Anda di halaman 1dari 20

Oleh :

H. HERRI AZHARI, M.Ag


 Setelah Tiongkok, peradaban besar lain yang
berpengaruh di Indonesia adalah India.
 Bila dilihat dari karya-karya sastra yang

dihasilkan dari negeri yang terletak di Asia


Selatan ini, baik itu Mahabarata atau
Ramayana, India sering kali dilanda
peperangan demi peperangan yang sangat
berpengaruh pada kehidupan rakyatnya.
Selain perang, hal lain yang juga berpengaruh
di India adalah dua agama besar yaitu, Hindu
dan Budha.
 Dibanding hubungan Indonesia dengan Tiongkok, catatan
mengenai hubungan dengan India, jauh lebih sedikit. Padahal,
seharusnya hubungan yang terjadi antara Indonesia dan India,
sebagai negara yang sama-sama terletak di Benua Asia, sudah
cukup lama karena kerajaan yang pertama kali ada di Jawa adalah
Tarumanegara, yang menganut agama Hindu.
 Dalam Ramayana, memang pernah disebutkan tentang
Yawadvipa, namun hanya sambil lalu. Selain itu, hal lain yang
menunjukkan adanya Indianisasi di Indonesia dapat dilihat pada
sumber-sumber sejarah seperti prasasti yang ditulis dalam bahasa
Sangsekerta (abad ke-5 sampai tahun 792, tahun dibuatnya
prasasti pertama yang mengunakan bahasa lokal), dan adanya
candi-candi, baik candi Hindu maupun Budha—terutama di
Jawa.
 Dari catatan tambahan, juga dapat diketahui bahwa hubungan
dengan India tidak hanya menyangkut masalah perdagangan, tapi
juga hubungan kebudayaan (Lombard, 2000a:5).
 Kata ‘Hindu’ semula diberikan oleh orang Persia terhadap
wilayah di lembah sungai shindu.
 Kedatangan orang Yunani berikutnya, menyebut Hindu dengan
Indoi, dan oarang-orang Barat mengatakan India. Penduduk
setempat menyebut keyakinan mereka sanatana Dharma, yang
berarti dharma yang kekal, abadi, tanpa awal dan akhir (anadi
ananta).
 Kebenaran yang diajarkan adalah kebenaran universal yang
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sebagaimana disebutkan
dalam Rg Veda VI. 24.7, “Tuhan Yang Maha Esa tidak akan
menjadikan dia tua, bulan dan demikian pula hari”(Titib, 1995)
 Yang perlu menjadi catatan penting dalam
hubungan dengan India ini adalah agama
Hindu. Berbeda dengan agama Budha, pada
agama Hindu dikenal sistem pengkastaan;
Brahmana, Satria, Waisya dan Sudra.
 Di mana pengaruh dari adanya pengkastaan

ini menyebabkan masyarakat terbelah


menjadi dua, antara kelompok yang
menindas; yang diwakili oleh raja-raja dan
antek-anteknya, dan kelompok yang ditindas;
rakyat jelata.
 Di Indonesia sendiri, sebelum masuknya agama Hindu, belum
mengenal konsep pengkastaan.
 Jika demikian, lalu mengapa konsep pengkastaan ini bisa
diterima oleh masyarakat Indonesia ketika itu?
 Sesuatu hal yang baru, yang berusaha masuk untuk
menggantikan posisi dari sesuatu yang lama, tentunya tidak
akan langsung diterima begitu saja.
 Pada waktu itu, sistem baru tersebut berusaha dimasukkan ke
dalam masyarakat lewat jalan pemaksaan. Pertentangan antara
sistem lama—dengan prinsipnya bahwa setiap orang untuk
setiap orang dan masyarakatnya—tentunya berbenturan dengan
sistem baru—yang menempatkan setiap orang dalam kotak-
kotak tertentu dalam masyarakat berdasarkan derajatnya;
pengkastaan—akhirnya berpuncak pada peperangan.
 “Sudah tentu terjadi peperangan-peperangan, sebab
soalnya adalah pertemuan antara dua sistem sosial yang
bertentangan. Sistem sosial terdahulu, di mana setiap
orang untuk setiap orang dan masyarakat, menolak
sistem baru ini, mereka memberontak” (Toer,
1999:114).
 Dari hasil peperangan dapat kita ketahui, sistem lama

kalah akibat tidak adanya persatuan perlawanan—


seperti yang kita ketahui, sistem Hindu adalah sebuah
agama yang sudah mapan. Akibatnya, sistem lama
yang mengalami kekalahan kemudian menyingkir ke
pedalaman (Toer, 1999:115).
 Kemenangan agama Hindu tersebut menandai dimulainya babak
baru dalam sejarah masyarakat Indonesia, di mana orang
melakukan kerja bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi
untuk diserahkan pada kelas yang berkuasa: raja.
 Sementara, rakyat diwajibkan patuh kepada raja, karena raja
adalah wakil Tuhan di muka bumi.
 “Maka inilah babak sejarah Indonesia, di mana rakyat untuk
pertama kalinya menjadi kuda beban.
 Rakyat dipaksa harus mengarahkan kesetiaannya kepada lapisan
atas, tidak lagi kepada keselamatan masyarakat seperti pada
sistem-sosial terdahulu.
 Lapisan atas hidup mewah di atas punggung rakyat yang
semakin lama semakin kurus oleh penindasan dan pemerasan.
Yang baik dan yang banyak diperuntukkan buat sang raja. Kedua
lapisan ini berbeda sebagai bumi dan langit” (Toer, 1999:114).
 Pendapat lain tentang ajaran agama Hindu yang cepat
menyebar di Nusantara ini karena adanya persamaan
unsur-unsur antara agama Hindu dengan kepercayaan
asli, misalnya :
A. Agama Hindu memuja Brahman dan para Dewa,
sedangkan kepercayaan nenek moyang kita memuja roh
leluhur;
B. Tempat pemujaan agama Hindu berupa lingga, candi dan
arca, sedangkan tempat pemujaan nenek moyang berupa
menhir, punden berundak, tahta batu dan patung;
C. Upacara agama Hindu dipimpin oleh Brahmana,
sedangkan upacara nenek moyang dipimpin oleh dukun.
Kenyataan ini memberi anggapan bahwa kedatangan
agama Hindu tidak memberangus budaya asli, tetapi
justru menjiwai sistem budaya yang telah ada, sehingga
mencerminkan nilai kebenaran, kebajikan dan keindahan
(sathyam, sivam, sundaram). (Wayan Suja, 2003:6)
 Berbeda dengan Pramudya dalam menuliskan
Perkembangan kerajaan Hindu di Jawa, Slamet Mulyana,
mengemukaan bahwa pada masa kejayaan kerajaan
Hindu di Nusantara, telah berkembang suatu masyarakat
Kertagama, yakni suatu masyarakat majemuk yang
berada dalam dinamika harmoni dibawah suatu tertib
hukum dan kearifan kepemimpinan yang bersumber pada
agama sebagai sandaran utama moralitas masyarakat.
 Didalamnya elemen-elemen masyarakat berinteraksi
berlandaskan sasana (etika) yang berlangsung dalam
semangat kesetiaan dan keselarasan. Agama dalam hal ini
tidak berarti hanya Hindu, karena dalam lobntar
Sutasoma telah ditandaskan bahwa, bhinneka tunggal ika
tan hana dharma mangrwa, (betapapun berbeda-beda,
Tuhan atau kebenaran sejati itu hanya satu hakikatnya.
 Walaupun agama Hindu yang masuk ke Indonesia berasal
langsung dari India—tanpa melalui penyaringan dari bangsa
Hindu lain—tetapi dalam prakteknya terdapat perbedaan,
khususnya menyangkut pengkastaan. Di India, kasta tertinggi
diduduki kaum Brahmana, sedangkan di Indonesia, kasta
tertinggi justru diduduki kaum bangsawan dan penjabat tinggi.
Lombard (2000:58) menguraikan pengkastaan agama Hindu di
Indonesia, sebagai berikut:
 “Pertama-tama terdapat para mantri atau ‘pejabat tinggi’ serta
arya atau ‘kaum bangsawan’; lalu para kryan yang berstatus
ksatriya, dan para wali atau ‘perwira’, yang tampaknya
merupakan golongan ‘bangsawan rendah’; akhirnya para
wai’sya dan sudra.”
 Dalam perkembangan selanjutnya, ketika masa Hindu-
Siwa kalah pengaruh dengan Hindu-Wisnu, terjadi
perubahan radikal dalam konsep ontologi. Pada masa ini,
muncul konsep manusia yang dijadikan dewa. 
 “…bahwa Arjunawiwaha tulisan Mpu Kanwa adalah
gejala pertama penggunaan buku suci untuk mendewakan
manusia. Ini segera diikuti oleh Mpu Triguna dengan
karyanya Kresnayana. Yang pertama untuk kepentingan
Sri Baginda Erlangga, yang kedua untuk Sri Baginda
Jayawarsa…..Mpu Dharmaja dengan karyanya
Smaradhana melangkah lebih jauh lagi, tetapi lebih jujur,
karena ditampilkannya Sri Baginda Kameswara dan
Paramesywari lebih banyak sebagai manusia” (Toer,
2002:146).
 Sebetulnya, konsep ini untuk menguatkan
legitimasi raja pada rakyatnya. Sepertinya,
feodalisme yang berkembang di Eropa, bahwa
raja adalah wakil Tuhan di dunia, juga
berkembang di Indonesia (Onghokham,
2003:5).
 Di sinilah agama Hindu digunakan untuk

menaikkan gengsi para penguasa di hadapan


rakyatnya (Simbolan, 1995:9). Sampai saat
ini, konsep tersebut rupanya masih dipakai.
 Ketika Erlangga mulai berkuasa, agama Hindu juga mengalami
perubahan. Kasta Wai’sya (kasta pedagang) dihilangkan.
 Pada masa ini, kaum pedagang dianggap sebagai kasta yang
rendah sehingga dihilangkan dari caturjana, dan yang diakui
hanya triwangsa saja (Toer, 2002:28).
 Penghilangan kasta Wai’sya inilah yang menyebabkan agama
Hindu di Indonesia tidak bisa berperan seperti halnya agama
Hindu di India, yang bisa memacu perkembangan tenaga
produktif.
 Hinduisme di Indoensia tidak berhasil menghasilkan golongan
menengah yang kuat. Sedangkan di India, Hinduisme telah
memacu tumbuhnya kasta pedagang yang mampu melakukan
perdagangan-perdagangan internasional, sebagaimana pendapat
Pramoedya (1999:117) yang mengutip perkataan Ramkrishna
Mukerjee dalam bukunya The Rice and Fall of the East India
Company:
 Selain berpengaruh pada struktur masyarakat, Hinduisme juga
berpengaruh pada penggunaan bahasa. Pengaruh ini masih
terasa sampai sekarang, terutama dalam bahasa Jawa, Sunda
dan Madura.
 Bahasa ketiga daerah tersebut—terutama bahasa Jawa—
mengenal tingkatan-tingkatan yang disesuaikan dengan
pengkastaan itu sendiri—dimulai dari ngoko, bahasa yang
paling rendah sampai kromo inggil, bahasa yang paling halus
(Lombard, 2000:59).
 Selain bahasa percakapan, juga dikenal bahasa sastra. Di mana
dalam bahasa sastra ini, sebagian besar menggunakan bahasa
Sangsekerta yang dibawa kaum Brahmana dari India. Karena
merupakan bahasa sastra, maka yang menguasainya adalah
kaum terpelajar, sehingga dianggap sebagai bahasa yang paling
tinggi (Zoetmuder, 1994:19).
 Pada masa Hinduisme, sebelum masuknya Islam, kehidupan perempuan
lebih terbuka.
 Beberapa laporan dan prasasti pada masa itu menunjukkan bahwa banyak
perempuan yang mempunyai jabatan tinggi dan memegang posisi penting.
 Dari laporan Xin Tangshu diketahui bahwa pada tahun 674, kerajaan
Heling mempunyai ratu perempuan yaitu Sima (Xi-mo).
 Di Jawa Tengah, ditemukan prasasti berangka tahun 842 M, yang
dinamakan prasasti Teru I Tepusan, yang menyatakan dibukanya lahan
persawahan milik Sri Kahulunan, seorang permaisuri raja yang berkuasa
(Lombard, 2000:92).
 Dari Jawa Timur, ditemukan prasasti yang lebih baru, yang memuat
tentang dibukanya yayasan oleh Ratu Rakryan Binihaji Parameswari Dyah
Kebi, di bawah pemerintahan Sindok, dan satu lagi oleh Ratu Maharaja
Nari pada masa menjelang pemerintahan Airlangga. Sementara itu,
prasasti Kinawe berangka tahun 928 M, yang ditemukan di Kediri
menyebutkan tentang didirikannya tanah milik oleh perempuan
bangsawan bernama Dyah Muatan (Lombard, 2000:92).
 Semasa kejayaan Majapahit, juga ditemukan beberapa catatan yang
menyebutkan peranan kaum perempuan. Catatan pertama berasal dari
kitab Negara Kertagama, yang menyebutkan tentang peran Rajapatmi
(isteri R. Wijaya, sebagai penghubung antara Singasari yang
merupakan cikal bakal dari kerajaan yang lebih besar, Majapahit).
Semasa Majapahit memasuki jaman keemasan, kerajaan ini juga
pernah diperintah oleh seorang ratu perempuan yakni Ratu
Tribhuwana (ratu sebelum Hayam Wuruk). Ini menunjukkan kaum
perempuan memegang peran politik pada zamannya (Lombard,
2000:93). Tokoh-tokoh perempuan juga banyak muncul dalam
kedewaan Hindu-Jawa: Dewi Sri dan Durga, atau sering juga disebut
Uma.
 Dari hal tersebut dapat dilihat, bahwa pada masa itu masih ada ruang-
ruang terbuka bagi kaum perempuan untuk menunjukkan jati dirinya,
bahkan ada yang memegang jabatan politik—walaupun ini tidak bisa
dijadikan ukuran untuk melihat tidak adanya penindasan terhadap
kaum perempuan. Sistem Hindu, walaupun ada pengkastaan, masih
memberikan tempat kepada perempuan untuk berkiprah.
 Pada mitologi kuno dikenal adanya Dewi Sri, yaitu dewi padi
yang merupakan simbol pemberi kehidupan pada rakyat.
Sampai saat ini, di beberapa desa di Jawa, kepercayaan
tersebut masih terus dianut.
 Sedangkan candi Prambanan, yang di dalamnya terdapat
sebuah patung perempuan, merupakan contoh lain dari
penghormatan kepada kaum perempuan pada masa itu.
Menurut mitos, patung itu adalah Roro Jongrang yang dikutuk
Bandung Bondowoso. Akan tetapi, sebenarnya itu adalah
patung Durga, salah satu dewi penguasa dunia (Lombard,
2000:93).
 Gambaran belum adanya bias gender juga bisa kita lihat pada
masa Majapahit. Kaum perempuan dibolehkan bekerja dengan
leluasa seperti halnya kaum laki-laki. Mereka secara bersama-
sama berperan sebagai pemutar baling-baling ekonomi.
 “Orang takkan melihat adanya suami istri berjalan-jalan
bersama di siang hari. Namun wanita nampak di mana-
mana, bekerja di bawah capil bambu anyaman, di pelataran
rumah, di pinggir jalan, di pasar kota dan bandar sendiri.
Mereka melakukan segala macam pekerjaan yang juga
dikerjakan oleh pria. Dan mereka bekerja sambil
berdendang. Juga mereka berkain batik seperti kaum pria”
(Toer, 2001:22).
 Gambaran di atas menunjukkan bahwa sebelum bangsa
Eropa mendengungkan emansipasi, bangsa Indonesia
sudah lama mengenalnya. Keterlibatan kaum perempuan
dalam kerja ini, secara langsung menunjukkan bahwa
penindasan terhadap kaum perempuan, kecil terjadinya—
karena antara laki-laki dan perempuan mempunyai peran
yang sama dalam kerja.
 Pengaruh Hinduisme dalam konteks kekinian hanya kita dapatkan pada
masyarakat Bali. Sedangkan pada masyarakat lain di luar kawasan itu—
penganut agama Hindu di Jawa, misalnya—sudah banyak mengalami
perubahan—dengan tidak memakai sistem pengkastaan lagi. Di Jawa, sisa-sisa
pengaruh Hinduisme yang masih terasa terdapat di lereng pegunungan
Tengger. Kawasan ini dihuni oleh masyarakat yang asal muasalnya dari
pelarian orang Majapahit, setelah datangnya serbuan Islam. Masyarakat
mereka adalah masyarakat yang tertutup, sehingga sampai saat ini masih bisa
mempertahankan tradisi Hindu. Pada hari Kasodo mereka menjalankan ritual
keagamaan dengan memuja gunung Bromo. Dalam hal ini, gunung Bromo
digambarkan sebagai neraka yang merupakan tempat api Dewa Brahma
(Hefner, 1999:52).
 Sedangkan di Bali, ajaran Hindu masih dipegang kuat. Sistem pengkastaan
masih dipertahankan dalam struktur masyarakat, begitu juga dengan segala
jenis upacara—dapat dikatakan, masyarakat Hindu di Bali hidup untuk
upacara-upacara tersebut. Geertz menyebutnya sebagai negara teater
(Onghokham, 2003:56). Namun dalam menyikapi isu-isu yang berkembang,
umat Hindu senantiasa berpijak pada ajaran Dharma Negara (kesetiaan dan
pengabdian kepada negara), dengan kesadaran terhadap realitas historis dan
sosio-kultural nation state secara kritis dan proposional.

Anda mungkin juga menyukai