Anda di halaman 1dari 14

BAHASA DAN PENDIDIKAN

MULTIKULTURAL

DISUSUN OLEH :

SISKA (F1121201011)
LIZA (F1121201012)
EVA SASKIA DEWIYANTI (F1121201013)
PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara kepulauan yang secara geografis dan


budaya memiliki perbedaan, hal ini menegaskan bahwa Indonesia
adalah bangsa multikultural yang didiami oleh penduduk berjumlah
255,4 juta jiwa berdasarkan data tahun 2015.12 Sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki 5 (lima) kepulauan
besar dan kurang lebih 1120 suku bangsa menurut BPS (Badan Pusat
Statistik),13 suku yang memiliki komunitas dan bahasa tertentu, dan
selanjutnya disebut sebagai bahasa daerah. Reallitas ini menjadikan
Indonesia sebagi negara pemilik bahasa daerah yang paling banyak,
yaitu kurang lebih 750 (tujuh ratus lima puluh ribu) bahasa daerah,
jumlah tersebut cukup besar dan dapat menggambarkan betapa
beragamnya bahasa daerah yang dimiliki Indonesia.
 MENGHARGAI KERAGAMAN BAHASA

Bahasa daerah memiliki kemampuan untuk mengekspresikan berbagai


pikiran, perasaan, termasuk produk budaya setempat. Juga pengetahuan untuk
mengkategorisasikan alam benda yang ada di lokasi asal bahasa tersebut.
Misalnya bahasa Sumba akan memiliki banyak istilah untuk kuda. Sementara
bahasa Dayak di Kalimantan akan memiliki ribuan istilah untuk jenis pohon di
hutan. Kekayaan perbendaharaan kata dalam bahasa daerah semestinya bisa
menjadi sumber serapan bagi bahasa lainnya, seperti bahasa Indonesia.
Disamping itu, pemakaian bahasa daerah bisa menjadi kebanggaan bagi
pewarisnya. Belajar dari sejarah, usaha penyeragaman, baik yang dilakukan
secara sistematis oleh negara maupun yang dipraktekkan masyarakat dengan
legitimasi budaya, nampaknya tidak tepat lagi untuk diterapkan dalam
kehidupan berbangsa. Bukankah mengakui dan
menghargai keberagaman berbahasa daerah justru perekat ampuh
untuk mempersatukan bangsa ini?
 KOMUNIKASI NON VERBAL

Komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi di mana


pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh
komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak,isyarat,
bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan
objek seperti pakaian, potongan rambut, dan
sebagainya, simbol-simbol, serta cara berbicara
seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi,dan
gaya berbicara.
 BAHASA DAN KULTUR

Ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal
yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak
dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi
kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di
dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat
dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie Agustina
dalam buku Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi,
hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif,
di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan.
 PROBLEM KEBAHASAAN

A. Penggunaan Bahasa Indonesia yang Tidak Baku dan Semakin Merebak


dalam Proses Komunikasi Masa Kini
Perkembangan zaman ini telah banyak membawa pengaruh buruk pada tata
bahasa yang berlaku di Indonesia. Jika dibiarkan, pengaruh buruk ini lama-
kelamaan akan mengubah tata bahasa Indonesia yang berlaku saat ini. Padahal,
kaidah bahasa yang baik dan benar sudah diterapkan dan dijalankan sejak dulu
oleh masyarakat Indonesia. Penetapan kaidah bahasa ini juga sudah disesuaikan
dengan kondisi masyarakat Indonesia dan sudah disempurnakan melalui EYD.
B. Penggunaan Bahasa Asing pada Produk atau Barang dalam Negeri
Selain penggunaan bahasa Indonesia yang kurang baku atau bahkan tidak baku
dalam proses komunikasi masa kini di Indonesia, permasalahan lain yang juga
ikut menghiasi variasi bahasa adalah penggunaan atau penerapan bahasa asing
dalam nama produk atau barang dalam negeri. Dalam hal ini, produk atau barang
yang dimaksud adalah produk dan barang yang biasa kita lihat menghiasai dunia
periklanan di layar kaca televisi kita.
 POLITISASI BAHASA INDONESIA DI ERA PERGERAKAN KEMERDEKAAN
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia adalah Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928. Peristiwa itu mempersatukan para pemuda dalam tiga
sumpah yaitu, berbangsa yang satu, bertanah air yang satu, dan menjunjung bahasa
persatuan bahasa Indonesia. Sumpah itu tidak hanya memberi “tenaga” kepada bangsa
Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, tetapi juga dianggap sebagai kelahiran bahasa
Indonesia, bahasa yang mempersatukan kebhinekaan Indonesia.
Kelahiran bahasa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari Kebangkitan Nasional. Para
perintis kemerdekaan tidak hanya memikirkan bagaimana merebut kekuasaan dari
penjajah, melainkan juga bagaimana mengisi kemerdekaan dan menjadikan bangsa
yang merdeka ini mempunyai kebudayaan yang bisa dibanggakan, yang diantaranya
adalah bahasa Indonesia.
Perjalanan bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan tidak terlepas dari sosok
Mohmamad Tabrani. Sejarah lebih mencatat Muhamad Yamin, Sanusi Pane, dan Sutan
Takdir Alisyahbana bila menautkan dengan bahasa Indonesia.
 POLITISASI BAHASA INDONESIA DI ERA ORDE LAMA

Bahasa Indonesia di era kolonial sering digunakan tokoh-tokoh


nasional sebagai alat propaganda untuk perjuangan merebut kemerdekaan
Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan beberapa tulisan, pidato bahkan media saat
itu. Dalam hal lain dapat dilihat dari upaya propaganda Haji Oemar Said
Tjokroaminoto melalui pidatonya. Dalam berpidato bahkan ia sampai mengajarkan
murid-muridnya termasuk Soekarno jika ingin menjadi pemimpin besar menulislah
seperti wartawan dan bicaralah seperti orator. Hal ini menandakan perjuangan
Tjokroaminoto mengenai bahasa sebagai tulisan maupun ucapan adalah memuat
unsur propaganda terhadap pribumi untuk melawan Belanda.
 POLITISASI BAHASA INDONESIA DI ERA ORDE BARU
 POLITISASI BAHASA INDONESIA DI ERA ORDE BARU

Bahasa Indonesia pada masa Orde Baru memiliki sejarah besar dalam
perkembangannya. Yaitu berubahnya ejaan lama ke ejaan baru yang telah
disempurnakan (EYD) dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada
peringatan HUT RI ke 27. Hal tersebut merupakan bentuk tindak lanjut dari
Kepres no 57 tahun 1972 dan hasil kinerja dari panitia ejaan bahasa yang
dibentuk orde baru pada masa transisi kepemimpinan tahun 1966.
Jika kita tarik dari fenomena tersebut ini merupakan upaya penyeragaman
yang dilakukan Orde Baru dengan tujuan untuk ideologisasi dalam
melegitimasi kekuasaannya. Pada masa Orde Baru ini Bahasa Indonesia
mengalami pemiskinan makna (meminjam istilah Mochtar Lubis) [2].
Pemiskinan makna tersebut disebabkan oleh sentralisasi dan pemaknaan
tunggal pada bahasa politik yang digunakan Orde Baru. 
 POLITISASI BAHASA INDONESIA PASCA PEMERINTAHAN SOEHARTO

Di era ini bahasa memiliki penyelewengan makna yang sering diutarakan oleh
kalangan masyarakat kita seperti misalnya muncul istilah “melempar bola panas”.
Selain aspek politik, di dalam aspek sosial masyarakat lebih miris lagi. Perkembangan
bahasa Indonesia cenderung mengalami anarkisme bahasa jika di dalam aspek sosial.
Dalam aspek ekonomi pun demikian. Di era ini bahasa jika kita analisis lebih jauh
dapat ditemukan bahwa bahasa terindustrialisasikan, dibatasi dan dibawa ke wacana
pasar bebas.
Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan mengenai perkembangan Bahasa
Indonesia pada era ini sangat mengalami kemunduran yang cukup drastis dari
penggunaannya dan cenderung dipolitisasi menuju wacana rezim yang belum jelas dan
cenderung fasis.
 PENILAIAN POSITIF DAN STEREOTIF TERHADAP BAHASA

Sikap bahasa Indonesia yang positif hanya akan tercermin apabila si


pemakai mempunyai rasa setia untuk selalu memelihara dan mempertahankan
bahasanya sebagai sarana untuk berkomunikasi. Sikap positif terdapat pada
seseorang yang mempunyai rasa bangga terhadap bahasanya sebagai penanda jati
diri. Seseorang yang mempunyai sikap positif terhadap bahasa Indonesia
cenderung akan menerima bahasanya dengan segala kelebihan dan kekurangan
secara terbuka, tanpa merasa kurang percaya diri jika dibandingkan dengan
bahasa lain. Para humanis berorientasi psikoanalisis, semisal Sander Gilman
menekankan bahwa stereotipe secara definisi tidak pernah akurat, tetapi
merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada orang lainnya, tanpa
mempedulikan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun jarang sekali stereotipe itu
sepenuhnya akurat, tetapi beberapa penelitian statistik menunjukkan bahwa
dalam beberapa kasus stereotipe sesuai dengan fakta terukur.
 MENGHARGAI KEBERAGAMAN BAHASA DI SEKOLAH

Peran guru dan sekolah dalam menghargai keberagaman bahasa yaitu


guru harus mempunyai wawasan yang cukup. Guru juga harus
mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap masalah-masalah yang
menyangkut adanya diskriminasi bahasa yang terjadi di dalam kelas
maupun diluar kelas.

Anda mungkin juga menyukai