OLEH KELOMPOK 3
1. South-East Asia
Kantor Regional WHO untuk Asia Tenggara telah
proaktifmenyiapkan standar dan pedoman, mengeluarkan
rekomendasi dan menyediakandukungan teknis kepada Negara
Anggota untuk pencegahan dan pengendalian Rabies pada
manusiadan hewan di Wilayah tersebut. Kantor Regional Asia
Tenggara menganjurkan penggunaan Low-Cost Vaksin intradermal
untuk meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan vaksin rabies
moderndan menghentikan secara bertahap produksi dan penggunaan
vaksin jaringan saraf.
Kantor Regional WHO untuk Asia Tenggara juga bekerja sama
denganSekretariat Asosiasi Asia Selatan untuk Kerja Sama Regional dan
anggotanegara untuk mengadvokasi kegiatan pengendalian rabies
terkoordinasi regional di SelatanAsia.
2. Amerika
Pada tahun 1983, Unit Kesehatan
Masyarakat Veteriner dari Pan American
HealthOrganisasi (PAHO) / Kantor Wilayah
WHO untuk Amerika mulai resmi melakukan
program penghapusan rabies pada manusia
yang dimediasi anjing di Amerika.
Program tersebut menjadikan pengawasan
sebagai prioritas dan meningkatkan
aksesprofilaksis pada manusia, vaksinasi anjing
massal dan tata kelola yang baik.
Jaringan Kerja Sama WHO Untuk Rabies
Untuk mencapai tujuan percepatan Indonesia Eliminasi Rabies Tahun 2020, ditrapkan
strategi terpadu dengan penerapan Prinsip “ Satu Kesehatan / One Health ” sebagai berikut
:
• Advokasi dan Sosialisasi
• Penguatan Peraturan perundangan dan kebijakan
• Komunikasi risiko
• Peningkatan Kapasitas
• Imunisasi massal pada GPHR anjing
• Mananjemen populasi GPHR anjing
• Proflaksis pra danpaska pajanan/Gigitan dengan VAR dan tata laksana kasus pada Manusia
• Penguatan surveillance dan respon terpadu
• Penelitian operasional
• Kemitraan (pelibatan dukungan Masyarakat, LSM, Tokoh Agama, Perusahaan dan Internasional)
Dari 10 strategi menuju Eliminasi Rabies tahun 2020 ini, masing-masing dirinci dalam
pelaksanaan kegiatan eliminasi rabies 2020 terdiri atas 2 tahap yaitu :
• Tahap I : Tahun 2014 – 2017 merupakan Tahap Operasional
• Tahap II : Tahun 2018 – 2020 , yaitu kegiatan terkait dengan 2 Tahun terakhir tereliminasinya kasus
rabies, tidak adanya kasus rabies pada hewan dan manusia dengan sistem surveillance berjalan
dengan baik sesuai standar sebagai persyaratan eliminasi Rabies Tahun 2020.
JURNAL RABEL
• Judul Penelitian : Menuju Indonesia Bebas Rabies
2020: Problem Institusi Dalam Implementasi
Kebijakan Kesehatan Publik di Bali
• Metode penelitian : Studi kasus dengan
pendekatan kualitatif yang melibatkan dinas
peternakan dan kesehatan hewan propinsi Bali
serta bidang dinas dinas peternakan dan
kesehatan hewan kota Denpasar terkait relasinya
dengan institusi akademik (Universitas Udayana),
organisasi profesi Independen (PDHI Bali) dan
NGO peduli satwa (Yayasan BAWA).
• Waktu Penelitian: Januari hingga mei 2018
Pembahasan dan hasil :
Penelitian ini menganalisis implentasi program Indonesia bebas rabies yang belum efektif meskipun
angka kasus rabies mengalami penurunan cukup significant. Minimnya program pemberdayaan
masyarakat dan organisasi sosial pada kebijakan pengentasan rabies di Bali, mengindikasikan aspek
kesehatan hewan belum diterapkan dengan optimal.
1. Regulasi dan kebijakan pemerintah
Rabies memerlukan kerja sama lintas sector maka perlu ada komisi khusu yang melibatkan mulit
instansi dan pemangku kepentingan.
2. Mekanisme dalam implementasi kebijakan pengendalian rabies di bali.
Perda provinsi bali No. 15 Tahun 2009 merupakann dasar kebijakan penanggulangan rabies. Bali
mengalami angka kasus penurunan kasus positif pada hewan yang cukup drastic yaitu 57 %. Dinas PKH
berkoordinasi secara formal dengan dinas kesehatan.
Dinas kesehatan bertugas terkait penatalaksanaan kasus GHPR pada manusia, sedangkan dinas PKH
lebih pada pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan rabies khususnya menyngkut media
penularannya, yakini HPR.
Strategi Dinas PKH:
1. Kegiatan vaksinasi
2. Kegiatan selektif euthanasia
3. Kegiatan KIE (Komunikasi, Infoemasi, dan Edukasi)
4. Kegiatan pengawasan lalulintas HPR
5. Kegiatanh monitoring dan surveilans
6. Kegiatan control populasi (pembatasan Populasi HPR)
Meskipun demikian pemda setempat kurang optimal menjalankan strategi lainnya yaitu
sosialosasi dan kontrol populasi melalui sterilisasi.
Kebijakan pengendalian rabies di bali masih berfokus pada vaksinasi dan eliminasi.
Kegiatan eliminasi belum sepenuhnya melaksanakan elimasi tertarget dan selekstif sebab
banyak eksekusi pada anjing liar dilakukan berdasarkan permintaan warga yang merasa
terganggu, bukan karena telah terdeteksi mengidap penyakit berbahaya
Upaya sosialisasi oleh pemda telah banyak dilakukan sesuai dengan Pergub Bali no 18
tahun 2010 tentang tata cara pemeliharaan HPR dan no 15 tahun 2009 terkait pemeliharaan
pada HPR. Ada beberapa point yang mewajibkan warganya untuk memperhatikan kesehatan
dan kesejahtraan hewan peliharaan, termasuk harus diregistrasi, divaksin, dipelihara di dalam
pekarangan tempat tinggalnya (kandang atau di ikat) serta dipakai alat pengaman seperti
berangus atau lesh saat di bawa keuar rumah.
Dari data yang diperoleh persentasi GHPR menurun namun tidak menutup kemungkinan
mengindikasikan bahwa pemahaman masyarakat bali terhadap rabies sangat tinggi, namun
perannya masih pasif.
Upaya sosialisasi dan edukasi Pemda Bali telah banyak dilakukan namum kasus rabies
masih terjadi karena over populasi anjing dikarenakan kecerebohan masayarkat sendiri sebab
kuranng bertanggung jawab pada hewan peliharaannya. Kebiasaan masyarakat melepas anjing
peliharaannya dapat dikatakan sudah mendarah daging apalagi fungsinya sebagai penjaga
rumah sangat kontraindikasi dengan perda No.15 Tahun 2009 yang mewajibkan warga
setempat untuk merumahkan atau mengikat anjingnya agak tidak berkeliaran. Dalam
pelaksaan tidak efektif karena tidak menyasar pada tradisi masyarakat Bali.
Lemahnya Perda ini hanya melihat aspek tindakan teknis yang berisifat urgensi namum tidak
melihat dan kinerja aspek lain.
Kesimpulan
SEKIAN DAN
TERIMA KASIH