Penyusun:
Stefani Dyah G992102055
Aisyah Retno P G992003010
Pembimbing:
dr. Niken Dyah Aryani K., Sp.THT-KL, M.Kes
IDENTITAS PASIEN
• Nama : Tn. S
• Umur : 38 tahun
• Jenis Kelamin : Laki-laki
• Alamat : Nogosari
• Agama : Islam
• Pekerjaan : Wiraswasta (berdagang bahan bangunan)
• Suku/ras : Jawa
• No. RM : 0008***
ANAMNESIS
•Keluhan Utama
•Pendengaran terasa menurun pada
telinga kanan
Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik THT RS UNS pada hari Senin, 12 Juli 2021,
mengeluhkan pendengaran telinga kanan menurun.Keluhan dirasakan sudah
dari 3 bulan yang lalu, keluhan dirasakan terus menerus, dan tidak membaik
dengan obat tetes (pasien lupa).
pasien mengaku mengalami KLL 3 bulan yang lalu, dan dibawa ke RS
PKU Karanganyar, dirawat oleh dokter bedah dan tht. Setelah kecelakaan
pasien tidak sadar sehingga tidak mengetahui bagian mana saja yang terluka,
dan pengantar (istri) tidak tahu Riwayat pengobatan selama di RS PKU.
2 minggu sebelumnya pasien ke rs pku, mengaku dibersihkan telinganya
oleh dokter THT namun keluhan pendengarannya tidak berkurang.
Pasien mengeluhkan bahwa telinga kanannya suka berdenging dan terasa
penuh. Pasien menyangkal adanya cairan keluar dari telinga. Pasien tidak
pernah mengalami gangguan pusing berputar. Riwayat terpapar suara bising
disangkal
Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Selain itu, pasien mengeluhkan bahwa suaranya serak sejak 3 bulan
yang lalu, Keluhan suara serak dirasakan terus menerus, disertai
dengan rasa mengganjal di tenggorok dan napas berbau.
Pasien juga mengeluhkan hidung tersumbat, keluhan dirasakan
juga sejak 3 bulan, keluhan dirasakan hilang timbul. Hidung
tersumbat dirasakan kadang bergantian. Keluhan tidak dipengaruhi
posisi, Riwayat bersin berulang dan alergi disangkal
demam, batuk, pilek sebelumnya, mendengkur saat tidur disangkal
ANAMNESIS
Status Generalis
Kesadaran : GCS E4V5M6, Compos mentis
Keadaan umum : Sakit ringan
Tanda Vital
Tekanan darah : 116/98 mmHg
Frekuensi nadi : 76x/menit
Frekuensi nafas : 20x/menit
Suhu : 36,2 oC
PEMERIKSAAN FISIK
THORAKS
Tidak dievaluasi
PARU
Inspeksi : Tidak dievaluasi
Palpasi : Tidak dievaluasi
Perkusi : Tidak dievaluasi
Auskultasi : Tidak dievaluasi
JANTUNG
Inspeksi : Tidak dievaluasi
Palpasi : Tidak dievaluasi
Perkusi : Tidak dievaluasi
Auskultasi : Tidak dievaluasi
ABDOMEN
Inspeksi : Tidak dievaluasi
Auskultasi : Tidak dievaluasi
Perkusi : Tidak dievaluasi
Palpasi : Tidak dievaluasi
PEMERIKSAAN TELINGA
Membran Timpani Intak, tidak ada perforasi, tidak Intak, tidak ada perforasi, sikatrik,
tampak adanya cone of light retraksi, tampak adanya cone of
light arah jam 5.
Dextra Sinistra
Cavum nasi lapang, sekret (+)
Cavum nasi lapang, sekret (-)
Cavum nasi mukoserosa, minimal, krusta
mukoserous, krusta (+) hiperemis (-),
(+) , hiperemis (-), oedem (-),
oedem (-), benda asing (-), massa (-)
benda asing (-), massa (-)
Discharge (-) (-)
Konka nasalis inferior Edema
(-)
(-), Hipertrofi (-), Hiperemis Edema (-), Hipertrofi (-),
Hiperemis (-)
Meatus nasi medius Sekret (-) Sekret (-)
Meatus nasi inferior Sekret (-) Sekret (-)
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (+)
Provokasi lesi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
Nyeri tekan sinus (-) (-)
Os nasal Nyeri tekan (-), Krepitasi (-) Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Lain-lain massa (-) massa (-)
PEMERIKSAAN MULUT
Subjek Hasil
Bibir Mukosa basah, ulkus (-), Drooling (-), Trismus (-), Sianosis
(-)
Ginggiva Hiperemis (-), edema (-)
Telinga Hidung
AD: • Deviasi septum nasi sinistra:
- Sudden Deafness
rhinitis vasomotor
- Trauma temporal
- SNHL Mulut dan tenggorokan
- Otitis media dengan • Tonsilitis kronis: tonsilitis akut
efusi • Faringitis kronis: faringitis akut
AS:
- Sudden deafness
- Trauma temporal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Audiometri
AD:
= 32,5
AS:
= 28,75
• Tuli sensorineural derajat ringan
DIAGNOSIS
Telinga Hidung
AD: • Deviasi septum nasi sinistra
- SNHL
AS:
- SNHL Mulut dan tenggorokan
• Tonsilitis kronis
• Faringitis kronis
TERAPI
MEDIKAMENTOSA
1. Antibiotik
• Penisilin G Benzatin 50.000 U/KgBB/IM dosis tunggal atau
• Amoksisilin 3x500 mg (6-10 hari) atau
• Eritromisin 4x500 mg. atau
• Kronis : ada kemungkinan disebabkan gram - : cefixim 2 x 100 mg atau ciprofloxacin 2 x
250 mg selama 7 hari
3. Na diclofenac 2 x 200 mg (apabila nyeri)
4. Tremenza 2 x 1
TERAPI
NON MEDIKAMENTOSA
• Istirahat cukup
• Mengkonsumsi makanan lunak dan menghindari makanan yang mengiritasi
• Cuci hidung dengan NaCl 0,9% 3 kali/hari
• Menjaga kebersihan mulut dengan obat kumur
• Minum-minuman hangat
• Tidak mengorek telinga
PLANNING
PROGNOSIS
• Ad Vitam : Bonam
• Ad Sanam : Bonam
• Ad Functionam : Bonam
TINJAUAN PUSTAKA
FISIOLOGI PENDENGARAN
PEMERIKSAAN PENDENGARAN
• Secara fisiologis telinga dapat mendengarkan nada antara 20 sampai 8.000Hz dan
secara efektif antara 500-2.000Hz
Tes Penala
• Tes Rinne: membandingkan AC dan BC pada telinga pasien
• Tes Weber: membandingkan BC pada telinga kanan dan BC pada telinga kiri pasien
• Tes Schwabach: membandingkan BC telinga pasien dengan BC telinga pemeriksa
• Tes Bing/Oklusi: untuk menentukan adanya tuli konduktif dengan menutup liang
telinga/menekan tragus
• Tes Stenger: pada pemeriksaan tuli anorganik/simulasi/pura-pura
Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
PEMERIKSAAN PENDENGARAN
Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
PEMERIKSAAN PENDENGARAN
Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
PEMERIKSAAN PENDENGARAN
● Normal: AC dan BC sama atau <25dB, AC dan BC berimpit tidak ada gap
● Tuli Sensorineural: AC dan BC >25dB, AC dan BC berimpit tidak ada gap
● Tuli Konduktif: BC normal atau <25dB, AC >25dB, AC dan BC terdapat gap
● Tuli Campur: BC >25dB, AC > BC, AC dan BC terdapat gap
Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
TULI
• Tuli merupakan gangguan fisiologi pendengaran, dibagi menjadi tuli konduktif, tuli
sensorineural, dan tuli campur
• Tuli konduktif:
• terdapat gangguan hantaran suara disebabkan oleh penyakit di telinga luar atau telinga
tengah
• Kelainan telinga luar: atresia liang telinga, sumbatan oleh serupen, otitis eksterna,
osteoma liang telinga
• Kelainan telinga tengah: tuba katar/sumbatan tuba eustachius, otitis media,
otosklerosis, timpanosklerosis, hemotympanum dan dislokasi tulang pendengaran
Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
TULI
Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
TATALAKSANA TULI
Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
TATALAKSANA TULI
Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
TRAUMA TEMPORAL
EPIDEMIOLOGI
• Cedera kepala terjadi pada sekitar 75% dari semua kecelakaan kendaraan bermotor.
• 30 hingga 70% kasus cedera pada tulang temporal melibatkan trauma kepala
tumpul.
• Cedera tulang temporal dilaporkan terjadi pada 14-22% kasus fraktur tengkorak.
• Telinga adalah organ indera yang paling sering rusak.
• Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab dari 31% kasus fraktur tulang
temporal.
• Penyebab lainnya: serangan fisik, jatuh, kecelakaan sepeda motor, cedera pejalan
kaki, kecelakaan sepeda, dan luka tembak.
• Fraktur tulang temporal bilateral memiliki insiden 8-29%.
Patel, A., & Groppo, E. 2010. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction, 3(2), 105–113. https://doi.org/10.1055/s-0030-1254383
DIAGNOSIS
• Anamnesis
• Hearing loss merupakan keluhan utama yang paling umum mengikuti trauma
tulang temporal. Gangguan pendengaran mungkin atau mungkin tidak disertai
dengan tinnitus.
• Pusing dan ketidakseimbangan sering terlihat kemudian setelah trauma tulang
temporal, kecuali terjadi cedera labirin yang parah.
• Keluhan paresis wajah atau kelumpuhan dan asimetri wajah merupakan indikasi
cedera pada wajah saraf (CN VII) dan kemungkinan besar menentukan kebutuhan
untuk intervensi bedah dini.
Patel, A., & Groppo, E. 2010. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction, 3(2), 105–113. https://doi.org/10.1055/s-0030-1254383
KLASIFIKASI TRAUMA TEMPORAL
Patel, A., & Groppo, E. 2010. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction, 3(2), 105–113. https://doi.org/10.1055/s-0030-1254383
KLASIFIKASI TRAUMA TEMPORAL
Kurihara, Y., et al. 2020. Temporal Bone Trauma: Typical CT and MRI Appearances and Important
Points for Evaluation. RadioGraphics 2020; 40:1148–1162
KLASIFIKASI TRAUMA TEMPORAL
Sharma, N., & Irving, R. 2014. Temporal bone trauma. ENT & AUDIOLOGY News Volume 23
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Patel, A., & Groppo, E. 2010. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction, 3(2), 105–113. https://doi.org/10.1055/s-0030-1254383
TATALAKSANA
Sharma, N., & Irving, R. 2014. Temporal bone trauma. ENT & AUDIOLOGY News Volume 23
TATALAKSANA
Medikamentosa:
• Antibiotik
Antibiotik tidak secara rutin direkomendasikan untuk fraktur tulang temporal, tetapi untuk luka penetrasi yang
terkontaminasi, profilaksis antibiotik spektrum luas dapat diberikan, meskipun tidak ada bukti dengan evidence
tinggi yang mendukung pemberian antibiotik.
• Steroid
Kortikosteroid intravena terkadang digunakan untuk gangguan pendengaran sensorineural dan cedera saraf wajah
setelah trauma tulang temporal. Dengan pemberian steroid ini untuk menghambat peradangan dan dengan
demikian mengurangi edema pada dan sekitar saraf dan diharapkan memperbaiki fungsi saraf
Patel, A., & Groppo, E. 2010. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction, 3(2), 105–113. https://doi.org/10.1055/s-0030-1254383
TATALAKSANA
Non-medikamentosa:
• Manajemen bedah ditentukan jika fungsi saraf wajah memiliki prognosis yang buruk melalui hasil pengujian atau jika
ada bukti CT gangguan parah atau displacement nervua fasialis.
• Pembedahan tidak dianjurkan dalam waktu < 3 bulan setelah trauma karena postinjury edema, perdarahan, dan
kerapuhan healing tissues.
• Gangguan pendengaran konduktif sekunder hemotympanum dapat sembuh tanpa intervensi
• Untuk pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural yang tidak mungkin membaik, pendekatan transmastoid-
translabyrinthine dapat digunakan, yang memiliki morbiditas lebih rendah daripada pendekatan fossa kranial tengah.
• Gangguan pendengaran sensorineural dapat menunjukkan perbaikan dari waktu ke waktu tetapi cenderung menetap
dan sulit diobati.
• Pada pasien dengan vertigo dan tinnitus, istirahat di tempat tidur, menghindari meneganggkan kepala dan elevasi
kepala mungkin disarankan dalam kasus potensi fistula peri-limfa, yang mungkin memerlukan eksplorasi bedah jika
gejala menetap.
Patel, A., & Groppo, E. 2010. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction, 3(2), 105–113. https://doi.org/10.1055/s-0030-1254383
SUDDEN DEAFNESS
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
• Tuli mendadak adalah sensasi subjektif kehilangan pendengaran yang terjadi secara
mendadak dalam 72 jam pada satu atau kedua telinga. Tuli sensorineural mendadak
atau SSNHL (sudden sensorineural hearing loss) merupakan bagian dari tuli mendadak
dengan kriteria berdasarkan pemeriksaan audiometri yaitu adanya penurunan
pendengaran ≥ 30 desibles (dB) minimal pada 3 frekuensi pemeriksaan berturut-turut.
• Kejadian dari SSNHL yaitu berkisar 5-20 kasus per 100.000 populasi di Amerika
Serikat. Tidak ada perbedaan insidensi pada wanita dan laki-laki, dapat terkadi pada
semua usia dengan puncak insidensi pada dekade ke 5-6. Sebagian besar kasus
unilateral dan hanya 2% bilateral.
ETIOLOGI
Adanya riwayat kehilangan pendengaran unilateral atau bilateral yang bersifat episodik, adanya vertigo dan gejala neurologi fokal
Pasien SSNHL dengan riwayat kehilangan pendengaran yang bersifat fluktuatif harus dievaluasi kemungkinan penyebab lain yaitu
penyakit Meniere, kelainan autoimun, sindrom cogan dan sindrom hiperviskositas.
Penyakit meniere merupakan penyebab paling sering kehilangan pendengaran fluktuatif yang unilateral, sedangkan penyakit telinga
tengah autoimun dan sindrom cogan biasanya melibatkan telinga bilateral. Semua kondisi ini dapat menyebabkan penurunan
pendengaran yang bertahap dan fluktuatif, namun kadang muncul mendadak sebagai SSNHL.
Tuli mendadak dengan gejala dan tanda neurologis fokal yang menindikasikan keterlibatan SSP.
Oklusi arteri auditorik interna paling sering terlibat dalam mekanisme tuli mendadak unilateral akibat stroke. Arteri auditorik
interna mendapatkan suplai dari arteri serebelar inferior anterior (AICA). Hampir sebagian besar infark labirin terkait distribusi
AICA dihubungkan dengan hilangnya pendengaran unilateral dan gangguan vestibular akut.
Tuli mendadak unilateral bisa merupakan manifestasi dari TIA pada distribusi AICA. Gejala yang menyertai antara lain sindrom
horner ipsilateral (miosis, ptosis, dan anhidrosis), diplopia, nistagmus, kelemahan wajah ipsilateral, vertigo dll.
D I A G N O S I S
Riwayat kehilangan pendengaran unilateral atau bilateral yang bersifat episodik, adanya vertigo dan gejala neurologi fokal
Penyakit meniere merupakan penyebab paling sering kehilangan pendengaran fluktuatif yang unilateral, sedangkan penyakit telinga
tengah autoimun dan sindrom cogan biasanya melibatkan telinga bilateral. Semua kondisi ini dapat menyebabkan penurunan
pendengaran yang bertahap dan fluktuatif, namun kadang muncul mendadak sebagai SSNHL.
Tuli mendadak dengan gejala dan tanda neurologis fokal yang menindikasikan keterlibatan SSP.
Oklusi arteri auditorik interna paling sering terlibat dalam mekanisme tuli mendadak unilateral akibat stroke. Tuli mendadak
unilateral bisa merupakan manifestasi dari TIA pada distribusi AICA. Gejala yang menyertai antara lain sindrom horner ipsilateral
(miosis, ptosis, dan anhidrosis), diplopia, nistagmus, kelemahan wajah ipsilateral, vertigo dll.
P E M E R I K S A A N P E N U N J A N G
Pemeriksaan audiometri nada murni (pure tone audiometry) wajib dikerjakan untuk diagnosis pasti
SSNHL karena dapat membedakan CHL dan SNHL
Pemeriksaan Audiometry Brainstem Response (ABR) digunakan untuk menyingkirkan adanya lesi
pada CPA (cerebropontine angle) atau kanal auditorik internal (IAC) sebagai penyebab tuli unilateral.
ABR sangat berguna pada kondisi tidak adanya MRI atau kontraindikasi MRI
MRI : untuk deteksi kelainan retrokoklea, yaitu lesi struktural pada nervus vestibulokoklear, batang
otak dan otak.
T A T A L A K S A N A
Terapi SSNHL idiopatik masih kontroversi menyangkut perlu tidaknya terapi dan pilihan terapinya,
karena 45-65% pasien sembuh secara spontan.
Pemberian kortikosteroid pada SSNHL idiopatik masih kontroversi, namun adanya konsekuensi serius
akibat SSNHL yang berat maka terapi kortikosteroid merupakan satu dari sedikit pilihan pengobatan.
Prednison oral dengan dosis tunggal 1 mg/kgBB/hari maksimal 60 mg/hari selama 10-14 hari.
T A T A L A K S A N A
Terapi SSNHL idiopatik masih kontroversi menyangkut perlu tidaknya terapi dan pilihan terapinya,
karena 45-65% pasien sembuh secara spontan.
Pemberian kortikosteroid pada SSNHL idiopatik masih kontroversi, namun adanya konsekuensi serius
akibat SSNHL yang berat maka terapi kortikosteroid merupakan satu dari sedikit pilihan pengobatan.
Prednison oral dengan dosis tunggal 1 mg/kgBB/hari maksimal 60 mg/hari selama 10-14 hari.
P R O G N O S I S
• Prognosis SSNHL tergantung pada beberapa faktor antara lain usia pasien, adanya vertigo saat onset,
derajat gangguan pendengaran, karakteristik awal audiometri, waktu antara onset gangguan
pendengaran dengan dimulainya terapi.
• Pasien dengan SSNHL idiopatik sangat penting melakukan follow up audiometri yang menentukan
keberhasilan terapi. Follow up pada 156 pasien yang didiagnosis SSNHL idiopatik 54,5% menunjukkan
perbaikan dalam 10 hari meskipun belum komplit. Perbaikan final dicapai dalam 1 bulan pada 78%
pasien, 3 bulan pada 97 pasien dan hanya 0,6% yang perbaikannya mencapai 6 bulan. Sehingga
disarankan untuk melakukan follow up audiometri hingga 6 bulan. Pasien tuli mendadak yang telah
mendapat pengobatan namun ketulian tetap bersifat permanen dan menimbulkan kecacatan maka
dibutuhkan rehabilitasi auditorik
OTITIS MEDIA DENGAN EFUSI
DEFINISI
Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
PATOGENESIS
Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
ETIOLOGI
2. Alergi.
Alergi musiman atau tahunan terhadap inhalansia atau bahan makanan sering terjadi pada anak-
anak. Ini tidak hanya menghalangi tuba eustachius oleh edema tetapi juga dapat menyebabkan
peningkatan aktivitas sekretori sebagai mukosa telinga tengah bertindak sebagai organ kejutan
dalam beberapa kasus.
4. Infeksi virus
Berbagai adeno dan rhinovirus bagian atas saluran pernapasan dapat menginvasi mukosa
telinga tengah dan merangsangnya untuk meningkatkan aktivitas sekretori
Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
PEMERIKSAAN
1. Gejala
Gejalanya meliputi:
(a) Gangguan pendengaran.
Biasa dapat ditemukan dan terkadang merupakan satu-satunya gejala. Gangguan ini jarang
melebihi 40 dB. Ketulian dapat tidak terdeteksi tanpa diketahui oleh orang tua dan mungkin
secara tidak sengaja ditemukan ketika tes audiometri.
(b) Keterlambatan dan gangguan bicara.
Karena gangguan pendengaran, perkembangan bicara tertunda atau cacat.
(c) Sakit telinga ringan
Mungkin ada riwayat infeksi saluran pernapasan atas dengan sakit telinga ringan.
Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
PEMERIKSAAN
2. Temuan otoskopi
Membran timpani sering terlihat suram dengan hilangnya refleks cahaya. Mungkin tampak
kuning.
berwarna abu-abu atau kebiruan. Membran timpani dapat menunjukkan berbagai tingkat retraksi.
Terkadang, mungkin tampak penuh atau sedikit menonjol di bagiannya bagian posterior karena
efusi.
Level cairan dan gelembung udara dapat terlihat saat cairan tipis dan membran timpani
transparan.
Mobilitas membran timpani menurun.
Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
PEMERIKSAAN
2. Audiometri
Ada gangguan pendengaran konduktif 20-40 dB. Terkadang, ada pendengaran sensorineural yang terkait
akibat tekanan cairan pada membran timpani. Ini menghilang dengan evakuasi cairan.
3. Audiometri impedansi
Ini adalah tes objektif yang berguna dalambayi dan anak-anak. Adanya cairan ditunjukkan dengan
penurunan penyesuaian dan kurva datar dengan pergeseran ke sisi negatif.
Medikamentosa
(a) Dekongestan.
Dekongestan topikal dalam bentuk tetes hidung, semprotan atau dekongestan sistemik membantu meredakan edema tuba
eustachius.
(b) Antihistamin atau terkadang steroid dapat digunakan dalam kasus alergi. Jika memungkinkan, alergen
harus ditemukan dan desensitisasi dilakukan.
(c) Antibiotik.
Berguna dalam kasus infeksi saluran pernapasan atas atau otitis supuratif akut yang belum terselesaikan media.
(d) Aerasi telinga tengah.
Pasien harus berulang kali melakukan Manuver Valsava. Kadang-kadang, politzerisasi atau kateterisasi tabung
eustatachius harus dilakukan. Ini membantu ventilasi telinga tengah dan meningkatkan drainase cairan. Anak-anak dapat
diberikan permen karet untuk mendorong menelan berulang yang membuka tabung.
Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
TATALAKSANA
Non-Medikamentosa
(a) Miringotomi dan aspirasi cairan.
Sayatan dibuat di membran timpani dan cairan disedot dengan suction. Lendir yang kental mungkin
memerlukan pemasangan saline atau agen mukolitik seperti larutan chymotrypsin untuk mencairkan lendir
sebelum dapat diaspirasi.
(b) Penyisipan grommet.
Jika miringotomi dan aspirasi dikombinasikan dengan tindakan medis tidak membantu dan terjadi keluar cairan
berulang, grommet dimasukkan untuk memberikan aerasi lanjutan dari telinga tengah.
Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
TATALAKSANA
Non-Medikamentosa
(c) Timpanotomi atau mastoidektomi kortikal.
Terkadang diperlukan untuk menghilangkan cairan kental yang terlokalisasi atau kelainan patologi terkait
seperti granuloma kolesterol.
(d) Perawatan bedah dari faktor penyebab.
Adenoidektomy, tonsilektomi dan/atau wash-out dari antra maksila mungkin diperlukan. Hal ini biasanya
dilakukan pada saatmiringotomi.
Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
TONSILITIS
DEFINISI
Tonsilitis adalah
peradangan tonsil
palatina yang
merupakan bagian
dari cincin
waldeyer.
ETIOLOGI
Umumnya merupakan hasil dari infeksi baik oleh virus ataupun bakteri:
• Virus : Rhinovirus, virus pernapasan syncytial, adenovirus, dan
coronavirus. Epstein-Barr (menyebabkan mononukleosis),
Cytomegalovirus, hepatitis A, rubella, dan HIV.
• Bakteri : Stereptococcus Beta Hemolitikus grup A, Haemophilus
influenza, Streptococcus pneumonia, Streptococcus aureus, atau
Pneumococcus.
! Corynebacterium diphtheriae tonsilitis difteri
(Anderson dan Paterek, 2020)(Kemenkes RI, 2014)
PATOGENESIS
GAMBARAN KLINIS
Patologi
Proses radang berulang Epitel mukosa dan
jaringan limfoid
terkikis
Jaringan limfoid diganti oleh jaringan
parut yang mengalami pengerutan
sehingga kripte melebar. Kripte tampak
Proses berjalan terus, menembus diisi oleh detritus
kapsul tonsil dan menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di
sekitar fosa tonsilaris
TONSILITIS KRONIS
Tonsilitis akut:
1. Tonsil hipertrofik dengan ukuran ≥ T2.
2. Hiperemis dan terdapat detritus di dalam kripte yang memenuhi permukaan tonsil baik
berbentuk folikel (tonsilitis folikularis), lacuna (tonsilitis lakunaris), atau pseudomembran
(tonsilitis membaranosa).
3. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran semu (pseudomembran) yang
menutupi ruang antara kedua tonsil sehingga tampak menyempit. Temuan ini mengarahkan
pada diagnosis banding tonsilitis difteri.
4. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak udem dan hiperemis.
5. Kelenjar limfe leher dapat membesar dan disertai nyeri tekan.
DIAGNOSIS DAN TEMUAN LAB
Tonsilitis kronis:
1. Tonsil membesar (T2/T3), dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan berisi detritus.
2. Pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami
perlengketan.
DIAGNOSIS DAN TEMUAN LAB
Tonsilitis difteri:
1. Tampak tonsil membengkak hiperemis, ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas membentuk pseudomembran hingga palatum
mole, uvula, orofaring, nasofaring, hipofaring, laring, trakea, sampai bronkus.
2. Tampak pseudomembran yang melekat erat pada dasar tonsil sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah.
3. Kelenjar getah bening leher membengkak (bull’s neck)
Click icon to add picture
GRADASI PEMBESARAN
TONSIL
• Darah Lengkap
• Swab tonsil untuk pemeriksaan mikroskopis dengan
pewarnaan gram
Viral Bakteri
Analgetik / antipiretik :
Paracetamol
TATALAKSANA
Difteri Kronis
Anti Difteri Serum : 20.000-100.000 unit (berdasarkan Tonsilektomi (jika sudah memenuhi indikasi)
umur dan jenis kelamin)
Antibiotik :
o Penisilin
o Eritromisin 25-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3
dosis selama 14 hari.
Kortikosteroid :
1,2 mg/ KgBB/ hari
Antipiretik/analgetik :
Paracetamol
! Diisolasi
! Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3
minggu
TONSILITIS KRONIS
Komplikasi
• Rinitis kronis
• Sinusitis atau otitis media secara
kontinuitatum
• Secara hematogen :
endocarditis, artritis, myositis,
nefritis, uveitis, pruritus,
urtikaria, furunkulosis
TONSILITIS KRONIS
IndikasiTerapi
Tonsilektomi
1. Ad vitam :Bonam
2. Ad fuctionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
FARINGITIS
KLASIFIKASI
Berdasarkan Berdasarkan
keparahan gejala Etiologi
Bakterial
Akut Kronis
Viral
Berdasarkan tipe
inflamasi Fungal
Hipertrofik Atrofi
FARINGITIS KRONIS
DEFINISI
Faringitis kronis adalah penyakit yang tersebar luas dari saluran pernapasan
bagian atas yang ditandai dengan peradangan pada mukosa faring.
ETIOLOGI
Faringitis kronis biasanya disebabkan oleh
1. agen-agen infeksius: virus, bakteri, jamur. Atau gabungan dari beberapa etiologi,
2. alergi atau trauma (karena kontak benda asing dan Riwayat operasi).
3. Faktor-faktor iritasi seperti cairan dan uap panas, asam, basa dan radiasi
4. Penyakit-penyakit GIT
FARINGITIS KRONIS
Ada 2 bentuk faringitis kronis yaitu faringitis kronis hiperplastik dan faringitis kronik atrofi
VIRAL
BAKTERI
Beberapa jenis bakteri dapat meninfeksi tenggorokan manusia. Bakteri paling sering yaitu group A
streptococcus/GAS (Streptococcus pyogenes), yang lainnya yaitu Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Bordetella pertussis, Bacillus anthracis, Corynebacterium diphtheriae,
Neisseria gonorrhoeae, Chlamydophila pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, and Fusobacterium
necrophorum
1. Faringitis streptococcal: menempati sekitar 15-30%. Gejala umumnya yaitu demam, nyeri
tenggorokan, dan pembesaran KGB. Penularan dengan cara kontak erat dengan individu
terinfeksi, diagnosis definitive: swab tenggorokan
2. Fusobacterium necrophorum : merupakan suatu flora normal dan biasanya dapat
menyebabkan abses peritonsil.
3. Difteri: disebabkan Corynebacterium diphtheriae -> dapat menyebabkan kegawatan saluran
pernapasan atas, ditandai adanya pseudomembran pada peritonsil
Berdasarkan etiologi
FUNGAL
Beberapa kasus faringitis disebabkan oleh infeksi fungal, seperti Candida
albicans-> yang dapat menyebabkan oral thrush.
NON INFEKSIUS
1. Trauma : termasuk post tonsilektomi
2. Faktor iritan : merokok
3. Penyakit lain : GERD, hernia hiatal, gastritis kronis dll
Gambaran Klinis
KRONIK
VIRAL BAKTERIAL FUNGAL GONORRHEA TUBERCULOSIS KRONIK ATROFI
HIPERPLASTIK
• Diawali dengan • Nyeri kepala hebat • Nyeri tenggorok • Disfagia, • Nyeri hebat pada • Mula-mula • Tenggorokan
gejala rhinitis • Muntah • Nyeri menelan • Nyeri tenggorok, faring tenggorok kering, kering dan tebal
faringitis • Jarang disertai • Pembesaran KGB • Tidak berespon gatal, ada benda • Mulut berbau.
• Demam batuk dan nyeri, dengan pengobatan asing di
• Rinorea • Pembesaran KGB bakterial non tenggorokan
• Mual leher • Sakit kepala, nyeri spesifik batuk yang
otot, dan nyeri berdahak.
• Demam tinggi sendi
DIAGNOSIS DAN TEMUAN LAB
Faringitis Viral:
• Pemeriksaan hidung dan faring : tampak hiperemis.
Sekret pada hidung tampak jernih (serous-mukoid).
• Pada coxsachievirus dapat timbul lesi vesikular di
orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash
Faringitis Bakterial:
• Tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan
terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari
kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan
faring.
• Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior
membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.
DIAGNOSIS
(Mangunkusumo, 2019).
DIAGNOSIS
Faringitis Leutika:
(Mangunkusumo, 2019).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Darah lengkap
• Pewarnaan gram
• Curiga infeksi jamur : pemeriksaan swab mukosa
faring dengan pewarnaan KOH
TATALAKSANA
• Istirahat cukup
• Minum air putih yang cukup
• Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur
dengan obat kumur antiseptic atau air garam
Viral Bakteri
Self-limiting disease Antibiotik :
Terapi simtomatis bila diperlukan. o Amoksisilin
• 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama
Antivirus : 10 hari (anak)
o Isoprinosine • 3 x 500 mg selama 5-10 hari (dewasa)
• 60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari o Eritromisin 4 x 500 mg/hari
(dewasa)
• 50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari (anak Kortikosteroid : Deksametason
<5 tahun) 3 x 0,5 mg selama 3 hari (dewasa)
Fungal Gonorrhea
• Epiglotitis
• Otitis media
• Mastoiditis
• Sinusitis
• Demam rematik akut
• Glomerulonefritis pasca-streptokokus
• Sindrom syok toksik
1. Ad vitam :Bonam
2. Ad fuctionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
DEVIASI SEPTUM
ETIOLOGI
• Trauma : sesudah lahir, inpartu, janin intrauterine
• Ketidakseimbangan pertumbuhan
DEVIASI SEPTUM
TIPE DEVIASI
SEPTUM
GEJALA KLINIS
• Keluhan tidak ada atau ringan : tidak perlu Tindakan koreksi septum
• 2 jenis Tindakan operatif : reseksi submukosa dan septoplasti
• Mukoperikondrium dan mukoperiostium kedua
reseksi submukosa
sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang
septum
• Bagian tulang atau tulang rawan dari septum
diangkat, sehingga mukoperikondrium dan
mukoperiostium sisi kanan dan kiri bertemu di
garis tengah
• Dapat menyebabkan komplikasi saddle nose
(turunnya puncak hidung)
TERAPI
Septoplasty
• Neurogenik
• Neuropeptida
• Nitrik oksida
• Trauma
GEJALA KLINIS
• Gejala mirip dengan RA, namun gejala dominan adalah hidung tersumbat,
bergantian kanan dan kiri, bergantung pada posisi pasien
• Rinore mucoid serosa
• Tidak ada gejala mata
• Gejala memburuk pada pagi hari dan bangun tidur karena ada perubahan suhu
ekstrim, udara lembab
• 3 golongan gejala menonjol 1) golongan bersin : respon baik dengan AH dan
topical kortikosteroid 2) golongan rinore: respon baik dengan antikolinergik,
3) golongan tersumbat : respon baik topical kortiko dan oral vasokonstriktor
PEMERIKSAAN FISIK
Rinoskopi anterior:
• Edem mukosa hidung, konka warna merah gelap atau
tua, tetapi dapat pula pucat
• Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol
(hipertrofi)
• Cavum nasi terdapat secret mukoid
TATALAKSANA
• Hindari stimulus/pencetus
• Pengobatan simtomatis (dekongestan oral, cuci hidung
dengan NaCl, kauterisasi konka yang hipertrofi dengan
AgNO3 25% atau triklor asetat pekat
• Kortikosteroid topical 100-200 microgram ml
• Hasilnya terlihat min 2 minggu
• Kortikosteroid dalam larutan aqua (flutikason propionate
dan mometason furoat 1x/hari 200 mcg)
• Rinore berat : antikolinergik topical (ipratropium bromide)
TATALAKSANA