0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
8 tayangan15 halaman
Kesenjangan gender dan faktor penyebabnya dalam peningkatan kualitas remaja, lanjut usia, dan pemberdayaan ekonomi keluarga disebabkan oleh dominasi sosial budaya patriarki yang memposisikan perempuan pada peran domestik dan menghalangi partisipasi mereka dalam pendidikan, kesehatan reproduksi, pengambilan keputusan ekonomi, dan pengembangan potensi diri.
Kesenjangan gender dan faktor penyebabnya dalam peningkatan kualitas remaja, lanjut usia, dan pemberdayaan ekonomi keluarga disebabkan oleh dominasi sosial budaya patriarki yang memposisikan perempuan pada peran domestik dan menghalangi partisipasi mereka dalam pendidikan, kesehatan reproduksi, pengambilan keputusan ekonomi, dan pengembangan potensi diri.
Kesenjangan gender dan faktor penyebabnya dalam peningkatan kualitas remaja, lanjut usia, dan pemberdayaan ekonomi keluarga disebabkan oleh dominasi sosial budaya patriarki yang memposisikan perempuan pada peran domestik dan menghalangi partisipasi mereka dalam pendidikan, kesehatan reproduksi, pengambilan keputusan ekonomi, dan pengembangan potensi diri.
Kualitas Remaja (pertemuan 6) Analisis situasi • Penelitian Yayasan Kusuma Buana (1993) di 12 kota besar menunjukkan bahwa 10% remaja putri dan 31% remaja putra mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah. • Penelitian DKT Indonesia (2005) menunjukkan remaja secara terbuka menyatakan telah melakukan seks pranikah di Jabotabek (51%), Bandung (54%), Surabaya (47%) dan Medan (52%). • Data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI, 2006) mencatat kurang lebih 700 ribu aborsi dilakukan oleh remaja yang sebagian besar dilakukan dengan cara tidak aman. • Data Badan Narkotika Nasional (BNN 2008) menunjukkan bahwa 1,5% dari jumlah penduduk Indonesia (sekitar 3,2 juta jiwa) pengguna NAPZA, 78% di antaranya remaja usia 20-29 tahun (sekitar 2.496.000 remaja), yang 800.000 di antaranya adalah pelajar dan mahasiswa. 60% pengguna NAPZA dengan jarum suntik sudah terjangkit HIV- AIDS. Kampus dan rumah teman menjadi tempat penawaran NAPZA. • 14 • 5. Data Departemen Kesehatan RI (2009) mencatat secara kumulatif jumlah orang yang positif terjangkit AIDS sebesar 16.964 kasus dan 53,58% diantaranya adalah remaja. Cara penularannya melalui homoseks (3,6%), heteroseks (55%), jarum suntik (Injecting Drug Users/IDU‟s ) 46% dan lainnya 3,1%. data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) 2007 yang menunjukkan bahwa: • remaja usia 15-24 tahun yang mengetahui 1 kali berhubungan seks ada • kemungkinan hamil masih mencapai 55,2% (remaja putri) dan 52% (remaja putra). • angka kehamilan tidak diinginkan di kalangan remaja sebesar 6%. • pengetahuan tentang tempat memperoleh informasi KRR di kalangan remaja masih • sangat rendah, 10,6% remaja putri dan 5,8% remaja putra). • angka median umur perkawinan pertama masih di bawah umur reproduksi sehat • yaitu 19,6 tahun (SDKI 2007). 1. Kesenjangan gender pada perkawinan usia remaja
• desakan orangtua agar anak perempuannya
tidak disebut „tidak laku‟ atau alasan ekonomi (melepaskan tanggungan dan mendapat dukungan ekonomi dari menantu). • ingin cepat dapat cucu penerus keluarga. • menutup aib akibat seks pranikah. Kesenjangan gender yang terjadi adalah perempuan terutama remaja putri lebih merasakan dampak buruk terjadinya perkawinan usia remaja yaitu: • tidak dapat melanjutkan pendidikan karena peraturan sekolah yang tidak mengijinkan siswa yang telah menikah untuk bersekolah. Hal ini tentu semakin memperburuk status perempuan. • secara mental mereka belum siap sepenuhnya menghadapi kehidupan rumah tanggga yang menuntut tanggung jawab besar dan sangat berbeda dengan kehidupan remaja mereka. • Dilihat dari sisi kesehatan reproduksi, perkawinan dini secara langsung dapat diikuti oleh kehamilan usia remaja yang dapat berisiko pada keguguran atau pendarahan akibat belum optimalnya kesiapan organ reproduksi perempuan. Mengapa kesenjangan gender yang dampaknya dirasakan perempuan dapat terjadi?
• Peranan orangtua yang dominan dalam menentukan perkawinan anak
gadisnya dan anak harus patuh karena faktor sosial budaya yang mengajarkan bahwa anak yang tidak patuh akan „kualat‟. • Faktor sosial budaya yang menganggap „perawan tua‟, „tidak laku‟ bila perempuan menikah pada usia lebih dewasa. • Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menetapkan usia pernikahan bagi perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. • Faktor sosial budaya yang beranggapan bahwa tempat atau kedudukan perempuan di rumah/dapur sehingga sepantasnya segera menikah. Tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi, cukup dapat membaca dan menulis saja. 2. Kesenjangan gender pada kehamilan usia remaja
• dominasi orangtua kepada anak-anak mereka termasuk
menentukan waktu perkawinan dan kehamilan anak perempuan. • kurangnya pemahaman perempuan akan kesehatan reproduksi termasuk masa reproduksi sehat sehingga kurang menjaga pergaulan dan perilaku seksual sehat. • ketidakberdayaan anak perempuan menolak keinginan orangtua untuk segera memiliki cucu dengan alasan „takut kualat‟ atau „durhaka‟ karena tidak patuh. • anggapan salah sebagian masyarakat tentang penundaan anak pertama akan „mempersulit‟ hadirnya kehadiran seorang anak dalam keluarga. Kesenjangan Gender dan Faktor Penyebab dalam Peningkatan Kualitas Hidup Lanjut Usia
• kualitas hidup lanjut usia yang semakin meningkat.
• meluasnya jangkauan, jenis dan kualitas perawatan kesehatan lanjut usia yang • diberikan oleh keluarga dan masyarakat melalui tempat pelayanan kesehatan serta • kelompok peduli lanjut usia (seperti BKL dan posyandu Lansia). • lanjut usia mendapat perhatian dan kasih sayang dari keluarga dan masyarakat • sebagaimana mestinya. • Hampir seluruh keluarga di Indonesia sangat menghormati dan mengasihi orangtua dan para lanjut usia. Lanjut usia ini juga menjadi teladan dalam keluarga dan masyarakat dalam menjalani kehidupan yang tantangannya semakin berat. Semakin meningkatnya usia harapan hidupmenunjukkan fakta menggembirakan . Kesenjangan Gender dan Faktor Penyebab dalam Pemberdayaan Ekonomi Keluarga
• Fakta yang terjadi dalam masyarakat terutama di
perdesaan masih sangat nyata bahwa posisi istri dan perempuan belum setinggi perempuan di perkotaan yang lebih mempunyai peluang besar untuk berperan di ranah publik terutama bekerja. Di perdesaan dan biasanya pada kelompok perempuan yang tidak mempunyai peluang mengenyam pendidikan tinggi • Citra baku istri dengan peran si domestik, yaitu mengurus suami, anak dan rumahtangga. • istri dan perempuan yang aktif dalam kegiatan ekonomi- produktif tidak diakui sebagai pencari nafkah keluarga tetapi lebih sebagai pengisi waktu saja. • istri masih dianggap bukan „mitra‟ suami dalam menambah penghasilan keluarga, apalagi perempuan dianggap tidak dapat mengambil keputusan. • pekerjaan perempuan di luar rumah seringkali menjadi beban ganda baginya karena tidak mendapat dukungan suami dalam mengurus keluarga. • perempuan tidak memiliki peluang mengembangkan potensi dirinya dengan label „peran domestik‟. kesenjangan gender ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
• faktor sosial budaya yang beranggapan istri
atau perempuan hanya pantas berperan di ranah domestik, bukan di ranah publik. Anggapan salah ini pulalah yang menyebabkan perempuan atau istri menjalankan dan menerima bentuk dikriminasi beban ganda sebagai risiko „keluar rumah‟. • anggapan sebagian masyarakat tentang posisi perempuan „di bawah‟ laki-laki (subordinan) menyebabkan perempuan dianggap tidak sepatutnya sebagai pengambil keputusan, termasuk untuk mengembangkan potensi dirinya. Sistem patriarkhi yang masih cukup kental di Indonesia berkontribusi besar terhadap dominasi suami dalam keluarga. • faktor sosial budaya yang menganggap istri atau perempuan sebagai „teman di belakang‟ (Jawa: konco wingking), menyebabkan kegiatan ekonomi-produktif yang dilakukan perempuan hanya sebagai pengisi/perintang waktu, tidak dianggap memberikan andil besar dalam perekonomian keluarga