Anda di halaman 1dari 48

Infeksi sitem saraf pusat

Oleh :

Elvi Sepriani 1410070100032

Preseptor

Dr. irwandi ,Sp A


Ensefalitis
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang dapat
disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme (virus,
bakteri, jamur dan protozoa). Sebagian besar kasus tidak
dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih
tinggi, berkisar 35%-50%, dengan gejala sisa pada pasien
yang hidup cukup tinggi (20%-40%). Penyebab tersering
dan terpenting adalah virus. Berbagai macam virus dapat
menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih
sama dan khas, akan tetapi hanya ensefalitis herpes
simpleks dan varisela yang dapat diobati.
 
Etiologi
Sebagian besar kasus tidak dapat ditentukan
penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar
35%-50%, dengan gejala sisa pada pasien yang hidup
cukup tinggi (20%-40%). Penyebab tersering dan
terpenting adalah virus. Berbagai macam virus dapat
menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang kurang
lebih sama dan khas, akan tetapi hanya ensefalitis
herpes simpleks dan varisela yang dapat diobati.
 
Diagnosis
 Anamnesis
Demam tinggi mendadak, sering ditemukan
hiperpireksia.
Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar
sering mengeluh nyeri kepala, ensefalopati, kejang,
dan kesadaran menurun.
Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status
konvulsivus. Dapat ditemukan sejak awal ataupun
kemudian dalam perjalanan penyakitnya.
 Pemeriksaan fisis

Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran


menurun sampai koma dan kejang.
Kejang dapat berupa status konvulsivus.

Ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial.

Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti

kelumpuhan tipe upper motor neuron (spastis,


hiperrefleks, refleks patologis, dan klonus).
 Pemeriksaan penunjang

Darah perifer lengkap.


Pemeriksaan gula darah dan elektrolit dilakukan jika
ada indikasi.
Pungsi lumbal: pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS) bisa normal atau menunjukkan abnormalitas
ringan sampai sedang:
peningkatan jumlah sel 50-200/mm3
hitung jenis didominasi sel limfosit
protein meningkat tapi tidak melebihi 200 mg/dl
glukosa normal.
Pencitraan (computed tomography/CT-Scan atau
magnetic resonance imaging/MRI kepala)
menunjukkan gambaran edema otak baik umum
maupun fokal.
Pemeriksaan elektroensefalografi merupakan
pemeriksaan penunjang yang sangat penting pada
pasien ensefalitis. Walaupun kadang didapatkan
gambaran normal pada beberapa pasien, umumnya
didapatkan gambaran perlambatan atau gelombang
epileptiform baik umum maupun fokal
Tata Laksana
Medikamentosa
Tata laksana tidak ada yang spesifik. Terapi suportif
berupa tata laksana hiperpireksia, keseimbangan cairan
dan elektrolit, peningkatan tekanan intrakranial, serta
tata laksana kejang. Pasien sebaiknya dirawat di ruang
rawat intensif.
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan
intravena, obat anti epilepsi, kadang diberikan
kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang dapat
diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai standard
terapi. Peningkatan tekanan intrakranial dapat diatasi
dengan pemberian diuretik osmotik manitol 0,5 – 1
gram/kg/kali atau furosemid 1 mg/kg/kali.
Pada anak dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis
inflamasi, dan acute disseminated encephalomyelitis
(ADEM) dapat diberikan kortikosteroid selama 2
minggu. Diberikan dosis tinggi metil-prednisolon 15
mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam selama 3 – 5 hari dan
dilanjutkan prednison oral 1 – 2 mg/kg/hari selama 7 –
10 hari.
Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat
dilakukan konsultasi ke Departemen Rehabilitasi
Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi
spastisitas, serta mencegah kontraktur.
Pemantauan pasca rawat
Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan
penglihatan, palsi serebral, epilepsi, retardasi mental
maupun gangguan perilaku. Pasca rawat pasien
memerlukan pemantauan tumbuh-kembang, jika
terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke
departemen terkait (Rehabilitasi medik, mata dll)
sesuai indikasi.
Ensefalitis Herpes Simpleks
  Ensefalitis herpes simplek (EHS) disebabkan oleh
virus herpes simpleks dan merupakan ensefalitis yang
tersering menimbulkan kematian. Angka kematian
70% dan hanya 2,5% pasien kembali normal bila tidak
diobati. EHS mendapat perhatian khusus karena dapat
diobati, keberhasilan pengobatan ensefalitis herpes
simpleks tergantung pada diagnosis dini dan waktu
memulai pengobatan.Virus herpes simpleks tipe 1
umumnya ditemukan pada anak, sedangkan tipe 2
banyak ditemukan pada neonatus.
 
Diagnosis
Anamnesis
Ensefalitis herpes simplek dapat bersifat akut atau
subakut.
Fase prodromal menyerupai influensa, kemudian
diikuti dengan gambaran khas ensefalitis (demam
tinggi, kejang, penurunan kesadaran).
Sakit kepala, mual, muntah, atau perubahan perilaku.
Pemeriksaan fisis
Kesadaran menurun berupa sopor-koma sampai
koma (40% kasus) dan gejala peningkatan tekanan
intrakranial. Hampir 80% memperlihatkan gejala
neurologis fokal berupa hemiparesis, paresis nervus
kranialis, kehilangan lapangan penglihatan, afasia,
dan kejang fokal. Gejala serebral lain dapat beraneka
ragam, seperti kelumpuhan tipe upper motor neuron
(spastis, hiperrefleks, refleks patologis, dan klonus).
Pemeriksaan penunjang
Gambaran darah tepi tidak spesifik
Pemeriksaan cairan serebrospinal memperlihatkan
jumlah sel meningkat (90%) yang berkisar antara 10-
1000 sel/mm3 dengan predominan limfosit.
Elektroensefalografi (EEG) dapat memperlihatkan
gambaran yang khas, yaitu periodic lateralizing
epileptiform discharge atau perlambatan fokal di area
temporal atau frontotemporal.
Ensefalitis Herpes Simpleks
Computed tomography (CT-Scan) kepala tetap normal dalam tiga hari
pertama setelah timbulnya gejala neurologi, kemudian lesi hipodens
muncul di regio frontotemporal.
T2-weight magnetic resonance imaging (MRI) dapat memperlihatkan
lesi hiperdens di regio temporal paling cepat dua hari setelah
munculnya gejala. Dapat pula memperlihatkan peningkatan intensitas
signal pada daerah korteks dan substansia alba pada daerah temporal
dan lobus frontalis inferior.
Polymerase chain reaction (PCR) likuor dapat mendeteksi titer antibodi
virus herpes simpleks (VHS) dengan cepat. PCR menjadi positif segera
setelah timbulnya gejala dan pada sebagian besar kasus tetap positif
selama 2 minggu atau lebih.
Pemeriksaan titer serum darah terhadap IgG - IgM HSV-1 dan HSV-2
dapat menunjang diagnosis walaupun tidak dapat menyingkirkan
diagnosis pasti.
Tata Laksana
Medikamentosa
Asiklovir 10 mg/kgBB setiap 8 jam selama 10-14 hari,
diberikan dalam infus 100 ml NaCl 0,9% minimum
dalam 1 jam. Dosis untuk neonatus 20 mg/kgBB setiap
8 jam selama 14-21 hari.
Pada kasus alergi terhadap asiklovir atau VHS resisten,
dapat diberikan vidarabin 15 mg/kgBB/hari selama 14
hari.
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit, tata
laksana kejang dan peningkatan tekanan intrakranial.
Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif. Jika
keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan
konsultasi ke departemen rehabilitasi medik untuk
mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas, serta
mencegah kontraktur.
Pada keadaan yang meragukan pasien dapat diberikan
tata laksana ensefalitis herpes simpleks sampai
terbukti bukan.
Pemantauan Pasca Rawat
Gejala sisa yang sering ditemukan adalah epilepsi,
retardasi mental maupun gangguan perilaku. Pasca
rawat pasien memerlukan pemantauan tumbuh-
kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi
ke departemen terkait sesuai indikasi. Kadang
dijumpai sindrom koreoatetosis 1 bulan pasca
perawatan. 
Meningitis Bakterialis
  Meningitis bakterialis adalah suatu peradangan
selaput jaringan otak dan medulla spinalis yang
disebabkan oleh bakteri patogen. Peradangan tersebut
mengenai araknoid, piamater, dan cairan
serebrospinalis. Peradangan ini dapat meluas melalui
ruang subaraknoid sekitar otak, medulla spinalis, dan
ventrikel. Penyakit ini menyebabkan angka kematian
yang cukup tinggi (5-10%).
 Etiologi

Usia 0-2 bulan: Streptococcus group B, Escherichia


coli.
Usia 2 bulan-5 tahun: Streptococcus pneumoniae,
Neisseria meningitidis, Haemophillus
influenzae.
Usia diatas 5 tahun: Streptococcus pneumoniae,
Neisseria meningitidis.
Diagnosis
 Anamnesis
Seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas atau
saluran cerna seperti demam, batuk, pilek, diare, dan
muntah.
Gejala meningitis adalah demam, nyeri kepala,
meningismus dengan atau tanpa penurunan kesadaran,
letargi, malaise, kejang, dan muntah merupakan hal yang
sangat sugestif meningitis tetapi tidak ada satu gejala pun
yang khas.
Banyak gejala meningitis yang berkaitan dengan usia,
misalnya anak kurang dari 3 tahun jarang mengeluh nyeri
kepala. Pada bayi gejala hanya berupa demam, iritabel,
letargi, malas minum, dan high pitched-cry.
 Pemeriksaan fisis
Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan
kesadaran atau iritabilitas.
Dapat juga ditemukan ubun-ubun besar yang
membonjol, kaku kuduk, atau tanda rangsang
meningeal lain (Bruzinski dan Kernig), kejang, dan
defisit neurologis fokal. Tanda rangsang meningeal
mungkin tidak ditemukan pada anak berusia kurang
dari 1 tahun.
Dapat juga ditemukan tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial.
Cari tanda infeksi di tempat lain (infeksi THT, sepsis,
pneumonia)
 Pemeriksaan penunjang

Darah perifer lengkap dan kultur darah.


Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis
dan menentukan etiologi:
Didapatkan cairan keruh atau opalesence dengan Nonne
(-)/(+) dan Pandy (+)/ (++).
Jumlah sel 100-10.000/mm3 dengan hitung jenis
predominan polimorfonuklear, protein 200-500 mg/dl,
glukosa < 40 mg/dl, pewarnaan gram, biakan dan uji
resistensi. Pada stadium dini jumlah sel dapat normal
dengan predominan limfosit.
Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya,
gambaran LCS dapat tidak spesifik.
Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap dimulai
pemberian antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah
nilai diagnostik kecuali untuk identifikasi kuman, itu pun jika
antibiotiknya sensitif)
Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, pungsi lumbal masih
dapat dilakukan asalkan berhati- hati. Pemakaian jarum spinal dapat
meminimalkan komplikasi terjadinya herniasi.
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan
gejala peningkatan tekanan intrakranial oleh karena lesi desak ruang.
Pemeriksaan computed tomography (CT scan) dengan kontras atau
magnetic resonance imaging (MRI) kepala (pada kasus berat atau
curiga ada komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus, dan
abses otak)
Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan
umum.
Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya
ditunda dan tetap dimulai pemberian antibiotik
empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai
diagnostik kecuali untuk identifikasi kuman, itu
pun jika antibiotiknya sensitif)
Jika memang kuat dugaan kearah meningitis,
meskipun terdapat tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial, pungsi lumbal masih dapat
dilakukan asalkan berhati- hati. Pemakaian jarum
spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya
herniasi.
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika
ditemukan tanda dan gejala peningkatan tekanan
intrakranial oleh karena lesi desak ruang.
Pemeriksaan computed tomography (CT scan) dengan
kontras atau magnetic resonance imaging (MRI) kepala
(pada kasus berat atau curiga ada komplikasi seperti
empiema subdural, hidrosefalus, dan abses otak)
Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan
perlambatan umum.
Tata Laksana
Medikamentosa
Diawali dengan terapi empiris, kemudian disesuikan dengan
hasil biakan dan uji resistensi. (lihat algoritme)

Terapi empirik antibiotik


Usia1-3 bulan :
 Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +
sefotaksim 200-300 mg/ kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
 Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
Usia > 3 bulan :
 Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
 Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
 Ampisislin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis +
kloramfenikol 100 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik
disesuaikan dengan hasil kultur dan resistensi.
Deksametason
Deksametason 0,6 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4
dosis selama 4 hari. Injeksi deksametason diberikan
15-30 menit sebelum atau pada saat pemberian
antibiotik.

Lama pengobatan
Tergantung dari kuman penyebab, umumnya 10-14
hari.
Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali
jika ada komplikasi seperti empiema subdural, abses
otak, atau hidrosefalus.

Suportif
Periode kritis pengobatan meningitis bakterialis
adalah hari ke-3 dan ke-4.Tanda vital dan evaluasi
neurologis harus dilakukan secara teratur. Guna
mencegah muntah dan aspirasi sebaiknya pasien
dipuasakan lebih dahulu pada awal sakit.
Lingkar kepala harus dimonitor setiap hari pada anak
dengan ubun-ubun besar yang masih terbuka.
Peningkaan tekanan intrakranial, Syndrome Inappropriate
Antidiuretic Hormone (SIADH), kejang dan demam harus
dikontrol dengan baik. Restriksi cairan atau posisi kepala
lebih tinggi tidak selalu dikerjakan pada setiap anak
dengan meningitis bakterial.
Perlu dipantau adanya komplikasi SIADH. Diagnosis
SIADH ditegakkan jika terdapat kadar natrium serum yang
< 135 mEq/L (135 mmol/L), osmolaritas serum < 270
mOsm/kg, osmolaritas urin > 2 kali osmolaritas serum,
natrium urin > 30 mEq/L (30 mmol/L) tanpa adanya tanda-
tanda dehidrasi atau hipovolemia. Beberapa ahli
merekomendasikan pembatasan jumlah cairan dengan
memakai cairan isotoni, terutama jika natrium serum < 130
mEq/L (130 mmol/L). Jumlah cairan dapat dikembalikan ke
cairan rumatan jika kadar natrium serum kembali normal.
Pemantauan
Terapi
Untuk memantau efek samping penggunaan
antibiotik dosis tinggi, dilakukan pemeriksaan darah
perifer secara serial, uji fungsi hati, dan uji fungsi
ginjal bila ada indikasi.
Tumbuh kembang
Gangguan pendengaran sebagai gejala sisa meningitis
bakterialis terjadi pada 30% pasien, karena itu uji
fungsi pendengaran harus segera dikerjakan setelah
pulang. Gejala sisa lain seperti retardasi mental,
epilepsi, kebutaan, spastisitas, dan hidrosefalus.
Pemeriksaan penunjang dan konsultasi ke departemen
terkait disesuaikan dengan temuan klinis pada saat
follow-up.
Meningitis Tuberkulosis
 Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak
yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis.Biasanya jaringan otak ikut terkena
sehingga disebut sebagai meningoensefalitis
tuberkulosis. Angka kejadian jarang dibawah usia 3
bulan dan mulai meningkat dalam 5 tahun
pertama.Angka kejadian tertinggi pada usia 6 bulan
sampai 2 tahun.Angka kematian berkisar antara 10-20%.
Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18%
pasien yang normal secara neurologis dan
intelektual.Anak dengan meningitis tuberkulosis bila
tidak diobati, akan meninggal dalam waktu 3–5 minggu.
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat demam yang lama/kronis, dapat pula berlangsung akut
Kejang, deskripsi kejang (jenis, lama, frekuensi, interval)
kesadaran setelah kejang
Penurunan kesadaran
Penurunan berat badan (BB), anoreksia, muntah, sering batuk
dan pilek
Riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis dewasa
Riwayat imunisasi BCG
 
 Pemeriksaan fisis

Manifestasi klinis dibagi menjadi 3 stadium :


Stadium I (inisial)
Pasien tampak apatis ,iritabel, nyeri kepala, demam,
malaise, anoreksia, mual dan muntah. Belum tampak
manifestasi kelainan neurologi.
Stadium II
Pasien tampak mengantuk, disorientasi, ditemukan
tanda rangsang meningeal, kejang, defisit neurologis
fokal, paresis nervus kranial, dan gerakan involunter
(tremor, koreoatetosis, hemibalismus).
Stadium III
Stadium II disertai dengan kesadaran semakin
menurun sampai koma, ditemukan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, pupil terfiksasi,
pernapasan ireguler disertai peningkatan suhu tubuh,
dan ekstremitas spastis.
Pada funduskopi dapat ditemukan papil yang pucat,
tuberkel pada retina, dan adanya nodul pada koroid.
Lakukan pemeriksaan parut BCG dan tanda-tanda
infeksi tuberkulosis di tempat lain.
Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju


endap darah, dan gula darah. Lekosit darah tepi sering
meningkat (10.000 – 20.000 sel/mm ).Sering
3

ditemukan hiponatremia dan hipokloremia karena


sekresi antidiuretik hormon yang tidak adekuat.
Pungsi lumbal:
Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau santokrom,
Jumlah sel meningkat antara 10–250 sel/mm dan jarang
3

melebihi 500 sel/mm , hitung jenis predominan sel limfosit


3

walaupun pada stadium awal dapat dominan


polimorfonuklear.
Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa
menurun di bawah 35 mg/ dl, rasio glukosa LCS dan darah
dibawah normal.
Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M.Tbc
tetap dilakukan.
Jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan,
pungsi lumbal ulangan dapat memperkuat diagnosis
dengan interval dua minggu.
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR),
enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan latex particle agglutination dapat
mendeteksi kuman Mycobacterium di cairan
serebrospinal (bila memungkinkan).
Pemeriksaan pencitraan (computed tomography (CT
Scan)/magnetic resonance imaging/ (MRI) kepala
dengan kontras) dapat menunjukkan lesi parenkim
pada daerah basal otak, infark, tuberkuloma, maupun
hidrosefalus. Pemeriksaan ini dilakukan jika ada
indikasi, terutama jika dicurigai terdapat komplikasi
hidrosefalus.
Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran
penyakit tuberkulosis.
Uji tuberkulin dapat mendukung diagnosis
Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan jika
memungkinkan dapat menunjukkan perlambatan
gelombang irama dasar.
Diagnosis
Diagnosis pasti bila ditemukan M. tuberkulosis pada
pemeriksaan apus LCS/kultur.

Tata Laksana
Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa diberikan sesuai rekomendasi
American Academy of Pediatrics 1994, yakni dengan
pemberian 4 macam obat selama 2 bulan, dilanjutkan
dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
Dosis obat antituberkulosis adalah sebagai berikut :
Isoniazid (INH) 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300
mg/hari.
Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari.
Pirazinamid 15-30 mg/kgBB.hari, dosis maksimal 2000
mg/hari.
Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000 mg/hari
atau streptomisin IM 20 – 30 mg/kg/hari dengan maksimal 1
gram/hari.
Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan inflamasi dan
edema serebral. Prednison diberikan dengan dosis 1–2
mg/kg/hari selama 6–8 minggu.Adanya peningkatan tekanan
intrakranial yang tinggi dapat diberikan deksametason 6
mg/m2 setiap 4–6 jam atau dosis 0,3–0,5 mg/kg/hari.
Tata laksana kejang maupun peningkatan tekanan
intrakranial dapat dilihat pada bab terkait.
Perlu dipantau adanya komplikasi Syndrome Inappropriate
Antidiuretic Hormone (SIADH). Diagnosis SIADH
ditegakkan jika terdapat kadar natrium serum yang <135
mEq/L (135 mmol/L), osmolaritas serum < 270 mOsm/kg,
osmolaritas urin > 2 kali osmolaritas serum, natrium urin >
30 mEq/L (30 mmol/L) tanpa adanya tanda-tanda dehidrasi
atau hipovolemia. Beberapa ahli merekomendasikan
pembatasan jumlah cairan dengan memakai cairan isotonis,
terutama jika natrium serum < 130 mEq/L (130 mmol/L).
Jumlah cairan dapat dikembalikan ke cairan rumatan jika
kadar natrium serum kembali normal.
 Bedah
Hidrosefalus terjadi pada 2/3 kasus dengan lama sakit
> 3 minggu dan dapat diterapi dengan asetazolamid
30-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Perlu
dilakukan pemantauan terhadap asidosis metabolik
pada pemberian asetazolamid. Beberapa ahli hanya
merekomendasikan tindakan VP-shunt jika terdapat
hidrosefalus obstruktif dengan gejala ventrikulomegali
disertai peningkatan tekanan intraventrikel atau
edema periventrikuler.
 Suportif

Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat


dilakukan konsultasi ke Departemen Rehabilitasi
Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi
spastisitas, serta mencegah kontraktur.
 Pemantauan pasca rawat
Pemantauan darah tepi dan fungsi hati setiap 3-6
bulan untuk mendeteksi adanya komplikasi obat
tuberkulostatik.
Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, palsi serebral,
epilepsi, retardasi mental, maupun gangguan perilaku.
Pasca rawat pasien memerlukan pemantauan tumbuh-
kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi
ke departemen terkait (Rehabilitasi Medik, telinga
hidung tenggorokan (THT), Mata dll) sesuai indikasi.
 
Pencegahan
Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya
jumlah pasien tuberkulosis dewasa. Imunisasi BCG
dapat mencegah meningitis tuberkulosis. Faktor risiko
adalah malnutrisi, pemakaian kortikosteroid,
keganasan, dan infeksi HIV.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai