Anda di halaman 1dari 9

Keluarga Vs Keluarga

ADA banyak dari kita yang memandang keluarga sebagai konsep yang terberi (taken for granted), seakan ciptaan
alam semesta. Kita lahir dari sebuah keluarga. Keluarga ada mendahului kita. Maka kebanyakan dari kita tak
mempertanyakan keluarga baik sebagai kategori sosial  maupun sebagai unit praktis kehidupan sosial. Dalam
kenyataannya, baik dalam arti ekonomi-politik, antropologis maupun filosofis, selalu terjadi partarungan untuk
memaknai atau memberi wacana terhadap keluarga. Perubahan sosial, perebutan kekuasaan, pembiakan atau
pengendalian populasi, pertahanan militer, penyebaran agama, seluruhnya memerlukan keluarga.
Saat ini, di tengah warganet masih asyik membincang pascapemilu April 2019, ada sebuah arus yang diam-diam
bergerilya dan terkadang muncul di permukaan seperti ikan paus salto ke udara dan kemudian menyelam lagi.
Arus itu telah menyelusup ke dalam kehidupan sosial kita dan tiba-tiba menjadi tradisi baru. Arus itu membawa
topik keluarga poligini (poligami), yang maknanya analog dengan keluarga suci abad ke-19. Namun, konsep
keluarga suci abad ke-19 adalah keluarga patriarkal monogamis –sebagaimana yang dipropagandakan gereja-gereja
di Eropa, sedangkan konsep keluarga yang dipropagandakan saat ini di Indonesia adalah keluarga patriakal
poliginis —sebagaimana yang dipropagandakan atas nama syariat Islam. Propaganda keluarga poligini ini diam-
diam menggiring para perempuan untuk —istilah yang digelorakan saat ini—hijrah sebagai agensi penggandaan
populasi. Ada proyek penggandaan populasi yang, menurut hemat saya, telah dipersiapkan untuk tujuan tertentu.
Untuk penggandaan populasi ini memerlukan penghancuran perkawinan monogami, penghancuran pembatasan
jumlah anak, penghancuran usia layak pernikahan bagi perempuan dan pada akhirnya demistifikasi keluarga batih
(nuclear family).
Tak cukup itu, muncul pula propaganda senyaring suara TOA untuk mendemistifikasikan sejarah gerakan
perempuan dan seluruh perjuangannya untuk “kesetaraan dan keadilan” dengan label perempuan-perempuan
“antikeluarga”. Propaganda memojokkan perempuan antikeluarga dan di sisi lain menggaungkan propaganda
antifeminis. Bahkan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DKI
Jakarta, telah menjadikan kelompok dengan nama “Indonesia Tanpa Feminis” dan “Muslimah HTI” sebagai
partisipan undangan mereka.
Lanjutan
Karl Marx dan Friedrich Engels pada abad ke-19, memberikan porsi
cukup besar dalam ulasan keluarga dan penindasan perempuan.
Analisa tentang keluarga dan populasi telah dilansir oleh Marx
dalam Grundrisse(1939), ketika mengritik teori Thomas Robert
Malthus tentang ledakan populasi. Menurut Malthus, perkembangan
populasi bergerak cepat melampaui ketersediaan pangan. Sebaliknya
Marx mengatakan asumsi itu keliru, sebab di bawah kapitalisme,
percepatan penduduk bukan melampaui ketersediaan pangan,
melainkan melampaui ketersediaan lapangan kerja. Artinya ledakan
penduduk yang tak tertampung oleh lapangan kerja menjadi pasukan
tenaga cadangan (reserve army of labour), yang tak lain adalah tenaga
kerja yang menunggu serapan kerja. Jadi, ledakan populasi bukan
mengancam ketersediaan pangan sebagaimana asumsi Malthus, pun
perkara ketersediaan pangan bukan karena tanaman pangan itu
‘secara alami’ tidak ada melainkan karena nilai komoditas yang
diletakkan ke dalam pangan tersebut fluktuatif.
Lanjutan
Menurut Marx, bentuk keluarga sejatinya tidak pernah final, tetapi esensinya
merupakan situs reproduksi tenaga kerja. Bentuk keluarga pada masa pra-kapitalis
merupakan pusat produksi pertanian dan pengrajinan. Di masa kapitalis, pusat
produksi itu berpindah ke pabrik sehingga mengubah bahkan menghancurkan
peranan keluarga dan anggotanya. Hubungan pembagian kerja antar jenis kelamin
pun berubah. Laki-laki terserap sebagai buruh upahan di pabrik dan perempuan
menjadi tenaga kerja di rumah tanpa upah. Ketika terjadi mekanisasi (mesin) di
pabrik-pabrik, tenaga kerja manual laki-laki digantikan tenaga kerja perempuan
dan anak yang lebih murah. Penyerapan perempuan dan anak ke dalam pabrik pun
mengubah waktu dan kerja perempuan di dalam keluarga.
Di bawah kapitalisme keluarga kelas pekerja adalah situs untuk reproduksi kapital
(reproduksi tenaga kerja). Adapun keluarga kelas borjuis merupakan situs yang di
dalamnya beroperasi perbudakan terhadap perempuan baik sebagai tenaga kerja
maupun sebagai objek seksual. Dengan demikian, perkembangan (pencetakan)
populasi di dalam keluarga kelas pekerja adalah menunjang reproduksi kapital,
sedangkan di dalam keluarga borjuis untuk pengamanan kapital.
Lanjutan
Analisa keluarga menurut Marx dan Engels itu kemudian dikembangkan cukup
produktif oleh aktivis feminis Marxis sebagai situs pengembangan teori reproduksi
sosial. Mariarosa Dalla Costa dan Selma James menulis Women and the Subversion
of the Community (1972)[1] untuk membangun argumen teori reproduksi sosial.
Dalla Costa dan James menggarisbawahi pendapat Marx bahwa perubahan
keluarga pra-kapitalis ke keluarga kapitalis telah menggusur peranan perempuan
dan orang tua perempuan sebagai kekuatan sosial keluarga. Sementara pabrik yang
mensubversi pusat produksi keluarga tak memiliki kekuatan sosial, tetapi memiliki
kekuatan ekonomi untuk memberi upah suami mereka. Suami itu pun kemudian
harus menanggung seluruh anggota keluarga yang kehilangan kekuatan sosial
melalui upahnya. Namun, kerja perempuan di dalam rumah adalah mereproduksi
tenaga kerja laki-laki atau suami yang bekerja untuk kapitalis, bahkan juga
mempersiapkan regenerasi tenaga kerja (pengasuhan anak). Dalla Costa dan James
menyimpulkan bahwa kerja perempuan untuk mereproduksi tenaga kerja itu
bukan sekadar menyediakan nilai guna tetapi nilai komoditas. Kapitalis seharusnya
mengupah perempuan yang telah melakukan reproduksi tenaga kerja, tetapi
kapitalis mewakilkan upah itu kepada laki-laki. Dari sini, menurut Dalla Costa dan
James, kapitalis telah mensubversi nilai komoditas hasil produksi perempuan
dalam keluarga berupa tenaga kerja segar.
Memeriksa Konsep Keluarga Syariat
Status teoritis keluarga syariat tampaknya masih kabur selain mendaku berdasarkan
syariat “Islam”. Bagaimana ciri syariat Islam, selain yang tampak pada pakaian
perempuan dan penggunaan Bahasa Arab? Menurut saya, gejala keluarga syariat dapat
dilihat dalam hubungannya dengan perkawinan poligini, perkawinan usia muda
terutama bagi perempuan dan jumlah anak melebihi kuota keluarga berencana
nasional.
Sebenarnya gejala perkawinan poligini dalam masyarakat-masyarakat di dunia ini
bukan berasal dari syariat Islam. Menurut Lewis Morgan dalam Ancient Society, praktik
keluarga poligini yang disebut klan patriarkal telah lahir pada tahap akhir
perkembangan masyarakat barbarisme menuju tahap peradaban —yang berjarak
ribuan tahun dari lahirnya Islam. Di Senegal, perkawinan poligini bertujuan untuk
reproduksi tenaga kerja bagi sebuah klan yang dipimpin oleh seorang suami. Model
keluarga klan ini seperti temuan Morgan mendahului munculnya model keluarga
patriarkal monogamis. Keluarga klan patriarkal dipimpin oleh seorang suami yang
bertanggungjawab atas sekian isteri dan anak-anak.  Peranan isteri –sebagaimana
analisa Marx—sebagai pemroduksi tenaga kerja,  dan dalam keluarga pra-kapitalis
pusat produksi berada dalam keluarga tersebut.
Lanjutan
Kembali kepada keluarga syariat poliginis. Di Indonesia data numerik setelah
propaganda massif lima tahun terakhir ini belum dapat diketahui apakah terjadi
perkembangan perkawinan poligini. Sekali pun secara kualitatif bukan berarti praktik
poligini tidak berjalan. Yang secara  secara empirik mencolok di jalan-jalan adalah
seorang perempuan muda menggandeng tiga sampai lima anak. Tampaknya jarak antara
satu anak dengan lainnya hanya satu tahun. Perempuan muda yang digelayuti banyak
anak itu kebanyakan mengenakan cadar, dan suami mereka mengenakan celana panjang
cingkrang. Namun, seorang laki-laki berjalan menggandeng dua atau tiga perempuan
sebagai isteri belum terlalu terbuka, meski pun propaganda untuk menganjurkan
poligini bagi laki-laki sudah terbuka.
Apabila saya menggunakan analisa Marx untuk memahami keluarga syariat, maka
propaganda poligini, perkawinan muda dan banyak anak tak lain bertujuan untuk
pembiakan tenaga produksi. Dalam sejarahnya, poligini pun dimaksudkan untuk
memperbanyak jumlah tenaga produksi. Atau banyaknya populasi dalam keluarga
menjamin proses produksi keluarga berlangsung. Sedangkan perkawinan muda
dimaksudkan untuk menciptakan rentang usia subur perempuan untuk melahirkan anak
agar lebih panjang (artinya kemungkinan punya anak banyak lebih besar). Menurut
heamt saya, analisa Marx lebih dapat menjelaskan yang material dari hubungan
perkawinan, pembagian kerja secara seksual dalam situs keluarga daripada dalih syariat.
Lanjutan
Pertanyaannya adalah untuk dalih apa dalih syariat mempropagandakan poligini,
perkawinan usia muda dan banyak anak saat ini? Jawaban ini tentu berupa
hipotetis, tapi tidak sulit mencari contoh dalam sejarah. Saya mengambil contoh
praktik perkawinan jamak dalam kehidupan orang Mormon di AS abad ke-19 atas
dalih agama di satu pihak, dan pertahanan populasi di lain pihak. Namun
demikian fakta pertahanan populasi lebih material daripada dalih agama. Jadi, di
Indonesia propaganda massif poligini, perkawinan usia muda dan banyak anak
berhubungan dengan pembiakan populasi untuk menciptakan generasi baru yang
disebut “hijrah” dan menghapus populasi yang non-hijrah. Berbeda dengan di AS,
praktik poligini orang Mormon itu segera dilarang oleh pemerintah federal di
negara bagian Utah, sehingga praktik itu tidak berkembang luas. Sebaliknya di
Indonesia, terdapat gejala bahwa aparatus pemerintah pun mendukung meski
tidak terang-terangan atau melakukan pembiaran terhadap praktik tersebut.
Tentu, sekali lagi, dalihnya adalah syariat membolehkan praktik perkawinan
poligini, sehingga di Indonesia masalah poligini tampak disikapi secara ambigu –
bahkan oleh bukan pendukungnya.
Menjadi Pertarungan Perempuan Vs
Perempuan
Memang belum berdebat secara terbuka, tetapi perang wacana antar perempuan yang atas nama
syariat dan aktivis gerakan perempuan telah berlangsung. Ada beberapa topik perang wacana, dan
salah satunya mengenai keluarga. Sayang, tidak terjadi adu argumentasi yang didukung oleh teori
yang kuat dalam memperdebatkan konsep keluarga, kesetaraan, poligini, dan lainnya. Di kalangan
aktivis gerakan perempuan pun masih terlalu sunyi dalam menggali lebih material tentang keluarga.
Bagaimana konsep keluarga menurut feminis? Apakah pembagian kerja secara seksual/gender tetap
ada atau dihapuskan atau dilenturkan? Apakah kerja domestik di dalam keluarga untuk
mereproduksi tenaga kerja tak terelakkan di masa kapitalisme? Apakah aktivis feminis
mengorganisir perempuan sebagai individu atau keluarga? Bagaimana strategi baru untuk
menghapuskan situs penindasan dalam keluarga? Kebanyakan aktivis gerakan perempuan terpaku
pada konsep personal is politicaltetapi mengabaikan keluarga sebagai situs penindasan perempuan
sejak sejarah pembentukannya.
Sebaliknya, kelompok perempuan yang mengatasnamakan syariah membuang jauh-jauh
konsep personal is political, dan mengambil keluarga sebagai situs pemaknaan dirinya sebagai
perempuan. Mereka telah membuang konsep bahwa keluarga adalah situs penindasan perempuan,
dan sebaliknya mereka menafsirkan bahwa keluarga adalah situs bagi pembentukan kesalehan
mereka.
Meskipun propaganda syariah sangat nyaring dikumandangkan pendukung laki-lakinya, tetapi pada
akhirnya yang bertarung adalah perempuan versus perempuan dalam perang tanpa berhadapan.
Pada saat yang sama aktivis gerakan perempuan sedang gencar melawan perkawinan usia muda bagi
perempuan, tetapi belum menyatukan isu ini dengan perkawinan poligini dan banyak anak.
Adakah Serikat Buruh Memperhatikan Isu
Keluarga
Pengamatan saya mungkin terbatas. Tetapi secara umum, isu keluarga tak masuk ke dalam agenda
serikat. Terkesan ada dikotomi antara isu keluarga (sebagai situs reproduksi tenaga produksi) dan
isu produksi. Sementara aktivis Kiri-Lama, seperti Lenin, Clara Zetkin, Alexandra Kollontai
membahas tentang perkawinan dan keluarga, meskipun belum mempunyai argumen teori yang
memadai. Analisa keluarga yang memadai, yang menggunakan dialektika materialis dalam
menghubungkan antara kerja domestik perempuan (isteri) dalam keluarga dan kapital. Dialektika
materialisnya adalah menemukan status nilai komoditas pada kerja domestik perempuan. Artinya,
aktivis serikat buruh yang laki-laki  ketika memperjuangkan kenaikan upah, posisi upah itu adalah
harga komoditas kerja domestik isterinya.
Persisnya, penentuan upah layak harus diukur berdasarkan berapa biaya domestik yang
telah dikeluarkan oleh isteri kelas pekerja.
Sementara model keluaga syariah kian berkembang menjadi rujukan keluarga urban di kawasan
industri. Mereka sibuk mendakwah agar perempuan kelas pekerja menjadi saleh ketimbang menjadi
materialis, dan kesadaran terhadap identitas agamanya lebih menguat daripada kesadaran kelasnya.
Pada saat demikian, aktivis feminis dan serikat buruh seharusnya duduk bersama untuk meninjau
kembali situs keluarga sebagai situs penindasan perempuan dan kapital.
Sebagai penutup, saya mengutuipkan seruan Alexandra Kollontai, seorang feminis yang berjuang
dalam Revolusi Bolshevik di Rusia:
(…) Untuk menjadi benar-benar bebas, perempuan harus membuang rantai belenggu bentuk
keluarga yang sudah ketinggalan zaman dan menindas. Bagi perempuan, solusi dari “permasalahan
keluarga” tidak kalah penting dari pencapaian kesetaraan politik dan kemandirian ekonomi

Anda mungkin juga menyukai