Anda di halaman 1dari 24

PERIKATAN SEBAGAI SUMBER

HUBUNGAN HUKUM
(HUKUM PERIKATAN)
A. PERIKATAN DAN HUKUM
PERIKATAN
A. Konsep Perikatan
 Perikatan terjemahan Bhs Belanda
“verbintenis”= hal yang mengikat antara
orang yang satu dgn orang lain
 Hal yang mengikat= peristiwa hukum,
berupa:
- perbuatan (perjanjian): jual beli,
hutang piutang, sewa
- kejadian: kelahiran, kematian (UU)
- keadaan: daluarsa, bertetangga (UU)
 Peristiwa hukum menciptakan hubungan hukum
 Hubungan hukum adalah perikatan mengenai harta
kekayaan yang terjadi antara orang satu dan orang
yang lain
B. Hukum Perikatan
 bagian dari hukum harta kekayaan yang mengatur
hubungan hukum orang yang satu dgn orang yang lain
 Hukum Perikatan bersifat terbuka (open sistem): orang
boleh mengadakan perikatan apasaja baik yg sudah
ditentukan maupun belum ditentukan, sepanjang tidak
bertentangan dgn UU, ketertiban umum, kesusilaan
C. HUBUNGAN HUKUM
Adl perikatan mengenai harta kekayaan yg terjadi antara
debitur dan kreditur
 Perikatan: hal yg mengikat berupa peristiwa hukum
 Peristiwa hukum: terjadi krn UU: kejadian, keadaan atau
perjanjian: perbuatan
 Harta kekayaan: benda sbg objek hk
 Debitur: pihak yg wajib memenuhi tuntutan
(berkewajiban): membayar, menyerahkan barang
 Kreditur: pihak yg berhak menuntut, memperoleh,
menerima
Sumber Hubungan Hukum
 Hubungan hk terjadi karena peristiwa hk. Pasal 1233
KUHPt menentukan 2 sumber hub hk (peristiwa hk):
UU (legal) dan perjanjian (kontraktual)
 Hub Hk legal: ditentukan oleh UU: sesuai hukum:
pewarisan, penyelenggaran kepentingan, pembayaran
tanpa hutang, sedangkan tidak sesuai hukum (melawan
hukum): perbuatan melawan hk
 Hub Hk Kontraktual: hubungan hukum yg terjadi
karena perjanjian: jual beli, sewa, perjanjian kredit
D. UNSUR-UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM
BERDASARKAN PASAL 1365 KUHPdt

Pasal 1365 KUHPdt menentukan bahwa


“Setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada
orang lain, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk
mengganti kerugian.”
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPdt, bahwa unsur2 PMH:

1. Adanya Perbuatan
Berbuat “daad” (perbuatan positif) atau tidak berbuat “nalatigheid”
(kelalaian) atau “onvoorzigtigheid (kurang hati-hati) seperti ditentukan
dlm Ps. 1366 KUHPdt
2. Melawan hukum
Sejak adanya Putusan Hoge Raad (MA Belanda) thn 1919 dlm
Lindenbaum-Cohen Arrest, melawan hukum ditafsirkan secara luas,
meliputi:
a. Melanggar hak subjektif orang lain, berarti melanggar kewenangan yg
diberikan hukum kpd seseorang. Yurisprudensi memberi arti hak
subjektif seperti berikut:
(1) Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik;
(2) hak atas harta kekayaan, hak kebendaan, dan hak multak lainnya.
Suatu pelanggaran terhadap hak subjektif orang lain, merupakan
perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu secara langsung
melanggar hak subjektif orang lain dan menurut pandangan dewasa ini
disyaratkan adanya pelanggaran thdp tingkah laku berdasarkan hukum
tertulis atau tidak tertulis yg seharusnya tidak dilanggar oleh pelau dan
tidak ada alasan pembenar menurut hukum.
b. Bertentangan dgn kewajiban hukum pelaku. Kewajiban hukum
diartikan sebagai kewajiban berdasarkan hukum baik tertulis atau
tidak tertulis (termasuk dlm arti ini adl perbuatan pidana pencurian,
penggelapan, penipuan, pengrusakan.
c. Bertentangan dengan kaedah kesusilaan, yaitu bertentangan dengan
norma-norma moral, sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui
sebagai norma hukum
d. Bertentangan dengan kepatutan yg berlaku dlm lalu lintas masyarakat
thdap diri dan orang lain. Dlm hal ini, harus dipertimbangkan
kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain dan mengikuti apa
yang menurut masyarakat patut dan layak. Yg termasuk bertentangan
dgn kepatutan:
(1) Perbuatan ug merugikan orang lain tanpa kepentingan yg layak;
(2) Perbuatan yg tidak berguna yg menimbulkan bahaya bagi orang
lain, yg berdasarkan pemikiran yg normal perlu diperhatikan.
Berdasarkan penafsiran luas, pelanggaran hukum perdata
(PMH) tidak saja meliputi pelanggaran terhadap UU tetapi
meliputi pula pelanggaran terhadap hukum tidak tertulis yg
berlaku dlm masyarakat. Melanggara hak subjektif org lain
dan melanggara kewajiban hukum pelaku merupakan
pelanggaran yg tercakup dlm UU (absolut) sedangkan
bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan merupakan
pelanggaran terhadap hukum tidak tertulis (relatif). Setelah
adanya Arrest 1919, Pengadilan selalu menganut penafsiran
luas mengenai PMH (Rosa Agustina, 2003: 43)
3. Adanya Kesalahan

Istilah kesalahan (schuld) juga digunakan dlm arti kealpaan sebagai lawan dari
kesengajaan. Kesalahan mencakup dua pengertian yaitu kesalahan dlm arti luas dan
kesalahan dlm arti sempit. Kesalahan dlm arti luas, bila terdapat kealpaan dan
kesengajaan; sedangkan kesalahan dlm arti sempit hanya berupa kesengajaan.

Apabila seseorang pd waktu melakukan perbuatan melawan hukum itu tahu betul bhw
perbuatannnya akan berakibat suatu keadaan tertentu yg merugikan pihak lain maka dpt
dikatakan bahwa pada umumnya seseorang tersebut dpt dipertanggungjawabkan.
Syarat untuk dpt dikatakan, bhw seorang tahu betul akan adanya akibat itu, ialah bhw
seorang itu tahu hal adanya keadaan-keadaan yg menyebabkan kemungkinan akibat itu
akan terjadi.

Syarat kesalahan harus diartikan dlm arti subjektif (abstrak) dan dlm arti
objektif(kongkrit). Dlm arti subjektif maka mengenai seorang pelaku pada umumnya
dpt diteliti apakah perbuatan itu dpt dipersalahkan kpdnya, apakah keadaan jiwanya adl
sedemikian rupa ia dapat menyadari maksud dan arti perbuatannya dan apakah si
pelaku pada umumnya dapat dipertanggung jawabkan.
 Ada pun mengenai syarat kesalahan dlm arti objektif maka yg
dipersoalkan apakah sipelaku pada umumnya dpt dipertanggung
jawabkan, dapat dipersalahkan mengenai suatu perbuatan tertentu dlm
arti bahwa ia harus dapat mencegah timbulnya akibat-akibat dari
perbuatannya yg konkrit.

 Pembuat UU menerapakan istilah schuld (kesalahan) dlm beberapa arti


yaitu:
a. Pertanggungan jawab sipelaku atas perbuatan dan atas kerugian yg
ditimbulkan karena perbuatan tersebut;
b. Kealpaan sbg lawan kesengajaan
c. Sifat melawan hukum: usur kesengajaan dlm PMH, dianggap ada
apabila dgn perbuatan yg dilakukan dengan sengaja tersebut telah
menimbulkan konsekuensi tertentu thdp fisik dan/atau mental atau
harta benda korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk
melukai (fisik atau mental) dari korban tersebut.
4. Adanya Ganti Kerugian
 Pelaku PMH berkewajiban membayar ganti kerugian, namun tdk ada
pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian tersebut. Ps. 1371 (2)
KUHPdt menentukan”juga penggantian kerugian ini dinilai menurut
kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan”.
Dlm hal menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat
ringanya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan, kemampuan
kedua belah pihak dan pada keadaan
Dlm PMH, ganti rugi disebut “scade” Bhw hakim berwenang untuk

menentukan berapa pantasnya harus dibayar ganti kerugian, sekalipun


penggugat menuntut ganti kerugian dlm jumlah yg tidak pantas.
Tiap PMH, tidak hanya mengakibatkan kerugian saja, tapi juga dapat

menyebabkan kerugian moril atau idiil yakni ketakutan, terkejut, sakit


dan kehilangan kesenangan hidup.
Penggantian kerugian krn PMH tidak diatur oleh UU. Untuk itu scr

analogis mempergunakan peraturan ganti kerugian akibat wanprestasi


dlm Ps. 1243-1252 KUHPdt (Rosa Agustina, 2003:61)
5. Ada Hubungan Kausal antara Perbuatan dan Kerugian
Ajaran Kausalitas, dlm Hk Perdata digunakan unt meneliti adakah
hubungan kausal antara perbuatan melawan hk dan kerugian yg
ditimbulkan, sehingga sipelaku dpt dipertanggung jawabkan.

Hubungan kausal ada, apabila kerugiannya menurut aturan2


pengalaman sepatutunyalah merupakan akibat yg didapat diharapkan
dari PMH itu. Di sini ada kemungkinan, bhw antara perbuatan dan
kerugian terdapat suatu perbuatan sukarela (dari orang yg dirugian) yg
dpat dikemukakan unt menyangkal, bhw kerugiannya langsung timbul
dari perbuatan yg bersangkutan.

 Untuk menentukan hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian


terdapat perkembangan teori dari Conditio sine qua non, selanjutnya
adequat dan terakhir ajaran Toerekening naar redelijkheid (dapat
dipertanggung jawabkan secara patut/layak)
E. PERJANJIAN
1. Pengertian Perjanjian
Suatu persetujuan (kata sepakat) dgn mana dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri unt melaksanakan suatu hal
mengenai harta kekayaan
2. Unsur Perjanjian
a. Ada pihak-pihak: sedikitnya 2 org (subjek)
b. Ada persetujuan (konsensus/kata sepakat)
c. Ada benda (objek)
d. Ada tujuan yg halal (bersifat kebendaan)
e. Ada bentuk tertentu (lisan atau tertulis)
3. Syarat-Syarat Sah Perjanjian

Ps 1320 KUHPdt, menentukan ada 4 syarat sah perjanjian:


a. Ada persetujuan kehendak para pihak
Persetujuan kehendak (konsensus): kesepakatan, seia sekata
pihak-pihak. Kehendak dpt dinyatakan scr tegas atau diam-
diam(perbuatan).
Persetujuan kehendak harus bebas: tdk ada paksaan, tekanan,
kekhilafan, dan penipuan (Ps 1324 KUHPdt)
b. Ada kecakapan pihak yg membuat perjanjian
Menurut KUHPdt: cakap itu adalah dewasa jika telah berumur
21 thn atau telah menikah sebelum usia 21 thn.
c. Ada suatu hal (objek) tertentu
Objek merupakan pokok perjanjian: prestasi yg yg wajib
dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan.
Jika prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tdk mungkin
maka perjanjian itu batal (nietig/void)
d. Ada tujuan (kausa) yg halal
Kausa=sebab: suatu yg menyebabkan orang membuat
perjanjian: isi perjanjian: menggambarkan tujuan yg hendak
dicapai oleh pihak-pihak= halal= tdk dilarang UU,
ketertiban umum dan kesusilaan
4. Tujuan yang Tidak Halal
Artinya:
a. Dilarang UU: jual beli obat terlarang, minuman keras,
penyelundupan
b. Bertentangan dgn ketertiban umum: jual beli PRT,
anak
c. Bertentangan dgn kesusilaan: menjual kalender
porno, membuka rumah bordil.
5. Akibat Perjanjian
Perjanjian yang memenuhi syarat sah yang
ditentukan UU diakui dan diberi akibat hukum. Sedangkan
yang tidak memenuhi syarat dinyatakan tidak memilliki akibat
hukum bahkan dapat dibatalkan.
 Perjanjian yg memenuhi syarat sah berakibat (Ps 1338
KUHPdt):
a. Mengikat pihak-pihak sbg UU
b. Tidak boleh dibatalkan secara sepihak
c. Dilaksanakan dgn itikad baik (jujur)
 Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat
sah dalam Pasa 1320 BW, berakibat:
a. Tidak dipenuhi syarat subjektif: a. persetujuan bebas
dan b. Adanya kecakapan (dewasa) berakibat dapat
dimintakan pembatalan
b. Tidak dipenuhi syarat objektif: c. Ada objek tertentu dan d.
ada kausa yang halal, berakibat batal demi hukum atau
dianggap tidak pernah ada perjanjian atau tidak pernah
terjadi perjanjian
F. PRESTASI DAN WANPRESTASI
1. Prestasi
 sesuatu yg wajib dipenuhi oleh debitur
 Prestasi adl objek perikatan
 Dlm Hk Perdata: kewajiban memenuhi prestasi dapat
disertai jaminan
 Wujud prestasi (Ps 1234 KUHPdt), berupa:
-Memberikan sesuatu: jualbeli: memberikan
barang yag dibeli, sewa: menyerahkan
rumah yg disewah
-Berbuat sesuatu: membayar harga,
menyerahkan benda jaminan dll
- Tidak berbuat sesuatu: tidak melakukan
persaingan usaha tdk sehat, tidak merusak
benda yg disewa, dll
 Syarat prestasi:
-Harus sudah tertentu atau dpt ditentukan
-Harus mungkin
-Diperbolehkan (halal)
-Ada manfaat bagi kreditur (debitur)
-Dapat terdiri dari lebih dari satu prestasi
2. Wanprestasi
 Tidak memenuhi prestasi yg ditentukan dlm
perikatannya= dlm Hk Perdata: debitur
 Alasan wanprestasi debitur:
- Sengaja/lalai= bertanggung jawab
- Keadaan memaksa (overmact)= tidak
 Bentuk waprestasi
-Tidak memenuhi prestasi sama sekali
-Memenuhi prestasi tetapi keliru/tdk baik
-Memenuhi prestasi tetapi tdk tepat waktu
 Kapan debitur wanprestasi?
Perlu diperhatikan apakah pelaksanaan prestasi dgn
jangka waktu atau tidak
 Debitur perlu diberi peringatan tertulis
-Tdk resmi: surat, fax,sms:
disebut: “Ingeberekestelling”
- Resmi: melalui PN: disebut “Sommatie”
 Akibat wanprestasi: sanksi: “ganti kerugian”
 Akibat wanprestasi yg dapat ditentukan dlm perjanjian
dan diatur dlm KUHPdt:
- Pembatalan perjanjian (Ps 1266 KUHPdt)
- Risiko beralih kpd debitur (Ps 1237 KUHPdt)
- Pemenuhan perjanjian disertai pembayaran
ganti kerugian (Ps 1267 KUHPdt)
- Pembatalan perjanjian disertai pembayaran
ganti kerugian (Ps 1267 KUHPdt)
3. Ganti Kerugian
 Lingkup kerugian: ongkos atau biaya yg dikeluarkan,
kerugian sesungguhnya, bunga atau keuntungan yg
diharapkan
 Ganti kerugian yg harus dibayar
- Dpt diduga ketika membuat perjanjian (Ps 1247
KUHPdt)
- Akibat langsung dr wanprestasi
(Ps 1248 KUHPdt)
- Bunga, krn terlambat membayar hutang (Ps
1250 KUHPdt)
THANKS FOR YOUR ATTENTION
SEE YOU AGAIN

Anda mungkin juga menyukai