Anda di halaman 1dari 12

Pendahuluan

• Paradoksnya kondisi kerja di organisasi kesehatan umumnya banyak


yang mengalami toxic organisasi. Banyak pemimpin menyadari bahwa
obat untuk toksisitas dalam system organisasi terkhusus organisasi
kesehatan harus berawal dari dalam system itu sendiri, khususnya
dari professional kesehatan yang membuat dan mengelola system.
Perilaku disfungsional yang biasa mengganggu organisasi termasuk
perilaku antisosial,toxic mentoring dan perilaku neurotic yang
merugikan. Praktik toksikogenik yang tidak menguntungkan ini perlu
segera ditangani karena dapat merusak vitalitas organisasi
Perilaku Toxic pada Organisasi
• Lingkungan kerja yang toxic atau tidak bersahabat dapat dikenali
tidak hanya dengan adanya terialan, amarah yang membara dan
bahasa yang kasartetapi juga oleh hal-hal yang kurang terlihat tetapi
seringkali lebih merusak.
• Berikut ini terdapat 10 sumber toksisitas organisasi.
1. Struktur otoritas vertikal

Sistem otoriter dan parameter pengambilan keputusannya, dapat


menjadi sumber toksisitas pada organisasi.
• Para pemimpin organisasi yang terstruktur secara vertikal cenderung
percaya bahwa ada "musuh di luar sana" yang harus dikelola, dan
mereka menjadi didorong oleh kemarahan, ketakutan, dan
kecurigaan. Struktur vertikal, selain mencakup hierarki otoritas yang
kaku, membatasi komunikasi karena arahan harus diturunkan dari
tingkat kepala eksekutif kepada staf melalui beberapa lapisan manajer
menengah. Karyawan dilarang terlibat dalam perilaku yang
bertanggung jawab,berdialog sehat dan berpikir kreatif.
2. Praktik Penghargaan dan Pengakuan yang Tidak Adil

• Racun lain yang ditemukan di sebagian besar organisasi adalah gaji yang
tidak adil. Praktik kompensasi menjadi toxic ketika penghargaan dan
pengakuan tidak adil atau tidak konsisten.
• Jarang ada penghargaan diberikan, alternatif untuk memberi penghargaan
kepada orang yang berkinerja sangat baik tidak ada. Kompensasi terus
menjadi sangat subjektif, terutama di tingkat senior. Kompensasi untuk
para pemimpin seringkali lebih didasarkan pada standar pasar daripada
kinerja mereka sebagai anggota tim. Akibatnya, praktik kompensasi dapat
menyebabkan perpecahan yang parah, pertikaian, kecemburuan, dan
ketidakpercayaan, terutama ketika kompensasi eksekutif senior 20 kali
lebih besar daripada kompensasi karyawan tingkat awal.
3. Penyalahgunaan Kekuasaan

• Para pemimpin berebut untuk mengisi posisi pada tingkat ini, contoh
seringkali memilih karyawan ahli dengan sedikit skill atau tanpa
pengalaman manajemen karena suatu alasan tertentu.
Penyalahgunaan kekuasaan lainnya yaitu ketika seorang manajer baru
meremehkan anggota staf di depan anggota staf lain, berkomunikasi
dengan memo daripada tatap muka, mengubah kebijakan tanpa
masukan dari orang lain, bersikap kasar dan tanpa pertimbangan
menganggap memiliki kekuasaan tertinggi.
4. Intoleransi terhadap Keberagaman

• Karena teknologi komunikasi dan perjalanan supersonik telah


membuat dunia menjadi lebih kecil, masyarakat yang beragam di
dunia dapat berbagi ide dan mempelajari pendekatan baru untuk
berbagai tugas. Toleransi akan keberagaman akan sulit tercapai saat
kemajuan teknologi dan informasi.
5. Kurangnya Menghormati Tenaga Kerja

• Karyawan sering merasa seperti anak asuh, tidak berdaya dan


sepenuhnya bergantung. Mereka tidak pernah tahu apa yang akan
mereka dapatkan sampai mereka dipekerjakan. Jika seorang karyawan
tidak menyukai organisasi, dia, seperti anak yang tidak bahagia, dapat
melamun dan berpura-pura tidak berada di sana. Atau karyawan tersebut
dapat melarikan diri dan hidup di jalanan (mengundurkan diri dan tetap
menganggur). Atau karyawan dapat berharap bahwa pria yang baik
dengan hati yang besar akan muncul dengan tawaran pekerjaan yang
lebih baik! Kurangnya rasa hormat mengambil banyak bentuk, dari
kekasaran yang jelas hingga ketidaksopanan yang halus timbul jika rasa
penghargaan dan penghormatan tidak diberikan pada para tenaga kerja.
6. Kegagalan Mengelola Karyawan yang
Tidak Termotivasi.
• Toxic kelima adalah racun yang menghantui bahkan para pemimpin
terbaik. Adanya karyawan yang tidak termotivasi bisa sangat
melelahkan. Kesulitannya bukanlah dalam mengenali kinerja yang
kurang optimal, tetapi dalam terus bekerja dengan para karyawan ini
meskipun sedikit keberhasilan dalam membimbing mereka untuk
berbuat lebih baik. Sindrom karir seumur hidup-kinerja yang lesu oleh
karyawan karir yang tidak bersemangat atau lelah dengan pekerjaan
mereka adalah salah satu hambatan efisiensi yang harus dihadapi
oleh para pemimpin secara teratur.
7. Toleransi terhadap Perilaku Antisosial

• Banyak yang telah ditulis tentang perilaku menyimpang atau antisosial


di tempat kerja. Penindasan, pelecehan seksual, ketidakjujuran,
penyebaran rumor, menahan usaha, dan mencuri adalah perhatian
yang jelas karena mengurangi efektivitas kelompok, di antara
konsekuensi lainnya. Dari jumlah tersebut, intimidasi telah menjadi
yang paling diidentifikasi dan dipelajari di seluruh dunia (Branch,
Ramsay, & Barker, 2013). Selain itu, kegagalan para pemimpin untuk
mengenali perilaku antisosial sebagai hal yang tidak pantas dan
mencoba meminimalkan perilaku tersebut berdampak negatif pada
iklim sosial dan perilaku moral karyawan secara umum.
8. Toxic Mentoring
• Jika mentor (pemimpin yang berpengalaman) tidak membantu
karyawan yang dimonitoring dalam mengembangkan identitas dan
gaya kepemimpinannya sendiri, karyawan tersebut dapat disesatkan
untuk mengikuti jalan yang telah ditetapkan oleh mentor. Bahaya
utama di sini adalah bahwa begitu mentor tidak lagi berada di tangan
sebagai pemandu, kryawan yang dimentoring tadi mungkin menjadi
kosong dan tidak berdaya dan tidak dapat maju, akibatnya
menimbulkan ketergantungan dan kurangnya timbul sikap kreatif.
9. Inkonsistensi dan Ketidakjujuran

Para pemimpin sering kali menambah toxic dalam sebuah organisasi


dengan menjadi tidak konsisten dalam kata-kata dan tindakan dan
dengan berbohong. Secara umum, karyawan menghormati dan
bersedia mengikuti pemimpin yang bertindak sesuai dengan nilai,
prinsip, dan keyakinan mereka.
Pesan ambigu atau kontradiktif cukup umum dan biasanya menabur
kebingungan. Penerima pesan-pesan ini mulai merasa marah, tidak
aman, dan terperangkap akibat inkonsisten dalam pengambilan
keputusan.
10. Ketidakseimbangan Antara Pekerjaan dan Kehidupan Pribadi

• Bagi banyak orang, batas antara kehidupan kerja dan kehidupan


pribadi telah runtuh dengan munculnya Internet. Teknologi telah
membuka pintu baru untuk pengalaman baru, dan kondisi tanpa
sesuatu untuk dilakukan hampir tidak terbayangkan. Individu saat ini
menghabiskan banyak waktu mereka untuk mempelajari ide-ide baru
atau memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Waktu
bukanlah sesuatu yang dimiliki atau hilang, itulah kehidupan
seseorang. Bagi kebanyakan dari kita, tidak pernah ada cukup waktu.
Tantangan sebenarnya adalah mengembangkan keseimbangan antara
pekerjaan dan kehidupan pribadi dan untuk menjaga keseimbangan
yang diinginkan.

Anda mungkin juga menyukai