradang  zat
pirogen mempengaruhi pusat termoregulator di
hipothalamus  demam
GEJALA KLINIK
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan
gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik.
Masa tunas rata – rata 10 sampai 20 hari
Gejala prodromal: anorexia, letargia, malaise,
dullness, continuous headache, non productive
cough, bradicardia.
Nyeri abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental.
Roseola spots ukuran ±1­6 mm pada kulit yang
merupakan embolisasi basil dalam kapiler kulit
GEJALA KLINIK
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala
penyakit tifoid, akan tetapi berlangsung lebih
ringan dan lebih singkat.
Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan
normal kembali.
 Basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik
oleh obat maupun oleh zat anti.
 Pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil
bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas
Roseola Spot
Pemeriksaan fisik
Demam
 Remitten dan tidak terlalu tinggi. 7 hari hingga 3 minggu
 Minggu I, demam menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore hari dan
malam hari.
 Minggu II, penderita terus berada dalam keadaan demam.
 Minggu III suhu berangsur – angsur turun dan normal kembali pada akhir
minggu III
Gangguan saluran cerna
 Nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah – pecah (rhagaden),
coated tongue.
 Meteorismus.

 Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan.

Gangguan kesadaran
 Berupa apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor atau coma
Pemeriksaan Penunjang
Darah tepi perifer :
- leukopenia
- limfositosis relatif
- neutropeni
- anemia & trombositopenia ringan
Serologi : Widal (titer antibodi O)
1:200
 False (-): pemberian AB
 False (+): jenis Salmonella lain memiliki
antigen O & H yang sama  Rx Silang
Pemeriksaan Penunjang

Kultur telah menjadi standar untuk diagnosis tifoid.


Darah, sekresi usus (muntah atau aspirasi duodenum),
dan hasil tinja positif untuk Salmonella typhi pada
sekitar 85% -90% pasien dengan demam tifoid dalam
minggu pertama onset.
Sensitivitas kultur darah lebih tinggi pada minggu
pertama sakit dan sensitivitasnya meningkat sesuai
dengan volume darah yang dikultur dan rasio darah
terhadap broth. Sensitivitas kultur darah dapat
menurun karena penggunaan antibiotik sebelum
dilakukan isolasi
Kultur feses dapat positif beberapa hari setelah
menelan bakteri sekunder pada peradangan dari sel-
sel dendritik intraluminal.
Selanjutnya sering ditemukan dalam urin dan feces
dan akan tetap positif untuk waktu yang lama tetapi
kultur feses hanya menghasilkan sensitivitas kurang
dari 50%, dan urin bahkan kurang sensitif.
Salmonella typhi juga dapat diisolasi dari cairan
serebrospinal, cairan peritoneal, kelenjar getah bening
mesenterika, usus, faring, amandel, abses, dan tulang
penyebab kegagalan dalam mengisolasi kuman
Salmonella typhi adalah :
1.    Keterbatasan media di laboratorium
2.    Konsumsi antibiotic
3.    Volume spesimen yang dikultur
4.    Waktu pengambilan sampel (positivitas tertinggi
adalah demam 7 – 10 hari).
Pemeriksaan Penunjang
TUBEX TF
Tubex mendeteksi anti-Salmonella antibodi dari
serum pasien
Keuntungan TUBEX:
 Mudah dan cepat (±5 menit)
 Akurat: 85% sensitif dan 90% spesifik
Prinsip Pemeriksaan
Metode pemeriksaan yang digunakan adalah Inhibition Magnetic
Binding Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM terhadap antigen 09
LPS dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat interaksi
antara kedua tipe partikel reagen yaitu indikator mikrosfer lateks
yang disensitisasi dengan antibodi monoklonal anti 09 (reagen
berwarna biru) dan mikrosfer magnetik yang disensitisasi dengan
LPS Salmonella typhi (reagen berwarna coklat).
 Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik,
konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan
menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah
setara dengan konsentrasi antibodi IgM Salmonella typhi dalam
sampel.
Interpretasi Hasil:
Nilai : < 2 – 3
 Interpretasi : Negatif Borderline
 Keterangan : Tidak menunjukkan infeksi Demam Tifoid
Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Lakukan pengambilan darah
ulang 3-5 hari kemudian
Nilai : 4-5
 Interpretasi : Positif
 Keterangan : Indikasi infeksi Demam Tifoid
Nilai : > 6
 Interpretasi : Positif
 Keterangan : Indikasi kuat infeksi Demam Tifoid
Pemeriksaan Penunjang
Typhidot
• Mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap protein membran
luar (OMP) dari Salmonella typhi.
• Positif dalam waktu 2-3 hari.
• Keterbatasan: tidak kuantitatif dan hasilnya hanya positif atau
negatif.
• Sedangkan tes Widal dapat mengetahui titer antibodi spesifik.
Namun kedua tes tidak memiliki sensitivitas dan spesifisitas.
PCR
 mengidentifiksi kuman dalam darah dengan akurat, bahkan
dalam jumlah kuman yang amat sedikit
 GOLD STANDART
 penggunaannya masih terbatas untuk penelitian karena
harganya yang cukup mahal
Komplikasi
Intestinal :
 Perdarahan usus. Bervariasi dari mikroskopik
sampai terjadi melena  syok. Biasanya terjadi 14
sampai 21 hari setelah onset penyakit dan sering
'Silent‘.
 Perforasi usus.Timbul pada minggu ketiga atau
lebih dan sering terjadi pada distal ileum.
 Peritonitis.Ditemukan gejala akut abdomen
yaitu nyeri perut yang hebat dan defense
muscular
Ekstraintestinal :
 Kardiovaskuler  toxic myocarditis. Toxin yang
dikeluarkan oleh Salmonella menuju jantung  Rx imun
 merusak otot jantung  menebal, bengkak, dan lemah
 gejala gagal jantung (takikardia, nadi dan bunyi
jantung yang lemah, hypotensi, dan EKG yang abnomal)
-Paru  bronkitis kronis
-Hepar  mild jaundice
-Neuropsikiatri  disorientasi, delirium
DIAGNOSA BANDING
Paratifoid fever (A, B, C): gejala lebih ringan
dibanding typhoid fever.
Infeksi virus Dengue: demam mendadak 2 – 7
hari, manifestasi perdarahan
Malaria: demam intermitten, menggigil,
berkeringat, nyeri kepala, nyeri otot, ditemukan
Plasmodium pada apusan darah tepi
TB Milier: anoreksia, BB turun, batuk, test
Tuberkulin (+)
PROGNOSIS
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak
baik
Tergantung :
- umur
- kekebalan tubuh
- jumlah & virulensi salmonella
- cepat & tepat pengobatan
PROGNOSIS
Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis
yang berat seperti:
 Hiperpireksia atau febris kontinua
 Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.
 Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia.
 Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).

o Kematian pada anak dilaporkan 2,6%


Tata Laksana

Perawatan
Diet
Obat
Tata Laksana
Perawatan :
- RSTirah baring
- Cairan & kalori  pasien sering anoreksia dan
diare
Diet :
- mudah dicerna & tidak berserat
- demam reda  makanan lebih padat
dengan kalori cukup
Tata Laksana
Lini pertama
- Kloramfenikol 50 – 100mg/kg/hr oral
atau IV dibagi dlm 4 dosis selama 10-14 hari.
penelitian membuktikan bahwa obat ini masih
cukup sensitif untuk Salmonella typhi
- Ampisilin 150 – 200mg/kg/hr oral atau IV
selama 14 hari
- Kotrimoksasol 10mg/kg/hr selama 14 hari
Tata Laksana
Lini kedua, untuk S. typhi yang resisten terhadap
berbagai obat (MDR = multidrug resistance)
- Seftriaxon 80mg/kg/hr IV atau IM 1x1 selama
5 hari
- Sefiksim10 – 12 mg/kg/hr dlm 2 dosis selama 14
hari

Kortikosteroid: Deksametason 1-3mg/kg/hari IV


dibagi 3 dosis
PENCEGAHAN
Kesadaran individu terhadap higiene pribadi
Kualitas makanan dan minuman.
Sarana air
Pengaturan pembuangan sampah
Vaksinasi
VAKSINASI

Vaksin yang terbuat dari Salmonella typhi yang telah


dimatikan memiliki proteksi rendah, sedangkan yang
dilemahkan dapat memberikan perlindungan sebesar 87 –
95% / 36 bulan. Pemberian IM dengan dosis 0,5 cc. Vaksin
ini terutama diberikan pada daerah endemik tifoid.
Ada dua jenis yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia :
 Ty21a, yang merupakan vaksin hidup
 Vi polisakarida kapsuler vaksin, yang merupakan vaksin subunit
Vaksin harus disimpan pada 2 sampai 8°C, untuk
mempertahankan potensinya selama 14 hari pada 25°C
VAKSINASI

Vaksin Pemberian Dosis Jarak antar Usia Booster


dosis
minimum
Ty21a 1 kapsul PO 4 2 hari 6 tahun 5 tahun
ViCPS IV 1 N/A 2 tahun 2 tahun
Daftar pustaka
Buku kuliah :Ilmu Kesehatan Anak : jilid 2: Balai Penerbit FKUI, Jakarta Cetakan 2002 : 593-
598
Behrman RE, dkk : Typhoid Fever. Nelson textbook of pediatrics, 14th edition: WB Saunders
Co, 1992: 731-734
Juwono, Rachmat: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi Ketiga PAPDI FK UI ,
Jakarta :1996: 435-441
Harrison : Principles of Internal Medicine, 16 th edition: McGraw-Hill : 2005­897-902
Current : Medical Diagnosis & Treatment, forty-third edition: McGraw-Hill : 2004:1362-1363
Soedarmo S, dkk : Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis : Edisi Pertama: Balai Penerbit
FKUI, Jakarta: 2002 :368-375
http://www.medicastore.com
http://www.who.int
http://www.microbology-entericfever.htm
Soelistyowati S, Sonarto Y. Soesilo H, Widiarto, Widatmodjo, Ismangun, 1982, Thyphoid
Fever in Children. Paediatrica Indonesiana, 22: 138­146.
Soegijanto, Soegeng. Ilmu Penyakit Anak. Diagnosadan Penatalaksanaan, Salemba
Medika, 1-39.
Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Balai Penerbit FKUI.
2003. hal. 37-43

Anda mungkin juga menyukai