Anda di halaman 1dari 9

KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI LISAN

NUSANTARA

Oleh
Afrina Juwita
(180740015)
A. Pendahuluan
Tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi
yang lisan dan yang beraksara” atau dikatakan juga sebagai “sistem
wacana yang bukan aksara” (Pudentia MPSS, 1998:vii).Menurut Dundes
(1965:2) folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal
fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-
kelompok lainnya. Yang dimaksud dengan loreyaitu sebagian
kebudayaannya, yang diwariskan turun-menurun secara lisan atau
melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pengingat (mnemonic device). Definisi folklor yaitu sebagian kebudayaan
suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-menurun, di antara
kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,
baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai alat pembantu
pengingat (mnemonic device) (Danandjaja, 1984:2).
B. Hakikat Pengetahuan dan Kearifan Lokal

Ada tiga istilah yang sering digunakan secara tumpang tindih, yaitu
pengetahuan lokal (local knowledge), kearifan lokal (local wisdom),
dan kecerdasan setempat (local genius). Konsep kearifan lokal atau
kearifan tradisional atau sistem pengetahuan lokal (indigenous
knowledge system) adalah pengetahuan yang khas milik suatu
masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama
sebagai hasil dari proses hubungan timbal balik antara masyarakat
dengan lingkungannya (Marzali dalam Mumfangati, dkk. 2004). Jadi
konsep sistem kearifan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan
pengelolaan lokal atau tradisional.
C. Dimensi Kearifan Lokal
Menurut Ife (2002) kearifan lokal memiliki enam dimensi, sebagai
berikut ini : (1) Dimensi Pengetahuan Lokal yaitu pengetahuan lokal
yang terkait dengan lingkungan hidupnya, (2) Dimensi Nilai Lokal yaitu
aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh
seluruh anggotanya, (3) Dimensi Keterampilan Lokal yaitu kemampuan
bertahan hidup (survival) seperti berburu, meramu, bercocok tanam
maupun membuat industri rumah tangga, (4) Dimensi Sumber Daya
Lokal yaitu sumber daya yang tak terbarui dan yang dapat diperbarui
yang digunakan oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhannya dan
tidak akan mengeksploitasi secara besar-besar atau dikomersialkan,
(5) Dimensi Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal, (6) Dimensi
Solidaritas Kelompok Lokal yaitu dipersatukan oleh ikatan komunal
untuk membentuk solidaritas lokal.
D. Etiket, Moralitas, dan Budi Pekerti dalam Budaya Jawa
Pelbagai kitab, folklor, dan seni pertunjukan Jawa, misalnya serat-serat
dan wayang Jawa, menekankan pentingnya etika sebagai praksis hidup
dan kehidupan (periksa Saryono, 2007:43). Etiket lebih berbicara
tentang kesopansantunan-ketidaksopansantunan, sedangkan moralitas
lebih berbicara tentang kebaikan-keburukan. Hal ini mengimplikasikan
bahwa etiket dan moralitas budaya Jawa berbicara tentang
kesopansantunan dan kebaikan menurut persepsi pemangku budaya
Jawa.etiket dan moralitas budaya Jawa tidak hanya mempersoalkan
kebaikan keburukan (becik, apik, ala), tapi juga persoalan
kesopansantunan-ketidaksopansantunan atau kepantasan-
ketidakpantasan (unggah-ungguh, pakarti, pantes, tatakrama).
E. Nilai Moral Utama Universal

Dua nilai moral utama yang bersifat universal, yaitu: (1) sikap hormat,
dan (2) bertanggung jawab.Nilai-nilai rasa hormat dan bertanggung
jawab tersebut sangat diperlukan untuk: (1) pengembangan jiwa yang
sehat, (2) kepedulian akan hubungan interpersonal, (3) sebuah
masyarakat yang humanis dan demokratis, (4) dunia yang adil dan
damai (Lickona, 2013:69-70).
F. Karakter yang Baik
Karakter terbentuk dari tiga aspek yang saling terkait, yaitu pengetahuan
moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Karakter yang baik terdiri
atas mengetahui kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan
kebaikan – kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan perbuatan
(Lickona, 2013:72).Lickona (2012:16-21) menyatakan ada sepuluh esensi
kebajikan untuk membangun karakter yang kuat, yakni: (1) kebijaksanaan
(wisdom) yaitu penilaian yang baik; (2) keadilan (justice) berarti
menghormati hak-hak semua orang; (3) keberanian (fortitude). ; (4)
pengendalian diri (temperance) berarti kemampuan untuk mengatur diri
kita sendiri; (5) cinta berarti keinginan untuk mengorbankan diri demi
kepentingan yang lain; (6) sikap positif. Kekuatan karakter tentang
harapan, antusiasme, fleksibilitas, dan rasa humor adalah bagian dari
sikap positif; (7) bekerja keras mencakup inisiatif, ketekunan, penetapan
tujuan, dan kecerdikan; (8) integritas berarti mengikuti prinsip moral; (9)
Lickona (2012:16-21) menyatakan ada sepuluh esensi kebajikan untuk
membangun karakter yang kuat, yakni: (1) kebijaksanaan (wisdom) yaitu
penilaian yang baik; (2) keadilan (justice) berarti menghormati hak-hak
semua orang; (3) keberanian (fortitude). ; (4) pengendalian diri
(temperance) berarti kemampuan untuk mengatur diri kita sendiri; (5)
cinta berarti keinginan untuk mengorbankan diri demi kepentingan yang
lain; (6) sikap positif. Kekuatan karakter tentang harapan, antusiasme,
fleksibilitas, dan rasa humor adalah bagian dari sikap positif; (7) bekerja
keras mencakup inisiatif, ketekunan, penetapan tujuan, dan kecerdikan;
(8) integritas berarti mengikuti prinsip moral; (9) syukur; (10) kerendahan
hati.
G. Penutup
1. Penggalian pengetahuan dan kearifan lokal dalam tradisi lisan
Nusantara perlu dilakukan secara komprehensif dan holistik guna
menunjang pengembangan pendidikan karakter bangsa di sekolah,
keluarga, dan masyarakat.
2. Pengetahuan dan kearifan lokal dari berbagai etnik (baca:
masyarakat tradisional) yang ada di Nusantara tidak ada yang
bertentangan dengan nilai-nilai moral utama yang bersifat universal
(meskipun ada yang berbeda), bahkan memperkaya nilai-nilai moral
tersebut. Pendidikan karakter bangsa sebaiknya mengangkat
pengetahuan dan kearifan lokal Nusantara daripada meng-impor nilai-
nilai moral dari bangsa lain (bangsa Amerika dan Eropa), yang
terkadang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai
contoh, bangsa Indonesia memiliki konsep ‘musyawarah untuk mufakat’
dalam berdemokrasi

Anda mungkin juga menyukai