Anda di halaman 1dari 32

Warisan Pemikiran

Roy Bhaskar
19 NOVEMBER yang lalu, Roy Bhaskar meninggal karena serangan jantung. Ia adalah seorang filsuf Marxis keturunan Inggris-India yang mengajar
di University of London. Ram Roy Bhaskar dilahirkan sebagai anak dari seorang dokter India yang pindah ke Inggris dan ibu Inggris yang
menghabiskan masa kecilnya di Afrika Selatan. Keduanya adalah penganut teosofi. Bhaskar sendiri menempuh perjalanan hidup yang lumayan
unik. Andrew Colliers memaparkan beberapa rincian menarik dari hidupnya dalam buku pengantar yang ia tulis tentang filsafat Bhaskar (Colliers
1994: 262-263). Sewaktu kuliah filsafat di Oxford, Bhaskar mencari penghasilan tambahan dengan menjadi penjaga keamanan (bouncer) di sebuah
kelab malam di Brighton. Ia mengalami radikalisasi (baca: menjadi Kiri) setelah mengalami masa-masa gejolak perlawanan 1968. Pada tahun 1971,
ia menikah dengan Hillary Wainwright, seorang aktivis Kiri yang kemudian aktif mengelola jurnal Red Pepper. Masa bulan madu keduanya
dihabiskan di ‘wilayah-wilayah yang terbebaskan’ (liberated zones) di Mozambik dan Angola dalam lindungan Front Pembebasan Mozambik
(Frelimo) dan Gerakan Rakyat Pembebasan Angola (MPLA).

Pada tahun 1975, terbit karya pertamanya—saya melihatnya sebagai karya terbaik Bhaskar—yang merupakan olahan dari disertasi doktoralnya
dengan judul A Realist Theory of Science. Dalam buku ini, kita mengenali gaya berfilsafat Analitik yang serupa dengan gaya pembimbing
disertasinya, Rom Harré, seorang filsuf Analitik yang mengkaji filsafat ilmu (philosophy of science). Gaya bahasanya ringkas, sistematis, tidak
bertele-tele. Kepustakaannya dipenuhi acuan ke berbagai perdebatan terkini dalam filsafat ilmu Analitik. Uniknya, di buku itu kita tak akan
temukan satu acuan pun ke Marx atau corpus teoretik Marxisme. Buku itu mencetuskan pandangan realisme kritis—yang akan kita bahas nanti—
sebagai suatu konsepsi filsafat ilmu yang sebetulnya, kalau dibaca teliti, bisa dijadikan dasar bagi kerangka analisis Marxian. Posisi epistemologi
realis yang diangkatnya sepenuhnya selaras dengan filsafat Marxis. Begitulah memang cara Bhaskar berfilsafat: ia membenarkan Marxisme tanpa
berargumen secara dogmatik dari otoritas tekstual Marxisme. Berbeda dari Althusser yang cenderung berangkat dari analisis tekstual atas
Marxisme untuk menjustifkasi Marxisme, Bhaskar berangkat dari analisis logis atas masalah-masalah filsafat yang ujungnya membuat Marxisme
benar adanya, membuat Marxisme masuk akal. Cara dia membahas filsafat ilmu alam dan ilmu sosial, kendati tidak bertopang pada teks-teks
Marxis, tetapi menggenapi Marxisme. Inilah yang bisa kita saksikan dalam karya keduanya yang juga bagus, The Possibility of Naturalism: A
Philosophical Critique of the Contemporary Human Sciences (1979). Di sana—seperti juga akan kita bahas nanti—Bhaskar mengetengahkan suatu
ontologi tentang masyarakat (soal struktur-agensi, determinisme-voluntarisme, fakta-nilai) yang klop dengan Marxisme tetapi diargumentasikan
tanpa menyeret-nyeret teks-teks kanonik Marxisme. Ia juga mengisi beberapa entri yang sangat jernih tentang pokok-pokok filsafat Marxis
(misalnya, dialektika, determinisme, dll) dalam kamus pemikiran Marxis yang disunting oleh Tom Bottomore (2001).
Pendekatan Realis dalam
Berpengetahuan
Kemunculan Bhaskar dalam panorama filsafat kontemporer dapat dilihat sebagai
perlawanan terhadap dua posisi ekstrem yang saling menegasi dalam sejarah filsafat
kontemporer:
1) Positivisme
Sementara yang pertama mereduksi realitas objektif ke realitas yang teramati (sebagai
fakta empirik) dan
2) Pascamodernisme., yang kedua mereduksi realitas objektif ke wilayah yang
berkorelasi secara konstitutif dengan manusia (entah bahasa, ketaksadaran, tubuh,
kesadaran intensional, pengalaman faktis-eksistensial).
Keduanya sama-sama mereduksi realitas ke realitas dimana keberadaan pengamat
sentral di dalamnya
Keduanya tidak berhasil memahami realitas tanpa mengasumsikan adanya manusia.
Keduanya, dengan demikian, menggambarkan kecenderungan umum epistemologi
kontemporer: antirealisme.
Setiap antirealisme, pada analisis terakhir, akan terjatuh pada solipsisme: tidak
berbicara tentang apapun selain mengenai apa-apa saja sejauh berkorelasi dengan diri.
Akibatnya, sains menjadi tidak dimungkinkan.
Lanjutan
Bhaskar berangkat dengan sebuah pertanyaan dasar: apakah syarat kemungkinan bagi adanya
sains? Ada dua syarat kemungkinan pokok (Bhaskar 1976:21).
Pertama, sains dimungkinkan sejauh sains merupakan produk sosial dari sejarah perdebatan
dalam masyarakat. Inilah yang disebut sebagai dimensi transitif dari ilmu pengetahuan.
Pengetahuan kita tentang sesuatu hari ini dibentuk oleh konsep-konsep yang diturunkan
dalam sejarah pengetahuan manusia. Misalnya, teori relativitas Einstein dirumuskan dalam
dialog kritis dengan teori gravitasi Newton. Dalam arti inilah Bhaskar menulis tentang suatu
proses “produksi pengetahuan dari dan melalui pengetahuan” (Bhaskar 1976:24).
Kedua, sains dimungkinkan sejauh sains merupakan sains-tentang-sesuatu dan sesuatu
itu dapat ada dengan atau tanpa sains. Inilah yang disebut sebagai dimensi intransitif ilmu
pengetahuan.
 Agar pengetahuan tentang sesuatu mungkin, sesuatu itu harus dapat ada tanpa
adanya pengetahuan tentangnya.
Adanya sesuatu tidak mensyaratkan pengetahuan tentang sesuatu itu
Pengetahuan tentang x tidak bersifat konstitutif terhadap adanya x.
Kendati Newtonlah yang menemukan hukum gravitasi, namun gravitasi itu sendiri sudah ada
tanpa perlu dirumuskan oleh Newton.
Dengan mengakui kedua syarat kemungkinan pengetahuan ini, Bhaskar sejatinya ingin
mengafirmasi pengertian bahwa
Pengetahuan adalah konstruksi sosial sekaligus pengertian bahwa pengetahuan adalah tentang
objektivitas.
Lanjutan
Bagaimana Bhaskar mendamaikan dua syarat kemungkinan yang nampak paradoksal itu?
Sementara dimensi transitif pengetahuan cenderung menarik kita pada pengertian tentang
pengetahuan sebagai aktivitas subjektif dan korelatif terhadap pengamat,
Dimensi intransitifnya menarik kita pada pengertian tentang pengetahuan sebagai aktivitas
yang tertuju pada objektivitas yang a-korelatif terhadap pengamat.
 Bhaskar menyelesaikan paradoks ini dengan mengajukan sebuah pertanyaan
transendental: mesti seperti apakah dunia agar pengetahuan tentangnya
dimungkinkan? Dengan pertanyaan ini, Bhaskar membasiskan epistemologi pada
ontologi.[1] 
Kalau pengetahuan ada dan pengetahuan adalah selalu pengetahuan tentang sesuatu di luar
pengetahuan itu sendiri, maka adanya dunia niscaya independen terhadap adanya
pengetahuan.
“Karena ada sains,” demikian Bhaskar, “pastilah ada dunia yang tertentu” (Bhaskar 1976:29).
Artinya, justru karena ada dimensi intransitif dalam pengetahuan, maka pengetahuan itu
sendiri dimungkinkan, berikut dengan dimensi transitifnya.
Intransitivitas pengetahuan mendeterminasi transitivitasnya. Sejarah perdebatan saintifik bisa
ada justru karena ada objek yang agar ada tidak memerlukan tautan dengan (pengetahuan)
manusia.
Dengan kata lain, agar ada sains samasekali, sains mestilah realis. Dimensi historis dan sosial
dari sains dimungkinkan oleh dimensi realisnya.
Lanjutan
Bhaskar mengkontraskan pandangannya ini dengan dua pandangan yang dominan dalam filsafat ilmu
pengetahuan.
 Yang pertama adalah empirisisme klasik Hume dan derivat kontemporernya, yakni positivisme Ernst
Mach dan Lingkaran Wina. Pandangan ini memahami realitas sebagai kesan indrawi atau data yang
terberi lewat observasi langsung. Realitas, bagi mereka, tersusun oleh atom-atom yang teramati dan
seluruh peristiwa dalam alam dapat diterangkan berdasarkan penjelasan atas interaksi elementer
antar atom yang dapat diobservasi itu.
Yang kedua adalah idealisme transendental Kant dan derivat kontemporernya seperti fenomenologi
Husserl dan pascamodernisme. Pandangan ini memahami realitas sebagai efek dari medium
pengetahuan manusia. Dunia adalah hasil mediasi manusia sehingga adanya manusia bersifat
konstitutif terhadap adanya dunia. Dalam pandangan ini, adanya dunia dijelaskan oleh adanya ‘dunia-
kehidupan yang dialami secara subjektif’, ‘diskursus’, tentang dunia.
Kedua pandangan ini sama-sama problematisnya. Keduanya bergantung pada realisme empiris,
yakni pandangan yang menyamakan apa yang ada dengan apa yang nampak atau apa yang berkorelasi
dengan subjek.
 Bagi Bhaskar, problem utama realisme empiris adalah bahwa pandangan ini terjatuh ke
dalam kekeliruan epistemik (epistemic fallacy), yakni ilusi bahwa proposisi tentang apa yang
ada dapat direduksi ke dalam proposisi tentang pengetahuan kita mengenai apa yang ada.[2]
Dengan kata lain, realisme empiris telah mereduksi ontologi pada epistemologi, mereduksi
pertanyaan “apa itu kenyataan” menjadi pertanyaan “siapakah aku”.[3]
Lanjutan
Mengatasi kedua pandangan tersebut, Bhaskar mengajukan posisisnya sendiri
yang ia sebut sebagai realisme transendental. Realisme artinya mengakui
sentralitas dimensi intransitif pengetahuan dan transendental berarti berangkat
dari pertanyaan tentang syarat kemungkinan ontologis bagi adanya pengetahuan.
Melawan empirisisme, Bhaskar menyatakan bahwa objek pengetahuan tidak
berhenti pada benda-benda empirik sebagai atom dan peristiwa sebagai interaksi
antar atom tersebut, melainkan mesti juga mencapai penjelasan tentang struktur,
tendensi atau mekanisme yang inheren dalam realitas kendati tak teramati secara
empirik samasekali. Melawan idealisme, Bhaskar menyatakan bahwa ada dimensi
intransitif yang konstitutif terhadap adanya pengetahuan. Kendati pengetahuan
dibentuk oleh pengalaman intersubjektif, tetapi objek pengetahuan itu dapat ada
tanpa adanya subjektivitas dan intersubjektivitas samasekali.
Realisme transendental adalah sebuah filsafat ilmu realis yang ditopang oleh
ontologi yang terstratifikasi. Artinya, realitas dipandang tersusun oleh lapisan-
lapisan yang hirarkis. Dalam kerangka inilah Bhaskar merumuskan pemilahannya
atas tiga domain realitas berikut dengan elemen spesifiknya (Bhaskar 1976:13).
Lanjutan
Domain riil adalah wilayah mekanisme dan struktur yang imanen dalam realitas,
yang tidak menampak langsung pada observasi empirik namun sekaligus
disyaratkan bagi adanya aktualitas peristiwa, objek empiris dan pengalaman
atasnya. Inilah domain esensi realitas yang menjadi objek sesungguhnya dari
pengetahuan yang benar.
Domain aktual adalah wilayah peristiwa-peristiwa yang merupakan efek dari
mekanisme riil yang inheren dalam benda. Peristiwa-peristiwa ini dapat diamati.
 Domain empiris adalah wilayah objek-objek yang dapat diobservasi.
 Kalau domain riil, aktual dan empiris dinotasikan secara berturut-turut sebagai
Dr, Da dan De, maka hubungan di antara ketiga domain tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Dr ≥ Da ≥ De (Bhaskar 1976:56).
Tiga domain realitas ini dapat kita pahami lebih jelas dalam contoh sederhana
berikut ini:
Lanjutan
Melalui contoh tersebut, terlihat bahwa kendati apa yang disebut
gravitasi tak pernah dipersepsi secara langsung namun
keberadaannya disyaratkan agar kita dapat memikirkan sebab bagi
peristiwa empirik jatuhnya apel dari pohon.
Epistemologi empirisis tidak akan mencapai pengertian tentang
gravitasi semacam itu, karena apa yang tidak menampak melalui
observasi kemudian dengan cepat dilabeli sebagai ‘metafisika’ dan tak
digubris samasekali.
Epistemologi idealis, kendati mungkin saja mempostulatkan adanya
gravitasi, akan mereduksi gravitasi itu pada kerangka subjektif,
misalnya, sebagai efek diskursif atau sebagai konvensi intersubjektif.
Hanya realisme transendentallah yang mampu menangkap gravitasi
pada dirinya: memahaminya sebagai realitas yang ada di seberang
yang-indrawi (contra empirisisme klasik) sekaligus mengakui
independensinya terhadap keberadaan subjek (contra idealisme
transendental).
Lanjutan
Realisme empiris mampu menjelaskan realitas sejauh realitas itu dimengerti sebagai totalitas
yang tertutup, dengan kata lain, sebagai sistem yang tertutup dimana ‘konjungsi konstan’ di
antara peristiwa terjadi. Sistem yang tertutup (closed system) ialah kondisi dimana berlaku
proposisi “jika x maka y”. Dengan kata lain, sistem yang tertutup adalah suatu kondisi dimana
sebuah peristiwa dapat diderivasikan dari sebuah sebab elementer secara niscaya. Misalnya,
arah sinar matahari menyebabkan arah perkembangan dedaunan sebuah tanaman (fototropi),
sejauh kita menempatkan semua faktor lain dalam asumsi ceteris paribus. Kondisi ‘ceteris
paribus’ ini bersifat esensial dalam perumusan setiap sistem tertutup. Apabila kausalitas
tersebut ditentukan juga oleh faktor-faktor lain, dan faktor penentu ini dimasukkan dalam
analisis maka kesimpulan yang diperoleh tentu berbeda.
Realisme empiris mampu menjelaskan realitas sejauh realitas itu dimengerti sebagai totalitas
yang tertutup, dengan kata lain, sebagai sistem yang tertutup dimana ‘konjungsi konstan’ di
antara peristiwa terjadi. Sistem yang tertutup (closed system) ialah kondisi dimana berlaku
proposisi “jika x maka y”. Dengan kata lain, sistem yang tertutup adalah suatu kondisi dimana
sebuah peristiwa dapat diderivasikan dari sebuah sebab elementer secara niscaya. Misalnya,
arah sinar matahari menyebabkan arah perkembangan dedaunan sebuah tanaman (fototropi),
sejauh kita menempatkan semua faktor lain dalam asumsi ceteris paribus. Kondisi ‘ceteris
paribus’ ini bersifat esensial dalam perumusan setiap sistem tertutup. Apabila kausalitas
tersebut ditentukan juga oleh faktor-faktor lain, dan faktor penentu ini dimasukkan dalam
analisis maka kesimpulan yang diperoleh tentu berbeda.
Lanjutan
Problem dari ketergantungan realisme empiris pada sistem yang tertutup terletak
pada konsepnya tentang penjelasan (explanation). Teori tentang penjelasan yang
terdapat dalam realisme empiris dirumuskan oleh Karl Popper dan Carl G. Hempel.
 Bagi Popper-Hempel, menyatakan ‘x menjelaskan y’ berarti berkata tentang dua hal: 
pertama, x merupakan hukum dari y (deduktif-nomologis); 
kedua, ‘x menjelaskan y’ adalah regularitas empirik atau hal yang terus-menerus
terjadi sebagaimana diamati (induktif-statistis) (Bhaskar 1976:66).
 Hempel menyatakan bahwa karena penjelasan adalah proses derivasi, maka
penjelasan identik dengan prediksi (Manicas 1987:250).
 Dengan teori penjelasan ini, realisme empiris terjatuh ke dalam kekeliruan mendasar
yang disebut Bhaskar sebagai aktualisme, yakni menyamakan domain riil dengan
domain aktual.
 Ini terlihat dari cara Popper-Hempel menempatkan hukum pada aras peristiwa yang
teramati secara empirik.
Padahal regularitas empirik atau konjungsi konstan di antara peristiwa bukanlah fakta
elementer realitas.
Regularitas atau konjungsi itu, bagi Bhaskar, tak lain adalah hasil dari fabrikasi
artifisial sains yang dilakukan lewat eksperimen.
Lanjutan
Proses eksperimen adalah proses produksi prakondisi-prakondisi yang diduga memicu munculnya
peristiwa tertentu dan memilah-milah prakondisi mana yang memiliki tautan positif-kausal terhadap
peristiwa itu melalui uji-coba.
Oleh karenanya, regularitas empirik yang muncul dalam eksperimen selalu merupakan regularitas yang
difabrikasi oleh ilmuwan. Dalam arti inilah Bhaskar menulis bahwa “konjungsi-konjungsi antar fenomena
tidak terberi pada kita, melainkan kita ciptakan” (Bhaskar 1976:54).
 Kondisi eksperimental inilah yang disebut Bhaskar sebagai ‘penutupan’ (closure) atas sebuah sistem.
Dengan demikian, sistem yang tertutup bukanlah sesuatu yang ada dalam realitas, melainkan hasil laku
penutupan yang dijalankan ilmuwan dalam mengisolasi prakondisi tertentu yang memiliki tautan positif-
kausal terhadap peristiwa.[4] 
Oleh karena sistem yang tertutup adalah hasil konstruksi eksperimental dan kemungkinan bagi
ditutupnya sesuatu mensyaratkan keterbukaannya, maka realitas adalah sistem yang terbuka dan
mencakup sesuatu yang lebih dari sekedar yang-empiris. “Agar sains mungkin dunia mesti terbuka;
manusialah yang menutupnya secara eksperimental.
 Dan mereka melakukannya untuk menemukan struktur, bukan untuk mencatat pola peristiwa” (Bhaskar
1976:126).
Dalam sistem yang terbuka—totalitas kenyataan itu sendiri—ada keragaman mekanisme atau struktur
yang non-empirik dan inheren dalam setiap benda serta peristiwa.
Tugas sains yang realis adalah menutup keterbukaan ini dan mencari dimensi intransitif dalam fenomena
kausal yang ditemukannya dalam sistem tertutup itu—bukan hanya regularitas empirik tetapi juga
struktur implisit yang bisa ada tanpa eksperimen dan pengamat. “Sains,”
 Tulis Bhaskar, “adalah upaya sistematis untuk mengekspresikan dalam pikiran struktur dan modus
tindakan benda-benda yang ada dan berlaku secara independen terhadap pikiran” (Bhaskar 1976:250)
Lanjutan
Di luar persoalan intransitivitas ilmu pengetahuan, Bhaskar juga mengingatkan kita bahwa realisme
transendental tidak dapat dimengerti sebagai sejenis ‘absolutisme epistemologis’ atau pengertian bahwa
semua keyakinan kita tentang dunia pasti benar seratus persen.
 Absolutisme semacam ini justru mengantarkan kita pada idealisme yang mereduksi dunia pada
pengetahuan tentang dunia.
Dalam kaitan dengan itu, ia mengritik konsepsi tentang pengalaman sebagai sesuatu yang ‘bebas-teori’
(Bhaskar 1976:248). Konsepsi semacam inilah yang melandasi teori korespondensi tentang kebenaran,
yakni pengertian bahwa kebenaran adalah kecocokan antara proposisi dan ‘hal-ikhwal’ (state of affair)
yang dideskripsikan oleh proposisi tersebut. Bhaskar menulis: “Tidak ada jalan dimana kita dapat
melihat dunia lalu melihat sebuah kalimat dan kemudian bertanya apakah keduanya cocok” (Bhaskar
1976:249).
 Kecocokan ini tidak dimungkinkan karena kalimat observasi dasar (atau ‘kalimat protokol’) telah selalu
membawa suatu teori tertentu (theory-laden)—sebagaimana ditunjukkan, misalnya, oleh Otto Neurath.
Oleh karenanya, menurut Bhaskar, realisme mesti menerima relativitas epistemologis.
Relativitas epistemologis adalah pengertian bahwa semua kepercayaan dan pengetahuan adalah produk
sosio-historis (dimensi transitif sains) dan, oleh karenanya, dapat keliru.
 Ini mesti dibedakan dari jenis relativisme yang merusak sains,
Yakni relativisme putusan (judgemental relativism) yang menyatakan bahwa semua
kepercayaan/pengetahuan sama benarnya sebab tak ada kriteria dasar-universal yang dapat memilah
pengetahuan yang benar dari yang keliru (Bhaskar 1989:57).
 Relativisme epistemologis dapat menjaga realisme dari bahaya terjatuh pada sikap ideologis yang
menganggap bahwa proposisi elementer dalam pengetahuan niscaya transparan terhadap paradigma
teoretik yang kita gunakan.
 Dalam arti itu, Bhaskar menyebut relativitas epistemologis sebagai ‘tangan kanan’ realisme (Bhaskar
1976:249).
Persoalan Naturalisme, Ilmu Alam dan Ilmu
Sosial
Dalam ranah ilmu alam, realisme transendental Bhaskar dengan mudah dapat
dipertahankan. Lantas apakah realisme tersebut dapat diberlakukan juga pada ranah
ilmu sosial? Pertanyaan ini sudah coba dijawab Bhaskar dalam bagian akhir buku Realist
Theory of Science. Di sana ia segera mengakui bahwa persoalannya tidak semudah
kelihatannya. Problem dasarnya adalah bahwa ‘penutupan’ secara eksperimental tidak
dapat dijalankan dalam kajian sosial.[5] Sementara dalam ilmu alam, kita dapat
memanipulasi kondisi penelitian demi tujuan mengisolasi mekanisme kausal yang
bekerja dalam sebuah sistem, dalam ilmu sosial kita tidak mungkin melakukannya
karena terlalu banyak variabel yang berperan dalam realitas sosial. Metode isolasi
variabel tidak dapat dijalankan dalam ilmu yang objek kajiannya adalah manusia—yang
pada dirinya mengandung banyak sekali variabel yang tidak dapat disingkirkan lewat
isolasi tanpa menghapuskan kekhasan manusia itu sendiri. Tantangan ilmu sosial
terhadap realisme transendental inilah yang dijawab Bhaskar dalam buku keduanya, The
Possibility of Naturalism, dengan suatu pengertian tentang naturalisme kritis.
Tesis dasar naturalisme adalah kesatuan metodologis di antara seluruh ilmu pengetahuan.
Artinya, seorang naturalis adalah ia yang meyakini bahwa masyarakat dapat diteliti
dengan cara yang sama seperti alam. Tidak ada separasi metodologis yang hakiki antara
ilmu sosial dan ilmu alam. Sebaliknya, antinaturalisme adalah kepercayaan tentang
adanya separasi metodologis yang hakiki di antara kedua kelompok ilmu tersebut. Dalam
pemetaan Bhaskar, kedua kubu ini dapat dipilah sebagai berikut (Bhaskar 1989:1):
Lanjutan

Berhadapan dengan kedua tradisi besar dalam filsafat ilmu sosial ini, Bhaskar tidak
memilih berpihak pada salah satu dari antara keduanya. Bhaskar memilih untuk
mengkritik keduanya dan merumuskan sebuah pendekatan baru yang merupakan
sintesis dari oposisi tersebut.
Lanjutan
Kritik Bhaskar atas kedua posisi itu sebangun dengan kritiknya atas
empirisisme klasik (sebagai basis dari naturalisme) dan idealisme
transendental (sebagai basis dari antinaturalisme).
Apabila yang pertama (empirisisme-naturalisme) hanya mengakui
objektivitas sejauh terberikan secara empirik lewat observasi, . Apabila
yang pertama, mereduksi makna pada fakta empiris,
yang kedua (idealisme-antinaturalisme) mereduksi objektivitas secara
langsung pada kategori subjektif dan yang kedua mereduksi fakta empiris
pada makna.
Dengan kata lain, keduanya sama-sama bergantung pada fakta empiris itu
sendiri, yakni pada realisme empiris.
Sejauh kesan indrawi hanya ada jika ada proses pengindraan dan subjek
pengindraan, maka kedua posisi itu, pada analisis terakhir, sama-sama
subjektivisnya (dan, dengan kata lain, relativis-antroposentrik).
Keduanya sama-sama tidak mengakui stratifikasi realitas yang
meniscayakan adanya ‘fakta’ dasar yang non-empiris, yakni mekanisme,
struktur atau tendensi yang bersifat intransitif (domain riil).
Lanjutan
Jenis naturalisme yang hendak diupayakan Bhaskar tidak sama dengan naturalisme empiris di
muka.
Naturalisme yang dikembangkan Bhaskar menyatakan adanya ‘kesatuan metode yang esensial’
(essential unity of method) di antara kedua ilmu tersebut, sembari mengakui perbedaan isi atau
objek kajiannya dan karenanya juga mengakui perbedaan dalam metodenya.
Yang mau diupayakan Bhaskar adalah memberikan justifikasi pada ilmu sosial sebagai sains—
dan tidak hanya sebagai spekulasi liar tentang masyarakat—sekaligus mengafirmasi perbedaan
ilmu sosial dan alam sebagai sains.
Upaya ini ia jalankan dengan bersetia pada prosedur realisnya: berangkat dari penampakan
untuk mencapai esensi dari penampakan, atau langkah dari domain empirik, domain aktual
dan akhirnya mencapai domain riil (Bhaskar 1989:19).
Naturalisme kritis adalah sebuah naturalisme yang sadar akan batas-batasnya sendiri. Kata
‘kritis’ di sini, tentu saja, mengacu pada Kant. Naturalisme mesti berangkat dengan pertanyaan
tentang syarat kemungkinan bagi keberadaannya sendiri dan, dengan demikian, juga tentang
prakondisi yang membatasi naturalisme tersebut. Prosedur pertanyaan dalam naturalisme
kritis, seperti dalam realismenya, diwujudkan secara transendental: mesti seperti apakah
realitas sosial agar apa yang disebut ilmu sosial sebagai sains dimungkinkan? Dengan kata lain,
epistemologi tentang masyarakat mensyaratkan ontologi sosial. Inilah yang diterangkan
Bhaskar lewat teorinya tentang masyarakat yang ia sebut sebagai ‘Model Aktivitas Sosial
Transformasional’ (Transformational Model of Social Activity—disingkat TMSA). Teori ini
merupakan hasil rekonstruksi Bhaskar atas pandangan sosiologis Marx.
Mode Aktivitas Sosial Tranformasional
Terdapat dua penjelasan umum tentang ada-nya masyarakat.
Yang pertama melihat masyarakat sebagai himpunan yang tersusun oleh
individu-individu,
Apabila yang pertama direpresentasikan dalam sosiologi Max Weber,
Keduanya juga merepresentasikan metodologi yang berbeda
individualisme metodologis yang agregatif
Keduanya merefleksikan dua posisi filsafat yang berbeda
interpretivisme Weber berakar dari neokantianisme yang dianutnya, sementara
Sementara yang kedua melihatnya sebagai tersusun oleh kelompok sosial yang
tak bisa direduksi pada individu. Apabila yang kedua dalam sosiologi Emile
Durkheim.
Keduanya juga merepresentasikan metodologi yang berbeda:
holisme metodologis yang organisis.
interpretivisme Weber berakar dari neokantianisme yang dianutnya, sementara
positivisme Durkheim berakar dari empirisismenya.
Selain itu, keduanya juga menggambarkan arah determinasi yang berbeda dalam
masyarakat. Bhaskar menggambarkannya sebagai berikut (Bhaskar 1989:3
Lanjutan

-) Sementara Weber melihat masyarakat sebagai entitas agregatif yang ditentukan oleh
sifat-sifat atom/individu yang menyusunnya,
-) Oleh karena itu, Weber cenderung mereduksi masyarakat pada kehendak individual
(voluntarisme),
-) Durkheim melihatnya sebagai entitas organik yang menentukan sifat-sifat individu di
dalamnya.
-) Sementara Durkheim mereduksi individu pada struktur sosial seperti grup (reifikasi).
Perbedaan di antara kedua paradigma ini dapat dirangkum dalam tabel berikut:
Lanjutan

1) Selain itu, dapat ditambahkan pula bahwa sementara dalam model


Weberian ‘ada tindakan, tetapi tidak ada prakondisi’,
2) Dalam model Durkheimian ‘ada prakondisi, tetapi tidak ada tindakan’
(Bhaskar 1989:37).
Dalam keduanya, oleh karena itu, tidak dimungkinkan konsep perubahan
sosial yang berarti—dan karenanya juga tidak ada sejarah.
Kedua pandangan tersebut ditolak oleh Bhaskar demi suatu sintesis
ontologi sosial yang lebih seimbang.
Lanjutan
Melawan Weber, Bhaskar menyatakan bahwa “masyarakat adalah prakondisi yang niscaya bagi
adanya tindakan intensional manusia samasekali” (Bhaskar 1989:34). Artinya, individualitas
hanya dimungkinkan sejauh ada struktur sosial.
Melawan Durkheim, Bhaskar menyatakan bahwa struktur sosial bukanlah makhluk yang
otonom terhadap kehendak individu sebab tidak ada masyarakat tanpa tindakan individual
manusia.
Dalam pandangan Bhaskar, kendati individu tidak menciptakan masyarakat, tetapi masyarakat
tak akan ada tanpa interaksi individual. “
Masyarakat tidak ada secara independen terhadap aktivitas manusia (kekeliruan reifikasi).
Namun, masyarakat juga bukan produk dari aktivitas manusia (kekeliruan voluntarisme)”
(Bhaskar 1989:36).
Bagi Bhaskar, di satu sisi, struktur sosial telah selalu mendahului adanya individu dan tindakan
sosial karena tanpa struktur tersebut perilaku individu dan tindakan sosial akan kehilangan
signifikansinya, tetapi di sisi lain,
Struktur sosial hanya mengemuka melalui individu dan tindakan sosial sebab apabila tidak ada
manusia maka struktur sosial pun akan lenyap.
 Contoh sederhana yang diajukan Bhaskar ialah aturan tatabahasa (grammar).
Di satu sisi, tatabahasa Indonesia dapat dianggap mendahului pemakaian bahasa
individual karena pemakaian bahasa tersebut sudah selalu mensyaratkan adanya
tatabahasa, tetapi di sisi lain,
Apabila semua orang Indonesia berbicara dengan bahasa Inggris maka tatabahasa Indonesia
itupun lenyap.
Lanjutan
Berangkat dari refleksi tersebut, Bhaskar menarik kesimpulan tentang
kespesifikan struktur sosial. 
Berbeda dengan ilmu alam, struktur intransitif yang digali dalam ilmu
sosial tidak bisa ada tanpa adanya manusia.
Struktur sosial adalah sesuatu yang “tidak dapat direduksikan pada, tetapi
hanya hadir dalam, laku intensional manusia” (Bhaskar 1976:248).
Pandangan ini diperoleh dari konsep kausalitas struktural Althusser (struktur
yang tidak identik dengan, tetapi hanya ada dalam, efek-efeknya).
Bhaskar mencatat tiga hal yang khas dalam struktur sosial dan
membedakannya dengan struktur alam (Bhaskar 1989:38):
1) Struktur sosial tidak ada secara independen terhadap aktivitas sosial yang
dikondisikannya
2) Struktur sosial tidak ada secara independen terhadap konsepsi agen tentang
apa yang mereka lakukan dalam tindakannya
3) Struktur sosial mungkin hanya dapat bertahan secara relatif (mekanisme yang
internal dalam masyarakat tidak invarian secara spasio-temporal)
Lanjutan
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa intransitivitas
dalam ilmu sosial berbeda dari intransitivitas dalam ilmu alam.
Pengertian yang khas tentang intransitivitas sosial inilah yang
memungkinkan teoretisasi tentang
konsep ideologi dan perubahan sosial.
Intransitivitas struktur sosial terhadap agen merupakan dimensi
ideologis yang membuat tatanan sosial yang ada nampak
alamiah, sementara
transitivitasnya terhadap agen menandai potensi perubahan
sosial yang dilakukan oleh agen dalam masyarakat.
TMSA, yang direkonstruksi Bhaskar dari Marx,
Memungkinkan teori tentang ideologi sekaligus emansipasi.
Agen dikondisikan oleh struktur sosial tetapi
sekaligus juga dapat mentransformasi struktur tersebut karena
struktur tersebut bukanlah ‘hukum kodrat’ yang alamiah.
Kritik Emansipatoris Fakta dan Nilai
Pandangan naturalisme kritis ini kemudian digunakan Bhaskar untuk membongkar salah
satu ‘skandal’ besar dalam perdebatan naturalisme versus antinaturalisme, yakni problem
transisi dari ‘adalah’ ke ‘seharusnya’ (Is and Ought Problem).
Dalam sejarah filsafat sejak era Modern, transisi tersebut terlarang. Larangan ini dimulai
secara implisit dalam perumusan Problem Induksi oleh Hume.
Problem Induksi menyatakan bahwa tidak ada penyimpulan umum-universal dari
deskripsi partikular karena universalitas kesimpulan tidak dapat dibasiskan pada
kumpulan observasi yang terbatas (Bonjour 1996:391-392). Dalam contohnya yang terkenal,
Hume mengatakan bahwa dari fakta partikular bahwa selama ini matahari terbit dari
timur, kita tidak bisa menyimpulkan secara universal bahwa matahari akan selalu terbit
dari timur. Tidak ada transisi dari partikularitas ke universalitas. Dalam contoh tersebut,
kita dapat menyaksikan secara implisit problem transisi dari ‘adalah’ (“selama ini matahari
terbit dari timur) ke ‘seharusnya’ (“matahari akan selalu terbit dari timur”).
 Transisi is ke ought, dengan kata lain, melibatkan lompatan logika yang tidak dapat
dijustifikasi dan, karenanya, tidak sah. Dengan itu, bagi Bhaskar, muncullah sebuah ayat
kepercayaan dasar dalam ilmu-ilmu sosial bahwa transisi dari proposisi faktual ke proposisi
nilai, dari deskripsi ke imperatif, adalah terlarang (Bhaskar 1989:54).
Kaum antinaturalis akan menolak transisi fakta ke nilai, sementara kaum naturalis akan
mengakuinya. Sebaliknya juga, kaum antinaturalis akan menerima transisi nilai ke fakta,
sementara kaum naturalis akan menolaknya. Apabila kita notasikan relasi penjelasan
sebagai ‘→’ dan bentuk negatif dengan ‘¬’, maka kita akan memperoleh pemetaan Bhaskar
dalam tabel berikut (Bhaskar 1987:174):
Lanjutan
Pandangan naturalisme kritis ini kemudian digunakan Bhaskar untuk membongkar salah
satu ‘skandal’ besar dalam perdebatan naturalisme versus antinaturalisme, yakni problem
transisi dari ‘adalah’ ke ‘seharusnya’ (Is and Ought Problem). Dalam sejarah filsafat sejak
era Modern, transisi tersebut terlarang. Larangan ini dimulai secara implisit dalam
perumusan Problem Induksi oleh Hume. Problem Induksi menyatakan bahwa tidak ada
penyimpulan umum-universal dari deskripsi partikular karena universalitas kesimpulan
tidak dapat dibasiskan pada kumpulan observasi yang terbatas (Bonjour 1996:391-392).
Dalam contohnya yang terkenal, Hume mengatakan bahwa dari fakta partikular bahwa
selama ini matahari terbit dari timur, kita tidak bisa menyimpulkan secara universal
bahwa matahari akan selalu terbit dari timur. Tidak ada transisi dari partikularitas ke
universalitas. Dalam contoh tersebut, kita dapat menyaksikan secara implisit problem
transisi dari ‘adalah’ (“selama ini matahari terbit dari timur) ke ‘seharusnya’ (“matahari
akan selalu terbit dari timur”). Transisi is ke ought, dengan kata lain, melibatkan
lompatan logika yang tidak dapat dijustifikasi dan, karenanya, tidak sah. Dengan itu,
bagi Bhaskar, muncullah sebuah ayat kepercayaan dasar dalam ilmu-ilmu sosial bahwa
transisi dari proposisi faktual ke proposisi nilai, dari deskripsi ke imperatif, adalah
terlarang (Bhaskar 1989:54).
Kaum antinaturalis akan menolak transisi fakta ke nilai, sementara kaum naturalis akan
mengakuinya. Sebaliknya juga, kaum antinaturalis akan menerima transisi nilai ke fakta,
sementara kaum naturalis akan menolaknya. Apabila kita notasikan relasi penjelasan
sebagai ‘→’ dan bentuk negatif dengan ‘¬’, maka kita akan memperoleh pemetaan
Bhaskar dalam tabel berikut (Bhaskar 1987:174):
Yang hendak dibuktikan Bhaskar dalam argumentasinya ada dua hal:
1) Menolak pandangan antinaturalis bahwa tak ada transisi dari fakta ke nilai (menolak
¬ (fakta → nilai)) dan
2) Menolak pandangan naturalis bahwa tak ada transisi dari nilai ke fakta (menolak ¬
(nilai → fakta)).
Bhaskar berangkat dari penolakannya yang kedua. Argumen yang mengafirmasi adanya
pengaruh normatif dalam penyimpulan atas fakta dapat diajukan pada beberapa level
dan memiliki akar historisnya dalam tradisi antinaturalis jauh sebelum Bhaskar. Berikut
adalah tabel yang menunjukkan titik-titik pengaruh tersebut:[6]
Lanjutan
Lanjutan
Melalui tabel di muka terlihat bahwa nilai dapat ikut mempengaruhi penyimpulan atas
fakta dalam ilmu sosial. Tidak semua skenario pengaruh normatif ini diterima oleh
Bhaskar. Hanya pengaruh nilai melalui ‘standar penelitian’ yang diterima oleh Bhaskar
tanpa kritik, yakni bahwa nilai ikut mempengaruhi pemakaian kriteria analisis yang
tertentu (misalnya, tentunya ada motivasi etis yang mendorong peneliti untuk memilih
Marxisme sebagai metode analisis). Kita tidak akan mengikut alasan penolakan Bhaskar
atas ketiga bentuk pengaruh yang lain karena keterbatasan waktu dan tempat.
Pembuktian yang lebih krusial, bagi Bhaskar, adalah pembuktian akan validitas transisi
dari fakta ke nilai. Apabila transisi ini tidak dapat dijamin, maka ilmu sosial secara
niscaya akan terceraikan dari dimensi emansipatorisnya (sebab dengan tiadanya transisi
tersebut, tidak ada tuntutan emansipatoris yang mungkin muncul dari pengertian yang
akurat tentang realitas sosial). Dengan kata lain, apabila transisi itu tidak sah, maka
persoalan emansipasi sosial adalah perkara yang sepenuhnya ekstra-teoretik, sepenuhnya
emotif-retoris-sentimentil, sebab diputuskan secara ad hoc tanpa basis faktual yang
terjustifikasi secara ilmiah. Potensi emansipatoris ilmu sosial hanya mungkin jika transisi
dari fakta ke nilai, dari deskripsi ke imperatif, dari proposisi objektif ke formula subjektif
bagi tindakan, dimungkinkan.
Lanjutan
Jalan yang ditempuh Bhaskar untuk membuktikan transisi tersebut relatif sederhana.[7] 
Solusi Bhaskar hanya bertumpu pada sebuah asumsi fundamental, yakni bahwa apa yang benar
sama dengan apa yang baik.
 Kalau asumsi ini diterima, maka transisi fakta ke nilai dapat diterangkan sebagai berikut.
Apabila proposisi faktual tentang masyarakat mengindikasikan adanya kontradiksi dalam
masyarakat yang dianalisis, maka kontradiksi atau kekeliruan ini dengan sendirinya merupakan
sebuah pertanda bagi perlunya perubahan sosial untuk mengatasinya.
Di sini dapat kita lihat bahwa sementara premis kalimat di muka menangkap faktualitas,
kesimpulannya justru memuat imperatif etis.
 Silogisme ‘fakta → nilai’ seperti ini dimungkinkan karena bila apa yang benar itu baik dan apa yang
keliru itu buruk, maka apa yang keliru harus ditransformasi/dikoreksi menjadi benar, dan
karenanya juga baik. Demikianlah Bhaskar mengkritik kaum naturalis (positivis).
Implikasi logisnya, kalau laku transformasi (praxis emansipasi) yang dilandasi silogisme ‘fakta →
nilai’ ini dimungkinkan, maka yang silogisme ‘nilai → fakta’ juga dimungkinkan:
Oleh karena praxis emansipasi dilandasi oleh nilai (yang dilandasi oleh proposisi faktual), dan
emansipasi menciptakan tatanan baru atau fakta baru, maka ada transisi dari nilai ke fakta.
 Demikianlah Bhaskar mengkritik kaum antinaturalis (kaum hermeneut). Kita dapat
memformalisasikan argumen sentral Bhaskar ini:
Bagan
Lanjutan
Bhaskar kemudian mengantisipasi sanggahan yang mungkin muncul. Tidakkah dengan
mengasumsikan identitas antara kebenaran dan kebaikan sebetulnya kita tengah membuat
fakta menjadi nilai sehingga distingsi fakta-nilai, serta transisinya, sudah terjawab bahkan sebelum
solusinya dirumuskan? Bhaskar menjawabnya dengan mengatakan: tesis bahwa
“kebenaran adalah apa yang baik … bukanlah sebuah persyaratan bagi diskursus moral saja,
melainkan juga persyaratan bagi adanya semua diskursus samasekali. Komitmen pada kebenaran
dan konsistensi berlaku dalam diskursus moral maupun faktual” (Bhaskar 1989: 63). Artinya,
asumsinya bahwa apa yang benar itu baik adalah sesuatu yang secara implisit berlaku juga dalam
kajian faktual sebab tanpanya tak akan ada kajian faktual samasekali (sejauh kajian faktual juga
mensyaratkan diterimanya kriteria objektivitas sebagai sesuatu yang mesti diupayakan dalam laku
saintifik).
Oleh karena asumsi tersebut valid, maka transisi dari fakta ke nilai dapat dijalankan. Transisi ini
mengemuka dalam keperluan normatif bagi perubahan sosial yang timbul sebagai konsekuensi
logis dari kebutuhan untuk koreksi atas kekeliruan/kontradiksi yang ada dalam objek analisis.
Karenanya, imperatif emansipasi tidak timbul secara ad hoc dari ketergantungan pada kerangka
normatif tertentu, melainkan merupakan bagian dari keperluan analisis yang logis, atau dengan
kata lain, merupakan hasil deduksi langsung dari fakta adanya kontradiksi yang mesti dipecahkan
dalam objek analisis. Dengan menjamin validitas transisi fakta ke nilai, naturalisme kritis telah
membukakan jalan bagi dimensi emansipatoris ilmu sosial.
Filsafat Menjelang Tutup Usia
Melalui karya-karya awalnya, Bhaskar telah memberikan sumbangan yang berharga bagi filsafat kontemporer.
Ia memberikan jalan keluar dari dilema relativisme pascamodern dan dogmatisme modern. Ia menjernihkan
perdebatan-perdebatan penting dalam ilmu sosial dan ilmu alam. Ia menunjukkan bahwa kita bisa jadi realis
tanpa jadi dogmatis. Maka itu, pantas lah bila kemudian muncul gerakan filsafat baru yang membawa bendera
realisme kritis Bhaskar:  International Association for Critical Realism (IACR). Ada juga jurnal khusus yang
mengkaji realisme kritis atau menerapkannya sebagai pendekatan dalam kajian empiris: Journal of Critical
Realism. Pemikiran Bhaskar kemudian berkembang di mana-mana. Ada Tony Lawson yang membangun
pendekatan realisme kritis untuk filsafat ekonomi. Ada Margaret Archer yang mengembangkannya dalam
disiplin sosiologi. Dalam kajian hubungan internasional, ada Bob Jessop yang kemudian menggunakan secara
sistematis pokok-pokok realisme kritis. Di lingkaran Marxis sendiri, ada sosiolog seperti Alex Callinicos yang
mengakui hutang budi teoretisnya pada Bhaskar dan mengakui alternatif yang ditawarkan realisme kritis,
khususnya di hadapan relativisme posmo yang membuat lesu pemikiran sosial Marxis.
Namun tidak semua karya yang dihasilkan Bhaskar adalah emas. Menjelang dekade 1990-an, buku-bukunya—
seperti Dialectic (1993) dan Plato etc (1994)—kian dipenuhi dengan rumusan yang demikian berbelit-belit.
Gaya berfilsafatnya jadi semakin mirip sebagian filsuf Kontinental yang buruk: begitu sibuk dengan
dramatisasi, begitu mudah melemparkan nama dan rentetan konsep yang tak dijelaskan artinya—menjadi
ceroboh dan kurang ketat. Orang Analitik akan menyebut gaya berfilsafat macam itu sebagai over-solemnity—
dengan kata lain, sok khidmat (lebih tepatnya: terobsesi membuat kalimat yang enigmatik, sublim dan subtil,
sehingga mencerminkan betapa ia merasa diri patut dikhidmati). Inilah yang kemudian membuat Bhaskar
diganjar sebagai juara pertama dalam Bad Writing Contest yang diselenggarakan oleh jurnal Philosophy and
Literature pada tahun 1996. Teks yang dimenangkan dalam sayembara olok-olok itu adalah satu kalimat dari
buku Plato etc yang panjangnya setara dengan satu paragraf.[8] (Dua tahun sesudahnya, kalimat Judith Butler
lah yang memenangkan kontes tersebut. Kalimat Bhaskar itu, tentu saja, bukanlah kalimat filsafat paling
panjang dan ruwet. Setahu saya belum ada yang melebihi keruwetan sebuah kalimat Maurice Merleau-Ponty,
dalam The Visible and the Invisible, yang panjangnya sampai satu setengah halaman.) Karya-karya Bhaskar
kemudian jadi tak seterang A Realist Theory of Science.
Kesimpulan Akhir
Gaya berfilsafat yang sok khidmat itu diperparah dengan balikan Bhaskar di era 2000-an ke arah mistisisme.
Karya-karya seperti From East to West: Odyssey of a Soul (2000) dan Beyond East and West (2003) membuat
Bhaskar banyak ditinggalkan pengikut setianya. Nyaris semua filsuf beraliran realisme kritis menolak
terlibat dalam balikan teosofis itu. Dengan berbalik seperti itu, Bhaskar memang tidak membantah filsafat
lamanya—realisme dan naturalisme kritis—tetapi ia menyatakan bahwa yang dibahas dalam filsafat
lamanya itu hanyalah dunia fisik yang dualistis, sementara yang dibahasnya dalam filsafat barunya adalah
dunia meta-fisik yang non-dualistis. Kemudian ia sibuk memberikan seminar-seminar pencerahan
spiritual à la New Age bagi jiwa-jiwa yang resah atau hipster-hipster yang tengah dirundung kegalauan
spiritual akibat gagal move on. Para pengikutnya, seperti Tony Lawson, Margaret Archer dan Alex Callinicos,
segera menarik garis batas: mereka hanya mengikuti realisme dan naturalisme kritis Bhaskar awal, bukan
spiritualisme Bhaskar akhir.
Sejak kematiannya hingga hari ini (sekitar dua minggu kemudian), saya belum menemukan satu artikel pun
yang berisi obituari tentang Bhaskar. Ini agak ganjil. Biasanya, kematian filsuf yang terkenal segera
dibungkus dengan obituari panjang di koran atau setidaknya situs filsafat terkenal. Dalam kasus Bhaskar,
kematiannya hanya dikabarkan singkat lewat twitter dan milis-milis filsafat oleh teman-teman dekatnya,
seperti Alex Callinicos atau David Graeber. Tentunya ini patut disayangkan. Pemikiran Bhaskar, walau
bagaimanapun, telah memberikan sumbangan penting bagi filsafat Marxis dan filsafat pada umumnya. Ia
menjernihkan perbedaan antara struktur dan agensi, antara realisme dan relativisme, antara fakta dan nilai,
untuk kemudian menemukan titik tengah yang paling masuk akal yang merupakan sintesis dari kedua
posisi yang bertentangan sembari membuang hal-hal yang tak bisa dipertanggung-jawabkan akal dalam
kedua posisi tersebut. Ia gemar membelah rambut—tak pelak lagi kerja tersulit bagi setiap filsuf, apalagi di
zaman sekarang ini ketika berbagai konsep dan neologisme baru yang bertentangan satu sama lain dengan
ekstrem beterbangan seperti lalat di Bantar Gebang.

Anda mungkin juga menyukai