Anda di halaman 1dari 40

TUTORIAL KLINIK

THALASEMIA

DISUSUN OLEH:
- HINDI JUANA PUTRI (2008320010)
- SETIA APRIANI (2008320011)
- HIRDA HARFIZI (2008320029)
- AGUNG PRATAMA SIREGAR ( 2008320034)
- TRESNA ADI PRAYOGA (2008320035)

PEMBIMBING:
DR. SONDANG MANIUR LUMBAN BATU, SP.A

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UMSU
RSUD DELI SERDANG LUBUK PAKAM
2021
PENDAHULUAN

• Thalasemia  penyakit kelainan darah yaitu anemia hemolitik herediter yang


diturunkan secara autosomal resesif dengan disebabkan oleh defek genetik pada
pembentukan rantai globin.

• WHO (World Heatlh Organization)  memperkirakan sekitar 7% dari populasi


global ( 80-90 juta orang) adalah pembawa thalasemia beta, dengan sebagian besar
adalah negara berkembang.

• Di Indonesia menyebutkan bahwa penyakit genetik ini paling sering ditemukan


diantara penyakit genetik lainnya, dengan prevalensi pembawa gen talasemia
tersebar antara 3-10% diberbagai daerah. Pada populasi Asia Tenggara dilaporkan
bahwa frekuensi karier Hemoglobinopati dan Thalasemia adalah 45,5% dengan
1,34 anak dari 1000 kelahiran terlahir dengan kondisi klinis.
DEFENISI

• Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan


pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbenuk sempurna. Tubuh tidak dapat
membentuk sel darah merah yang normal sehingga sel darah merah mudah rusak
atau berumur kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia.
KLASIFIKASI

• Secara molekuler, thalasemia dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu :


• thalasemia alfa
• thalasemia beta

• Thalasemia alfa  disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai
alfa yang ada.

• Thalasemia alfa terdiri dari :


• - Silent Carrier State
• - Thalasemia Alfa Trait
• - Hemoglobin H Disease
• - Thalasemia Alfa Mayor
KLASIFIKASI

• Thalasemia beta  terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin
beta yang ada.

• thalasemia beta terdiri dari :


• - Thalasemia Beta Trait (Minor)
• - Thalasemia Intermedia
• - Thalasemia Mayor ( Cooleey’s Anemia )
EPIDEMIOLOGI

• WHO (2006) meneliti 5% penduduk dunia adalah carrier dari 300-400 ribu bayi
thalasemia yang baru lahir pertahunnya.

• Frekuensi gen thalasemia di Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan angka ini,


diperkiran lebih dari 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia.

• Salah saru rumah sakit di Jakarta, trdapat 1060 pasien thalasemia mayor yang
berobat jalan yang terdiri dari thalasemia beta homozigot, thalasemia HbE, serta
thalasemia alfa.
DETERMINAN

• Genetik
• Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen alfa globin dan gen
beta globin yang terletak pada kromosom 16 dan 11.
• Kromosom ditemukan berpasangan.
• Kelainan sebelah gen globin disebut carrier thalasemia.
• Seorang carrier thalasemia biasanya tidak perlu pengobatan karena masih ada
sebelah gen globin yang normal.
• Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromoson disebut thalasemia mayor
(homozigot).
• Kedua belah gen yang mengalami kelainan berasal dari orang tua yang masing-
masing carrier thalasemia.
DETERMINAN

• Umur
• Thalasemia mayor terjadi bila kedua orang tua carrier thalasemia. Anak anak
dengan thalasemia mayor tampak saat lahir, tetapi akan mengalami anemia pada
usia 3-18 tahun.
• Penderita memerlukan transfusi darah secara berkala seumur hidupnya, apabila
penderita thalasemia mayor tidak dirawat, maka hidup mereka biasanya hanya
bertahan 1-8 tahun.
PATOGENESIS
MANIFESTASI KLINIS

• Gejala dari penyakit thalassemia menyerupai gejala pada penyakit anemia yang
ditandai dengan gejala lemah, letih, dan lesu.

• Thalasemia Mayor ditandai dengan:


• anemia berat, produksi eritrosit (eritropoesis) yang tidak efektif, hemolisis,
pertumbuhan dan perkembangan anak yang lambat dan tidak sesuai dengan umur,
kelainan bentuk pada tengkorak.

• Thalasemia Minor, pada umumnya tidak menunjukkan manifestasi klinis yang


jelas, tetapi merupakan faktor pembawa dari thalasemia mayor.
DIAGNOSIS

• Thalasemia di diagnosis berdasarkan dari:


• - gejala klinis
• - pemeriksaan fisik
• - laboratorium.

• Penderita pertama datang dengan keluhan  anemia/pucat, tidak nafsu makan dan
perut membesar.

• Keluhan umum muncul pada  usia 6 bulan

• Pemeriksaan fisis  yang meliputi bentuk muka mongoloid (facies Cooley),


ikterus, gangguan pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali.
DIAGNOSIS

• Pemeriksaan laboratorium  biasanya dijumpai anemia pada thalassemia


mayor cukup berat dengan kadar hemoglobin mencapai <7 g/dL, thalasemia
mayor biasanya memiliki nilai MCV dan MCH yang rendah.

• gambaran morfologi eritrosit  mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis


berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic
stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target.

• Pemeriksaan khusus  Hb F meningkat 20%-90%, elektroforesis Hb.


PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Darah perifer lengkap (DPL)


• Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat dengan kadar
hemoglobin mencapai <7 g/dl.

• Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV dan MCH yang
normal, sehingga nilai normal belum dapat menyingkirkan kemungkinan
thalassemia trait dan hemoglobinopati.

• Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk skrining pembawa
sifat thalassemia (trait), thalassemia dβ, dan high Persisten fetal hemoglobine
(HPFH).
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan mean corpuscular


haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik). Thalassemia mayor biasanya memiliki
MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.

• Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalassemia, dan juga pada
anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih sedikit dipengaruhi oleh
perubahan cadangan besi (less suscpetible to storage changes). Oleh karena itu
pada MCV dan MCH yang sedikit lebih rendah dari normal, untuk memastikan
apakah hal tersebut disebabkan oleh Talasemia (minor) atau defiseiensi besi, maka
perlu dilakukan uji suplementasi besi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Ringkasan perbedaan gambaran umum parameter darah pada diagnosis Talasemia α


dan β pada individu normal dan sakit tercantum pada Tabel berikut:
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Diagnosis DNA
• Diagnosis DNA dilakukan untuk memastikan jenis mutasi apa yang terkandung dalam
setiap sel individu Talasemia.

• Pada beberapa kasus diagnosis DNA menjadi diagnosis definitif karena gambaran
darah dan elektroforesis hemoglobin yang meragukan.

• Secara umum, diagnosis DNA tidak dilakukan secara rutin di tingkat pelayanan.
Diagnosis yang dilakukan pada tingkat pelayanan rumah sakit secara umum sampai
pada tingkat elektroforesis hemoglobin untuk mendapatkan data jenis dan kadar
hemoglobin.

• Diagnosis DNA dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR),


Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP). Amplification Refractory
Mutation Scanning (ARMS).
TATALAKSANA

• Terapi Suportif
• Terapi suportif  agar pasien dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Terapi
tidak dimaksudkan untuk menyembuhkan secara penuh.

• Terapi suportif yang diberikan disesuaikan dengan patologi utamanya yaitu


pengobatan terhadap anemianya.

• Secara umum tatalaksana yang dilakukan untuk pasien Talasemia adalah :


• - Pemberian transfusi darah adekuat
• - Pemberian kelasi besi
• - Suplementasi nutrisi (antioksidan)
• - Splenektomi atau pengangkatan limpa
• - Vaksinasi
• - Dukungan psikososial
TATALAKSANA

• Transfusi darah
• Transfusi wajib diberikan jika Hb <7 mg/dL seteleh pemeriksaan 2 kali dengan jeda
lebih dari 2 minggu, tanpa penyebab lain seperti infeksi, trauma, penyakti kronis
lainnya. Volume darah yang ditransfusikan bergantung dari nilai Hb. Bila kadar Hb
pratransfusi >6 gr/dL, volume darah yang ditransfusikan berkisar 10-15 mL/kg/kali
dengan kecepatan 5 mL/kg/jam. Jika nilai Hb <6 gr/dL, dan atau kadar Hb
berapapun tetapi dijumpai klinis gagal jantung maka volume darah yang
ditransfusikan dikurangi menjadi 2-5 ml/kg/kali dan kecepatan transfusi dikurangi
hingga 2 mL/kg per jam untuk menghindari kelebihan cairan. Pemberian diuretik
dapat diindikasikan jika pasien memiliki penyakit jantung.
TATALAKSANA

• Target Hb setelah transfusi adalah di atas 10 mg/dL namun jangan lebih dari 14
mgdL. Pasien diharapkan melakukan transfusi kembali sebelum Hb drop dibawah 8
mgdL, artinya bahwa pasien diedukasi untuk kembali melakukan transfusi dengan
Hb pretransfusi tidak kurang dari 9,5 mg/dL. Pemberian darah dengan Hb
pretransfusi di atas 9 mg/dL dapat mencegah eritropoiesis ekstrameduler, mencegah
kerusakan organ, meningkatkan ketahanan tubuh, menekan kebutuhan darah di
masa mendatang, dan mengurangi serapan besi di saluran cerna.
TATALAKSANA

• Pemberian kelasi besi


• Pemberian transfusi rutin setiap bulan selama hidup dapat menyebabkan
penumpukan besi dalam tubuh.

• Indikator penumpukan besi dalam tubuh dapat dinilai melalui jumlah kantong
darah yang ditransfusikan, kadar serum feritin, transferin, biopsi hati untuk
mengukur kadar besi, mengukur besi melalui MRI, dan feritometer.

• Jika transfusi darah sudah dilakukan sebanyak >10 kali, maka kadar besi secara
umum sudah meningkat diambang normal, zat kelator 57 dapat diadministrasikan.
Parameter lain adalah kadar serum feritin di atas 1000 ng/mL, dan atau saturasi
transferin ≥ 70 %.
TATALAKSANA

• Ada 3 macam obat utama kelator yaitu :

• 1) Desferoksamin (Desferal, DFO)


• terbukti menunjukkan efek yang dramatis dalam menurunkan morbiditas dan
mortalitas pasien thalassemia.

• Dosis Deferoxsamin adalah 30-60 /kgBB secara subkutan atau intramuskuler.

• Deferoksamin memiliki waktu paruh singkat (30menit) sehingga perlu diberikan


dengan durasi 8-12 jam per hari, 5-7 kali per minggu.

• Desferoksamin tidak disarankan pada pasien anak di bawah usia 2 tahun karena
risiko toksisitas yang lebih tinggi.
TATALAKSANA

• 2) Deferipron (Ferriprox, DFP, L1)


• menurunkan timbunan -35- besi dalam tubuh, bahkan lebih efektif menurunkan
besi di jantung dibandingkan desferoksamin.

• Deferiprone atau Feriprox, dosis yang diberikan adalah 75-100 mg/kg per hari,
dibagi dalam 3 dosis, diberikan per oral sesudah makan.

• Feriprox sirup diberikan untuk anak kurang dari 6 tahun yang belum mampu
meminum tablet.
TATALAKSANA

• 3) Deferasiroks (Exjade/DFX)
• Deferasirox adalah kelator oral berupa tablet dispersible. Bioavailabilitas oralnya
baik dan waktu paruhnya panjang sehingga sesuai untuk pemberian 1 kali per hari.

• Deferasirox atau Exjade dosis yang dianjurkan adalah 20-40 /kgBB, dapat diminum
bersamaan dengan minuman lain seperti jus, dalam keadaan perut belum terisi
makanan, atau sebelum makan.
TATALAKSANA

• Suplementasi nutrisi
• Nutrisi pasien Talasemia harus diperhatikan mengingat kondisi iron overload akibat
transfusi.

• Pemberian nutrisi antioksidan diindikasikan untuk semua pasien seperti asupan


yang mengandung kalsium, vitamin D, folat, trace mineral (kuprum/ tembaga, zink,
dan selenium), dan antioksidan (vitamin C dan E).
TATALAKSANA

• Splenektomi
• Splenektomi adalah tindakan insisif untuk memotong splen atau limpa dari tubuh.

• Splenektomi tidak akan menjadi alternatif ketika tranfsui rutin dapat dilakukan
sejak usia dini dan berlangsung secara adekuat.

• Tindakan spelenektomi dapat diindikasikan untuk keadaan seperti kebutuhan


transfusi meningkat hingga lebih dari 200-250 mL PRC /kg/tahun atau 1,5 kali lipat
dibanding kebutuhan biasanya, hipersplenisme, leukopenia dan trombositopenia.
TATALAKSANA

• Vaksinasi
• Penanganan yang insentif dan optimal pasien Talasemia melibatkan tindakan
vaksinasi untuk mencegah beberapa penyakit.

• Pada penanganan yang adekuat, Vaksin Pneumokokus direkomendasikan sejak usia


2 bulan, dan diulang pada usia 24 bulan. Pemberian ulangan dapat diberikan setiap
5 hingga 10 tahun.

• Transfusi rutin dapat menyebabkan peningkatan risiko hepatitis B, untuk itulah


vaksinasi hepatitis B menjadi sebuah keharusan. Selain itu pemantauan terhadap
HIV juga harus diperhatikan mengingat pasien mendapatkan transfusi dari
pendonor lain.
TATALAKSANA

• Psikososial
• Gangguan psikologis sangat dekat dengan kehidupan para penyandang Talasemia.

• Beberapa kasus dapat mengakibatkan penarikan diri dari lingkungan. Gangguan


psikologis juga muncul pada kehidupan reproduksi mereka mengingat kondisi yang
mereka alami.
TATALAKSANA

• Terapi Definitif
• Beberapa alternatif terpai definitif yang sudah dilaksanakan dan dalam tahap
penelitian adalah cangkok sumsum tulang (Bone marrow transplantation-BMT)
dan terapi gen (genetic therapy).

• Bone marrow transplantation-BMT


• BMT atau cangkok sumsum tulang adalah terapi yang memungkinkan
penyandang Talasemia tidak memerlukan transfusi rutin.

• Hasil terbaik adalah dengan saudara kandung yang cocok dengan HLA. Dalam
studi baru-baru ini, Pasien dengan transplantasi HLA-matched related allogenic
tanpa faktor risiko memiliki tingkat harapan hidup/overall survival (OS) 93% dan
harapan hidup tanpa penyakit/disease-free survival (DFS) 91%.
TATALAKSANA

• Terapi Gen
• Terapi gen dimaksudkan sebagai terapi yang dapat mengubah susunan mutasi gen
yang dikandung di dalam sel hematopoiesis.

• Dengan melakukan harvesting sumsum tulang dari pasien, kemudian sel-sel


tersebut dilakukan kutlur dan pemeliharaan.

• Tahap selanjutnya dengan melakukan insersi gen yang normal ke kultur sel tersebut
dengan menggunakan perantara virus (umumnya adalah lentivirus).

• Hasil insersi gen normal tersebut kemudian dilakukan transfusi kembali melalui
jalur Intra Vena kepada pasien.
KOMPLIKASI

• Kelebihan Zat Besi


• Transfusi berulang pada thalassemia dapat menyebabkan terjadinya kelebihan zat
besi.

• Deposisi zat besi dapat terjadi pada organ-organ viseral, pada jantung dan hati,
menyebabkan gagal jantung dan sirosis. Jika tidak ditangani, kelebihan zat besi
dapat menyebabkan terjadinya endokrinopati seperti hipogonadisme,
hipotiroidisme, hipoparatiroidisme, hipopituitarisme, atau diabetes mellitus.
KOMPLIKASI

• Komplikasi akibat Hemolisis


• Hemolisis pada thalassemia dapat menyebabkan terjadinya splenomegali atau batu
bilirubin.

• Kerusakan dan Abnormalitas Tulang


• Pada thalassemia, terjadi hiperplasia eritroid pada sumsum tulang sehingga
menyebabkan ekspansi dan perusakan pada daerah yang berdekatan seperti korteks,
menyebabkan pertumbuhan tulang yang terhambat dan malformasi.
KOMPLIKASI

• Tromboemboli Vena dan Arteri


• Disfungsi membran eritrosit dapat menginduksi aktivasi platelet. Eritrosit yang
abnormal juga dapat secara langsung menimbulkan kerusakan vaskuler. Pasien
thalassemia juga dapat menimbulkan keadaan hiperkoagulasi kronis.

• Komplikasi akibat Transfusi Darah


• Transfusi darah yang dilakukan untuk penatalaksanaan thalassemia juga memiliki
risiko komplikasinya sendiri, di antaranya adalah risiko mengalami hepatitis
B, reaksi hemolitik, dan sepsis.
PROGNOSIS

• Prognosis untuk pasien dengan thalasemia beta minor atau thalassemia alfa trait
adalah baik dengan harapan hidup sama seperti populasi umum. Anemia ringan
yang terjadi tidak perlu diobati dan penyakit tidak memiliki risiko untuk terjadi
perburukan.

• Prognosis untuk thalasemia beta intermedia bervariasi oleh karena risiko untuk
terjadi anemia berat serta keperluan kronis untuk transfusi. Tanpa terapi, prognosis
talasemia beta sangatlah buruk. Pasien biasa meninggal pada usia muda oleh karena
infeksi.
KESIMPULAN

• Thalasemia merupakan suatu kelompok kelainan sintesis hemoglobin yang


heterogen. Thalasemia memberikan gambaran klinis yang bervariasi dari ringan
sampai berat.

• Transfusi darah masih merupakan tatlaksana suportif utama pada thalasemia agar
anak dapat tumbuh dan berkembang secara normal.
REFERENSI
• Berhman, RE; Kliegman ; Arvin: Nelvon Ilmu Kesehatan Anak, volume 2, edisi 15. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta : 2005, hal 1708-1712.
• Berhman, RE; Kliegman ; RM and Jensen, HB: Nelson Text Pedriatrics, 16 th edition , WB Saunders
Company, Philadelphia: 2000, page 1630-1634.
• Rujito Lantip. 2019. Talasemia: Genetik Dasar dan Pengelolaan Terkini. Universitas Jenderal
Soedirman.
• Hassan R dan Alatas H. 2002. Buku Kuliah I Ilmu Kesehatan Anak Bagian 19 Hematologi. Hal. 419-
450. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
• Rudolph C. D, Rudolph A. M, Hostetter M. K, Lister G and Siegel N. J. (2002). Rudolph’s Pediatric’s,
part 19 blood and blood-forming tissues, Thalasemia. 21st Edition. McGraw-hill company: North
America.
• Hastings C. (2002). The children’s hospital Oakland hematology/oncology handbook. Chapter 4
thallasemia. Mosby. United States Of America.
• Ilyas, Muhammad, Winansih Gubali. 2012. Thalassemia : Cooley Anemia.
http://med.unhas.ac.id/datajurnal/thn06no3/LK-3-Ilyas%20(thalassemia).pdf
• Tari, K., Valizadeh Ardalan, P., Abbaszadehdibavar, M., Atashi, A., Jalili, A. and Gheidishahran, M.,
2018. Thalassemia an update: molecular basis, clinical features and treatment. International journal of
biomedicine and public health, 1(1), pp.48-58.
REFERENSI
• Lantip Rujito. (2020). Talasemia : Genetik Dasar dan Pengelolaan Terkini. Talasemia : Genetik
Dasar dan Pengelolaan Terkini (p. 95). Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman Press.
http://doi.org/10.5281/zenodo.3606955
• Herman M, Chaudhry S. Thalassemia [Internet]. McMaster Pathophysiology Review. [cited
2018Jan13]. Available from: http://www.pathophys.org/thalassemia/
3. Papadakis M, McPhee S. Current medical diagnosis & treatment 2018. 57th ed. New York, N.Y:
McGraw Hill Medical; 2018.
• Braunstein E. Thalassemias [Internet]. MSD Manual Professional Edition. MSD Manual; 2017
[cited 2018Jan14]. Available from: http://www.msdmanuals.com/professional/hematology-and-
oncology/anemias-caused-by-hemolysis/thalassemias

Anda mungkin juga menyukai