Anda di halaman 1dari 4

Judul Penelitian : Menuju Indonesia Bebas Rabies 2020: Problem Institusi Dalam Implementasi

Kebijakan Kesehatan Publik di Bali

Metode penelitian : Studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang melibatkan dinas peternakan
dan kesehatan hewan propinsi Bali serta bidang dinas dinas peternakan dan kesehatan hewan
kota Denpasar terkait relasinya dengan institusi akademik (Universitas Udayana), organisasi
profesi Independen (PDHI Bali) dan NGO peduli satwa (Yayasan BAWA).

Waktu Penelitian: Januari hingga mei 2018

Pembahasan dan hasil :

Penelitian ini menganalisis implentasi program Indonesia bebas rabies yang belum efektif
meskipun angka kasus rabies mengalami penurunan cukup significant. Minimnya program
pemberdayaan masyarakat dan organisasi sosial pada kebijakan pengentasan rabies di Bali,
mengindikasikan aspek kesehatan hewan belum diterapkan dengan optimal.

1. Regulasi dan kebijakan pemerintah

Rabies memerlukan kerja sama lintas sector maka perlu ada komisi khusu yang melibatkan mulit
instansi dan pemangku kepentingan.

2. Mekanisme dalam implementasi kebijakan pengendalian rabies di bali.


Perda provinsi bali No. 15 Tahun 2009 merupakann dasar kebijakan penanggulangan
rabies.
Bali mengalami angka kasus penurunan kasus positif pada hewan yang cukup drastic
yaitu 57 %. Dinas PKH berkoordinasi secara formal dengan dinas kesehatan.
Dinas kesehatan bertugas terkait penatalaksanaan kasus GHPR pada manusia, sedangkan
dinas PKH lebih pada pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan rabies khususnya
menyngkut media penularannya, yakini HPR.
Strategi Dinas PKH:
a) Kegiatan vaksinasi
b) Kegiatan selektif euthanasia
c) Kegiatan KIE (Komunikasi, Infoemasi, dan Edukasi)
d) Kegiatan pengawasan lalulintas HPR
e) Kegiatanh monitoring dan surveilans
f) Kegiatan control populasi (pembatasan Populasi HPR)

Meskipun demikian pemda setempat kurang optimal menjalankan strategi lainnya yaitu
sosialosasi dan kontrol populasi melalui sterilisasi.

Kebijakan pengendalian rabies di bali masih berfokus pada vaksinasi dan eliminasi.
Kegiatan eliminasi belum sepenuhnya melaksanakan elimasi tertarget dan selekstif sebab
banyak eksekusi pada anjing liar dilakukan berdasarkan permintaan warga yang merasa
terganggu, bukan karena telah terdeteksi mengidap penyakit berbahaya

Upaya sosialisasi oleh pemda telah banyak dilakukan sesuai dengan Pergub Bali
no 18 tahun 2010 tentang tata cara pemeliharaan HPR dan no 15 tahun 2009 terkait
pemeliharaan pada HPR. Ada beberapa point yang mewajibkan warganya untuk
memperhatikan kesehatan dan kesejahtraan hewan peliharaan, termasuk harus
diregistrasi, divaksin, dipelihara di dalam pekarangan tempat tinggalnya (kandang atau di
ikat) serta dipakai alat pengaman seperti berangus atau lesh saat di bawa keuar rumah.

Dari data yang diperoleh persentasi GHPR menurun namun tidak menutup kemungkinan
mengindikasikan bahwa pemahaman masyarakat bali terhadap rabies sangat tinggi,
namun perannya masih pasif.

Upaya sosialisasi dan edukasi Pemda Bali telah banyak dilakukan namum kasus rabies
masih terjadi karena over populasi anjing dikarenakan kecerebohan masayarkat sendiri
sebab kuranng bertanggung jawab pada hewan peliharaannya. Kebiasaan masyarakat
melepas anjing peliharaannya dapat dikatakan sudah mendarah daging apalagi fungsinya
sebagai penjaga rumah sangat kontraindikasi dengan perda No.15 Tahun 2009 yang
mewajibkan warga setempat untuk merumahkan atau mengikat anjingnya agak tidak
berkeliaran. Dalam pelaksaan tidak efektif karena tidak menyasar pada tradisi masyarakat
Bali.
Lemahnya Perda ini hanya melihat aspek tindakan teknis yang berisifat urgensi namum
tidak melihat dan kinerja aspek lain.
Monitoring dan Enforcement dari Tatanan Meso di
Tatanan Mikro

Pelaksanaan program bebas rabies sejatinya diselenggarakan oleh Pemda tingkat II, yang mana
dalam hal ini peneliti terfokus hanya pada Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan, pusat
perdagangan, pusat pendidikan, pusat industri dan pusat pariwisata di Bali. Optimalisasi
pelaksanaan pengentasan rabies di Denpasar
pada level meso sejauh ini terbagi menjadi 2 (dua) kelompok yakni, 2 (dua) institusi non
pemerintah di tingkat meso meskipun dengan capaian yang sama namun implementasinya dapat
dikatakan tidak sepenuhnya berbanding lurus. Pemerintah kota menggandeng PDHI Bali dan
FAO (melalui A Team adalah tim khusus yang dibentuk Kementerian Pertanian untuk
menangani zona merah rabies di Bali di bawah Dinas PKH) dalam hal penanganan teknis, namun
terkait pendekatan sosial budaya, institusi akademis yakni Universitas Udayana didukung IFAW,
Yayasan BAWA dan Yayasan Kerti Praja berperan besar untuk mensosialisasikan berbasis
komunitas melalui Program Dharma Sanur di tingkat mikro sebagai percontohan.
Program Dharma (PD) awal mulanya diadaptasi dari program pengendalian rabies berbasis
komunitas oleh Yayasan BAWA di Kabupaten Gianyar, yakni Participate, Learn, and Act (PLA)
pada tahun 2011, yang menyasar pada bagaimana merubah pola pikir masyarakat agar lebih
aware dengan bahaya rabies, maka dari itu mereka harus turut memperhatikan kesehatan anjing
peliharaannya, yang tentunya sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Menurut Yacinta
Haryono selaku Program Manager PD Sanur, bedanya PD dari PLA adalah berbasis data yang
dikumpulkan tim PD dengan cara mapping di jalanjalan besar di Sanur. Meskipun tidak rutin
namun dapat dikatakan relasi antara Yayasan BAWA, PD Sanur, dengan institusi pemerintah
seperti Bidang PKH dibawah Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar
terjalin cukup baik terutama untuk hal teknis. Begitu pun dengan pelaksanaan sosialisasi dan
edukasi ke masyarakat yang sering kali dilakukan saat pelaksanaan vaksinasi dan sterilisasi
bersama atau pada kegiatan khusus terjadwal, misalnya ada Health Day (kegiatan rutin PD
Sanur).

Model Program Bebas Rabies di Bali pada Tiga Tingkat Kerangka Kelembagaan
Peraturan perundangan (state regulation) pada pencegahan tersebarnya zoonosis langsung dari
hulu (media penular penyakit/ HPR) oleh Dinas PKH (Dinas Pertanian).

Model Program Bebas Rabies mengacu pada Model NIES (2003)


Jaringan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) meskipun termasuk dalam strategi teknis,
namun implementasinya membutuhkan strategi komunikasi yang menyasar pada masyarakat
luas, terlebih harus memperhatikan konteks sosiokultural

Kesimpulan
Strategi Nasional Eliminasi Rabies yang lebih menginklusikan aspek kesehatan dan
kesejahteraan hewan untuk menyokong peningkatan kesehatan masyarakat belum
seluruhnya diterapkan di Indonesia. Hal ini didukung dengan fakta bahwa isu kesehatan hewan
diangkat hanya sebatas formalitas belaka. Kurang optimalnya aspek kesehatan hewan diterapkan
serta lemahnya kerjasama formal multipihak tak lain bermuara pada tatanan makro, yaitu salah
satunya adalah landasan hokum kebijakan pengendalian rabies di Provinsi Bali yang tidak efektif
dan releva. Disamping itu untuk melengkapidasar kebijakan yang berbasis pada
pendekatan organisasional dan one health, maka Perda ini pun penting merujuk
pada Perpres No 30 Tahun2011 yang mengatur koordinasi multipihak

ne Health Initiative" adalah pendekatan kolaboratif multidisiplin untuk memecahkan tantangan


kesehatan global dan lingkungan. Tim probono Otonomi One Health Initiative memulai situs web
One Health Initiative pada tahun 2008 yang sejak itu telah berfungsi sebagai gudang global untuk
semua berita dan informasi yang berkaitan dengan One Health. [6] Organisasi yang mendukung
gerakan ini termasuk American Medical Association, American Veterinary Medical Association, UC
Davis One Health Institute, American Society of Tropical Medicine and Hygiene, American
Association of Public Health Physicians,

Menurutnya,  pelaksanaan program pengendalian dan pemberantasan rabies saat ini dihadapkan
dengan beber-[

Anda mungkin juga menyukai