Anda di halaman 1dari 9

Argumen Islam Untuk

Penghapusan Kekerasan Seksual


DALAM kitabnya, Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah,  Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi
menggariskan apa yang beliau sebut sebagai ‘tujuan-tujuan syariah’ ( maqasid asy-syariah).
Bagi Asy-Syathibi, setiap bentuk syariat Islam yang diturunkan oleh Allah memiliki tujuan
kemaslahatan bagi umat manusia, dan syariah menurut beliau sangat erat kaitannya
dengan perlindungan atas kebutuhan manusia. “Perlindungan” ( muhafazhah) menjadi kata
kunci dari tujuan syariat (al-maqasid asy-syariah).
Menurut Asy-Syathibi, ada lima bentuk kebutuhan manusia yang sifatnya dasar ( dharuriyat)
dan menjadi tujuan utama dari Syariat Islam, antara lain:
1) Me­melihara agama (al-muhafadhah ‘ala al-din);
2) Memelihara jiwa (al-muhafadhah ‘ala al-nafs);
3)Memelihara akal pikiran (al-muhafadhah ‘ala al-‘aql);
4) Memelihara keturunan (al-muhafad­hah ‘ala al-nasab); dan
5) Memelihara harta/ properti (al-muhafadhah ‘ala al-mal). Kelimanya membangun satu
kesatuan.
Lanjutan
 Ulama-ulama kontemporer menafsirkan makna syariah dari konteks ‘perlindungan’
tersebut  menjadi lebih luas. Jasser Auda, misalnya, dalam kitab komprehensifnya yang
mendiskusikan Maqasid Syariah, memperluas makna ‘muhafazhah’ tidak hanya dalam
konteks diin yang bersifat ritual (ubudiyah mahdhah), tetapi juga mencakup hal-hal yang
bersifat sosial (muamalat duniawiyat). Konsekuensinya, menurut Auda,
 Maqasid harus bersifat ‘terbuka’ terhadap perkembangan keilmuan terbaru, interpretasi
filosofis yang berkesinambungan, dan beradaptasi dengan tantangan-tantangan
kontemporer yang melampaui ruang dan waktu.
 Ini bukan berarti ada ‘perubahan’ dalam syariah. Dalam hal ini,
konsepsi Maqasid mengajak kita untuk melakukan ‘kontekstualisasi’ atas syariah, dengan
berpijak pada satu kaidah yang dikenal oleh para ulama: “ al-ashlu fil ashya’ al-ibahah
hatta yadullu ad-dalill ‘ala at-tahrimiha ” (asal hukum dari muamalat adalah halal sampai
ada dalil yang mengharamkannya). Syamsul Anwar, dalam satu bahasannya
tentang Maqasid,membangun empat dimensi Maqasid:
 (1) hubungan antara manusia dengan dirinya;
 (2) hubungan antara manusia dengan manusia yang lain;
 (3) hubungan antara manusia dengan masyarakat yang lebih luas; dan
 (4) hubungan antara manusia dan lingkungan non-manusia.
 Makna dari perlindungan, dalam konteks ini, harus dipahami tidak saja lebih kontekstual
tapi juga komprehensif.
Lanjutan
 Tahun 2018, publik digegerkan dengan satu laporan kritis dan
mencengangkan dari Balairung: seorang mahasiswi dari kampus ternama di
Yogyakarta mengalami pelecehan seksual justru ketika melakukan aktivitas
akademik: Kuliah Kerja Nyata (KKN). Bahkan, menurut deskripsi
dari Balairung, yang terjadi bukan sekadar pelecehan, tetapi juga
perkosaan. Kasus bergulir. Masalahnya bukan hanya soal terjadi perkosaan,
tapi juga soal respons institusi yang mengecewakan. Hal yang
mengantarkan publik –terutama di kampus tersebut—untuk menggulirkan
gerakan #KitaAgni sebagai respons terhadap masalah yang ada.
 Kelanjutan kasus tersebut bak drama. Tanpa ada angin dan hujan, justru
wartawati-wartawan Balairung tersebut yang dipanggil dan diperiksa oleh
polisi. Akhirnya, setelah banyak pertimbangan, kuasa hukum mengambil
langkah non-litigasi untuk menyelesaikan persoalan.
 Sebelumnya, muncul berita tentang Baiq –seorang mantan pegawai tata
usaha yang menjadi korban pelecahan seksual di sekolah oleh atasannya,
dan melawan balik. Naasnya, si pelaku justru melaporkannya ke kepolisian
dan Nuril Baiq di pidana. Nuril Baiq kemudian masuk penjara dan pelaku
justru mendapatkan promosi jabatan hingga ke Dinas di daerahnya.
Lanjutan
 Di saat yang bersamaan, DPR sedang menggodok satu Rancangan Undang-
Undang yang merespons masalah serupa: RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual. RUU ini memberikan dasar hukum yang lebih tegas untuk
melindungi perempuan dan anak-anak dari kekerasan seksual –dengan
berbagai variannya. RUU masih berada dalam perdebatan –terutama untuk
memastikan kerangka hukum yang diberikan bisa lebih tegas dan
melindungi korban alih-alih membuka ruang kriminalisasi.
 Namun, tiba-tiba muncul kampanye lain yang menyebut RUU ini
mengancam ketahanan keluarga, mendorong perzinaan, atau membuka
ruang artikulasi seks bebas dan LGBT, sehingga dipandang bertentangan
dengan nilai-nilai “ketimuran” dan agama. Argumennya, RUU ini didorong
oleh kelompok feminis radikal yang “liberal”, dan bertentangan
dengan worldview Islam. Atas dasar itu, alih-alih memperdebatkannya
dengan argumen Islam yang jelas, kampanye tersebut justru mendorong
penghentian pembahasannya.
Lanjutan
 Apakah Islam tidak mendorong penghapusan kekerasan seksual?
Bagaimana posisi Islam terhadap perempuan dan anak-anak?
Bagaimana konstruksi ‘perlindungan terhadap perempuan’ dalam Islam?
 Saya yakin semua orang akan sepakat bahwa wanita dimuliakan dalam
Islam. Al-Qur’an menempatkan perempuan dan laki-laki sama
derajatnya di sisi Allah. Secara historis,  Ummul Mu’miniin Aishah adalah
seorang ulama dan pejuang. Jasser Auda mencatat bahwa hampir semua
imam Mazhab sanad keilmuannya tersambung ke Aishah, menunjukkan
derajatnya yang mulia di sisi Allah. Jika kita lihat secara historis pula,
Islam membebaskan perempuan dari sistem sosial patriarki Arab di
zaman Jahiliyah (misalnya, yang tidak membatasi orang untuk menikah
atau membunuh bayi perempuan) menjadi memiliki hak.
 Di sisi lain, Islam juga menghargai institusi keluarga dan melarang
kekerasan dalam rumah tangga. Islam juga mengatur  talak (perceraian)
sebagai solusi jika memang ada ketidakcocokan dalam rumah tangga –
dengan tujuan melindungi perempuan dan laki-laki dari kekerasan
dalam rumah tangga akibat dari cekcok keluarga tersebut.
Lanjutan
 Dengan demikian, Islam sebetulnya juga punya semangat yang sama dengan
perjuangan kaum perempuan untuk mendorong penghapusan kekerasan seksual. Ini
bukan hanya kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga, tetapi juga di tempat
kerja.
 Pada titik ini, penting untuk melihat konteks yang lebih kontemporer –yang
memungkinkan Islam untuk ‘bicara’ lebih lantang pada patriarki. Perlu dicatat bahwa
patriarki tidak identik dengan agama tertentu. Sejarah  patriarki (“patriarch” “atau “pater
man”, kepala rumah tangga) sendiri sangat khas Romawi, dimana imperium Romawi
dibangun di atas fondasi patriarch yang memerintah keluarga ‘besar’ lengkap dengan
budak-budak dari negeri taklukan mereka. Sistem ini bertahan bahkan hingga setelah
imperium Romawi runtuh, dan diserap oleh banyak komunitas Barat. Sistem sosial yang
sangat maskulin, dan jelas bukan sesuatu yang cocok dengan Islam.
 Dan sayangnya, jejak-jejaknya masih terasa hingga saat ini. Kapitalisme modern yang
bekerja di atas budaya kerja patriarki kerap tidak menghargai hak-hak buruh
perempuan, seperti hak untuk cuti hamil, hak untuk mendapatkan keringanan kerja
ketika haid, atau gap dalam upah yang diterima oleh buruh perempuan dengan buruh
laki-laki. Banyak kasus yang memperlihatkan bahwa di tempat kerja, relasi-kuasa yang
timpang membuat banyak terjadi ketimpangan berbasis gender.
 Kasus ‘Agni’ atau Nuril Baiq menjadi salah satu contoh kontemporer dimana posisi yang
tidak setara –dan dominatif— antara laki-laki dan perempuan justru memungkinkan
munculnya kekerasan seksual. Bahkan bukan hanya perempuan dan anak-anak yang
menjadi korban. Di wilayah konflik, yang menjadi korban juga adalah laki-laki, yang
mengalami pelecehan seksual ketika perang.
 Artinya, posisi perempuan dalam sistem sosial hari ini, perlu dilihat kembali dalam
perspektif Islam. Persoalannya, dengan cara seperti apa?
Lanjutan
 Di sinilah argumen Islam untuk penghapusan kekerasan seksual menjadi penting.
Perlu adanya pembacaan ulang mengenai masalah kekerasan atau –jika ingin—
kejahatan seksual terhadap perempuan ini dalam dua perspektif: Hukum Islam dan
Ilmu-Ilmu Sosial. Keduanya terkait satu sama lain.
 Pendekatan maqasid mungkin akan membantu kita untuk merevitalisasi argumen-
argumen Islam untuk penghapusan kekerasan seksual dan, secara lebih luas,
perlawanan terhadap kapitalisme patriarkis. Imam Asy-Syathibi sudah menggariskan
konsepsi Muhafazhah ‘ala al-nafs (melimdungi diri sendiri)dan muhafazhah ‘ala al-
nasab (melindungi keturunan). Konsepsi Muhafazhah ala al-nafs bisa diartikan
melindungi diri dari segala macam bentuk bahaya. Termasuk, dalam hal ini, bahaya
yang terkait dengan kekerasan seksual. Konsekuensi lain adalah melindungi
keturunan dari bahaya-bahaya serupa.
 Islam sudah menggariskan satu prinsip penting bahwa agama, “laa dharaar wa laa
dhiraar” (tidak berbahaya dan tidak mendatangkan bahaya) (HR. Al-Baihaqi). Prinsip
ini mengisyaratkan bahwa segala macam bentuk bahaya harus dienyahkan (adh-
dhararu yuzaal). Oleh karena itu, mazhab Maliki memiliki satu konsep menarik, “sadd
ad-dara’I” (menutup jalan). Maksudnya, jika ada hal-hal yang mendorong ke arah
sesuatu yang sifatnya mudharat, maka hal-hal tersebut harus diblok dan ditutup
untuk menghindari kerusakan yang lebih besar. Sebaliknya, berlaku juga prinsip fath
ad-dara’I, yakni membuka jalan untuk hal-hal yang mendorong terhadap
kemaslahatan.
Lanjutan
 Di titik inilah penghapusan kekerasan seksual, baik secara legal maupun
secara non-legal, menjadi penting. Islam mendorong itu untuk melindungi
nasab dan diri perempuan itu sendiri. Tentu saja, hal-hal yang mendorong
pada kekerasan seksual harus diblok dengan cara membangun kerangka
hukum yang tegas, sementara hal-hal yang mendorong pada perlindungan
perempuan juga harus dibuka dengan mempertegas etika dalam hal
seksualitas di ruang publik.
 Kita mungkin perlu menyadari bahwa draft kerangka hukum RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual mungkin masih perlu diperdebatkan secara
lebih komprehensif. Ada banyak hal yang mungkin  belum berkenan oleh
semua pihak. Namun, menghentikan pembahasannya hanya karena ia
dianggap ‘feminis radikal’, ‘liberal’, atau ‘tidak sesuai dengan budaya
ketimuran/Islam’ juga bukan solusi. Umat Islam harus mendorong untuk
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang lebih progresif, bukan hanya
kekerasan seksual yang terjadi secara personal, tetapi juga kekerasan
seksual yang terjadi secara ‘struktural’ karena ruang publik dan tempat kerja
yang menormalisasi kultur patriarki tersebut.
Kesimpulan
 Sehingga, sebagai seorang Muslim dan Muslimah,
pembacaan kita terhadap Islam tidak kaku, atau
hanya tolak/terima karena ada tokoh/organisasi yang
menyerukan itu.
 Kita juga perlu bisa menjawab tantangan-tantangan
perkembangan sosial, politik dan ekonomi mutakhir
dengan pemahaman Islam yang baik.
 Pemahaman Islam yang kritis dan progresif terhadap
dinamika kapitalisme kontemporer akan sangat
dibutuhkan oleh umat Islam hari ini.

Anda mungkin juga menyukai