Anda di halaman 1dari 26

MANAJEMEN BENCANA KORBAN

MASSAL
KELOMPOK II

1. Ririn indrajati
2. Arif maulana HTG
3. Nova devy dawaci
4. Alfredo imanuel sembiring
5. Rona tio aprilina
6. Monica iriani simanullang
7. Putri tasia indah s
8. Novitha anggreani
9. Evi metti purba
10. Hotna sari
BENCANA
Adalah musibah masal disertai rusaknya infrastruktur dan
terganggunya fungsi masyarakat.

MUSIBAH MASSAL
Adalah peristiwa yang menyebabkan terjadinya banyak
korban gawat yang pertolongan tidak dapat dilakukan seperti
biasa ( oleh satu unit pelayanan kesehatan )
oleh karena itu diperlukan mobilisasi dan koordinasi dari
sistim pelayanan kesehatan
Penilaian awal
Merupakan prosedur yang dipergunakan untuksegera
mengetahui beratnya masalah danresiko potensial dari
masalah yang dihadapi.
Tujuan :
1. Untuk mencari tahu masalah yang sedangterjadi dan
kemungkinan yang dapat terjadi.
2. Untuk memobilisasi sumber daya yangadekuat.
3. Agar penatalaksanaan lapangan dapatdiorganisasi secara
benar sistem manajemen bencana Massal.
Tenaga Pelaksana
Semua tenaga penolong pertama yang
telahdiberi pelatihan penilaian awal
dapatmelakukan prosedur penilaian awal
padabencana massal, seperti :
1. KSR/PMR 5. Polisi
2. Firefighter 6. Hansip
3. SatPam 7. Awak
4. Sukarelawan Pesawat/kend.umum
Tindakan pelaksana
A. Diterapkan untuk memberi perlindungankepada korban, tim penolong
danmasyarakat yang terekspos dari segalaresiko yang mungkin terjadi
seperti :perluasan bencana, kemacetan lalu lintas,material berbahaya, dll).
B. Aksi pencegahan dilakukan denganmenetapkan area larangan.
C. Tenaga pelaksana dilakukan oleh DonasPemadam Kebakaran dengan
bantuan dariunit khusus terkait.
 
penatalaksanaan korban bencana massal
1. Pencarian dan penyelamatan (SAR)
2. Perawatan di lapangan
a. Triase
b. Pertolongan Pertama
c. Pos Medis Lanjutan
3. Pos Penatalaksanaan Evakuasi
Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai
oleh petugas triase untuk mengindentifikasi dan mencatat
kondisi dan tindakan medik terhadap korban.

Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.


Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang
jelas dan tidak mungkin diresusitasi.
1. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang
memerlukan penilaian cepat serta tindakan medik dan
transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera
torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat,
shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
2. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan
cedera yang kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman
jiwa dalam waktu dekat. Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis
cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa
gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang
belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan).

3. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak


membutuhkan stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana
namun memerlukan penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura
dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas,
serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai
4. Prioritas Keempat (Biru) yaitu kelompok korban dengan
cedera atau penyaki kritis dan berpotensi fatal yang berarti
tidak memerlukan tindakan dan transportasi, dan Prioritas
Kelima (Putih)yaitu kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag /
label yang sesuai dan pindahkan kekelompok sesuai.

Triase Sistim METTAG.


Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan
tindakan atas korban. Resusitasi ditempat.
Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.
Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa
digunakan sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di
ambulans atau di Area Tindakan Utama sesuai keadaan.

Penilaian di tempat dan perioritas triasik


Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi kemampuan
pusat pelayanan, pasien dengan masalah mengancam jiwa dan cedera
sistem berganda ditindak lebih dulu.
Tujuan : mengidentifikasi korban yang perlusegera dikirim ke RS dan
yang dapat ditundakemudian.
1. Triase lapangan dilakukan pada tiga tingkat :
2. Triase di tempat ( triase satu )
3. Triase medik ( triase dua )
4. Triase Evakuasi ( triase tiga )
Evakuasi
adalah kegiatan memindahkan korban dari lokasi
kecelakaan ke tempat lain yang lebih amandengan cara-
cara yang sederhana di lakukan di daerah-daerah yang
sulit dijangkau dimulai setelahkeadaan darurat. Penolong
harus melakukan evakuasi dan perawatan darurat selama
perjalanan.

Transfortasi
merupakan kegiatan pemindahan korban dari tempat
darurat ke tempat yang fasilitas perawatannya lebih baik,
seperti rumah sakit.Biasanya dilakukan bagi pasien/
korban cedera cukup parah sehinggaharus dirujuk ke
dokter.
Tindakan dan evakuasi medik
Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas yang selesai
melakukan triase) mulai melakukan stabilisasi dan tindakan bagi korban
berdasar prioritas triase, dan kemudian mengevakuasi mereka ke Area Tindakan
Utama sesuai kode prioritas. Kode merah dipindahkan ke Area Tindakan Utama
terlebih dahulu.

Transfortasi Korban
Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan keberangkatan serta
transportasi yang sesuai. Koordinator Transportasi bekerjasama dengan
Koordinator Medik menentukan rumah sakit tujuan, agar pasien trauma serius
sampai kerumah sakit yang sesuai dalam periode emas hingga tindakan definitif
dilaksanakan pada saatnya. Ingat untuk tidak membebani RS rujukan melebihi
kemampuannya. Cegah pasien yang kurang serius dikirim ke RS utama.
(Jangan pindahkan bencana ke RS).
 
Perimeter
Perimeter Terluar. Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas
keamanan mengatur perimeter sekitar lokasi untuk mencegah masyarakat
dan kendaraan masuk kedaerah berbahaya. Perimeter seluas mungkin untuk
mencegah yang tidak berkepentingan masuk dan memudahkan kendaraan
gawat darurat masuk dan keluar. 
 

Jalur untuk Transport Korban


Petugas keamanan bersama petugas medis menetapkan perimeter sekitar
lokasi bencana yang disebut Zona Panas. Ditentukan jalur yang dinyatakan
aman untuk memindahkan korban ke perimeter kedua atau zona dimana berada
Area Tindakan Utama.
Tidak seorangpun diizinkan melewati perimeter Zona Panas untuk
mencegah salah menempatkan atau memindahkan pasien secara tidak aman
tanpa izin. Faktor lain yang mempengaruhi kemantapan Zona Panas antaranya
lontaran material, api, jalur listrik, bangunan atau kendaraan yang tidak stabil
atau berbahaya.
 Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan
mengatur semua kegiatan dalam keadaan aman bagi petugas
rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan berbahaya dll. Bila
petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya yang bisa
membunuh penolong atau korban, ia punya wewenang
menghentikan atau merubah operasi untuk mecegah risiko lebih
lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama
secara cepat dan efektif dibawah satu sistem komando yang
digunakan dan dimengerti, untuk menyelamatkan hidup, untuk
meminimalkan risiko cedera serta kerusakan. 
Tata cara pemindahan korban:
a. Dasar melakukan pemindahan korban; aman, stabil, cepat,
pengawasan korban, pelihara udara agartetap segar.
b. Syarat pemindahan korban:
1. korban tentang keadaan umumnya cukup baik
2. tidak ada gangguan pernapasan
3. pendarahan sudah di atasi
4. luka sudah dibalut
5. patah tulang sudah dibidai
Sepanjang pelaksanaan pemindahan korban perlu dilakukan pemantauan dari korban
tentang:
– Keadaan umum korban
– Sistem persyarafan (kesadaran)
– Sistem peredaran darah (denyut nadi dan tekanan darah)
– Sistem pernapasan
– Bagian yang mengalami cedera

CARA TRANSPORTASI
Sebagian besar penderita gawat darurat di bawa ke rumah sakit dengan
menggunakan kendaraan darat yaitu ambulan.Tujuan dari transportasi ini
adalah memindahkan penderita dengan cepat tetapi aman, sehingga tidak
menimbulkan perlukaan tambahan ataupun syock pada penderita.Jadi semua
kendaraan yang membawa penderita gawat darurat harus berjalan perlahan-
lahan dan mentaati semua peraturan lalu lintas.
Bagi petugas ambulan 118 berlaku :
1. waktu berangkat mengambil penderita, ambulan jalan paling cepat 60
km/jam. Lampu merah (rorator) dinyalakan, “ sirine “ kalau perlu di bunyikan
2. waktu kembali kecepatan maksimum 40 km/jam, lampu merah (rorator)
dinyalakan dan “ sirine “ tidak boleh dibunyikan
3. semua peraturan lalu lintas tidak boleh dilanggar

Cara pengangkutan korban


1. Pengangkutan tanpa menggunakan alat atau manualPada umumnya
digunakan untuk memindahkan jarak pendek dan korban cedera ringan,
dianjurkanpengangkatan korban maksimal 4 orang

2. Pengangkutan dengan alat (tandu)


Rangkaian pemindahan korban:
- Persiapan
- pengangkatan korban ke atas tandu,
- pemberian selimut pada korban
- Tata letak korban pada tandu disesuaikan dengan luka atau cedera.
SISTEM KOMUNIKASI
Sistem komunikasi merupakan bagian yang penting baik dalam proses penanganan
bencana maupun pertolongan pada klien dengan gawat darurat. Yang penting dalam
komunikasi disini adalah bagaimana :

1. masyarakat dengan mudah dapat minta tolong


2. cara mengatur dan membimbing pertolongan ambulan
3. cara mengatur / memonitor rujukan dari puskesmas ke RS atau dari RS ke RS.
4. cara mengkoordinir penanggulangan korban bencana
Supaya masyarakat dapat minta tolong dengan cepat maka dapat dipakai cara yang
tradisional seperti :
– bedug
– kentongan
– pluit
– asap, atau
– kuri
Dapat juga dipakai cara modern seperti :
Atelephone

B. radio
Perum telekomunikasi sudah menentukan bahwa nomor telephone (118) adalah “
Common medical emergency number “ untuk seluruh Indonesia. Sedangkan radio
komunikasi sudah dipakai oleh :
– polisi
– taksi-taksi
– RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia)
– ORARI (Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia)
– dan lain-lain
Sebagai penerima permintaan tolong tersebut diatas
sebaiknya di tiap-tiap kota ada suatu sentral komunikasi
yang dihubungkan dengan radio / telephone dengan :
– polisi
– dinas kebakaran
– SAR Nasional-setempat
– PMI
– Bagian gawat darurat rumah-rumah sakit, dokter-dokter
– Ambulan-ambula tipe 118
– Radio taksi
– Sentral komunikasi kota lain / nasional
– Sentral komunikasi negara lain
Sentral komunikasi mempunyai tugas :

1. menerima / menganalisa permintaan tolong dari masyarakat


2. mengirim ambulan tipe (118) terdekat dan membimbingnya
3. mengatur / memonitor rujukan penderita gawat darurat
4. memonitor jumlah tempat tidur yang kosong pada tiap-tiap RS
5. menjadi pusat komando dalam penanggulangan korban
bencana
6. dapat diambil alih oleh ABRI bila negara dalam keadaan
darurat
DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)
Disaster Victim Identification (DVI) adalah istilah yang telah
disepakati secara internasional untuk menggambarkan proses
dan prosedur penemuan dan identifikasi korban mati akibat
suatu bencana.
Proses dan prosedur DVI atau identifikasi korban mati pada
bencana massal mengacu pada prosedur DVI Interpol yang
disesuaikan dengan kebijakan nasional. Penanggung jawab
DVI adalah kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya
dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi,
sektoral dan fungsi.
Masing‐masing tim yang bekerja dalam masing‐masing fase
mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang
berbeda. Proses DVI yang terdiri dari 5 fase yaitu : The Scene,
Post Mortem Examination, Ante Mortem Information
Retrieval, Reconciliation dan Debriefing.
1. Fase pertama ini dilaksanakan setelah para korban yang terluka telah
dipindahkan dari area TKP dan area tersebut telah diamankan. Fase TKP
dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP yang terdiri dari pemeriksa tempat
kejadian perkara, fotografer, dan pencatat kejadian.

2. Fase Pemeriksaan Postmortem Fase kedua dalam proses DVI adalah


fase pemeriksaan mayat. Pada fase ini tubuh korban diradiografi dan
diotopsi. Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan
fase ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan
dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data
postmortem sebanyak-banyaknya.

3. Fase Pengumpulan Data Antemortem Fase ketiga adalah fase


pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang menerima
laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan
data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta
mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir,
tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lain-lain)
4. Fase Rekonsiliasi Form data antemortem dan postmortem
masing- masing dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin,
warna kulit, dan umur. Seseorang dinyatakan teridentifikasi
pada fase rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara data
antemortem dan postmortem.

5. fase kelima yang disebut fase debriefing. Fase ini dilakukan


3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase
debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses
identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap
semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses
identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja,
prosedur, serta hasil identifikasi.
Contoh kasus
Kasus hilangnya pesawat AirAsia QZ 8501 beberapa waktu
lalu sudah menemukan titik terang. Jenazah korban yang sudah
dievakuasi dari lokasi jatuhnya pesawat segera diidentifikasi.
Untuk mengidentifikasi para korban, Ketua DVI (Disaster
Victim Identification) Polda Jatim, Budiyono menyatakan pihaknya
telah melakukan proses pengambilan data ante mortem dan post
mortem di posko DVI guna identifikasi jenasah
sejak korban pesawat AirAsia QZ8501 mulai ditemukan
pada Selasa (31/12) kemarin. pengambilan data ante mortem
sangatlah penting. Ante mortem diperlukan untuk membantu
mengidentifikasi korban yangditemukan.
Ante mortem sendiri adalah data diri korban sebelum meninggal dunia. Cth :
Data Ante Mortem : Warna Kulit, Umur, Tanda lahir, Sidik Jari, DNA, Ciri
Fisik, dan sebagainya. Pengumpulan data ante mortem biasanya dilakukan
lewat dua metode, yaitu metode sederhana dan metode ilmiah. Metode
sederhana dilakukan dengan mengidentifikasi fisik, perhiasan dan pakaian
yang dipakai sebelumnya, serta foto dokumentasi. Metode lainnya adalah
metode ilmiah yang menyangkut sidik jari, rekam medis, serologi
(pemeriksaan cairan tubuh seperti darah, air mani, air liur, keringat, dan
kotoran di tempat kejadian perkara), odontologi (gigi), antropologi, biologi
(termasuk tanda lahir atau cacat).

Setelah pengumpulan data anti mortem ini lengkap, maka data ini
kemudian akan dicocokkan dengan data tubuh asli korban yang ditemukan.
Proses ini dikenal dengan nama post mortem (data setelah korban meninggal).
Cth : Data Post Mortem : Pakaian yang dikenakan, Seragam, Data-data di
dalam dompet (KTP,SIM,STNK,dll), Name Tag, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai