Anda di halaman 1dari 111

Seorang Laki-laki Usia 38 Tahun dengan hearing loss,

deviasi septum nasi dan Tonsilofaringitis Kronis

Penyusun:
Stefani Dyah G992102055
Aisyah Retno P G992003010

Pembimbing:
dr. Niken Dyah Aryani K., Sp.THT-KL, M.Kes
IDENTITAS PASIEN

• Nama : Tn. S
• Umur : 38 tahun
• Jenis Kelamin : Laki-laki
• Alamat : Nogosari
• Agama : Islam
• Pekerjaan : Wiraswasta (berdagang bahan bangunan)
• Suku/ras : Jawa
• No. RM : 0008***
ANAMNESIS
•Keluhan Utama
•Pendengaran terasa menurun pada
telinga kanan
Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik THT RS UNS pada hari Senin, 12 Juli 2021,
mengeluhkan pendengaran telinga kanan menurun.Keluhan dirasakan sudah
dari 3 bulan yang lalu, keluhan dirasakan terus menerus, dan tidak membaik
dengan obat tetes (pasien lupa).
pasien mengaku mengalami KLL 3 bulan yang lalu, dan dibawa ke RS
PKU Karanganyar, dirawat oleh dokter bedah dan tht. Setelah kecelakaan
pasien tidak sadar sehingga tidak mengetahui bagian mana saja yang terluka,
dan pengantar (istri) tidak tahu Riwayat pengobatan selama di RS PKU.
2 minggu sebelumnya pasien ke rs pku, mengaku dibersihkan telinganya
oleh dokter THT namun keluhan pendengarannya tidak berkurang.
Pasien mengeluhkan bahwa telinga kanannya suka berdenging dan terasa
penuh. Pasien menyangkal adanya cairan keluar dari telinga. Pasien tidak
pernah mengalami gangguan pusing berputar. Riwayat terpapar suara bising
disangkal
Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Selain itu, pasien mengeluhkan bahwa suaranya serak sejak 3 bulan
yang lalu, Keluhan suara serak dirasakan terus menerus, disertai
dengan rasa mengganjal di tenggorok dan napas berbau.
Pasien juga mengeluhkan hidung tersumbat, keluhan dirasakan
juga sejak 3 bulan, keluhan dirasakan hilang timbul. Hidung
tersumbat dirasakan kadang bergantian. Keluhan tidak dipengaruhi
posisi, Riwayat bersin berulang dan alergi disangkal
demam, batuk, pilek sebelumnya, mendengkur saat tidur disangkal
ANAMNESIS

Riwayat Penyakit Dahulu


• Riwayat keluhan serupa : keluhan telinga terasa penuh dan suara serak sejak 3
bulan yang lalu
• Riwayat alergi : disangkal
• Riwayat asma : disangkal
• Riwayat DM : disangkal
• Riwayat Hipertensi : disangkal
• Riwayat penyakit lain : disangkal
ANAMNESIS

Riwayat Penyakit Keluarga


• Riwayat keluhan serupa : disangkal
• Riwayat alergi : disangkal
• Riwayat asma : disangkal
• Riwayat DM : disangkal
• Riwayat Hipertensi : disangkal
• Riwayat penyakit lain : disangkal
Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai wiraswasta yaitu penjual bahan bangunan
Pasien sudah merokok selama 15 tahun, sehari 2 batang rokok
PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
Kesadaran : GCS E4V5M6, Compos mentis
Keadaan umum : Sakit ringan
Tanda Vital
Tekanan darah : 116/98 mmHg
Frekuensi nadi : 76x/menit
Frekuensi nafas : 20x/menit
Suhu : 36,2 oC
PEMERIKSAAN FISIK

THORAKS
Tidak dievaluasi
PARU
Inspeksi : Tidak dievaluasi
Palpasi : Tidak dievaluasi
Perkusi : Tidak dievaluasi
Auskultasi : Tidak dievaluasi
JANTUNG
Inspeksi : Tidak dievaluasi
Palpasi : Tidak dievaluasi
Perkusi : Tidak dievaluasi
Auskultasi : Tidak dievaluasi

ABDOMEN
Inspeksi : Tidak dievaluasi
Auskultasi : Tidak dievaluasi
Perkusi : Tidak dievaluasi
Palpasi : Tidak dievaluasi
PEMERIKSAAN TELINGA

Subjek Dextra Sinistra


Daun Telinga Normotia, Edema (-), Hiperemis Normotia, Edema (-), Hiperemis
(-), Massa (-), Hematom (-) (-), Massa (-), Hematom (-)
Canalis Auricularis Muara atau lubang telinga ada, Muara atau lubang telinga ada,
tidak terlihat adanya sekret, tidak tidak terlihat adanya sekret, tidak
hiperemis dan oedem, tidak ada hiperemis dan oedem, tidak ada
benda asing benda asing

Membran Timpani Intak, tidak ada perforasi, tidak Intak, tidak ada perforasi, sikatrik,
tampak adanya cone of light retraksi, tampak adanya cone of
light arah jam 5.

Tragus Pain Tidak ada Tidak ada


PEMERIKSAAN TELINGA

Subjek Dextra Sinistra

Hearing Loss Ditemukan hearing loss Ditemukan hearing loss

Discharge Tidak ada Tidak ada

Tes Rinne (+) (+)

Tes Weber Tidak ada lateralisasi

Tes Swabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa


PEMERIKSAAN HIDUNG

Dextra Sinistra
Cavum nasi lapang, sekret (+)
Cavum nasi lapang, sekret (-)
Cavum nasi mukoserosa, minimal, krusta
mukoserous, krusta (+) hiperemis (-),
(+) , hiperemis (-), oedem (-),
oedem (-), benda asing (-), massa (-)
benda asing (-), massa (-)
Discharge (-) (-)
Konka nasalis inferior Edema
(-)
(-), Hipertrofi (-), Hiperemis Edema (-), Hipertrofi (-),
Hiperemis (-)
Meatus nasi medius Sekret (-) Sekret (-)
Meatus nasi inferior Sekret (-) Sekret (-)
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (+)
Provokasi lesi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
Nyeri tekan sinus (-) (-)
Os nasal Nyeri tekan (-), Krepitasi (-) Nyeri tekan (-), Krepitasi (-)
Lain-lain massa (-) massa (-)
PEMERIKSAAN MULUT

Subjek Hasil

Bibir Mukosa basah, ulkus (-), Drooling (-), Trismus (-), Sianosis
(-)
Ginggiva Hiperemis (-), edema (-)

Gigi Karies gigi (+), molar 1, 2 (inferior dextra) maloklusi (-)

Lidah Ulserasi (-), deviasi (-)

KGB Pembesaran (-), nyeri tekan (-)


PEMERIKSAAN TENGGOROK

Subjek Dextra Sinistra


Tonsil T3, detritus (+), T3, detritus (+),
hiperemis (-), kripte hiperemis (-), kripte
melebar melebar

Faring Hiperemis (-) Hiperemis (-)


Adenoid Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
Lain - Uvula ukuran normal, tidak ada pembesaran, berada
lain di tengah
DIAGNOSIS BANDING

Telinga Hidung
AD: • Deviasi septum nasi sinistra:
- Sudden Deafness
rhinitis vasomotor
- Trauma temporal
- SNHL Mulut dan tenggorokan
- Otitis media dengan • Tonsilitis kronis: tonsilitis akut
efusi • Faringitis kronis: faringitis akut
AS:
- Sudden deafness
- Trauma temporal
PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Hasil Audiometri

AD:
= 32,5

• Tuli sensorineural derajat ringan

AS:
= 28,75
• Tuli sensorineural derajat ringan
DIAGNOSIS

Telinga Hidung
AD: • Deviasi septum nasi sinistra
- SNHL
AS:
- SNHL Mulut dan tenggorokan
• Tonsilitis kronis
• Faringitis kronis
TERAPI

MEDIKAMENTOSA
1. Antibiotik
• Penisilin G Benzatin 50.000 U/KgBB/IM dosis tunggal atau
• Amoksisilin 3x500 mg (6-10 hari) atau
• Eritromisin 4x500 mg. atau
• Kronis : ada kemungkinan disebabkan gram - : cefixim 2 x 100 mg atau ciprofloxacin 2 x
250 mg selama 7 hari
3. Na diclofenac 2 x 200 mg (apabila nyeri)
4. Tremenza 2 x 1
TERAPI

NON MEDIKAMENTOSA

• Istirahat cukup
• Mengkonsumsi makanan lunak dan menghindari makanan yang mengiritasi
• Cuci hidung dengan NaCl 0,9% 3 kali/hari
• Menjaga kebersihan mulut dengan obat kumur
• Minum-minuman hangat
• Tidak mengorek telinga
PLANNING

• Konservatif dengan medikamentosa dan non medikamentosa ->


evaluasi kontrol 1 minggu
• Audiometri tutur
• Tonsilektomi sesuai indikasi

PROGNOSIS

• Ad Vitam : Bonam
• Ad Sanam : Bonam
• Ad Functionam : Bonam
TINJAUAN PUSTAKA
FISIOLOGI PENDENGARAN
PEMERIKSAAN PENDENGARAN

• Secara fisiologis telinga dapat mendengarkan nada antara 20 sampai 8.000Hz dan
secara efektif antara 500-2.000Hz

Tes Penala
• Tes Rinne: membandingkan AC dan BC pada telinga pasien
• Tes Weber: membandingkan BC pada telinga kanan dan BC pada telinga kiri pasien
• Tes Schwabach: membandingkan BC telinga pasien dengan BC telinga pemeriksa
• Tes Bing/Oklusi: untuk menentukan adanya tuli konduktif dengan menutup liang
telinga/menekan tragus
• Tes Stenger: pada pemeriksaan tuli anorganik/simulasi/pura-pura
Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
PEMERIKSAAN PENDENGARAN

Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Diagnosis

Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan Normal


pemeriksa

Negatif Lateralisasi ke telinga Memanjang Tuli konduktif


yang sakit

Positif Lateralisasi ke telinga Memendek Tuli sensorineural


yang sehat

Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
PEMERIKSAAN PENDENGARAN

Audiometri Nada Murni


• Digunakan alat Audiogram, dipakai grafik AC, dengan garis lurus penuh (intensitas 125-8000Hz)
dan grafik BC dengan garis terputus (intensitas 250-4000Hz)
• Ambang dengar (AD) =
AD 500Hz + AD 1000Hz + AD 2000Hz + AD 4000Hz
4
• Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar AC saja
• Derajat ketulian ISO:
0-25dB : normal >55-70dB : tuli sedang berat
>25-40dB : tuli ringan >70-90dB : tuli berat
>40-55dB : tuli sedang >90dB : tuli sangat berat

Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
PEMERIKSAAN PENDENGARAN

● Normal: AC dan BC sama atau <25dB, AC dan BC berimpit tidak ada gap
● Tuli Sensorineural: AC dan BC >25dB, AC dan BC berimpit tidak ada gap
● Tuli Konduktif: BC normal atau <25dB, AC >25dB, AC dan BC terdapat gap
● Tuli Campur: BC >25dB, AC > BC, AC dan BC terdapat gap

Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
TULI

• Tuli merupakan gangguan fisiologi pendengaran, dibagi menjadi tuli konduktif, tuli
sensorineural, dan tuli campur
• Tuli konduktif:
• terdapat gangguan hantaran suara disebabkan oleh penyakit di telinga luar atau telinga
tengah
• Kelainan telinga luar: atresia liang telinga, sumbatan oleh serupen, otitis eksterna,
osteoma liang telinga
• Kelainan telinga tengah: tuba katar/sumbatan tuba eustachius, otitis media,
otosklerosis, timpanosklerosis, hemotympanum dan dislokasi tulang pendengaran

Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
TULI

• Tuli sensorineural (perseptif):


• kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), N. VII, atau pusat pendengaran
• Tuli sensorineural koklea: aplasia (kongenital), labirinitis, intoksikasi obat (streptomisin,
kanamisin, garamisin, neomisin, kina, asetosal atau alcohol), tuli mendadak, trauma
kapitis, trauma akustik, pajanan bising, usia lanjut/prebiaskusis
• Tuli sensorineural retrokoklea: neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum, myeloma
multipel, cidera otak.
• Tuli campur: kombinasi tuli konduktif dengan tuli sensorineural. Dapat merupakan suatu
penyakit, missal OMA dengan komplikasi ke dalam telinga. Dapat juga merupakan dua
penyakit yang berlainan, missal tumor N. VII (SNHL) dengan OMA (CHL).

Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
TATALAKSANA TULI

• Tatalaksana pada tuli diseusikan dengan penyebabnya masing-masing


• Tuli konduktif:
• Pada serumen impaksi, dapat diberikan bahan pelunak serumen dan/atau irigasi
dan/atau suctioning dan/atau ekstraksi
• Pada otitis eksterna, dapat diberikan ear toilet, antibiotic, dan tampon iktiol.
• Pada otitis media, berdasarkan derajatnya, dapat diberikan antibiotic, dekongestan
intranasal, dan myringotomi

Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
TATALAKSANA TULI

• Tuli sensorineural (perseptif):


• Pada prebiaskusis, dilakukan upaya pengembalian fungsi pendengaran dengan
pemasangan alat bantu dengar, latihan membaca, dan ahli terapi wicara
• Pada tuli mendadak, yang biasanya disebabkan oleh iskemia koklea dan infeksi
virus, dapat dilakukan tirah baring sempurna, vasodilator injeksi, kortikosteroid
4x10mg dengan tapering off 3 hari, neurobion vit. C, vit. E, inhalasi oksigen
4x15mnt, kemudian dievaluasi. Apabila tidak didapatkan perbaikan, dapat
dipertimbangan pemakaian alat bantu dengar.

Iskandar, N., Soepardi E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
TRAUMA TEMPORAL
EPIDEMIOLOGI

• Cedera kepala terjadi pada sekitar 75% dari semua kecelakaan kendaraan bermotor.
• 30 hingga 70% kasus cedera pada tulang temporal melibatkan trauma kepala
tumpul.
• Cedera tulang temporal dilaporkan terjadi pada 14-22% kasus fraktur tengkorak.
• Telinga adalah organ indera yang paling sering rusak.
• Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab dari 31% kasus fraktur tulang
temporal.
• Penyebab lainnya: serangan fisik, jatuh, kecelakaan sepeda motor, cedera pejalan
kaki, kecelakaan sepeda, dan luka tembak.
• Fraktur tulang temporal bilateral memiliki insiden 8-29%.

Patel, A., & Groppo, E. 2010. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction, 3(2), 105–113. https://doi.org/10.1055/s-0030-1254383
DIAGNOSIS

• Anamnesis
• Hearing loss merupakan keluhan utama yang paling umum mengikuti trauma
tulang temporal. Gangguan pendengaran mungkin atau mungkin tidak disertai
dengan tinnitus.
• Pusing dan ketidakseimbangan sering terlihat kemudian setelah trauma tulang
temporal, kecuali terjadi cedera labirin yang parah.
• Keluhan paresis wajah atau kelumpuhan dan asimetri wajah merupakan indikasi
cedera pada wajah saraf (CN VII) dan kemungkinan besar menentukan kebutuhan
untuk intervensi bedah dini.

Patel, A., & Groppo, E. 2010. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction, 3(2), 105–113. https://doi.org/10.1055/s-0030-1254383
KLASIFIKASI TRAUMA TEMPORAL

Patel, A., & Groppo, E. 2010. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction, 3(2), 105–113. https://doi.org/10.1055/s-0030-1254383
KLASIFIKASI TRAUMA TEMPORAL

Kurihara, Y., et al. 2020. Temporal Bone Trauma: Typical CT and MRI Appearances and Important
Points for Evaluation. RadioGraphics 2020; 40:1148–1162
KLASIFIKASI TRAUMA TEMPORAL

Sharma, N., & Irving, R. 2014. Temporal bone trauma. ENT & AUDIOLOGY News Volume 23
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• High-resolution CT scan dengan bone algorithms merupakan standar dalam


diagnosis trauma temporal. CT scan potongan axial dan coronal dapat
menentukan lokasi dan tipe fraktur.
• CT scan juga membantu menemukan lokasi kerusakan nervus kranial serta
menentukan pendekatan operasi.
• MRI dapat digunakan untuk membantu menguatkan temuan kerusakan nervus
kranial

Patel, A., & Groppo, E. 2010. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction, 3(2), 105–113. https://doi.org/10.1055/s-0030-1254383
TATALAKSANA

Untuk sebagian besar fraktur tulang temporal, tidak


diperlukan intervensi spesifik segera. Pada pasien dengan
fraktur sparing otic capsule, tanpa komplikasi yang jelas,
hanya dilakukan strategi manajemen konservatif.

Sharma, N., & Irving, R. 2014. Temporal bone trauma. ENT & AUDIOLOGY News Volume 23
TATALAKSANA

Medikamentosa:
• Antibiotik
Antibiotik tidak secara rutin direkomendasikan untuk fraktur tulang temporal, tetapi untuk luka penetrasi yang
terkontaminasi, profilaksis antibiotik spektrum luas dapat diberikan, meskipun tidak ada bukti dengan evidence
tinggi yang mendukung pemberian antibiotik.
• Steroid
Kortikosteroid intravena terkadang digunakan untuk gangguan pendengaran sensorineural dan cedera saraf wajah
setelah trauma tulang temporal. Dengan pemberian steroid ini untuk menghambat peradangan dan dengan
demikian mengurangi edema pada dan sekitar saraf dan diharapkan memperbaiki fungsi saraf

Patel, A., & Groppo, E. 2010. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction, 3(2), 105–113. https://doi.org/10.1055/s-0030-1254383
TATALAKSANA

Non-medikamentosa:
• Manajemen bedah ditentukan jika fungsi saraf wajah memiliki prognosis yang buruk melalui hasil pengujian atau jika
ada bukti CT gangguan parah atau displacement nervua fasialis.
• Pembedahan tidak dianjurkan dalam waktu < 3 bulan setelah trauma karena postinjury edema, perdarahan, dan
kerapuhan healing tissues.
• Gangguan pendengaran konduktif sekunder hemotympanum dapat sembuh tanpa intervensi
• Untuk pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural yang tidak mungkin membaik, pendekatan transmastoid-
translabyrinthine dapat digunakan, yang memiliki morbiditas lebih rendah daripada pendekatan fossa kranial tengah.
• Gangguan pendengaran sensorineural dapat menunjukkan perbaikan dari waktu ke waktu tetapi cenderung menetap
dan sulit diobati.
• Pada pasien dengan vertigo dan tinnitus, istirahat di tempat tidur, menghindari meneganggkan kepala dan elevasi
kepala mungkin disarankan dalam kasus potensi fistula peri-limfa, yang mungkin memerlukan eksplorasi bedah jika
gejala menetap.
Patel, A., & Groppo, E. 2010. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction, 3(2), 105–113. https://doi.org/10.1055/s-0030-1254383
SUDDEN DEAFNESS
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

• Tuli mendadak adalah sensasi subjektif kehilangan pendengaran yang terjadi secara
mendadak dalam 72 jam pada satu atau kedua telinga. Tuli sensorineural mendadak
atau SSNHL (sudden sensorineural hearing loss) merupakan bagian dari tuli mendadak
dengan kriteria berdasarkan pemeriksaan audiometri yaitu adanya penurunan
pendengaran ≥ 30 desibles (dB) minimal pada 3 frekuensi pemeriksaan berturut-turut.

• Kejadian dari SSNHL yaitu berkisar 5-20 kasus per 100.000 populasi di Amerika
Serikat. Tidak ada perbedaan insidensi pada wanita dan laki-laki, dapat terkadi pada
semua usia dengan puncak insidensi pada dekade ke 5-6. Sebagian besar kasus
unilateral dan hanya 2% bilateral.
ETIOLOGI

• Penyebab paling banyak SSNHL non idiopatik adalah


infeksi (12,8%) diikuti dengan penyakit otologi (4,7%),
trauma (4,2%), vaskular atau hematologis (2,8%),
neoplasma (2,3%) dan penyebab lainnya (2,2%) seperti
pemberian obat-obat ototoksik. Sekitar > 90% pasien
SSNHL idiopatik. Hipotesis penyebab SSNHL yang
paling banyak diterima adalah kelainan vaskuler, ruptur
membran intrakoklear dan infeksi virus.
D I A G N O S I S

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

 Membedakan CHL dan SNHL

 Adanya riwayat kehilangan pendengaran unilateral atau bilateral yang bersifat episodik, adanya vertigo dan gejala neurologi fokal

 Pasien SSNHL dengan riwayat kehilangan pendengaran yang bersifat fluktuatif harus dievaluasi kemungkinan penyebab lain yaitu
penyakit Meniere, kelainan autoimun, sindrom cogan dan sindrom hiperviskositas.

 Penyakit meniere merupakan penyebab paling sering kehilangan pendengaran fluktuatif yang unilateral, sedangkan penyakit telinga
tengah autoimun dan sindrom cogan biasanya melibatkan telinga bilateral. Semua kondisi ini dapat menyebabkan penurunan
pendengaran yang bertahap dan fluktuatif, namun kadang muncul mendadak sebagai SSNHL.

 Tuli mendadak dengan gejala dan tanda neurologis fokal yang menindikasikan keterlibatan SSP.

 Oklusi arteri auditorik interna paling sering terlibat dalam mekanisme tuli mendadak unilateral akibat stroke. Arteri auditorik
interna mendapatkan suplai dari arteri serebelar inferior anterior (AICA). Hampir sebagian besar infark labirin terkait distribusi
AICA dihubungkan dengan hilangnya pendengaran unilateral dan gangguan vestibular akut.

 Tuli mendadak unilateral bisa merupakan manifestasi dari TIA pada distribusi AICA. Gejala yang menyertai antara lain sindrom
horner ipsilateral (miosis, ptosis, dan anhidrosis), diplopia, nistagmus, kelemahan wajah ipsilateral, vertigo dll.
D I A G N O S I S

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

 Membedakan CHL dan SNHL

 Riwayat kehilangan pendengaran unilateral atau bilateral yang bersifat episodik, adanya vertigo dan gejala neurologi fokal

 Penyakit meniere merupakan penyebab paling sering kehilangan pendengaran fluktuatif yang unilateral, sedangkan penyakit telinga
tengah autoimun dan sindrom cogan biasanya melibatkan telinga bilateral. Semua kondisi ini dapat menyebabkan penurunan
pendengaran yang bertahap dan fluktuatif, namun kadang muncul mendadak sebagai SSNHL.

 Tuli mendadak dengan gejala dan tanda neurologis fokal yang menindikasikan keterlibatan SSP.

 Oklusi arteri auditorik interna paling sering terlibat dalam mekanisme tuli mendadak unilateral akibat stroke. Tuli mendadak
unilateral bisa merupakan manifestasi dari TIA pada distribusi AICA. Gejala yang menyertai antara lain sindrom horner ipsilateral
(miosis, ptosis, dan anhidrosis), diplopia, nistagmus, kelemahan wajah ipsilateral, vertigo dll.
P E M E R I K S A A N P E N U N J A N G

 Pemeriksaan audiometri nada murni (pure tone audiometry) wajib dikerjakan untuk diagnosis pasti
SSNHL karena dapat membedakan CHL dan SNHL

 Pemeriksaan Audiometry Brainstem Response (ABR) digunakan untuk menyingkirkan adanya lesi
pada CPA (cerebropontine angle) atau kanal auditorik internal (IAC) sebagai penyebab tuli unilateral.
ABR sangat berguna pada kondisi tidak adanya MRI atau kontraindikasi MRI

 MRI : untuk deteksi kelainan retrokoklea, yaitu lesi struktural pada nervus vestibulokoklear, batang
otak dan otak.
T A T A L A K S A N A

 Terapi SSNHL idiopatik masih kontroversi menyangkut perlu tidaknya terapi dan pilihan terapinya,
karena 45-65% pasien sembuh secara spontan.

 Pemberian kortikosteroid pada SSNHL idiopatik masih kontroversi, namun adanya konsekuensi serius
akibat SSNHL yang berat maka terapi kortikosteroid merupakan satu dari sedikit pilihan pengobatan.
Prednison oral dengan dosis tunggal 1 mg/kgBB/hari maksimal 60 mg/hari selama 10-14 hari.
T A T A L A K S A N A

 Terapi SSNHL idiopatik masih kontroversi menyangkut perlu tidaknya terapi dan pilihan terapinya,
karena 45-65% pasien sembuh secara spontan.

 Pemberian kortikosteroid pada SSNHL idiopatik masih kontroversi, namun adanya konsekuensi serius
akibat SSNHL yang berat maka terapi kortikosteroid merupakan satu dari sedikit pilihan pengobatan.
Prednison oral dengan dosis tunggal 1 mg/kgBB/hari maksimal 60 mg/hari selama 10-14 hari.
P R O G N O S I S

• Prognosis SSNHL tergantung pada beberapa faktor antara lain usia pasien, adanya vertigo saat onset,
derajat gangguan pendengaran, karakteristik awal audiometri, waktu antara onset gangguan
pendengaran dengan dimulainya terapi.

• Direkomendasikan untuk melakukan follow up jangka panjang sehingga dapat mengidentifikasi


penyebab SSNHL yang mungkin belum ditemukan saat penanganan awal.

• Pasien dengan SSNHL idiopatik sangat penting melakukan follow up audiometri yang menentukan
keberhasilan terapi. Follow up pada 156 pasien yang didiagnosis SSNHL idiopatik 54,5% menunjukkan
perbaikan dalam 10 hari meskipun belum komplit. Perbaikan final dicapai dalam 1 bulan pada 78%
pasien, 3 bulan pada 97 pasien dan hanya 0,6% yang perbaikannya mencapai 6 bulan. Sehingga
disarankan untuk melakukan follow up audiometri hingga 6 bulan. Pasien tuli mendadak yang telah
mendapat pengobatan namun ketulian tetap bersifat permanen dan menimbulkan kecacatan maka
dibutuhkan rehabilitasi auditorik
OTITIS MEDIA DENGAN EFUSI
DEFINISI

• Otitis media dengan efusi (OME) adalah suatu kondisi di


mana terdapat cairan (mukoid atau serous) nonpurulen di
telinga tengah, tanpa ada tanda-tanda infeksi akut.
• OME kronis didefinisikan sebagai OME yang bertahan
selama >3 bulan

Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
PATOGENESIS

Dua mekanisme utama OME:


• Kerusakan tuba eustachius
Tuba Eustachius gagal untuk mengatur aliran udara telinga tengah dan juga tidak
mampu mengalirkan cairan.

• Peningkatan aktivitas sekresi mukosa telinga tengah


Biopsi mukosa telinga tengah dalam kasus ini telah dikonfirmasi peningkatan
jumlah mukus atau sel yang mensekresi serosa.

Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
ETIOLOGI

1. Kerusakan tuba eustachius


Penyebabnya adalah:
(a) Hiperplasia adenoid.
(b) Rinitis kronis dan sinusitis.
(c) Tonsilitis kronis.
Amandel yang membesar secara mekanis menghalangi gerakan langit-langit lunak dan mengganggu
dengan pembukaan fisiologis tuba eustachius.
(d) Tumor nasofaring jinak dan ganas.
Ini penyebabnya harus selalu disingkirkan pada serosa unilateral otitis media pada orang dewasa.
(e) Cacat palatal, mis. celah langit-langit, kelumpuhan palatal.
Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
ETIOLOGI

2. Alergi.
Alergi musiman atau tahunan terhadap inhalansia atau bahan makanan sering terjadi pada anak-
anak. Ini tidak hanya menghalangi tuba eustachius oleh edema tetapi juga dapat menyebabkan
peningkatan aktivitas sekretori sebagai mukosa telinga tengah bertindak sebagai organ kejutan
dalam beberapa kasus.

3. Otitis media yang tidak teratasi.


Terapi antibiotik yang tidak adekuat pada otitis media supuratif akut dapat menonaktifkan infeksi
tetapi gagal untuk menyelesaikannya sepenuhnya. Infeksi tingkat rendah tetap ada. Ini bertindak
sebagai stimulus bagi mukosa untuk mengeluarkan lebih banyak cairan. Itu jumlah sel goblet dan
kelenjar mukus juga meningkat. Peningkatan baru-baru ini dalam insiden penyakit ini tampaknya
karena faktor ini.
Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
ETIOLOGI

4. Infeksi virus
Berbagai adeno dan rhinovirus bagian atas saluran pernapasan dapat menginvasi mukosa
telinga tengah dan merangsangnya untuk meningkatkan aktivitas sekretori

Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
PEMERIKSAAN

1. Gejala
Gejalanya meliputi:
(a) Gangguan pendengaran.
Biasa dapat ditemukan dan terkadang merupakan satu-satunya gejala. Gangguan ini jarang
melebihi 40 dB. Ketulian dapat tidak terdeteksi tanpa diketahui oleh orang tua dan mungkin
secara tidak sengaja ditemukan ketika tes audiometri.
(b) Keterlambatan dan gangguan bicara.
Karena gangguan pendengaran, perkembangan bicara tertunda atau cacat.
(c) Sakit telinga ringan
Mungkin ada riwayat infeksi saluran pernapasan atas dengan sakit telinga ringan.

Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
PEMERIKSAAN

2. Temuan otoskopi
Membran timpani sering terlihat suram dengan hilangnya refleks cahaya. Mungkin tampak
kuning.
berwarna abu-abu atau kebiruan. Membran timpani dapat menunjukkan berbagai tingkat retraksi.
Terkadang, mungkin tampak penuh atau sedikit menonjol di bagiannya bagian posterior karena
efusi.
Level cairan dan gelembung udara dapat terlihat saat cairan tipis dan membran timpani
transparan.
Mobilitas membran timpani menurun.

Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
PEMERIKSAAN

1. Tes garpu tala menunjukkan gangguan pendengaran konduktif.

2. Audiometri
Ada gangguan pendengaran konduktif 20-40 dB. Terkadang, ada pendengaran sensorineural yang terkait
akibat tekanan cairan pada membran timpani. Ini menghilang dengan evakuasi cairan.

3. Audiometri impedansi
Ini adalah tes objektif yang berguna dalambayi dan anak-anak. Adanya cairan ditunjukkan dengan
penurunan penyesuaian dan kurva datar dengan pergeseran ke sisi negatif.

4. X-ray mastoid. Ada kekeruhan sel udara karena cairan.


Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
TATALAKSANA

Medikamentosa
(a) Dekongestan.
Dekongestan topikal dalam bentuk tetes hidung, semprotan atau dekongestan sistemik membantu meredakan edema tuba
eustachius.
(b) Antihistamin atau terkadang steroid dapat digunakan dalam kasus alergi. Jika memungkinkan, alergen
harus ditemukan dan desensitisasi dilakukan.
(c) Antibiotik.
Berguna dalam kasus infeksi saluran pernapasan atas atau otitis supuratif akut yang belum terselesaikan media.
(d) Aerasi telinga tengah.
Pasien harus berulang kali melakukan Manuver Valsava. Kadang-kadang, politzerisasi atau kateterisasi tabung
eustatachius harus dilakukan. Ini membantu ventilasi telinga tengah dan meningkatkan drainase cairan. Anak-anak dapat
diberikan permen karet untuk mendorong menelan berulang yang membuka tabung.
Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
TATALAKSANA

Non-Medikamentosa
(a) Miringotomi dan aspirasi cairan.
Sayatan dibuat di membran timpani dan cairan disedot dengan suction. Lendir yang kental mungkin
memerlukan pemasangan saline atau agen mukolitik seperti larutan chymotrypsin untuk mencairkan lendir
sebelum dapat diaspirasi.
(b) Penyisipan grommet.
Jika miringotomi dan aspirasi dikombinasikan dengan tindakan medis tidak membantu dan terjadi keluar cairan
berulang, grommet dimasukkan untuk memberikan aerasi lanjutan dari telinga tengah.

Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
TATALAKSANA

Non-Medikamentosa
(c) Timpanotomi atau mastoidektomi kortikal.
Terkadang diperlukan untuk menghilangkan cairan kental yang terlokalisasi atau kelainan patologi terkait
seperti granuloma kolesterol.
(d) Perawatan bedah dari faktor penyebab.
Adenoidektomy, tonsilektomi dan/atau wash-out dari antra maksila mungkin diperlukan. Hal ini biasanya
dilakukan pada saatmiringotomi.

Dhingra, Shruti., et al (ed). 2014. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Sixth edition. Elsivier
TONSILITIS

DEFINISI

Tonsilitis adalah
peradangan tonsil
palatina yang
merupakan bagian
dari cincin
waldeyer.
ETIOLOGI

Umumnya merupakan hasil dari infeksi baik oleh virus ataupun bakteri:
• Virus : Rhinovirus, virus pernapasan syncytial, adenovirus, dan
coronavirus. Epstein-Barr (menyebabkan mononukleosis),
Cytomegalovirus, hepatitis A, rubella, dan HIV.
• Bakteri : Stereptococcus Beta Hemolitikus grup A, Haemophilus
influenza, Streptococcus pneumonia, Streptococcus aureus, atau
Pneumococcus.
! Corynebacterium diphtheriae  tonsilitis difteri
(Anderson dan Paterek, 2020)(Kemenkes RI, 2014)
PATOGENESIS
GAMBARAN KLINIS

1. Rasa kering di tenggorokan sebagai gejala awal


2. Nyeri pada tenggorok saat menelan
3. Nyeri dapat menyebar (referred pain) ke telinga melalui N.IX
4. Pada anak -> dapat menimbulkan demam tinggi dan kejang
5. Sakit kepala, badan lesu, dan nafsu makan berkurang
6. Plummy voice : suara yag terdengar seperti orang yang mulutnya
penuh makanan panas
7. Mulut berbau dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri
telan
TONSILITIS KRONIS

Faktor predisposisi : Etiologi :


• Rangsang menahun rokok • Bakteri sama dengan tonsilitis
• Beberapa jenis makanan akut
• Higiene mulut yang buruk Namun kadang berubah
• Pengaruh cuaca menjadi
• Kelelahan fisik Bakteri gram -
• Pengobatan tonsilitis yang tidak adekuat
TONSILITIS KRONIS

Patologi
Proses radang berulang Epitel mukosa dan
jaringan limfoid
terkikis
Jaringan limfoid diganti oleh jaringan
parut yang mengalami pengerutan
sehingga kripte melebar. Kripte tampak
Proses berjalan terus, menembus diisi oleh detritus
kapsul tonsil dan menimbulkan
perlekatan dengan jaringan di
sekitar fosa tonsilaris
TONSILITIS KRONIS

Gejala dan tanda


• Rasa mengganjal di tenggorok
• Rasa kering di tenggorok
• Napas berbau
Tanda:
• Tonsil membesar dengan
permukaan tidak rata
• Kripte melebar
• Beberapa kripte terisi oleh
detritus
DIAGNOSIS DAN TEMUAN LAB

Tonsilitis akut:
1. Tonsil hipertrofik dengan ukuran ≥ T2.
2. Hiperemis dan terdapat detritus di dalam kripte yang memenuhi permukaan tonsil baik
berbentuk folikel (tonsilitis folikularis), lacuna (tonsilitis lakunaris), atau pseudomembran
(tonsilitis membaranosa).
3. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran semu (pseudomembran) yang
menutupi ruang antara kedua tonsil sehingga tampak menyempit. Temuan ini mengarahkan
pada diagnosis banding tonsilitis difteri.
4. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak udem dan hiperemis.
5. Kelenjar limfe leher dapat membesar dan disertai nyeri tekan.
DIAGNOSIS DAN TEMUAN LAB

Tonsilitis kronis:
1. Tonsil membesar (T2/T3), dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan berisi detritus.
2. Pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami
perlengketan.
DIAGNOSIS DAN TEMUAN LAB

Tonsilitis difteri:
1. Tampak tonsil membengkak hiperemis, ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas membentuk pseudomembran hingga palatum
mole, uvula, orofaring, nasofaring, hipofaring, laring, trakea, sampai bronkus.
2. Tampak pseudomembran yang melekat erat pada dasar tonsil sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah.
3. Kelenjar getah bening leher membengkak (bull’s neck)
Click icon to add picture

GRADASI PEMBESARAN
TONSIL

Gambar 1. Gradasi pembesaran tonsil (Kemenkes RI, 2014)


PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Darah Lengkap
• Swab tonsil untuk pemeriksaan mikroskopis dengan
pewarnaan gram

(Kemenkes RI, 2014)


• Istirahat cukup
• Makan makanan lunak dan
TATALAKSANA menghindari makanan yang iritatif
• Oral hygiene
• Obat topikal atau obat kumur
(Kemenkes RI, 2014)
antiseptic
• Obat oral sistemik
TATALAKSANA

Viral Bakteri

Analgetika / antipiretik : Paracetamol Antibiotik :


o Penisilin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis
Antivirus (bila gejala berat) : tunggal
Metisoprinol o Amoksisilin
60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali • 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama
pemberian/hari (dewasa ) 10 hari (anak)
• 3 x 500 mg selama 7-14 hari (dewasa)
50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari o Eritromisin 4 x 500 mg/hari
(anak < 5 tahun)
Kortikosteroid : Deksametason
3 x 0,5 mg selama 3 hari (dewasa)

0,01 mg/kgBB/hari dibagi 3 kali selama 3 hari


(anak)

Analgetik / antipiretik :
Paracetamol
TATALAKSANA

Difteri Kronis

Anti Difteri Serum : 20.000-100.000 unit (berdasarkan Tonsilektomi (jika sudah memenuhi indikasi)
umur dan jenis kelamin)

Antibiotik :
o Penisilin
o Eritromisin 25-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3
dosis selama 14 hari.

Kortikosteroid :
1,2 mg/ KgBB/ hari

Antipiretik/analgetik :
Paracetamol

! Diisolasi
! Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3
minggu
TONSILITIS KRONIS

Komplikasi

• Rinitis kronis
• Sinusitis atau otitis media secara
kontinuitatum
• Secara hematogen :
endocarditis, artritis, myositis,
nefritis, uveitis, pruritus,
urtikaria, furunkulosis
TONSILITIS KRONIS

IndikasiTerapi
Tonsilektomi

The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery:


1. Serangan tonsilitis > 3 x per tahun walaupun telah mendapatkan terapi yang adekuat
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan
orofasial
3. Sumbatan jalan napas (sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonale)
4. Rinitis dan sinusitis kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak hilang dengan pengobatan
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh GAS
7. Hipertrofi tonsil curiga massa
8. Otitis media efusi / otitis media supuratif
KONSELING DAN EDUKASI

• Menghindari pencetus, termasuk makanan dan minuman yang mengiritasi


• Melakukan pengobatan yang adekuat karena risiko kekambuhan tinggi
• Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan olahraga secara
teratur
• Berhenti merokok
• Oral Hygiene
• Cuci tangan secara teratur

(Kemenkes RI, 2014)


PROGNOSIS

1. Ad vitam :Bonam
2. Ad fuctionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
FARINGITIS

KLASIFIKASI

Berdasarkan Berdasarkan
keparahan gejala Etiologi

Bakterial
Akut Kronis
Viral
Berdasarkan tipe
inflamasi Fungal

Hipertrofik Atrofi
FARINGITIS KRONIS

DEFINISI
Faringitis kronis adalah penyakit yang tersebar luas dari saluran pernapasan
bagian atas yang ditandai dengan peradangan pada mukosa faring.

ETIOLOGI
Faringitis kronis biasanya disebabkan oleh
1. agen-agen infeksius: virus, bakteri, jamur. Atau gabungan dari beberapa etiologi,
2. alergi atau trauma (karena kontak benda asing dan Riwayat operasi).
3. Faktor-faktor iritasi seperti cairan dan uap panas, asam, basa dan radiasi
4. Penyakit-penyakit GIT
FARINGITIS KRONIS

Ada 2 bentuk faringitis kronis yaitu faringitis kronis hiperplastik dan faringitis kronik atrofi

Faktor predisposisi proses radang kronis di faring yaitu :


1. Rinitis kronis
2. Sinusitis
3. Iritasi kronis oleh rokok
4. Minum alkohol
5. Inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu.
6. Pasien biasa bernapas melalui mulut karena hidung tersumbat
Berdasarkan etiologi

VIRAL

Menempati 40-80% dari semua kasus infeksi


1. Adenovirus: penyebab paling banyak dari kasus faringitis virus, ditandai dengan adanya pembesaran KGB
cervical sedang, tenggorokan nyeri, dan seringnya tenggorok tidak terlihat merah. Pada anak-anak
menimbulkan gejala konjungtivitis
2. Orthomyxoviridae: biasa menyebabkan influenza, ditandai dengan demam tinggi mendadak, sakit kepala,
dan nyeri seluruh badan. Biasanya ditemui juga keluhan sakit tenggorokan
3. Mononukleosis infeksius: disebabkan EBV, ditandai dengan pembengkakan KGB yang signifikan dan
tonsilitis eksudatif dengan kemerahan dengan edem tenggorok yang nyata. Uji heterofil dapat digunakan
jika gejala mononucleosis dicurigai
4. HSV : dapat ditandai dengan adanya ulkus pada mulut
5. Measles
6. Common cold: rhinovirus, coronavirus, respiratory syncytial virus, dan parainfluenza virus yang
dapat menyebabkan infeksi selain di tenggorokan, yaitu telinga dan paru-paru yang menyebabkan gejala flu
(gejala rhinitis beberapa hari) dan nyeri pada badan
Berdasarkan etiologi

BAKTERI

Beberapa jenis bakteri dapat meninfeksi tenggorokan manusia. Bakteri paling sering yaitu group A
streptococcus/GAS (Streptococcus pyogenes), yang lainnya yaitu Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Bordetella pertussis, Bacillus anthracis, Corynebacterium diphtheriae,
Neisseria gonorrhoeae, Chlamydophila pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, and Fusobacterium
necrophorum
1. Faringitis streptococcal: menempati sekitar 15-30%. Gejala umumnya yaitu demam, nyeri
tenggorokan, dan pembesaran KGB. Penularan dengan cara kontak erat dengan individu
terinfeksi, diagnosis definitive: swab tenggorokan
2. Fusobacterium necrophorum : merupakan suatu flora normal dan biasanya dapat
menyebabkan abses peritonsil.
3. Difteri: disebabkan Corynebacterium diphtheriae -> dapat menyebabkan kegawatan saluran
pernapasan atas, ditandai adanya pseudomembran pada peritonsil
Berdasarkan etiologi

FUNGAL
Beberapa kasus faringitis disebabkan oleh infeksi fungal, seperti Candida
albicans-> yang dapat menyebabkan oral thrush.

NON INFEKSIUS
1. Trauma : termasuk post tonsilektomi
2. Faktor iritan : merokok
3. Penyakit lain : GERD, hernia hiatal, gastritis kronis dll
Gambaran Klinis

KRONIK
VIRAL BAKTERIAL FUNGAL GONORRHEA TUBERCULOSIS KRONIK ATROFI
HIPERPLASTIK

• Diawali dengan • Nyeri kepala hebat • Nyeri tenggorok • Disfagia, • Nyeri hebat pada • Mula-mula • Tenggorokan
gejala rhinitis  • Muntah • Nyeri menelan • Nyeri tenggorok, faring tenggorok kering, kering dan tebal
faringitis • Jarang disertai • Pembesaran KGB • Tidak berespon gatal, ada benda • Mulut berbau.
• Demam batuk dan nyeri, dengan pengobatan asing di
• Rinorea • Pembesaran KGB bakterial non tenggorokan 
• Mual leher • Sakit kepala, nyeri spesifik batuk yang
otot, dan nyeri berdahak.
• Demam tinggi sendi
DIAGNOSIS DAN TEMUAN LAB

Faringitis Viral:
• Pemeriksaan hidung dan faring : tampak hiperemis.
Sekret pada hidung tampak jernih (serous-mukoid).
• Pada coxsachievirus dapat timbul lesi vesikular di
orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash

Faringitis Bakterial:
• Tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan
terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari
kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan
faring.
• Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior
membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.
DIAGNOSIS

Centor scoring system


Digunakan untuk menghitung faringitis
streptococcal dan untuk menentukan RADT
serta untuk mempertimbangkan inisiasi terapi
antibiotic pada pasien dengan keluhan sakit
tenggorokan. RADT perlu dipertimbangkan
pada skor 2 apabila pasien anak, pasien
imunokompromais, atau pada pasien yang
terlihat secara klinis tidak baik.
DIAGNOSIS

FeverPAIN scoring system


digunakan di UK untuk menghitung risiko
terjadinya streptococcal faringitis pada pasien
dengan keluhan sakit tenggorokan.
DIAGNOSIS

Pendekatan secara umum pada faringitis.


DIAGNOSIS

Faringitis Fungal: Faringitis Tuberculosis:


• Tampak bercak-bercak putih- • Tampak granuloma
plak putih di orofaring dan perkejuan pada mukosa
pangkal lidah faring dan laring.
• Sariawan
• Mukosa faring lainnya
hiperemis.
DIAGNOSIS

Faringitis Kronik Hiperplastik: Faringitis Kronik Atrofi:


• Mukosa dinding faring hiperemis, • Mukosa faring licin, mengkilat,
dan ditutupi oleh lendir yang
• Hiperplasia lateral band dan
kental dan bila diangkat tampak
tampak menebal.
mukosa kering
• Mukosa dinding posterior tidak
rata dan bergranular (cobble stone)

(Mangunkusumo, 2019).
DIAGNOSIS

Faringitis Leutika:

Stadium Primer Stadium Sekunder Stadium Tersier

• Lidah palatum mole, tonsil, • Stadium ini jarang • Terdapat guma.


dan dinding posterior faring ditemukan. • Bila infeksi berlanjut dapat
terbentuk bercak keputihan. • Pada dinding faring terdapat mengenai tonsil dan palatum
• Ulkus pada daerah faring eritema yang menjalar ke
seperti ulkus pada genitalia arah laring
yang tidak nyeri.
• Pembesaran kelenjar
submandibula.

(Mangunkusumo, 2019).
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Darah lengkap
• Pewarnaan gram
• Curiga infeksi jamur : pemeriksaan swab mukosa
faring dengan pewarnaan KOH
TATALAKSANA

• Istirahat cukup
• Minum air putih yang cukup
• Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur
dengan obat kumur antiseptic atau air garam

(Kemenkes RI, 2014)


TATALAKSANA

Viral Bakteri
Self-limiting disease Antibiotik :
Terapi simtomatis bila diperlukan. o Amoksisilin
• 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama
Antivirus : 10 hari (anak)
o Isoprinosine • 3 x 500 mg selama 5-10 hari (dewasa)
• 60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari o Eritromisin 4 x 500 mg/hari
(dewasa)
• 50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari (anak Kortikosteroid : Deksametason
<5 tahun) 3 x 0,5 mg selama 3 hari (dewasa)

Kortikosteroid : Deksametason 0,01 mg/kgBB/hari dibagi 3 kali selama 3 hari


3 x 0,5 mg selama 3 hari (dewasa) (anak)

0,01 mg/kgBB/hari dibagi 3 kali selama 3 hari Analgetik / antipiretik : Paracetamol


(anak)

Analgetik / antipiretik : Paracetamol


TATALAKSANA

Fungal Gonorrhea

Antifungal : Nistatin Antibiotik : ceftriaxone


100.000-400.000 IU, 2-3 x/hari 250 mg single dose IM

Kronik Hiperplastik Kronik Atrofi

Penyakit hidung dan sinus paranasal harus Pengobatan rhinitis atrofi


diobati.
antitusif atau ekspektoran
KOMPLIKASI

• Epiglotitis
• Otitis media
• Mastoiditis
• Sinusitis
• Demam rematik akut
• Glomerulonefritis pasca-streptokokus
• Sindrom syok toksik

(Kemenkes RI, 2014)


PROGNOSIS

1. Ad vitam :Bonam
2. Ad fuctionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
DEVIASI SEPTUM

• Bentuk septum normal -> lurus di tengah rongga hidung


• Pada orang dewasa -> biasanya tidak lurus sempurna
• Deviasi septum ringan -> tidak mengganggu, tapi apabila deviasi cukup berat
-> menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung

ETIOLOGI
• Trauma : sesudah lahir, inpartu, janin intrauterine
• Ketidakseimbangan pertumbuhan
DEVIASI SEPTUM

TIPE DEVIASI
SEPTUM
GEJALA KLINIS

• Keluhan paling umum yaitu : sumbatan hidung


• Sumbatan hidung dapat berupa unilateral ataupun bilateral
• Pada sisi deviasi : konka hipotrofi, sisi kontraletral : hipertrofi
• Nyeri kepala dan nyeri periorbital
• Penciuman terganggu (deviasi pada bagian atas septum)
• Dapat menyumbat ostium sinus –> predisposisi sinusitis
TERAPI

• Keluhan tidak ada atau ringan : tidak perlu Tindakan koreksi septum
• 2 jenis Tindakan operatif : reseksi submukosa dan septoplasti
• Mukoperikondrium dan mukoperiostium kedua
reseksi submukosa
sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang
septum
• Bagian tulang atau tulang rawan dari septum
diangkat, sehingga mukoperikondrium dan
mukoperiostium sisi kanan dan kiri bertemu di
garis tengah
• Dapat menyebabkan komplikasi saddle nose
(turunnya puncak hidung)
TERAPI

Septoplasty

• Prinsip: tulang rawan yang bengkok di reposisi.


• Hanya bagian yang berlebihan yang dikeluarkan
• Mencegah komplikasi yang ada pada reseksi
submucosa : yaitu perforasi septum dan saddle
nose
RINITIS VASOMOTOR

• Idiopatik tanpa adanya infeksi alergi, eosinophilia,


perubahan hormonal, pajanan obat (antihipertensi, b-bloker,
aspirin, klorpromazin, obat topical hidung dekongestan)
• Rinitis non alergi : Ketika tidak dapat diidentifikasi dengan
pemeriksaan (anamnesis, tes cukit kulit, kada antibody igE
spesifik serum)
ETIOLOGI

• Neurogenik
• Neuropeptida
• Nitrik oksida
• Trauma
GEJALA KLINIS

• Gejala mirip dengan RA, namun gejala dominan adalah hidung tersumbat,
bergantian kanan dan kiri, bergantung pada posisi pasien
• Rinore mucoid serosa
• Tidak ada gejala mata
• Gejala memburuk pada pagi hari dan bangun tidur karena ada perubahan suhu
ekstrim, udara lembab
• 3 golongan gejala menonjol 1) golongan bersin : respon baik dengan AH dan
topical kortikosteroid 2) golongan rinore: respon baik dengan antikolinergik,
3) golongan tersumbat : respon baik topical kortiko dan oral vasokonstriktor
PEMERIKSAAN FISIK

Rinoskopi anterior:
• Edem mukosa hidung, konka warna merah gelap atau
tua, tetapi dapat pula pucat
• Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol
(hipertrofi)
• Cavum nasi terdapat secret mukoid
TATALAKSANA

• Hindari stimulus/pencetus
• Pengobatan simtomatis (dekongestan oral, cuci hidung
dengan NaCl, kauterisasi konka yang hipertrofi dengan
AgNO3 25% atau triklor asetat pekat
• Kortikosteroid topical 100-200 microgram ml
• Hasilnya terlihat min 2 minggu
• Kortikosteroid dalam larutan aqua (flutikason propionate
dan mometason furoat 1x/hari 200 mcg)
• Rinore berat : antikolinergik topical (ipratropium bromide)
TATALAKSANA

• Operasi bedah beku, elektrokauter atau konkotomi parsial


konka inferior
• Neuroktomi n.vidianus

Anda mungkin juga menyukai