Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

BELL’S PALSY
PRESENTAN : Fariz Auliadi Khalil, S.ked
2006112036
PEMBIMBING : dr. Basli Muhammad, Sp.S
BAB 1
PENDAHULU
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron AN
(LMN) akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa
disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Bells’ palsy merupakan satu
dari penyakit neurologis tersering yang melibatkan saraf kranialis, dan
penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis fasialis unilateral akut)
paralisis fasial di dunia.
Prevalensi Bell’s Palsy di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan

Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun.

Data yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di Indonesia diperoleh frekuensi


10%
Bell’s Palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati, dan terbanyak terjadi
80% CKS
pada usia 21-30 tahun. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, CKR
dibanding non-diabetes. Bell’s Palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan 10%
perbandingan yang sama. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca
CKB
persalinan kemungkinan timbulnya BP lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,

bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.

500.000 Kasus di Indonesia


BAB 2
LAPORAN
KASUS
35 Tahun/ kawin
Keluhan utama
• Mulut Merot sejak 2 hari yang lalu

Islam/Aceh/Baktiya, Aceh Utara

Keluhan tambahan
MRS: 3 Aug
Tn. J/♂/RM. 2021
16.71.85
• Pusing, Mual dan tidak disertai muntah
KRS: 5 Aug
2021
RIWAYAT PENYAKIT
SEKARANG/RPS

Pasien datang ke instalasi gawat darurat RSUD Cut Meutia Aceh Utara pukul 10.30 WIB dengan keluhan

mulut merot sejak 2 hari yang lalu dan mata kiri susah di pejamkan. Pasien mengaku keluhan ini terjadi secara

tiba-tiba. Pasien juga mengeluhkan pusing, kedua tangan terasa kesemutan, perut kembung, adanya mual dan

tidak disetai dengan muntah.


RPD RPK RPO
Riwayat gejala serupa: Tidak ada yang terkait dengan Tidak ada yang terkait dengan
disangkal keluhan pasien keluhan pasien

Riwayat epilepsi: disangkal

Riwayat gangguan jiwa:


disangkal

Operasi sebelumnya:
disangkal

Trauma: disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
(3 AUG 2021)

130/80 80 x/ 20 x/ 36,5 °C
Cukup Menit, menit, (non
mmHg regular contact)
reguler

Kooperasi : Kooperatif
Sikap : Berbaring aktif
Keadaan gizi : Baik
Postur : Atletikus
KEPALA: Normochephali , MATA
rambut hitam konjungtiva anemis (-/-), hiperemis
HIDUNG: deviasi septum (-/-), sklera ikterik (-/-),
(-), Sekret (-), Mucosa eksoftalmus(-/-)
Hiperemis (-), konka
hiperemis (-)
MULUT: sianosis(-), THORAX
Perdarahan gusi(-), lidah I : Bentuk dan pergerakan
kotor (-) pernafasan simetris.
P : Fremitus taktil dada kanan dan
LEHER : Pembesaran KGB (-) kiri sama.
P : Sonor dada kanan dan kiri
A: wheezing (-/-), rh (-/-)
ABDOMEN
I: Normal
P: hepar dan lien tidak teraba,
tidak ada nyeri tekan
P: Timpani
A: Peristaltik (+)
COR
I: Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis tidak teraba
EXTREMITAS : P: Batas jantung dalam batas normal
Akral : clubbing finger (-), hangat A: Bunyi jantung I-II murni,
(+/+), edema (-), sianosis (-) murmur (-), gallop (-)
1. GCS: 15

• Normosmia
N. I
Status 2.Pupil: isokor,
4. N. kranialis lokalis/Status bulat,2/2mm,
• Lapang pandang: 1/60 RCL (+/+)
• Ketajaman penglihatan : Diplopia Neurologis
• Snellen chart: tidak dilakukan
N. II • Funduskopi: tidak dilakukan

• RCTL (+/+) 3. TRM: Kaku


• Gerak bola mata (medial,lateral): normal kuduk (-), Laseque
>70◦/>70◦, kernig
• Celah kelopak mata (ptosis, strabismus, dll): tidak
N.III,1V,VI >135◦/>135◦
ditemukan
• SENSORIK: Sensasi a/r Oftalmica-maxilla-mandibula (+/-)
• MOTORIK: Membuka mulut : Normal, Menggerakkan Rahang : Normal, Jaw reflex : Normal
N.V

• SENSORIK: pengecapan 2/3 lidah anterior (tidak dilakukan), Chovstek : Negatif


• MOTORIK: Orbitofrontal : Kesan parase (-/+), Orbicularis okuli : Kesan parese (-/+), Orbicularis oris : (-/+)
N.VII
• Mendengar suara berbisik (+)
• Tes rinne, weber dan schwabach: tidak dilakukan
NVIII • Vestibularis (Romberg test): tidak dilakukan

• MOTORIK: Gag reflek: tidak dilakukan


• SENSORIK: Pengecapan 1/3 lidah posterior: tidak dilakukan
N.IX
• Arkus Faring : Normal
• Berbicara : Normal
N.X • Menelan : Normal

• Memalingkan kepala (M. Sternocleidomastoideus): (+/+)


• Mengangkat bahu (M. Trapezius): (+/+)
N.XI
• Menjulurkan lidah (+)
• Atrofi
N.XII • Bentuk: normal, Tremor : -
5. MOTORIK

Babinski (negatif)
PERGERAKAN OTOT

Reflek patologis
TONUS
KEKUATAN OTOT

Reflek fisiologis
Chaddock (negatif)
B (+2) B (+2) Openheim (negatif)
Bebas Bebas 5555 5555 eutonus eutonus Gordon (negatif)
T (+2) T (+2)
Bebas Bebas 5555 5555 Hoffman-tromner
eutonus eutonus P (+2) P (+2) (negatif)
A (+2) A (+2)

6. SENSORIK 7. OTONOM
EXTEROSEPTIK (raba/nyeri): baik BAB: Inkontinensia (-)
PROPRIOSEPTIK (gerak/sikap): baik BAK: Inkontinensia (-)
Hidrosis: tidak dilakukan
Fungsi seksual: tidak ditanyakan
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
DIAGNOSA TATALAKSANA

 IVFD Asering 20 gtt/i


Diagnosa Klinis : Bell’s Palsy
 Inj. Citicoline 250 mg /12 jam
Diagnosa Banding : Trauma, Stroke,
Tumor Otak, skelerosis multiple  Inj. OMZ 1 vial/12 jam
 Inj. Ondancetron / 12 jam
 Paracetamol fls /12 jam
 Aspilet tab 1x1
RESUME
 Mr. N, 35 tahun datang di antar oleh keluarganya ke IGD RSU Cut Meutia Aceh Utara dengan
kesadaran penuh ( Compos Mentis ) GCS E4 M6 V5, dengan keluhan mulut merot sejak 2 hari yang lalu.
Dimana keluhan ini dialami pasien sejak 2 hari yang lalu dan mata kiri susah dipejamkan. Bersasarkan
anamnesis, pasien mengaku keluhan ini terjadi secara tiba-tiba, pasien juga mengeluhkan pusing, kedua
tangan terasa kesemutan, perut kembung, adanya mual dan tidak disertai dengan muntah.
 Pasien langsung di bawa ke IGD RSU Cut Meutia pada pukul 10:30 WIB, pasien menyangkal adanya
riwayat kejang dan menyangkal tidak adanya riwayat penyakit keluarga dan alergi pada obat. Pemeriksaan
fisik yang dilakukan di bangsal Neurologi dengan GCS = E 4 M6 V5, TD = 130/80 mmHg, Nadi = 80
kali/menit, RR = 20 kali/menit dan temperature 36,5 °C. Didapatkan kepala normocephali, pemeriksaan
kepala, leher, thoraks, abdomen dan ekstremitas lain dalam batas normal. Pemeriksaan status neurologi
menunjukkan tanda rangsang meningeal negative, namun pemeriksaan N III, IV dan VI, celah kelopak
mata tampak ptosis sebelah kanan. Pada pemeriksaan N V : Oftalmikus sebelah kanan tidak ada rasa nyeri
raba, Maksilaris dan Mandibularis pada sisi kanan wajah. Pada pemeriksaan N VII, Orbitofrontal ada
kesan parese, orbicularis okuli dan orbicularis oris. Pemeriksaan refleks patologis normal dan tidak
ditemukan refleks patologis. Pasien mendapatkan penalatalaksanaan yang meliputi primary dan secondary
survey.
PROGNOSIS

Ad functionam : dubia ad bonam BAB 3


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad vitam : dubia ad bonam
TINJAUAN
PUSTAKA
BELL’S PALSY
Definisi

Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor


neuron (LMN) akibat paralisis nervus fasial perifer yang
terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya
penyakit neurologis lainnya. Bells’ palsy merupakan satu
dari penyakit neurologis tersering yang melibatkan saraf
kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus
paralisis fasialis unilateral akut) paralisis fasial di dunia.
EPIDEMIOLOGI

 Bell’s palsy menempati urutan ketiga  Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita
penyebab terbanyak dari paralisis fasial dengan perbandingan yang sama. Akan
akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19
di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden tahun lebih rentan terkena daripada laki-
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. laki pada kelompok umur yang sama.
Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy Penyakit ini dapat mengenai semua umur,
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 namun lebih sering terjadi pada umur 15-
orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. 50 tahun. Pada kehamilan trisemester
Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
per100.000 populasi. Penderita diabetes kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih
mempunyai resiko 29% lebih tinggi, tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan
dibanding non-diabetes. bisa mencapai 10 kali lipat.
ETIOLOGI PATOFISIOLOGI
 Patofisiologi bell’s palsy masih merupakan
o Penyebab Bells’ palsy tidak perdebatan. Nervus fasialis melewati suatu bagian
diketahui, diduga penyakit ini tulang temporalis yang serig disebut kanalis fasialis.
bentuk polineuritis dengan Teori umum yang diterima adalah edema atau
kemungkinan virus, inflamasi, iskemia menyebabkan kompresi pada nervus
fasialisdi dalam kanal ini. Penyebab edema dan
auto imun dan etiologi iskemik. iskemia itu sendiri belum diketahui secara pasti.
Peningkatan kejadian
 Labyrinthine segment adalah bagian pertama dari
berimplikasi pada kemungkinan
kanalis fasialis yang merupakan bagian tersempit.
infeksi HSV type I dan reaktivasi Lokasi ini merupakan lokasi tersering kompresi
herpes zoster dari ganglia nervus nervus fasialis. Pada bell’s palsy, jejas pada nervus
kranialis. fasialis terletak perifer dari nucleus nervus tersebut.
Jejas diduga terjadi dekat atau pada ganglion
geniculate. Jika lesi terletak proksimal dari ganglion
tesebut, paralisis motoric disertai kelainan gustatorik
(gangguan pengecapan 2/3 anterior lidah dan
produksi air liur) dan gangguan lakrimasi akan
timbul. Jika lesi terletak diantara ganglion geniculate
dan proksimal korda timpani, keluhan sama akan
timbul, tetapi tanpa gangguan lakrimasi. Jika lei
terletak pada foramen stylomastoideus, maka hanya
akan menyebabkan paralisis otot motoric wajah saja.
GAMBARAN KLINIS
 Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipata dahi hanya terlihat
 Perasaan nyeri, pegal, linu, dan rasa tidak enak pada sisi yang sehat.

pada telinga atau sekitarnya sering merupakan  Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang
lumpuh (lagopthalmus).
gejala awal yang segera diikuti oleh gejala
 Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola
kelumpuhan otot wajah berupa : mata yang berputar kearah atas bila memjamkan mata (bell’s
sign).
 Sudur mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar
pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
PENEGAKKAN DIAGNOSIS

1. Diagnosis ditegakkan berdasarkan Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang
lain, kelumpuhan motorik dan gangguan
anamnesis, pemeriksaan fisik umum
sensorik, maka penyakit neurologis lain harus
dan neurologis (saraf kranialis, motorik,
dipikirkan (misalnya: stroke, GBS, meningitis
sensorik, serebelum). Bells’ palsy basilaris, tumor Cerebello Pontine Angle).
adalah diagnosis eksklusi.
 Gambaran klinis penyakit yang dapat
membantu membedakan dengan penyebab
lain dari paralisis fasialis:
- Onset yang mendadak dari paralisis
fasial unilateral
- Tidak adanya gejala dan tanda pada
susunan saraf pusat, telinga, dan penyakit
cerebellopontin angle.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang berupa pencitraan seperti MRI Kepala atau CT- Pada pemeriksaan laboratorium diukur Titer Lyme (IgM dan
Scan dan elektrodiagnosis dengan ENMG dan uji kecepatan hantar saraf IgG), gula darah atau hemoglobin A1C (HbA1C), pemeriksaan
serta pemeriksaan laboratorium. Uji ini hanya dilakukan pada kasus- titer serum HSV2. CT-Scan digunakan apabila paresis menjadi
kasus dimana tidak terjadi kesembuhan sempurna atau untuk mencari progesif dan tidak berkurang. MRI digunakan untuk
etiologi parese nervus fasialis. Pemeriksaan ENMG ini dilakukan menyingkirkan kelainan lainnya yang menyebabkan paralisis.
terutama untuk menentukan prognosis. MRI pada penderita Bell’s palsy menunjukkan pembengkakan
dan peningkatan yang merata dari saraf fasialis dan ganglion
genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan adanya
pembengkakan saraf facialis akibat schwannoma, hemangioma,
atau meningioma.
PENATALAKSANAAN
LANJUTAN
 Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII (saraf fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf.
Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4 hari onset.
Hal penting yang perlu diperhatikan:
 Pengobatan inisial

Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk pengobatan Bells’ palsy (American
Academy Neurology/AAN, 2011).
Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi saraf kranial, jika diberikan
pada onset awal (ANN, 2012).
Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari, diikuti penurunan bertahap
total selama 10 hari.
Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 10 hari. Jika virus
varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari.
Lindungi mata Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang hari) dapat
mencegah corneal exposure.
Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan dan menurunkan sequele.
KOMPLIKASI
Komplikasi jangka panjang cenderung muncul apabila:
 Penderita terserang palsy komplit, sehingga paralisis di satu sisi wajah.
 Usia lebih dari 60 tahun

 Mengalami nyeri parah saat pertama kali timbul gejala.


 Hipertensi
 Diabetes
 Kehamilan

 Saraf facialis rusak berat


 Tidak ada perbaikan setelah dua bulan terlewati

Tidak ada tanda perbaikan setelah empat bulan Sekitar 14% penderita mungkin terserang Bell’s palsy di
kemudian hari pada sisi wajah lain. Hal ini cenderung muncul apabila ada riwayat Bell’s palsy pada keluarga.
PROGNOSIS
Prognosis umumnya sangat baik. Tingkat keparahan kerusakan syaraf menentukan proses
penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang dibutuhkan bervariasi. Dengan
atau tanpa pengobatan, sebagian besar individu membaik dalam waktu dua minggu setelah onset
gejala dan membaik secara penuh, fungsinya kembali normal dalam waktu 3-6 bulan. Tetapi
untuk beberapa penderita bisa lebih lama. Pada beberapa kasus, gangguan bisa muncul kembali
di tempat yang sama atau di sisi lain wajah.
Pasien datang ke instalasi gawat darurat RSUD Cut Meutia Aceh Utara
pukul 10.30 WIB dengan keluhan mulut merot sejak 2 hari yang lalu dan
mata kiri susah di pejamkan. Pasien mengaku keluhan ini terjadi secara BAB 4
tiba-tiba. Pasien juga mengeluhkan pusing, kedua tangan terasa kesemutan, PEMBAHASAN
perut kembung, adanya mual dan tidak disetai dengan muntah.

Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII) melibatkan


kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah). Pada lesi UMN (lesi supra
nuclear di atas nukleus pons), 1/3 wajah bagian atas tidak mengalami
kelumpuhan. Muskulus orbikularis, frontalis dan korrugator diinervasi
bilateral pada level batang otak. Inspeksi awal pasien memperlihatkan
lipatan datar pada dahi dan lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan.
Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi dan
lateralisasi pada sisi berlawanan dengan kelumpuhan. Pada saat
pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat datar.
Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi
yang lumpuh. Jika paralisis melibatkan hanya wajah bagian
bawah, penyebab sentral harus dipikirkan (supranuklear).
Jika pasien mengeluh kelumpuhan kontra lateral atau diplopia
berkaitan dengan kelumpuhan fasial kontralateral supranuklear,
stroke atau lesi intra serebral harus sangat dicurigai. Jika
paralisis fasial onsetnya gradual, kelumpuhan pada sisi
kontralateral, atau ada riwayat trauma dan infeksi, penyebab
lain dari paralisis fasial harus sangat dipertimbangkan.
Progresifitas paresis masih mungkin,namun biasanya tidak
memburuk pada hari ke 7 sampai 10. Progresifitas antara hari
ke 7-10 dicurigai diagnosis yang berbeda. Pasien dengan
kelumpuhan fasial bilateral harus dievaluasi sebagai Sindroma
Guillain-Barre, penyakit Lyme, dan meningitis.
Nyeri auricular posterior Hiperakusis pada telinga ipsilateral
paralisis, sebagai akibat kelumpuhan sekunder otot stapedius.

Gangguan pengecapan Walaupun hanya sepertiga pasien


melaporkan gangguan pengecapan, sekitar 80% pasien
menunjukkan penurunan rasa pengecapan. Kemungkinan
pasien gagal mengenal penurunan rasa, karena sisi lidah yang
lain tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal
pengecapan mengindikasikan penyembuhan komplit.
Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan
dengan penyebab lain dari paralisis fasialis:
 Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral
 Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat,
telinga, dan penyakit cerebellopontin angle.
 Diagnosa kerja pada pasien yaitu bell’s palsy dilihat dari klinis pasien dan pemeriksaan

neurologis yang dilakukan, dimana terdapat kelemahan pada nervus fasialis. Untuk prognosis
dari kasus ini dubia ad bonam yang mana dengan atau tanpa pengobatan, sebagian besar
individu dapat membaik dalam waktu dua minggu setelah onset gejala dan membaik secara
penuh, fungsinya kembali normal dalam waktu 3-6 bulan.
AKUT DAN PENYEBABNYA TIDAK DIKETAHUI (IDIOPATIK) DI LUAR SISTEM
SARAF PUSAT TANPA DISERTAI ADANYA PENYAKIT NEUROLOGIS LAINNYA.
BELLS’ PALSY MERUPAKAN SATU DARI PENYAKIT NEUROLOGIS TERSERING
YANG MELIBATKAN SARAF KRANIALIS, DAN PENYEBAB TERSERING (60-75%
DARI KASUS PARALISIS FASIALIS UNILATERAL AKUT) PARALISIS FASIAL DI
DUNIA.
PENYAKIT INI DAPAT MENGENAI SEMUA UMUR, NAMUN LEBIH SERING TERJADI
PADA UMUR 20-40 TAHUN. PELUANG UNTUK TERJADINYA BELL’S PALSY PADA
LAKI-LAKI SAMA DENGAN WANITA. DALAM SEBAGIAN BESAR KASUS, BELL’S
PALSY SECARA BERTAHAP MEMBAIK DARI WAKTU KE WAKTU NAMUN PADA
BEBERAPA DIANTARA MEREKA KELUMPUHANNYA SEMBUH DENGAN
MENINGGALKAN GEJALA SISA. GEJALA SISA INI BERUPA KONTRAKTUR DAN
SPASME SPONTAN. SECARA GARIS BESAR, PENGOBATAN BELL’S PALSY

BAB 5 KESIMPULAN
DIKELOMPOKKAN MENJADI 3, YAITU: MEDIKAMENTOSA, BEDAH, DAN TERAPI
FISIK. SEMUA PENGOBATAN DITUJUKAN UNTUK MENGURANGI INFLAMASI,
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai