Anda di halaman 1dari 29

“ERADIKASI RABIES”

OLEH KELOMPOK 3

AYU RONALITA TAKENE


SR.BENEDIKTA JENAU
DOMINIKA SIN LAMAKADU
EGGI RAHMAWATI
Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut
pada susunan saraf pusat yang dapat
menyerang semua jenis binatang berdarah
panas dan manusia.
Penyakit ini ditandai dengan disfungsi
hebat susunan saraf pusat dan hampir
selalu berakhir dengan kematian. Rabies
merupakan salah satu penyakit menular
tertua yang dikenal di Indonesia.
GAMBARAN RABIES DI DUNIA DAN INDONESIA

Penyakit rabies atau anjing gila adalah suatu penyakit yang


sangat ditakuti  dan dapat menimbulkan kematian. Penyakit
ini ditularkan dari hewan yang sudah  terkena virus rabies
kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit
rabies ini bersifat akut dan dapat menularkan dengan secara
cepat kepada satu penderita dengan penderita lain
melalui saliva (air liur) penderita yang sudah terkena virus
rabies. Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies dan
penularannya kepada manusia dapat terjadi melalui gigitan
hewan penular rabies (HPR) terutama anjing, kucing dan
kera. Timbulnya penyakit ini pada manusia dapat dicegah
dengan  pemberian vaksinasi anti rabies (VAR) dan serum
anti rabies (SAR) setelah digigit hewan yang menderita
rabies (Soeharsono, 2002).
Gambar Rhabdovirus
• Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56ºC
waktu paruh kurang dari 1 menit, dan pada kondisi lembab
pada temperatur 37ºC dapat bertahan beberapa jam. Virus juga
akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium.
Virus rabies dan virus lain yang sekeluarga dengan rabies
diklasifikan menjadi 6 genotipe. Rabies merupakan genotipe 1,
mokola genotipe 3, Duvenhage genotipe 4, dan European bat
lyssa-virus genotipe 5 dan 6.
• Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2
minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan
disekitarnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut
saraf posterior tanpa menunjukan perubahan-perubahan
fungsinya. Masa inkubasi bervariasi yaitu berkisar antara 2
minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3-8 minggu,
berhubungan dengan jarak yang harus ditempuh oleh virus
sebelum mencapai otak.
• Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan
menyebar luas ke semua bagian neuron, terutama mempunyai
predileksi khusus terhadap sel-sel system limbik, hipotalamus
dan batang otak.Setelah memperbanyak diri dalam neuron-
neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut
saraf eferen dan pada saraf volunteer maupun saraf otonom.
Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan
jaringan di dalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-
jaringan, seperti kelenjar
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KEBIJAKAN NASIONAL, DAN KEBIJAKAN
GLOBAL

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH


• Kejadian rabies di Nusa Tenggara Timur (NTT) pertama kali dilaporkan terjadi kasus gigitan anjing di
Larantuka, ibu kota kabupaten Flores Timur pada tahun 1997.
• Berdasarkan surat edaran Direktur Jendral Peternakan No. TN.506/17/B/0598 tanggal 8 Mei 1998 dan
keputusan gubernur NTT tanggal 12 Juni 1998 tentang pembentukan tim koordinasi penanggulangan rabies di
provinsi NTT maka, masing-masing kabupaten membentuk TIKOR (Tim Koordinasi) pencegahan dan
pemberantasan rabies di pulau Flores, dimulai dari tingkat Desa/Lurah, sebagai ketua koordinasi, tingkat
kecamatan dan camat sebagai ketua koordinasinya. TIKOR merumuskan program penanggulangan rabies di
pulau Flores dilakukan dengan cara pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dilaksanakan terhadap semua anjing
peliharaan, juga beberapa ekor kera dan kucing, dilakukan eliminasi total pada HPR di daerah tertular pada
radius 10 Km dari titik kasus positif yang telah dikonfirmasi laboratorium, membatasi jumlah anjing peliharaan
dan dilakukan karantina serta pengawansan lalu-lintas laut.
• Pemda Bali mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No.15 Tahun 2009 yang merupakan dasar
kebijakan penanggulangan rabies yang hingga sampai saat ini masih menjadi acuan pelaksanaan program, yang
mengatur pencegahan rabies, pengaturan dan pengawasan HPR (baik pemeliharaan maupun peredaran), serta
pemantauan dan pengawasan implementasi program hingga nanti target bebas kasus bisa kembali disandang.
Tidak hanya itu, Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No 18 Tahun 2010 pun diberlakukan sebagai aturan tata cara
pemeliharaan HPR dengan maksud agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dan lebih bertanggung jawab atas
hewan peliharaan dan lingkungannya. Dengan adanya Perda dan Pergub Bali secara teknis, dapat dikatakan Bali
mengalami penurunan angka kasus positif rabies pada hewan yang terbilang cukup drastis hingga 57%. Direktur
Jenderal PKH Kementerian Pertanian I dalam wawancaranya dengan Jurnas.com, mengacu pada data
pelaksanaan vaksinasi massal tahun 2017 lalu, menyebutkan ada sekitar 85% dari total populasi anjing di 716
desa di Bali telah divaksinasi. Terutama semenjak tahun 2016, Dinas PKH berkoordinasi secara formal dengan
Dinas Kesehatan.
Kebijakan Nasional

• Program pemberantasan rabies di Indonesia sering


disebut sebagai Pemberantasan Rabies Bertahap Seluruh
Indonesia (PrestasIndonesia). Program ini dirancang
untuk membuat pemberantasan rabies menjadi suatu
proses yang progresif.
• Proses pemberantasan rabies di Indonesia menggunakan
kombinasi dua pendekatan, yaitu pendekatan zona yang
didasarkan kepada kondisi geografis Indonesia sebagai
negara kepulauan dan pendekatan tahapan yang
mengadopsi SARE. Masing-masing tahapan mempunyai
indikator dan kegiatan kunci dengan tujuan tertentu
disesuaikan dengan situasi yang terjadi.
1. Pendekatan Zona
Dengan melihat kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan,
pendekatan pembebasan rabies yang dilaksanakan di Indonesia adalah
pendekatan zona khususnya pendekatan pulau. Setiap pulau akan dilakukan
pembebasan dengan fokus kegiatan akan dilakukan pertama pada provinsi
terinfeksi yang menyebabkan kematian tinggi di manusia (seperti Pulau Bali,
Pulau Sitaro-Sulawesi Utara, Pulau NiasSumatera Utara dan Pulau Flores
Lembata-Nusa Tenggara Timur) dan provinsi tertular lainnya. Untuk pulau-
pulau yang terdiri dari beberapa wilayah administrasi (kabupaten atau provinsi)
seperti Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan diperlukan
adanya upaya pemberantasan yang terkoordinasi secara massal dan serentak
(Direktorat Kesehatan Hewan 2015).
2. Pendekatan SARE
Pendekatan SARE (Stepwise Approach toward Rabies Elimination) merupakan
5 tahapan kebijakan pemberantasan rabies di Indonesia yang di kembangkan
oleh FAO, WHO, OIE dan GARC pada tahun 2012. Setiap tahapan dalam
SARE memiliki deskripsi situasi penyakit hewan yang jelas dengan kondisi
yang ingin dicapai untuk masuk ke tahap selanjutnya sebagai indikator. Selain
itu, setiap tahapan disesuaikan dengan status masing-masing daerah. Berikut
adalah penjelasan deskripsi singkat dari setiap tahapan.
Dalam memberantas rabies, Indonesia memiliki
kebijakan yang berprinsip yang didasari pada
kondisi dan keunikan spesifik masing-masing
daerah. Prinsip tersebut berdasarkan pada
social-budaya, Teknis, Organisasi, Politik dan
Sumber daya.
1. Social-Budaya
2. Teknis
3. Organisasi
4. Politik
5. Sumber Daya
Berikut adalah bagan regulasi dan kebijakan Pemerintah :
Kebijakan Global

• Markas Besar WHO


WHO menetapkan norma dan standar global, melibatkan
mitra dan pemangku kepentingandan mendukung negara-
negara dalam pengendalian dan pemberantasan rabies.
WHO memfasilitasi pengumpulan data kasus rabies pada
manusia di seluruh dunia dan bekerja dengan OIE untuk
menyelaraskan sistem pelaporan baik negara, regional, dan
global untuk hewan (melalui World Animal Health
Information System)dan rabies manusia (melalui WHO).
WHO sedang membangun basis bukti untuk memakasukan
Vaksin rabies pada manusiadalam Strategi Investasi Vaksin
2018 Gavi, Aliansi Vaksin.
Kantor Regional WHO

1. South-East Asia
Kantor Regional WHO untuk Asia Tenggara telah
proaktifmenyiapkan standar dan pedoman, mengeluarkan
rekomendasi dan menyediakandukungan teknis kepada Negara
Anggota untuk pencegahan dan pengendalian Rabies pada
manusiadan hewan di Wilayah tersebut. Kantor Regional Asia
Tenggara menganjurkan penggunaan Low-Cost Vaksin intradermal
untuk meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan vaksin rabies
moderndan menghentikan secara bertahap produksi dan penggunaan
vaksin jaringan saraf.
Kantor Regional WHO untuk Asia Tenggara juga bekerja sama
denganSekretariat Asosiasi Asia Selatan untuk Kerja Sama Regional dan
anggotanegara untuk mengadvokasi kegiatan pengendalian rabies
terkoordinasi regional di SelatanAsia.
2. Amerika
Pada tahun 1983, Unit Kesehatan
Masyarakat Veteriner dari Pan American
HealthOrganisasi (PAHO) / ​Kantor Wilayah
WHO untuk Amerika mulai resmi melakukan
program penghapusan rabies pada manusia
yang dimediasi anjing di Amerika.
Program tersebut menjadikan pengawasan
sebagai prioritas dan meningkatkan
aksesprofilaksis pada manusia, vaksinasi anjing
massal dan tata kelola yang baik.
Jaringan Kerja Sama WHO Untuk Rabies

Merupakan Pusat Jaringan kerja sama WHO


yang mendukung kegiatan Rabies WHO di
tingkat negara, antar negara, regional, antar
regional dan global.
Contoh Kegiatan yang dilakukan Mitra

1. Food and Agriculture Organization of the United Nations


(FAO)
Di tingkat negara, FAO telah mengirimkan misi
Emergency Management Centre–Animal Health
untuk mengendalikan wabah rabies di Bali,
Indonesia, dan Vietnam. Di Bali, hal ini mengarah
pada pengelolaan kasus gigitan yang terintegrasi,
dengan perbaikankomunikasi antara sektor
kesehatan manusia dan hewan dan pelatihan
timuntuk memastikan keberhasilan penangkapan
dan vaksinasi anjing jalanan.
2. World Organisation for Animal Health (OIE)
OIE adalah organisasi antar pemerintah yang
mengeluarkan isu berbasis sainsstandar, pedoman dan
rekomendasi perbaikan kesehatan dan kesejahteraan
hewan sambil mempromosikan layanan kedokteran
hewan yang kuat di seluruh dunia.
3. Global Alliance for Rabies Control (GARC), Partners for
Rabies Prevention and World Rabies Day
GARC adalah badan amal terdaftar terkemuka yang
didedikasikan khusus untuk mengurangi beban global
akibat rabies. Misinya adalah untuk menghilangkan
kematian manusia dari rabies dan meringankan beban
rabies pada hewan, khususnya anjing
3. Mission Rabies
• Mission Rabiesadalah organisasi internasional
nonpemerintah yang melaksanakan program
pemberantasan rabies di daerah endemis.

4. World Animal Protection


• Perlindungan Hewan Dunia adalah lembaga
Internasional nonpemerintah yang berkomitmen
untuk mengakhiri kekejaman terhadap hewan;
memiliki keahlian khusus dalammengelola
anjing yang berkeliaran bebas di komunitas di
seluruh dunia.
UPAYA ERADIKASI PENYAKIT RABIES
• Pemerintah mempunyai komitmen dalam pengendalian Zoonosis prioritas (Rabies, Flu
burung, Leptospirosis, Antraks, PES, dan Brusellosis) ditandai dengan diterbitkannya
Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2011 tentang pengendalian Zoonosis san
dbentuknya Komnas Pengendalian Zoonosis di pusat dan daerah (Komda Pengendalian
Zoonosis Propinsi, Komda Pengendalian Zoonosis Kabupaten dan Kota) Komnas dan
Komda ini merupakan wadah koordinasi lintas sector seluruh pemangku kepentingan
dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta perumusan kebijakan
pengendalian zoonosis terpadu sesuai dengan pendekatan “Satu Kesehatan / One Health”
dalam pengendalian zoonosis.
• Khusus untuk pengendalian rabies pemeritah Indonesia sebagai anggota ASEAN
Bersama 9 negara anggota ASEAN lainnya menandatangani deklarasi ASEAN bebas
Rabies pada Tahun 2020 pada pertemuan Menteri Pertanian dan Kehutanan ASEAN ke-
34 pada September 2012 di Vientiane, Lao PDR.
Sasaran pengendalian Rabies menuju Eliminasi Rabies 2020 pada manusia yaitu :
• Cakupan Profilaksis Pra Pajanan/P PraP ( Pre Exposure Prophilaxis) pada kelompok
resiko tinggi : 100%
• Cakupan profilaksis Paska Pajanan/P PasP (Pasca Exposure Prophilaxis) : 100 % kasus
gigitan teridentifikasi dilaporkan
1. Tujuan eliminasi Rabies Tahun 2020

Dalam rangka pelaksanaan komitmen nasional dan


komitmen ASEAN dalam pengendalian Rabies,
maka tujuan pengendalian Rabies di Indonesia
yaitu :
• Indonesia tereliminasi rabies pada Tahun 2020
• Mencegah kematian dan menurunkan pada
manusia akibat gigitan dan atau pajanan hewan
penular rabies selama proses menuju bebas rabies
• Mempertahankan daerah bebas rabies
berkelanjutan agar tetap bebas rabies
2. Strategi Eliminasi Rabies Tahun 2020

Untuk mencapai tujuan percepatan Indonesia Eliminasi Rabies Tahun 2020, ditrapkan
strategi terpadu dengan penerapan Prinsip “ Satu Kesehatan / One Health ” sebagai berikut
:
• Advokasi dan Sosialisasi
• Penguatan Peraturan perundangan dan kebijakan
• Komunikasi risiko
• Peningkatan Kapasitas
• Imunisasi massal pada GPHR anjing
• Mananjemen populasi GPHR anjing
• Proflaksis pra danpaska pajanan/Gigitan dengan VAR dan tata laksana kasus pada Manusia
• Penguatan surveillance dan respon terpadu
• Penelitian operasional
• Kemitraan (pelibatan dukungan Masyarakat, LSM, Tokoh Agama, Perusahaan dan Internasional)

Dari 10 strategi menuju Eliminasi Rabies tahun 2020 ini, masing-masing dirinci dalam
pelaksanaan kegiatan eliminasi rabies 2020 terdiri atas 2 tahap yaitu :
• Tahap I : Tahun 2014 – 2017 merupakan Tahap Operasional
• Tahap II : Tahun 2018 – 2020 , yaitu kegiatan terkait dengan 2 Tahun terakhir tereliminasinya kasus
rabies, tidak adanya kasus rabies pada hewan dan manusia dengan sistem surveillance berjalan
dengan baik sesuai standar sebagai persyaratan eliminasi Rabies Tahun 2020.
JURNAL RABEL
• Judul Penelitian : Menuju Indonesia Bebas Rabies
2020: Problem Institusi Dalam Implementasi
Kebijakan Kesehatan Publik di Bali
• Metode penelitian : Studi kasus dengan
pendekatan kualitatif yang melibatkan dinas
peternakan dan kesehatan hewan propinsi Bali
serta bidang dinas dinas peternakan dan
kesehatan hewan kota Denpasar terkait relasinya
dengan institusi akademik (Universitas Udayana),
organisasi profesi Independen (PDHI Bali) dan
NGO peduli satwa (Yayasan BAWA).
• Waktu Penelitian: Januari hingga mei 2018
Pembahasan dan hasil :
Penelitian ini menganalisis implentasi program Indonesia bebas rabies yang belum efektif meskipun
angka kasus rabies mengalami penurunan cukup significant. Minimnya program pemberdayaan
masyarakat dan organisasi sosial pada kebijakan pengentasan rabies di Bali, mengindikasikan aspek
kesehatan hewan belum diterapkan dengan optimal.
1. Regulasi dan kebijakan pemerintah
Rabies memerlukan kerja sama lintas sector maka perlu ada komisi khusu yang melibatkan mulit
instansi dan pemangku kepentingan.
2. Mekanisme dalam implementasi kebijakan pengendalian rabies di bali.
Perda provinsi bali No. 15 Tahun 2009 merupakann dasar kebijakan penanggulangan rabies. Bali
mengalami angka kasus penurunan kasus positif pada hewan yang cukup drastic yaitu 57 %. Dinas PKH
berkoordinasi secara formal dengan dinas kesehatan.
Dinas kesehatan bertugas terkait penatalaksanaan kasus GHPR pada manusia, sedangkan dinas PKH
lebih pada pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan rabies khususnya menyngkut media
penularannya, yakini HPR.
Strategi Dinas PKH:
1. Kegiatan vaksinasi
2. Kegiatan selektif euthanasia
3. Kegiatan KIE (Komunikasi, Infoemasi, dan Edukasi)
4. Kegiatan pengawasan lalulintas HPR
5. Kegiatanh monitoring dan surveilans
6. Kegiatan control populasi (pembatasan Populasi HPR)
Meskipun demikian pemda setempat kurang optimal menjalankan strategi lainnya yaitu
sosialosasi dan kontrol populasi melalui sterilisasi.
Kebijakan pengendalian rabies di bali masih berfokus pada vaksinasi dan eliminasi.
Kegiatan eliminasi belum sepenuhnya melaksanakan elimasi tertarget dan selekstif sebab
banyak eksekusi pada anjing liar dilakukan berdasarkan permintaan warga yang merasa
terganggu, bukan karena telah terdeteksi mengidap penyakit berbahaya
Upaya sosialisasi oleh pemda telah banyak dilakukan sesuai dengan Pergub Bali no 18
tahun 2010 tentang tata cara pemeliharaan HPR dan no 15 tahun 2009 terkait pemeliharaan
pada HPR. Ada beberapa point yang mewajibkan warganya untuk memperhatikan kesehatan
dan kesejahtraan hewan peliharaan, termasuk harus diregistrasi, divaksin, dipelihara di dalam
pekarangan tempat tinggalnya (kandang atau di ikat) serta dipakai alat pengaman seperti
berangus atau lesh saat di bawa keuar rumah.
Dari data yang diperoleh persentasi GHPR menurun namun tidak menutup kemungkinan
mengindikasikan bahwa pemahaman masyarakat bali terhadap rabies sangat tinggi, namun
perannya masih pasif.
Upaya sosialisasi dan edukasi Pemda Bali telah banyak dilakukan namum kasus rabies
masih terjadi karena over populasi anjing dikarenakan kecerebohan masayarkat sendiri sebab
kuranng bertanggung jawab pada hewan peliharaannya. Kebiasaan masyarakat melepas anjing
peliharaannya dapat dikatakan sudah mendarah daging apalagi fungsinya sebagai penjaga
rumah sangat kontraindikasi dengan perda No.15 Tahun 2009 yang mewajibkan warga
setempat untuk merumahkan atau mengikat anjingnya agak tidak berkeliaran. Dalam
pelaksaan tidak efektif karena tidak menyasar pada tradisi masyarakat Bali.
Lemahnya Perda ini hanya melihat aspek tindakan teknis yang berisifat urgensi namum tidak
melihat dan kinerja aspek lain.
Kesimpulan

Strategi Nasional Eliminasi Rabies yang lebih


menginklusikan aspek kesehatan dan kesejahteraan
hewan untuk menyokong peningkatan kesehatan
masyarakat belum seluruhnya diterapkan di Indonesia.
Hal ini didukung dengan fakta bahwa isu kesehatan hewan
diangkat hanya sebatas formalitas belaka. Kurang
optimalnya aspek kesehatan hewan diterapkan serta
lemahnya kerjasama formal multipihak tak lain bermuara
pada tatanan makro, yaitu salah satunya adalah landasan
hokum kebijakan pengendalian rabies di Provinsi Bali yang
tidak efektif dan relevan
Next...

SEKIAN DAN
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai