Sosialisme Dan Kemubazziran
Sosialisme Dan Kemubazziran
Tantangan besar sosialisme di ranah kebudayaan, karenanya, ialah memberikan ruang bagi
gairah pada hal-hal yang “tak berguna”, atau setidaknya “nyaris tak berguna”. Sosialisme
yang baik adalah sosialisme yang mengakomodasi kemubaziran, yang tidak mengharuskan
segala-galanya tepat guna sekarang juga, yang memaklumi bahwa pemikiran dan imajinasi
bekerja pada ruang dan waktu yang berbeda, dengan cara kerjanya sendiri. Ini persoalan
yang gampang-gampang susah. Bagaimana caranya memberi tempat pada para revolusioner
linglung semacam itu? Inilah tantangan sosialisme di ranah kebudayaan yang mesti
dijawab, selain tantangan-tantangan besar yang sering dibahas.
Kesimpulan
Persoalan ini tidak eksklusif berlaku pada fase pembangunan sosialisme awal, tetapi juga jauh sebelumnya, yakni pada
masa-masa gerakan sosial dan kepartaian pra-revolusi. Bagaimana partai Marxis menyikapi para pemikir, seniman dan
ilmuwan mubazir? Tentu saja, partai Marxis akan mudah mengambil posisi terhadap para ekonom, sosiolog atau
antropolog, karena ilmu-ilmu yang mereka dalami berguna dan relevan bagi tujuan-tujuan revolusi. Akan tetapi, terhadap
yang selebihnya, persoalannya jadi lebih pelik. Untuk apa mengonsolidasi segelintir orang yang tak berguna? Untuk apa
membuang tenaga membangun kerjasama dengan filolog asosial, komponis apolitis, pemikir pemalu, matematikawan
apatis? Pertanyaan semacam ini memang tak mudah dijawab. Akan tetapi, boleh jadi kemenangan revolusi ikut ditentukan
oleh jawaban partai terhadap hal-hal semacam itu. Sebab revolusi bukan cuma soal pengerahan tenaga politik, tetapi juga
budaya.
Tiap kali berbicara tentang yang mubazir dalam sosialisme, kita mau tak mau teringat pada Dimitri Shostakovich.
Komponis Soviet itu dibenci oleh Stalin dan para petinggi partai akibat opera Nyonya Macbeth dari Distrik Mtsensk yang
penuh olok-olok. Karyanya yang begitu pelik, seperti Simfoni 4, batal tampil akibat tekanan para apparatchik. Ia dipaksa
menggubah lagu-lagu tepat guna seperti mars untuk para tentara merah dan waltz untuk acara kondangan para pembesar
partai. Ia terus berusaha menciptakan karya-karya serius. Konon, ia selalu membawa koper yang berisi pakaian dan
beberapa buku, bukan untuk melarikan diri dari Soviet, melainkan agar semuanya sudah siap ketika ia suatu kali diciduk
aparat dan dibuang ke Siberia. Ia merelakan dirinya dipermainkan oleh para birokrat partai, oleh gerombolan kera
medioker yang memegang kuasa, tanpa sekalipun berusaha meninggalkan Uni Soviet. Tapi Shostakovich adalah seorang
Marxis. Ia masih percaya pada ideal-ideal sosialisme. Ia tak ingin ideal itu runtuh dengan pelarian dirinya ke Blok Barat.
Ia seperti sadar betul: ia punya masalah dengan pemerintahan sosialis yang ada kala itu, bukan dengan sosialisme itu
sendiri.
Terhadap kesediaannya untuk ditindas beruk-beruk dari Kremlin sembari berpegang teguh pada sosialisme, kita perlu
angkat topi. Akan tetapi, kita tak bisa mengandaikan semua pemikir, seniman dan ilmuwan mubazir bersikap seperti
Shostakovich. Untuk itu, kita masih harus memikirkan cara mendudukkan problem kemubaziran dalam kerangka
sosialisme dan gerakan sosialis.