Anda di halaman 1dari 18

PERADILAN DI JAWA DAN

LUAR JAWA
Kelompok 3
• Muhammad Fauzansyah
• Mohamad Burhanuddin (19210179)
• Muhammad Bahrul Ilmi An-Najmy (19210186)
PERADILAN DI JAWA
 Eksistensi Peradilan Sebelum Agama Islam Masuk ke Indonesia

Sebelum masuknya Islam, Peradilan Agama di Indonesia di bagi menjadi 3 periode :

1. Peroide Tahkim

2. Periode Ahlul halli wal aqdi

3. Periode Tauliyyah
1. Periode Tahkim

• Pada Periode ini masih awal datangnya Islam tentu saja para pemeluknya
yang baru masih belum terlalu menguasainya, mereka masih banyak
belum tau hal-hal seputar Islam

• Dalam memutuskan suatu perkara, menunjuk seorang ahli untuk


menyelesaikan suatu perkara itu

• Apapun keputusan yang diputuskan oleh orang yang ditunjuk maka orang
yang menunjuk juga harus menyetujuinya
2. Periode Ahlul Halli wal Aqdi

• Pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan cara mengangkat Ahlul Halli


wal Aqdi

• Ahlul Halli wal Aqdi menunjuk orang orang yang terpercaya dan luas pengetahuan untuk
menjadi sesepuh masyarakat

• Selanjutnya, mereka yang telah ditunjuk juga menunjuk para


hakim untuk menyelesaikan sengketa yang ada di masyarakat berdasar musyawarah dan
kesepakatan bersama.
3. Periode Tauliyah

• Cara Tauliyah dan Imam sebagai metode pengangkatan hakim berlaku


setelah
terbentuknya kerajaan kerajaan Islam

• Cara ini dilakukan dengan pelimpahan tugas atau wewenang dari Sultan
selaku kepala Negara

• Kepala Negara tersebut juga punya wewenang untuk menunjuk hakim agar
ditempatkan di wilayah kerajaan tertentu yang telah ditentukan
 Sejarah Eksistensi Peradilan Agama pada Masa
Kesultanan Islam di Jawa

1. Priangan
Pada masa ini terdapat tiga macam pengadilan yang ditemukan, yaitu:
• Pengadilan Agama: Pengadilan untuk menyelesaikan perkara pernikahan dan warisan.
Pengadilan ini memutuskan perkara berdasarkan dasar islam dan pedoman hukum-hukum tang
diterapkan para penghulu.

• Pengadilan Dirmaga : Pengadilan ini menggunakan hukum Jawa Kuno.

• Pengadilan Cilaga : Pengadilan Khusus untuk hal-hal niaga


2. Betawi
• Kelanjutan dari sikap Pemerintah Hindia Belanda pada Peradilan Agama, pada tahun 1828 sesuai
dengan ketetapan Jenderal, tanggal 12 Maret No. 17 khususnya untuk wilayah Jakart (Betawi)
dibentuk satu majelis distrik pada tiap-tiap distrik, yaitu: Komandan distrik sebagai ketua dan
Penghulu masjid dan kepala wilayah sebagai anggota.

• Wewenang dari majelis ini adalah menyelesaikan semua sengketa keagamaan,perkawinan, dan pusaka
sepanjang tidak ada pengaturan dari para pihak dengan akta notaris.

3. Surakarta dan Yogyakarta


• Sebenarnya, wewenang pengadilan agama di Surakarta dan Yogyakarta ini cukup luas. Akan
tetapi, dengan adanya Staatsblad No. 30 Tahun 1847 menyebutkan bahwa penghulu tidak boleh
mengadili suatu perkara yang dahulu mengadili Surambi di zaman pemerintahan Sultan Ageng.
Eksistensi Peradilan Agama di Kesultanan di Pulau Jawa
seperti di Mataram, Banten, Cirebon, dll
1. Pada Masa Krajaan Mataram
• Kerajaan Islam yang sangat Berpengaruh di dalam wilayah pulau jawa adalah kerajaan
Demak ( yang kemudian di ganti dengan kerajaan Mataram ), kemudian di ikuti dengan
Cirebon dan Banten
• Perkembangan Peradilan agama kerajaan Mataram yang paling menonjol pada waktu itu
adalah pada masa Sultan Agung pada tahun 1613 – 1645 yang pada saa itu sebelum
pengaruh Islam masuk dalam system Peradilan, kerajaan mataram masih menggunakan
ajaran Hindu yang masih memengaruhi system peradilan saat itu
• Setelah berubah menjadi Kerajaan Islam, di bawah pemerintahan Sultan Agung mulai di
adakan perubahan dalam system peradilan. Beliau memasukkan Unsur-unsur Hukum dan
Ajaran agama Islam dalam peradilan Pradata dengan Mengusulkan orang-orang yang
memiliki Potensi dalam bidang hukum Islam di lembaga Peradilan.
• kemudian Sultan Agungmengambil kebijakan Politik serta Hukumnya dengan mengisi
lembaga yang telah berkembang di tengah-tengah Masyarakat dengan Prinsip
Keislamannya
2. Kesultanan Banten
• Banten menjadi sebuah kerajaan Islam yang paling ketat melaksanakan Hukum Islam dan tidak
lagi di pengaruhi oleh Hukum Adat, Budha atau Hindu.

• Pengadilan di susun menurut Syari'at Islam

• Pada masa Sultan Hasanuddin memegang kekuasaan di banten hanya ada satu pengadilan yang
di pimpin Qadhi sebagai Hakim Tunggal

3. Cirebon
• di Cirebon, pengadilan di laksanakan oleh ujuh orang mentri yang mewakili Tiga Sultan,
diantaranya yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon
• Semua aturan dan proses beracara dalam persidangan serta pengambilan sebuah keputusan
merujuk kepada perundang-undangan dan Hukum Jawa
• Semua aturan dan proses beracara dalam persidangan serta pengambilan sebuah keputusan
merujuk kepada perundang-undangan dan Hukum Jawa
PERADILAN DI LUAR JAWA
1. Kesultanan Aceh

• Pada masa Kesultanan Aceh, sistem peradilannya sudah berjalan berdasarkan hukum Islam
namun menyatu dengan pengadilan negeri.
• Mulai dilaksanakan dari tingkatan yang terendah, yakni di kampung yang dipimpin oleh keucik
(kepala desa)
• Jika ada yang berperkara, namun tidak puas dengan keputusan tingkat pertama, maka dapat
mengajukan banding ke tingkat selanjutnya yakni tingkat kedua atau Oeloebalang.
• jika putusan yang di jatuhkan oleh Oeloebalang, tidak memuaskan si pencari keadilan, maka
dapat mengajukan banding lagi ke tingakat selanjutnya yakni tingakt ketiga yang biasanya
disebut dengan panglima sagi.
• Apabila keputusan panglima sagi juga tidak memuaskan, maka masih dapat mengajukan
banding lagi kepada sultan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, yang anggotanya terdiri
dari: Malikul adil, orang kaya sri paduka tuan, orang kaya raja bandara, dan faqih (ulama).
2. Jambi
• Pengadilan Agama di Jambi di dasarkan pada Pasal 25 dari Reglement Jambi, Staatsblad 1906 No. 320,
dimana inti pokoknya berisi “ Perkara-perkara yang mulai berlakunya Reglement ini di putus oleh
Pengadilan Agama di Ibu Kota Jambi tetap harus di putus oleh Pengadilan tersebut, atas dasar Pasal 13 RO
dan Pasal 178 R.R”.
• Pada tahun 1903 Jambi di kuasai oleh pemerintahan Sultan
• pada tanggal 1 Juli Reglement Jambi di cabut dan mulai di berlakukan lah Rechtsreglement Buitengewesten
(R.B.G). Dimana di dalam peradilannya tidak ada pengaturan sendiri tetapi dapat di terima, bahwa adanya
Peradilan Agama ini di samping Peradilan Landraad, sebagaimana yang tertera di Pasal 45 R.B.G yang
intinya , Landraad mengadili seluruh perkara yang termasuk dalam ke wenangannya.
• pada tanggal 31 Agustus 1958 berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor B/I/32/1622 di dirikan
Pengadilan Agama Jambi yang berada di wilayah Yuridiksi Pengadilan Tinggi Agama Jambi
3. Palembang

• Di wilayah Palembang suatu Pengadilan Agama dipimpin oleh Pangeran


Penghulu dan Pangeran Penghulu ini merupakan bagian dari struktur
pemerintahan

• penghulu ini di Kesultanan Palembang Darussalam, menganut tiga


sistem peradilan yaitu Pengadilan Agama yang dipimpin oleh Pangeran
Penghulu Nato Agamo, Pengadilan Umum yang dipimpin oleh
Tumenggung Karto Negaro dan ketiga, Pengadilan Adat (Rapat Esak-
Rapat Kecik) yang dipimpin oleh Pangeran Adipati atau Depati.

• Di kalangan istana, kalangan ulama memiliki posisi terhormat dan


memiliki peranan yang penting yaitu sebagai penasihat utama para sultan
4. Bengkulu
• Peradilan agama di Bengkulu pada saat itu keadaanya sama dengan di Ibu Kota
Jambi dan Palembang, yang mana sesuai dengan bunyi Pasal 26 dari Reglement
Bengkulu, Staatsblad 1880 No.32.
• Menurut catatan Mahadi, di Sumatra Barat Peradilan Agama tidak diakui oleh
pemerintah Belanda yang menyebabkan keputusannya tidak sampai kepada
Laanraad untuk memperoleh eksekutor-veklaring. Pengadilan Agama seperti itu
disebut dengan nama “Sidang Jumat” atau “Rapat Ulama”, atau “Rapat Agama”
5. Sumatera Barat
• Peradilan Agama di Sumatra Barat dilakukan dengan peradilan adat yang sudah melembaga, seperti di
daerah Minangkabau serta daerah-daerah berdirinya kerajaan Islam, maka rajalah yang memberi tauliyah
yakni memberikan kekuasaan dari pihak penguasa sebagai pelimpahan wewenang kepada hakim untuk
melakukan tugas-tugasnya dalam peradilan.
• Pada masa ini Belanda juga ikut serta mencampuri sistem peradilan di wilayah
• Belanda melakukan pemisahan peradilan antara peradilan duniawi dengan peradilan agama,
yang mana pada peradilan agama ini dibiarkan saja berlakunya untuk masyarakat setempat. Hal
ini sesuai dengan instruksi pemerintahan Belanda (1982/9) bahwa :
• “….. sedang kepala-kepala pendeta mereka dibiarkan untuk memutus perkara-perkata tertentu
dalam urusan perkawinan dan kewarisan.”

• Namun dalam pelaksanaan peradilan agama Islam ini Belanda mengeluarkan Staatblad 1882
N0. 22 berupa instruksi kepada bupati-bupati untuk mengadakan pengawasan terhadap
pelaksanaan peradilan agama Islam

6. Sumatera Timur

• tahun 1957 di daerah Sumatra Utara terdapat Badan Peradilan Agama,


yaitu Mahkamah Syar’iyah dan Majelis Agama Islam dimana masing-masing
badan peradilan ini diakui sah sebagai Badan Peradilan Negara dengan
berdadarkan pada peraturan yang berbeda.
• Di bentuknya Majelis Agama Islam sebagai kelanjutan dari Majelis Agama Islam
dimasa N.S.T yang pembentukannya berdasarkan penetapan Wali Negara Sumatra
Timur tertanggal 1 Agustus 1950 Nomor 390/1960 termuat dalam warta resmi N.S.T
Nomor 70 Tahun 1950

Adapun Majelis Agama Islam yang pembentukannya berlandaskan pasal 1 Peraturan


Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1953 tersebut berkedudukan di dan untuk daerah sebagai
berikut:
a) Deli Serdang, berkedudukan di Medan
b) Langkat, berkedudukan di Binjai
c) Asahan, berkedudukan di Tanjung Balai
d) Labuhan Batu, berkedudukan di Rantau Prapat
e) Simalungun Karo, berkedudukan di Pematang Siantar

• Tahun 1957 ini, maka semua Badan Peradilan Agama yang telah ada di daerah Sumatra
Utara yakni Mahkamah Syar’iyah di Keresidenan Tapanuli dan Majelis (Pengadilan)
Agama Islam di daerah Sumatra Timur dengan sendirinya bubar, dan sebagai
penggantinya dibentuklah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi. 
7. Lampung
• Di zaman kolonial Belanda , daerah Keresidenan Lampung tidak mempunyai Pengadilan
Agama. Yang ada adalah Pengadilan Negeri atau Landraad yang mengurus sengketa /
perselisihan masyarakat.
• Persoalan atau urusan masyarakat dibilang Agama Islam seperti masalah perkawinan,
perceraian dan warisan ditangani oleh Pemuka Agama, Penghulu Kampung, Kepala Marga
atau Pasirah
• Kemudian dengan persetujuan BP Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Lampung,
keluarlah Besluit P.T. Resident Lampung tanggal 13 Januari 1947 Nomor 13 tentang
berdirinya Mahkamah Syariah Keresidenan Lampung.

8. Bangka Belitung
Pada wilayah ini telah berdiri 3 (tiga) Peradilan Agama, yaitu
a) Pengadilan Agama Pangkalpinang berkedudukan di Pangkalpinang
b) Pengadilan Agama Sungailiat berkedudukan di Sungailiat Bangka
c) Pengadilan Agama Tanjung Pandan berkedudukan di Tanjung Pandan
• Pada tanggal 11 April 2006, Sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2005 terbentuklah
Pengadilan Tinggi Agama Kepulauan Bangka Belitung

• Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Kepulauan Bangka Belitung pada hakekatnya untuk
meningkatkan pelayanan dibidang hukum perdata agama dan seluruh yang menjadi
kewenanggannya dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh keadilan serta demi
tercapainya penyelesaian perkara dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

9. Sulawesi
• Di Sulawesi, integrasi ajaran Islam dan lembaga-lembaganya dalam
pemerintahannya menggunakan system kerajaan
• Terdapat 2 kerajaan besar, yaitu Kerajaan Talo yang merupakan kerajaan
pertama di Sulawesi yang menerima Islam, kemudian disusul oleh kerajaan
terkuat di Sulawesi pada saat itu yaitu Kerajaan Gowa, serta Kerajaan-kerajaan
lainnya di Sulawesi seperti Bone, Wajo, Soppeng, dan Sidenreng
• Mengenai kapan masuknya Islam ke Sulawesi Selatan terdapat dua pendapat,
yaitu pada tahun 1603 dan 1605.
• Terdapan tingkat peradilan pada masa kerjaaan ini yaitu
a. Khatib-Bilal (Tingkat Pertama)
b. Parewa Syara'-Parewa Adek (tingkat kedua)
c. Qadhi (tingkat ketiga)
d. Raja (tingkat terakhir)
Raja
Tingkat terakhir

Qadhi (tingkat
ketiga)
Parewa Syara'-
Parewa Adek
(tingkat kedua)
Khatib-Bilal
(Tingkat Pertama)

Anda mungkin juga menyukai