Anda di halaman 1dari 8

Agama dan Candunya Orang-

orang
PERNAH dengar kutipan di atas? Kutipan terkenal itu diambil dari pembukaan salah satu
paragraf dalam artikel Karl Marx yang berjudul A Contribution to the Critique of Hegel’s
Philosophy of Rights (1843). Kalimat ini sering ditemui di beberapa literatur dari yang kekiri-
an hingga yang kekanan-an. Seakan menjadi quotesidentik dan selalu tersemat apabila
mengingat nama Marx. Namun apa betul beliau menyatakan demikian? Soal intensi atau
perasaan pribadi beliau, saya cuma bisa bilang wallahu a’lam bish-shawab. Pada kenyataannya
memang tertulis demikian. Lantas apa dengan begitu kita ikut mengiyakan bahwa agama
adalah candu bagi orang-orang? Karena kontroversial bukan kepalang pernyataan tersebut,
apalagi di sini, di Indonesia. Di sinilah letak persoalan obrolan kita, soal kutip mengutip.
Sebelum kita menjawab pertanyaan tadi, mari ngobrol sedikit soal kutipan atau biasa
disebut quotes.
Kutipan menurut KBBI ialah pengambilalihan suatu kalimat atau lebih dari karya tulisan lain
untuk tujuan ilustrasi atau memperkokoh argument dalam tulisan sendiri. Kutipan
atau quotes sering hadir di keseharian kita. Kutipan yang saya bahas kali bukanlah kutipan
yang muncul di karya ilmiah, tapi yang sehari-hari muncul di halaman pertama buku, di
status facebook, twitter, meja kantor rekan Anda hingga celetukan-celetukan teman di tempat
nongkrong. Sumbernya beragam, ada yang dari peribahasa, pepatah, kitab suci, dari novel,
dari lirik lagu hingga kata-kata bijak seseorang. Beberapa membuat hati kita menjadi bahagia,
beberapa juga membikin gegana (gelisah, galau, merana), lho kenapa? Kok bisa ya?
Lanjutan
Pertama, karena terkadang tidak semua kutipan relevan dengan realita dunia.
Misalnya kalau Anda pernah mendengar quotes “Cintai apa yang kamu kerjakan dan
kerjakan apa yang kamu cintai. Jangan dengarkan orang lain yang mengatakan
kepadamu untuk tak melakukannya. Kau lakukan apa yang kau mau, yang kau suka.
Imajinasi harus menjadi pusat dari hidupmu.” Kalimat ini digagas oleh seorang
novelis Amerika Serikat bernama Ray Bradbury. Di satu sisi dan di dalam kondisi
tertentu, kata-kata ini sungguh menyegarkan hati. Seakan kita mampu melakukan
apa saja yang ingin kita lakukan. Nyatanya setiap pilihan keputusan dalam hidup
kita tak terlepas dari pengaruh kebudayaan dan relasi-relasi sosial. Kita secara sadar
tak sadar dikondisikan oleh kebiasaan hidup di dalam kebudayaan kita masing-
masing. Dari cara berjabat tangan, cara makan, memilih jurusan kuliah, memilih
pekerjaan hingga memilih pasangan hidup. Memang betul kita memiliki kebebasan,
tapi tidak betul-betul bebas, kita pasti selalu terikat akan budaya atau relasi kita
dengan orang lain. Coba pikirkan bagaimana Anda tidak mungkin minum es kelapa
muda hanya dengan berimajinasi atau dengan mudahnya mengambil segelas dari
pedagangnya tanpa membayar. Bayangkan kandasnya cinta hanya karena dia yang
Anda kasihi mengucap syukur dan memohon kepada-Nya dengan cara yang
berbeda. Mau tidak mau, suka tidak suka Anda yang lahir di bumi harus mengikuti
cara hidup beserta aturan-aturan main di bumi. Jadi seperti itulah
adanya, quotes bersifat relatif, relevan pada suatu kondisi tertentu dan belum tentu
relevan di dalam kondisi yang lainnya.
Lanjutan
Belum lagi kalimat “Cintai apa yang kamu kerjakan dan kerjakan apa yang
kamu cintai.” Kalimat ini mungkin hanya relevan bagi mereka yang benar-
benar mencintai apa yang mereka kerjakan. Lantas bagaimana dengan
mereka yang berdiri delapan jam bermandikan keringat dan belum tentu
bisa menabung? Masihkah mereka mampu mencintai selain karena tak
lagi ada pilihan? Inilah bukti bahwa pernyataan tersebut belum tentu
relevan di semua kondisi. Di sisi lain, ia menaburi kelas pekerja dengan
pasir tidur agar kesadaran kelasnya tidak terbangun dari lelap.
Meninabobokan para proletariat dengan mimpi menjadi Jack Ma atau
Nadiem Makarim, alih-alih bangun untuk berorganisasi membela haknya
sebagai kelas yang dieksploitasi. Boleh saja kita berimanjinasi, sayangnya
dunia sering tak sejalan dengan imajinasi. Hasil penilitian Oxfam yang
dibahas di Koran Kompas Rabu, 24 Januari 2018, menyatakan bahwa
jajaran warga terkaya secara global yang jumlahnya diperkirakan hanya 1
persen dari total warga dunia menguasai sekitar 82 persen dari aset global
hingga tahun 2017 kemarin. Jadi mimpi Anda menjadi Bill Gates
peluangnya hanya sekian sekian banding sekian sekian, sekian pula nasib
Anda. Menyebalkan? Ya memang, tapi seperti itulah realita.
Lanjutan
Kedua, tidak semua kutipan dapat dijadikan pedoman hidup di dalam setiap
keadaan. Misalnya ada lagi pepatah yang berbunyi “Ketidaktahuan adalah
Kebahagiaan.” Kalimat lengkapnya berbunyi: “Ketidaktahuan adalah
Kebahagiaan, bodoh untuk menjadi bijaksana.” Diungkapkan oleh seorang
penyair Inggris bernama Thomas Gray di abad ke-18 dan masih terkenal hingga
hari ini, khususnya baris pertamanya. Kutipan ini sering digunakan oleh mereka
yang lebih memilih tidak mengetahui apa-apa tapi bahagia, ketimbang
mengetahui namun tidak bahagia. Terkadang kalau dipikir-pikir, ada betulnya
kalimat itu. Ketika Anda berlibur ke perdesaan di Jawa Tengah, menikmati
suasana jauh dari kebisingan sambil memanjakan mata melihat hamparan indah
sawah nan hijau. Sejenak Anda bersyukur dan berbahagia merasakan nikmatnya
hidup di negara kepulauan dengan iklim tropis ini. Namun rasa bahagia itu
seketika memudar ketika sambil berleha-leha di pematang sawah Anda
membaca laporan riset kaum tani oleh D.N. Aidit yang berjudul “Kaum Tani
Mengganyang Setan-setan Desa.” Sehabis menutup buku, Anda akan tersadar
bahwa di balik hijaunya permadani terdapat titik-titik keringat dan darah kaum
tani yang menetes. Hidup ini indah rasanya bila kita tidak mengetahui
kenyataan itu. Beberapa dari Anda mungkin memang tidak tahu, beberapa lagi
memilih tidak tahu atau yang lainnya lagi bahkan pura-pura tidak tahu.
Lanjutan
Di sudut lain, kutipan “Ketidaktahuan adalah Kebahagiaan” ini
bukan lagi menjebak ke dalam ke-tidak tahu-an namun akhirnya
mengarah kita kepada ke-tidak ingin tahu-an. Mengetahui suatu
hal yang tidak benar sedang terjadi, namun kita berlaku layaknya
semua sudah benar-benar saja. Padahal jika dipikir ulang, tidak
tahu apa-apa belum tentu bahagia. Bagaikan bayi yang menarik-
menarik ekor harimau sumatera, mereka yang tidak tahu atau
tidak ingin tahu merasa tenang sampai ia sendiri diterkam.
Gejala ini juga hadir di antara kelas pekerja yang baru menyadari
bahwa mereka juga termasuk dalam kategori buruh ketika
mereka mulai kehabisan uang, kesulitan menabung hingga di-
PHK. Oleh karena selalu ada kemungkinan bahaya yang
mengintai di sekitar kita, maka minimal kita harus mencoba
mengetahui. Karena selalu ada kemungkinan penghisapan nilai-
lebih, maka buruh harus mengetahui dan beserikat. Sebab
mengetahui banyak hal pun juga belum tentu tidak bahagia.
Lanjutan
Kembali lagi ke kutipan Marx di awal tulisan ini. Kalimat lengkapnya tertulis seperti
ini: “Penderitaan keagamaan merupakan, pada suatu saat dan bersamaan, merupakan
ekpresi dari penderitaan sesungguhnya dan protes terhadap penderitaan sesungguhnya.
Agama adalah keluhan dari mahkluk yang tertindas, hati dari dunia yang tak berhati,
dan jiwa dari keadaan yang tak berjiwa. Ia merupakan candu dari orang-orang” Nah
sekarang jadi jelas. Ternyata kalimatnya tidak sesingkat yang selama ini kita ketahui.
Lebih lengkap lagi apabila Anda membaca kalimat-kalimat dari paragraf sebelum dan
juga sesudahnya. Terdapat kalimat seperti berikut: ”Perjuangan terhadap agama, oleh
karena itu, secara tidak langsung perjuangan melawan dunia yang mana aroma
spiritualnya ialah agama.” Bahwa perjuangan melawan agama ialah perjuangan
melawan dunia itu sendiri. Dunia dengan masyarakat dan negaranya yang
memanfaatkan agama sebagai riasan serta gaun untuk menutupi kebobrokannya. Jadi
ketika seorang penari cantik bergaun indah berdansa lalu terantuk kakinya dan
terjatuh, bukan riasan atau gaunnya yang mesti dievaluasi, namun justru sang
penarinya. Senada dengan itu, kalimat selanjutnya berbunyi demikian: “Kritisisme
telah memetik bunga imajiner pada rantai bukan supaya manusia terus melanjutkan
mengenakan rantai itu tanpa fantasi atau harapan, namun supaya ia bisa membuang
rantai itu dan memetik bunga yang hidup.” Marx menegaskan bahwa kritisisme
haruslah tepat sasaran kritiknya, dalam hal ini kritik terhadap ekonomi-politiklah yang
harus kita lancarkan, bukan kritik atas agama. Sebab kepentingan ekonomi-politiklah
yang seringkali meminjam agama sebagai alat kepentingannya
Lanjutan
Di akhir pembahasan soal agama itu, Marx menulis: “Oleh karena itu tugas
sejarah, ketika kebenaran dunia-lain telah menghilang, untuk menetapkan
kenyataan dari dunia ini. Ini merupakan tugas yang segera dari filsafat, yang
mana tugasnya dalam sejarah, untuk melepaskan topeng keterasingan diri di
dalam wujud tak sucinya saat wujud suci dari keterasingan diri manusia telah
dilepaskan. Oleh karena itu, kritisisme surga harus berubah ke kritisisme
dunia, kritisisme dunia ke kritisisme hukum, dan kritisisme teologi ke
kritisisme politik.” Inti dari penjelasan Marx yaitu supaya kritik mampu
melampaui apa yang terlihat di permukaan, tidak menyasar bayang-bayang
dan mampu menyampaikan pesan kebenaran yang ilmiah. Hal ini
mengingatkan kita bahwa ada suatu mekanisme di balik gejala tampakan
agama, yang mana berperan besar dalam semua gejala di masyarakat.
Mekanisme tersebut tak lain ialah kenyataan soal relasi ekonomi-politik. Jadi
sekarang kita sudah cukup paham bahwa Marx tidak bermaksud
menyimpulkan bahwa agama ialah candu, namun ia mengajak kita
membedah apa yang terjadi di dalam masyarakat kita dewasa ini. Suatu
kondisi masyarakat yang memungkinkan agama selalu hadir menjadi penawar
luka atau bahkan menjadi candu. Soal ini akan saya bahas lain kali.
Lanjutan
Kiranya inilah keuntungan dari membaca yang tidak setengah-setengah dan mengutip
tidak hanya sekedar mengutip. Sehingga kita tidak mudah terjebak dan terburu-buru
mengambil kesimpulan. Sebab membaca itu bukan hanya soal membaca kalimatnya
saja, namun memahami maknanya dan jangan menjadi buta huruf fungsionall.
Memang sih, terkadang kita lebih memilih membaca apa yang ingin kita baca, seperti
hanya melihat apa yang ingin kita lihat dan mendengar apa yang kita ingin dengar.
Sebetulnya sah-sah saja. Namun, lain cerita jika kita berpikir dengan cara berpikir
materialisme dialektis historis. Martin Suryajaya lewat bukunya Materialisme Dialektis
(2012) pernah menjelaskan menurut Lenin bahwa premis pertama materialis dialektis
adalah realisme. Meski yang dimaksud Lenin bukan realisme biasa, namun kurang
lebih realisme artinya memandang bahwa dunia materi di luar kesadaran ada sebagai
sesuatu yang nyata. Jadi artinya dalam proses berpikir materialisme dialektis historis
kita harus mampu menerima kenyataan material objektif dan kalau bisa
mengesampingkan dahulu yang subjektif. Boleh saja Anda mengutip kalimat-kalimat
untuk dijadikan quotes kesukaan Anda, namun sebaiknya jangan lupa menambahkan
kata “terkadang”, “sebagian” atau “beberapa” di setiap awal atau akhir kalimat kutipan.
Contohnya seperti “Terkadang, Ketidaktahuan adalah Kebahagiaan” atau bahkan
“Cintai apa yang kamu kerjakan dan kerjakan apa yang kamu cintai, untuk sebagian hal
dan beberapa hal” yang agaknya lebih pas untuk menjadi quotes Anda. Sebab sebagus-
bagusnya quotes yaitu quotes yang bisa dipraktikkan dan tentunya sesuai situasi
kondisi yang ada.

Anda mungkin juga menyukai