Anda di halaman 1dari 28

EPILEPSI

NINDITA
DINA AGLIANA SAVIRA
AULIA PUSPA MAHARANI
SKENARIO
◦ Seorang wanita berusia 24 tahun mengalami sering bengong, sering
buka- buka baju dan melakukan pekerjaan kecil yang tidak
bertujuan. Hal ini dilakukan berulang-ulang. Saat ditanya pasien
tidak menjawab.
1. Bagaimana pola atau bentuk serangan?
◦ Parsial atau umum
ANAMNESIS
2. Berapa lama terjadinya kejang?
3. Saat sedang apa pasien merasa kejang?
4 . Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?
5. Gejala apa yang timbul
◦ Gejala pre iktal:
◦ Sakit kepala
◦ Bayangan
◦ Gangguan penglihatan
◦ Gejala iktal:
◦ Apakah ada deviasi mata ke satu sisi?
◦ Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh?
◦ Apakah pasien dapat berbicara selama serangan berlangsung?
◦ Apakah mata pasien berkedip berlebihan?
◦ Apakah ada gerakan otomatisasi pada satu sisi tubuh?
◦ Apakah lidah tergigit?Apakah pasien mengompol?
Gejala post iktal:
◦ Penurunan kesadaran
◦ Lelah
◦ Lemah
◦ Tidur
◦ Afasia
6. Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami kejang?
◦ Kapan pertama kali kejang?
◦ Berapa kali terjadinya kejang?
7. Apakah sebelumnya pasien mengalami riwayat terbentur atau kecelakaan yang menyebabkan trauma pada
kepala?
8. Apakah terdapat keluhan demam, diare, mual, muntah berlebih sebelum mengalami keluhan?
9. Apakah pasien merokok, konsumsi alkohol, atau obat-obatan?
10. Apakah pasien terdapat riwayat terpapar?
◦ Timbal
◦ Kapur arus
◦ Air
◦ Fenotiazin
11. Apakah terdapat riwayat infeksi SSP seperti meningitis dan ensefalitis? Atau pnyakit lain
seperti sepsis dan pneumonia disertai dengn kejang?
12. Apakah pasien memiliki riwayat hipertensi?
13. Apakah pasien sedang mengalami kelelahan fisik atau mental, kurang tidur, bekerja dengan
penerangan cahaya yang menyilaukan atau berkedip, atau makan tidak teratur?
14. Apakah sebelumnya pernah terjadi serangan? Apakah sudah menerima obat? Apakah ada
periode bebas kejang sejak awal serangan?
15. Apakah di keluarga pasien ada yang mengalami keluhan serupa?
16. Bagaimana riwayat kehamilan dan persalinan ibu pasien?
17. Bagaimana keadaan pasien saat lahir?
18. Apakah ada riwayat pasien kejang dengan demam?
PEMERIKSAAN FISIK UMUM
◦ Pemeriksaan fisik umum pada umumnya mengamati adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi
telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat
terlarang, kelainan pada kulit (neurofaktomatosis) kanker, dan defisit fokal
atau difus. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan
adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara
anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral
PEMERIKSAAN NEUROLOGIK
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat tergantung dari interval antara saat
dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
◦ Jika dilakukan pada beberapa menit atau beberapa jam setelah bangkitan maka akan lokalisasi.
◦ Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu, sasaran utama adalah
untuk menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi sistem saraf permanen (epilepsi
simptomatik) dan adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
◦ tampak gejala pasca-iktal terutama fokal seperti Todd’s paralysis, transient aphasic symptoms,
yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk
PEMERIKSAAN PENUNJANG

EEG MRI CT-SCAN

LABORATORIU
M
DEFINISI
◦ Epilepsi adalah sindrom klinis yang ditandai dengan dua atau lebih bangkitan.
Sebagian besar timbul tanpa provokasi akibat kelainan abnormal primer di
otak dan bukan sekunder oleh penyebab sistemik. Manifestasi klinisnya dapat
berupa gangguan kesadaran, perilaku, fungsi motorik, persepsi dan sensasi
yang dapat tersendiri maupun kombinasi.
KLASIFIKASI: International League Against Epilepsi (1981)
Klasifikasi: International League Against Epilepsi (1989)
Berkaitan dengan lokasi: ◦ Simtomatik : etiologi non spesifik dan etiologi
◦ Idiopatik (primer): spesifik
◦ Epilepsi benigna gelombang paku daerah sentrotemporal, Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan
Epilepsi benigna gelombang paroksismal, Epilepsi fokal/umum:
membaca primer ◦ Bangkitan umum dan fokal : bangkitan neonatal,
◦ Simptomatik (sekunder): epilepsy mioklonik berat pada bayi, epilepsy
gelombang paku kontinyu selama tidur dalam,
◦ Epilepsi parsial kontinua kronik pada anak-anak, sindrom
epilepsy afasia didapat, epilepsy tidak terklasifikasi
bangkitan dipresipitasi rangsangan, epilepsy lobus
temporal, epilepsy lobus frontal, epilepsy lobus parietal, ◦ Tanpa gambaran tegas fokal/umum
dan epilepsy lobus oksipital Sindrom khusus:
Epilepsi umum: ◦ Kejang demam
◦ Idiopatik (primer): kejang neonates familial benigna, ◦ Bangkitan kejang/status epileptikus hanya sekali
kejang neonates benigna, kejang epilepsy mioklonik pada
bayi, epilepsy lena anak, epilepsy lena remaja, epilepsy ◦ Bangkitan hanya pada kejadian metabolic akut, atau
mioklonik remaja, epilepsy bangkitan tonik klonik saat toksis, atau alcohol, obat-obatan, eklampsia,
terjaga, epilepsy umum idiopatik lain, epilepsy tonik hiperglikemi non ketotik
klonik dipresipitasi aktifitas tertentu ◦ Bangkitan dengan pencetus spesifik
Manifestasi epilepsy parsial sederhana
Manifestasi epilepsi parsial kompleks
Manifestasi epilepsi tonik klonik umum
Manifestasi epilepsi absence
ETIOLOGI
◦ Kelainan genetik
◦ Malformasi otak
◦ Trauma otak
◦ Tumor
◦ Perdarahan atau abses
◦ keracunan; misal: Alkohol
◦ Inflamasi, demam
◦ Pembengkakan sel atau pengerutan sel
◦ Hipoglikemia, Hipomagnesemia, Hipokalsemia
◦ Kurang tidur
◦ Iskemia atau hipoksia
◦ Rangsangan berulang (misal; kilatan cahaya)
FAKTOR RISIKO
◦ PRENATAL : Umur ibu pada saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu
tua (>35 tahun), kehamilan dengan preeclampsia dan hipertensi, kehamilan
multipara, pemakaian bahan toksik
◦ NATAL : Asifiksia, berat badan lahir rendah (<2500 gram), kelahiran
premature atau postmatur, partus lama, persalinan dengan alat
◦ POSTNATAL :
Kejang demam
Trauma kepala
Infeksi SSP
Gangguan metabolik
DASAR DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
◦ Ada tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:
◦ Langkah pertama: Pastikan adanya bangkitan epileptik
◦ Langkah kedua: Tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981
◦ Langkah ketiga: Tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE
1989
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi berdasarkan mekanisme eksitasi.
◦ Penyebab atau yang memudahkan terjadinya epilepsi (misal genetik, trauma otak, tumor dan
lain-lain) akan memicu depolarisasi paroksismal (PDS). Hal ini disebabkan oleh pengaktifan
kanal Ca+2. Ion Ca2+ yang masuk mula-mula akan membuka kanal kation yang tidak spesifik
sehingga adanya depolarisasi berlebihan.
◦ Dendrit sel pyramidal juga didepolarisasi oleh Glutamat sebagai neurotransmitter eksitatorik.
Glutamat yang dilepaskan dari terminal presinaps akan berikatan dengan reseptor glutamat
yang disebut reseptor inotropik glutamat (iGluRs) yang memiliki beberapa sub tipe yaitu
NMDA (N-methyl-Daspartate) dan non-NMDA (kainate dan amino-3-hydroxy5-methyl-
isoxasole propionic acid atau AMPA). Ikatan glutamat dengan reseptor non-NMDA akan
menghasilkan neurotransmisi eksitasi tipe cepat yang disebut excitatory postsynaptic potential
(EPSP). Sementara itu, ikatan glutamat dengan reseptor NMDA akan menghasilkan tipe EPSP
yang lebih lambat.
◦ Potensial membran neuron normalnya dipertahankan oleh Kanal K+. Syarat untuk hal ini
adalah gradient K+ yang melewati membrane sel harus adekuat. Gradien ini dihasilkan oleh
Na+K+ ATPase. Kekurangan energy akan menghambat NA+K+ATPase sehingga
memudahkan depolarisasi
Patofisiologi berdasarkan mekanisme inhibisi.
Neurotransmitter inhibisi primer pada otak adalah GABA. GABA dihasilkan oleh glutamate
dekarboksilase, yaitu enzim yang membutuhkan piridoksin (vitamin B6) sebagai ko faktor.
GABA yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor GABAA dan menyebabkan masuknya
ion Cl- ke dalam sel neuron. Masuknya ion Cl ini akan meningkatkan muatan negatif dalam
neuron postsinaps dan mengakibatkan hiperpolarisasi, perubahan pada potensial membran ini
disebut inhibitory postsinaptic potential (IPSP). Reseptor GABAB terletak pada terminal
presinaptik dan membran postsinaptik. Jika diaktifkan oleh GABA presinaptik maupun
postsinaptik maka reseptor GABAB akan menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan
cetusan elektrik sel saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP dan penurunan vitamin B6
ini akan mengakibatkan eksitasi dan mencetuskan epilepsi.
Patofisiologi berdasarkan mekanisme sinkronisasi.
Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa hipersinkronisasi.
Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar neuron yang berdekatan dan
menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal. Potensial aksi yang terjadi pada satu sel neuron
akan disebarkan ke neuron-neuron lain yang berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi
bangkitan elektrik yang berlebihan dan bersifat berulang.
Patofisiologi berdasarkan mekanisme iktogenesis.
Mekanisme iktogenesis terjadi akibat perubahan plastisitas seluler dan sinaps serta akibat
perubahan pada lingkungan ekstraseluler. Mekanisme iktogenesis diawali dengan adanya sel-sel
neuron abnormal yang mempengaruhi neuronneuron sekitarnya dan membentuk suatu critical
mass, yang bertanggung jawab dalam mekanisme epilepsi. Sampai saat ini teori tentang
iktogenesis ini masih diperdebatkan. Eksitabilitas merupakan kunci utama padamekanisme
iktogenesis, eksitasi dapat berasal dari neuron individual, lingkungan neuronal atau populasi
neuronal. Ketiga penyebab ini berinteraksi satu sama lain selama satu episode iktal tertentu.
Patofisiologi berdasarkan mekanisme epileptogenesis
◦ Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber diotak yang dinamakan fokus epileptogenik,
yang berasal dari sekelompok sel neuron yang abnormal di otak dan memiliki lepas muatan
listrik yang berlebihan sehingga mengalami hipersinkronisasi.
Patofisiologi berdasarkan mekanisme peralihan.
◦ Interiktal-iktal. Mekanisme yang memproduksi sinyal, sinkronisitas dan penyebaran aktivitas
sel saraf termasuk kedalam teori transisi interiktal-iktal. Dari berbagai penelitian, mekanisme
transisi ini tidak berdiri sendiri melainkan hasil dari beberapa interaksi mekanisme yang
berbeda. Terdapat dua teori mengenai transisi interiktaliktal, yaitu mekanisme nonsinaptik dan
sinaptik. Pada nonsinaptik adanya aktivitas iktal-interiktal yang berulang menyebabkan
peningkatan kalium ekstrasel sehingga eksitabilitas neuron meningkat. Aktivitas pompa Na-K
sangat berperan dalam mengatur eksitabilitas neuronal. Hipoksia atau iskemia dapat
menyebabkan kegagalan pompa Na-K sehingga meningkatkan transisi interiktaliktal.
Engelborghs melaporkan bahwa gangguan sinkronisasi juga berperan penting pada transisi
interiktal-iktal. Teori sinaptik ini menyebutkan bahwa penurunan efektivitas mekanisme
inhibisi sinaps ataupun peningkatan aktivitas eksitasi sinapsdapat mencetuskan epilepsi.
Patofisiologi berdasarkan mekanisme neurokimiawi.
◦ Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada sel-sel saraf, misalnya
sifat neurotransmiter yang dilepaskan, ataupun adanya faktor tertentu yang menyebabkan
gangguan keseimbangan neurokimia seperti pemakaian obat-obatan. Selain GABA dan
glutamat yang merupakan neurotransmiter penting dalam epilepsi, terdapat beberapa produk
kimiawi lain yang juga ikut berperan seperti misalnya golongan opioid yang dapat
menyebabkan inhibisi interneuron, ataupun katekolamin yang dapat menurunkan ambang
kejang. Selain itu gangguan elektrolit akibat kegagalan pengaturan pompa ionik juga ikut
mencetuskan serangan epilepsi. Beberapa zat kimia terbukti dapat memicu terjadinya epilepsi,
yaitu alumina hydroxide gel yang menyebabkan degenerasi neuron, kematian neuron dan
penurunan aktivitas GABAergik, pilokapin yang menyebabkan pembengkakan pada dendrit,
soma dan astrosit, dan pada tahap akhir menyebabkan kematian sel. Asam kainat terbukti
dapat menginduksi kejang dengan cara memacu reseptor EAA (excitatory amino acid).
PENATALAKSANAAN
Obat anti epilepsi (OAE) diberikan bila:
◦ Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
◦ Pastikan faktor pencetus bangkitan dapat dihindari
◦ Terdapat minimal 2 bangkitan dalam setahun
◦ Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
◦ Penyandang dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping yang timbul dari OAE
Tipe kejang Lini pertama Lini kedua
Kejang parsial
Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide
Parsial kompleks, Lamotrigine Clonazepam Penatalaksanaan pada kasus:
Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin
Oxcarbazepine Phenobarbitone
Topiramate Phenytoin
Valproate Pada saat bangkitan berikan
Kejang umum
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide Lamotrigine dengan dosis
Klonik Lamotrigine Levetiracetam awal: 50 – 100 mg/hari dibagi
Topiramate Phenobarbitone 1 – 2 kali pemberian. Dosis
Valproate Phenytoin
Absans Ethosuximide Acetazolamide rumatan : 50 – 200 mg/hari
Lamotrigine Clonazepam dibagi 1 – 2 kali pemberian.
Valproate
Absans atipikal, Valproate Acetazolamide
Atonik, Clonazepam
Tonik Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Mioklonik Valproate Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam
Penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas
bangkitan. Syarat umum penghentian OAE adalah :
◦ Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal.
◦ Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.
◦ Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6
bulan.
◦ Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.
Terapi Operatif
◦ Terapi operatif dapat dilakukan dengan kriteria:
◦ Sindrom epilepsi fokal dan simtomatik yang refrakter terhadap OAE
◦ IQ >70
◦ Tidak ada kontraindikasi pembedahan
◦ Tidak ada kelainan psikiatrik yang jelas
Terapi Sosial : rekreasi, konseling pernikahan dan kehamilan, penyuluhan masyarakat,
perlakuan khusus bagi yang memiliki keterbatasan
Pencegahan :
◦ Pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi epilepsi adalah melakukan edukasi kepada
pasien dan keluarga pasien bahwa penderita epilepsi harus patuh dalam mengkonsumsi obat
anti epilepsi, menginformasikan bahwa epilepsi ini dapat dikontrol dan tidak menular.
Komplikasi :
◦ Hipoksia dan asidosis
Hal ini dapat terjadi karena pada saat terjadi bangkitan penggunaan adenosisn triphospat (ATP)
akan meningkat sehingga terjadi perubahan fisiologi sistemik seperti peningkatan aliran darah
ke otak, peningkatan asupan glukosa dan O2 dan peningkatan pengeluaran metabolik toksik.
Apabila terjadi terus menerus akan terjadi prose metabolisme anaerob yang dapat menyebabkan
terjadinya akumulasi laktat di otak yang dapat menyebabkan hipoksia dan asidosis.
Prognosis :
◦ Quo ad vitam : Dubia ad bonam
◦ Quo ad functionam : Dubia ad bonam

Anda mungkin juga menyukai