Anda di halaman 1dari 8

ASPEK SPIRITUAL HAJI

PADA LANSIA
Disusun Oleh :
 
Rizqi Aprilia Hebas (108118014)
Fery Akbar Rizky (108118015)
Siska Bella Ocktavia (108118016)
Silfia Triara Lestari (108118017)
 
Menurut James (1902), pengalaman spiritual adalah sebuah
label yang luas mencakup berbagai kemungkinan individu
memiliki hubungan antara dirinya, jiwa, dan Tuhan.
Davis (dalam Cunningham, 2011) mendefinisikan
pengalaman spiritual sebagai sebuah bidang psikologi yang
memadukan antara konsep psikologis, teori, dan metode
dengan materi dan praktek dari spiritual. Hal tersebut
termasuk kedalam kesadaran mistis, pengalaman meditasi,
ritual dan dimensi-dimensi transpersonal.
Menurut Wildman (2011), pengalaman spiritual meliputi
semua pengalaman utama dan domain pengalaman religius
yang tidak biasa pada individu yang mungkin memiliki
ataupun tidak memiliki agama.
Rankin (2008) berpendapat bahwa pengalaman spiritual merupakan pengalaman
yang tidak mencerminkan kepercayaan suatu agama secara khusus, akan tetapi
mengindikasikan suatu pengaruh yang tidak dapat dijelaskan.
James (1902) memaparkan karakteristik pengalaman spiritual kedalam empat poin,
yaitu:
a. Ineffability (tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata) Pengalaman spiritual
harus dialami secara langsung dan tidak dapat disampaikan oleh orang lain.
Tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana perasaaan tersebut, seberapa besar
kualitas ataupun nilai dari perasaan yang dialami oleh seseorang.
b. Noetic Quality (Kualitas Noetik) Seseorang yang mengalami pengalaman
spiritual akan mendapatkan kedalaman kebenaran yang tidak dapat digali
melalui intelektual semata. Pengalaman ini mengungkapkan sesuatu yang
tersembunyi ataupun tidak dapat dikaitkan dengan pengetahuan. Beberapa
ilmuan menganggap pengalaman seperti ini tabu dan tidak boleh dibicarakan
oleh orang lain (Shadder, 2008).
c. Transiency (Bersifat sementara) Keadaan mistik tidak dapat dipertahankan
dalam waktu yang cukup lama. Ketika keadaan mistis melemah, kualitas
situasi tersebut dapat diolah melalui ingatan meskipun tidak terlalu
sempurna. Akan tetapi, saat keadaan tersebut kembali, maka akan dapat
dikenali dengan mudah.
d. Passivity (kepasifan) Kondisi mistik dapat dikondisikan melalui beberapa
tindakan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan gerakan-gerakan
tertentu, pemusatan pikiran ataupun cara lain yang telah diuraikan oleh
berbagai agama.
 
Ibadah haji merupakan ibadah individual yang mana sangat ditentukan oleh
kualitas pribadi setiap jamaah dalam memahami ketentuan dalam ibadah haji
(Saputra, 2016). Dalam melakukan ibadah tersebut, terdapat pengalaman
spiritual yang didapat oleh jamaah. Rankin (2008) menyebutkan bahwa
pengalaman spiritual dipicu oleh pengalaman keagamaan seperti berhaji.
Contoh :
a. Ineffability
Kesempatan berhaji merupakan hal yang tidak terduga yang dialami oleh responden. Perasaan tidak menyangka akan
dipanggil ke Rumah Allah menjadi pelengkap Rukun Islamnya sebagai awal perjalanan tersebut. Sebagai seorang
pegawai lepas, untuk menunaikan ibadah haji merupakan hal yang mustahil. Responden pergi haji melalui mertuanya
yang membiayai perjalanan responden. Sebagai seseorang yang memiliki dasar agama yang belum kuat, ketika
panggilan tersebut sudah terlayangkan pada dirinya, ada perasaan takut balasan yang akan terjadi di Baitullah.
Kekhawatiran tersebut berupa kelakuan yang pernah dilakukan di tanah air. Berserah diri adalah cara untuk
mendapatkan ketenangan tersebut. Tujuan menunaikan ibadah haji ini adalah untuk mengubah diri.
Saat berada di Tanah Suci, salah satu pengalaman yang tidak dijelaskan melalui pengalaman biasa adalah ketika
responden ingin melakukan ibadah di Raudah. Raudah merupakan suatu tempat yang mana banyak orang
mengharapkan doanya terkabul disana, oleh karena itu akan bersempit-sempitan untuk bisa berada disana.
Responden sangat ingin melakukan ibadah di Raudah, saat dirinya sudah putus asa dan ingin menyerah, ia
mengatakan jika Allah memiliki cara lain.
Responden juga bercerita jika Ka’bah memiliki daya tarik yang tak mampu ia jelaskan. Daya tarik tersebut
diposisikan sebagai tempat untuk menghadap. Responden merasa harus melakukan sholat di depan Ka’bah untuk
memenuhi hasrat kepuasannya yang menjadi daya tarik tersendiri baginya. Emosi yang campur aduk ketika berada
disana, yaitu menangis. Menangis terjadi sendirinya ketika sudah berdoa di hadapan Ka’bah, menyentuh Ka’bah dan
memohon doa. Terdapat dorongan didalam diri yang responden tak mampu untuk menjelaskannya.
b. Noetic Quality
Aktivitas noetik yang dialami oleh responden berkaitan dengan seseorang yang membantunya,
namun seperti bukan manusia. Saat ia ingin menyentuh Ka’bah, ia serasa seperti ada yang
mendorong dari belakang. Uluran tangan menariknya untuk dengan cepat memegang Ka’bah. Hal
tersebut diakui oleh responden yang mana kemungkinan itu bukanlah perbuatan manusia.
Pengalaman lainnya berkaitan dengan bantuan oleh Allah SWT ketika responden ingin melakukan
ibadah. Sesuatu yang dikhawatirkan menjadi aman karena telah diselamatkan oleh Allah SWT.
c. Transiency
Pengalaman yang didapat oleh responden adalah ketika ia melihat Ka’bah pertama kali. Rasa
takjub akan Ka’bah membuat air matanya jatuh tanpa ia sadari. Ia juga tidak sadar telah melihat
Ka’bah sudah berapa lama. Sambil menunggu adzan berkumandang, ia selalu melihat Ka’bah
yang memiliki daya tarik tersendiri baginya. Rasa bersyukur dapat berdoa di Raudah juga
diwakili dengan air mata.
Saat berdoa, ia duduk berdoa serasa waktu berjalan dengan cepat. Untuk melakukan ibadah di
Raudah, ada batasan waktu untuk bergantian dengan orang lain. Waktu yang diberikan adalah
sepuluh sampai lima belas menit. Doa demi doa dan sholat sunnah yang ia lakukan tak terasa
sudah habis. Hal itu diungkapkannya dikarenakan disana ia sangatlah tidak puas jika hanya sekali
untuk pergi ke Raudah.
d. Passivity
Responden hanya mengatakan jika untuk memusatkan diri kepada Allah SWT
hanyalah berdzikir dan berdoa. Saat berdoa didalam hati, apapun akan
dikabulkan oleh Allah pada saat itu juga. Doa yang dimaksud adalah doa yang
berkaitan dengan dirinya pada waktu itu. Berdzikir dapat dilakukan kapanpun
dan dimanapun, berdzikir dilakukan untuk tetap fokus kepada Allah SWT dan
mengurangi perbuatan yang tidak diinginkan, seperti mengganggu orang lain
dengan candaan. Disetiap waktu, dzikir yang dilakukan juga untuk menambah
kekuatan doa.
 
Thanks !

Anda mungkin juga menyukai