“KELOMPOK 1”
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai anlgetika narkotikayang sering
dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca
pembedahan. Malahan kadang-kadang digunakan untuk anesthesia narkotik
total pada pembedahan jantung.
A.NYERI
Nyeri adalah sensasi subjektif rasa tidak nyaman yang biasanya berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual dan potensial. Nyeri dapat bersifat protektif, yaitu
menyebabkan individu menjauh dari stimulus yang berbahaya, atau tidak
melakukan fungsi, seperti pada kasus nyeri kronis. Nyeri dapat dirasakan apabila
reseptor nyeri spesifik terkativasi.
Reseptor nyeri disebut noisiseptor, yaitu ujung saraf bebas yang merespon
terhadap berbagai stimulus, termasuk tekanan mekanis, deformasi, suhu yang
ekstrem, dan berbagai zat kimia. Impuls saraf dari reseptor nyeri akan disampaikan
ke SSP melalui sel-sel saraf sensoris. Setelah berada di medulla spinalis, sebagian
besar serabut nyeri bersinaps di neuron pada kornu dorsal dari segmen tempat
serabut nyeri masuk. Akan tetapi, sebagian serabut berjalan keatas atau kebawah
beberapa segmen dimedulla spinalis sebelum bersinaps. Setelah mengaktivasi sel
di medulla spinalis,informasi mengenai stimulus nyeri oleh salah satu dari dua jaras
asenden ke otak traktus neospinotalamus atau traktus paleospinotalamus.
Traktus neospinotalamus. Informasi yang dibawa ke spina dalam serabut A δ
yang mencetuskan potensial aksi dengan cepat, disalurkan naik dari medulla
spinalis ke otak melalui serabut traktus neospinotalamus. Sebagian dari serabut
tersebut berakhir disistem aktivasi reticular sehingga mewaspadakan individu
terhadap terjadinya nyeri, tetapi sebagian besar serabut berjalan ketalamus.
Analgetik narkotik, kini juga disebut opioida (mirip opiat) adalah obat-obat yang
daya kerjanya meniru (mimic) opioid endogen dengan memperpanjang aktifasi dari
reseptor-reseptor opioid (biasanya μ-reseptor). Zat-zat ini bekerja terhadap
reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap
nyeri berubah (dikurangi). Daya kerjanya di-antagonir oleh a.l nalokson. Minimal
ada 4 jenid reseptor, yang pengikatan padanyamenimbulkan analgesia. Tubuh dan
mensintesa zat-zat opioidanya sendiri, yakni zat-zat endorphin, yang juga bekerja
melalui reseptor-reseptor opioid tersebut.
Peptida opoid endogen. Alkaloid opoid menimbulkan analgesia melalui kerjanya
didaerah otak yang mengandung peptida yang memilliki sifat farmakalogi
menyerupai opoid. Istilah umum yang dewasa ini digunakan untuk senyawa
endogen tersebut adalah peptida opoid endogen, menggantikan istilah endorfin
yang digunakan sebelumnya. Telah diidentifikasi 3 jenis peptida opoid: enkefalin,
endorfin, dan dinorfin. Peptida opioid yang didistribusi paling luas dan memiliki
aktivitas analgesik, adalah pentapeptida metionin-enkefalin (met-enkefalin) dan
leusin-enkefalin (leu-enkefalin).
Peptida opioid
Enkefalin Agonis Agonis
β –endoferin Agonis Agonis
dinorfin Agonis lemah
Agonis
Kodein Agonis lemah Agonis lemah
Mofin Agonis Agonis lemah Agonis lemah
Metadon Agonis
Meperidin Agonis
Fentanil Agonis
Agonis-antagonis
Buprenofrin Agonis parsial
Pentazosin Antagonis/agonis parsial Agonis
Antagonis
Nalbufin Agonis
Antagonis
Nalokson Antagonis Antagonis Antagonis
Reseptor μ memperantarai efek analgenik mirip morfin, euforia, depresi napas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna.
Reseptor κ diduga memperantai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi napas yang tidak
sekuat agonis μ. Selain itu di susunan saraf pusat juga didapatkan reseptor δ yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor ε
(epsilon) yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkefalin. Terdapat bukti-bukti
yang menunjukkan bahwa reseptor δ memegang peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid.
Dari penelitian pada tikus didapatkan bahwa reseptor δ dihubungkan dengan berkurangnya frekuensi napas, sedangkan
reseptor μ dihubungkan dengan berkurangnya tidal volume. Reseptor μ ada 2 jenis yaitu reseptor μ 1 yang hanya didapatkan di
SSP dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal, penglepasan prolaktin, hipotermia dan katalepsi sedangkan reseptor μ 2
dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan bradikardia. Analgesia yang berperan pada tingkat spinal berinteraksi dengan
respetor δ dan κ.
C. MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIKA OPIOID
Endorphin bekerja dengan jalan menduduki reseptor-reseptor nyeri di SSP, hingga perasaan
nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetik opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki
sisa-sisa reseptor nyeri yang belum ditempati endorphin. Tetapi bila analgetika tersebut
digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru distimulasi dan produksi
endorphin diujung saraf otak dirintangi. Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.
Gambar 3. Mekanisme kerja analgetika opioid.
Kerusakan jaringan menyebabkan pelepasan zat-zat kimia (misalnya bradikinin,
prostaglandin, edenosin trifosfat (ATP), proton) yang menstimulasi reseptor nyeri (kanan bawah)
dan mengionisasi letupan pada serabut aferen primer yang bersinaps pada lamina I dan II kornu
posterior medula spinalis (dorsal horn of spinal cord). Neuron relay (Ο) dalam kornu posterior
menyampaikan informasi nyeri ke korteks sensoris melalui neuron dalam talamus. Hanya sedikit
yang diketahui tentang substansi transmitor yang digunakan pada jalur nyeri asendens, tetapi
beberapa serabut arefen primer melepaskan peptida (misalnya substansi P, yaitu peptida yang
berhubungan dengan gen kalsitonin) (gambar bawah, berarsir). Nyeri neuropati (rasa nyeri akibat
tertembak, terbakar) disebabkan oleh kerusakan neuron pada jalur nyeri dan sering tidak
merespons terhadap opioid .
Analgesik opioid (kanan) adalah obat yang menyerupai peptida opioid endogen dan menyebabkan aktivasi
reseptor opioid yang memanjang (biasanya reseptor μ). Hal tersebut menyebabkan analgesia, depresi napas, euforia,
dan sedasi. Nyeri berperan sebagai suatu antagonis depresi napas yang bagaimanapun bisa menjadi masalah bila
nyeri dihilangkan, misalnya dengan anestetik lokal. Opioid sering menyebabkan mual dan muntah sehingga
seringkali memerlukan antiemetik. Efek pada pleksus saraf di usus, yang pasti dan biasanya membutuhkan laksatif.
Terapi kontinu dengan analgesik opioid, menyebabkan toleransi dan ketergantungan pada pcandu. Akan tetapi, pada
pasien dengan penyakit terminal, peningkatan yang tetap pada dosis morfin tidak terjadi secara otomatis. Bilamana
hal tersebut terjadi, lebih mungkin disebabkan oleh peningkatan nyeri secara progresif daripada akibat toleransi.
Demikian juga halnya, pada konteks klinis, ketergantungan tidak penting. Sayangnya, penggunaan analgesik opioid
yang terlalu hati-hati sering menyebabkan kontrol nyeri yang buruk pada pasien.
Analgesik tertentu, seperti kodein dan dihidrokodein, kurang poten dibandingkan dengan
morfin dan tidak dapat diberikan dalam dosis ekuianalgesik karena awitan efek sampingnya.
Sebagai akibat pembatasan dosis, dalam praktiknya, analgesik ini lebih sedikit
kecenderungannya untuk menyebabkan depresi napas dan ketergantungan.
Nalokson adalah antagonis spesifik pada reseptor opioid dan memulihkan depresi napas yang
disebabkan oleh obat yag menyerupai morfin. Nalokson juga mempresipitasi sindrom putus obat
(withdrawal syndrome) bila sudah terjadi ketergantungan. Analgesia elektroakupuntur, analgesia
yang diinduksi oleh stimulasi saraf transkutan, serta efek plasebo kadang-kadang dapat diblok
secara parsial oleh nalokson. Hal tersebut memperlihatkan keterlibatan peptida opioid endogen .
Analgesik Opioid kuat
Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak terlokalisasi dengan
baik (viseral). Nyeri somatik dapat ditentukan dengan jelas dan bisa diredakan dengan analgesik
opioid lemah atau dengan obat antiinflamasi nonsteroid. Morfin parenteral banyak digunakan
untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat terpilih pada perawatan terminal.
Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak daripada morfin sehingga mempunyai
awitan kerja lebih cepat bila diberikan secara suntikan. Kadar puncak yang lebih tinggi
menimbulkan sedasi yang lebih kuat daripada morfin. Dosis kecil diamorfin epidural semakin
banyak digunakan untuk mengendalikan nyeri hebat.
Fenazosin merupakan obat yang sangat poten yang digunakan pada nyeri hebat. Dekstromoramid mempunyai durasi
kerja singkat (2-4 jam) dan dapat diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang
menyakitkan. Fentanil dapat diberikan secara transdermal pada pasien denga nyeri kronis yang stabil, terutama bila
opioid oral menyebabkan mual dan muntah hebat. Plester yang digunakan tidak cocok untuk mengobati nyeri akut.
Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif dibandingkan morfin. Metadon digunakan secara oral
untuk terapi rumatan pecandu heroin atau morfin. Pada pecandu, metadon mencegah penggunaan obat intravena.
Petidin mempunyai awitan kerja cepat, tetapi durasinya yang singkat (3 jam) membuatnya tidak cocok untuk
pengendalian nyeri jangka panjang. Petidin menimbulkan penumpukan metabolit toksik (norpetidin) dan
menyebabkan konvulsi. Petidin berinteraksi serius dengan MAOI menyebabkan delirium, hiperpireksia, konvulsi,
atau depresi napas. Buprenorfin merupakan agonis parsial reseptor μ. Buprenorfin mempunyai awitan kerja lambat.
Tetapi merupakan analgesik efektif setelah pemberian sublingual. Obat ini mempunyai durasi kerja lebih panjang (6-
8 jam) daripada morfin, tetapi bisa menyebabkan muntah berkepanjangan. Depresi napas jarang terjadi tetapi bila
terjadi sulit untuk dipulihkan dengan nalokson, karena buprenorfin mengalami diasosiasi sangat lambat dari
Analgesik Opioid lemah
Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ‘ringan sampai sedang’. Analgesik ini bisa menyebabkan
ketergantungan dan cenderung disalahgunakan. Akan tetapi, buprenorfin kurang menarik untuk pecandu karena
tidak memberikan ‘efek’ yang hebat. Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi mempunyai afinitas
sangat rendah terhadap reseptor opioid. Sekitar 10% obat mengalami demetilasi dalam hati menjadi morfin, yang
bertanggung jawab atas efek analgesik kodein. Efek samping (kostipasi, muntah, sedasi) membatasi dosis ke kadar
yang menghasilkan analgesia yang jauh lebih ringan daripada morfin. Kodein juga digunakan sebagai obat antitusif
dan antidiare. Dekstropropoksifen mempunyai kira-kira setengah potensi kodein, tetapi mempuyai aksi yang serupa
pada dosis ekuianalgesik. Obat ini sering diberikan dalam kombinasi tetap dengan aspirin atau parasetamol
(misalnya koproksamol), tetapi hanya sedikit bukti yang menyatakan bahwa kombinasi tersebut lebih efektif
daripada OAINS saja. Kombinasi dengan parasetamol berbahaya pada overdosis karena dekstropropoksifen
menyebabkan depresi napas, sementara parasetamol bersifat hepatotoksik.
D. PENGGOLONGAN OBAT ANALGETIKA OPIOID
Klasifikasi obat golongan opioid berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi: 1. Agonis
penuh (kuat), 2. Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang), 3. Campuran agonis dan antagonis, dan 4. Antagonis.
Campuran agonis-
Struktur dasar Agonis kuat Agonis lemah sampai sedang Antagonis
antagonis