Anda di halaman 1dari 19

Sekolah dan

Masyarakat

Pentingnya Kepedulian
Pendidikan

Topik, TIK,
Referensi

Ketimpangan dalam
Pendidikan

Peran Media Massa


Pendidikan dan Media Massa

• Sekolah dan Masyarakat : a).Pandangan Fungsionalis tentang Pendidikan


b).Pandangan Pemikiran Konflik tentang Pendidikan c).Pandangan
Interaksionis-Simbolik tentang Pendidikan
• Pentingnya Kepedulian Pendidikan : a). Efek untuk Pekerjaan dan Penghasilan
b).Efek latar belakang kelas sosial pada pendidikan dan mobilitas sosial
c).Pandangan Global tentang Pendidikan, Kelas Sosial, dan Mobilitas.
• Ketimpangan dalam Pendidikan : a).Kemampuan Kognitif dan Pengukuran
b).Pengukuran dan Keberagaman c).Tingkat Harapan Pengajar d).Pengajaran
dan Gender e).Ancaman Stereo-type
• Peran Media Massa

DOSEN : Nama Dosen


Tujuan Instruksional Khusus

• Mahasiswa dapat menjelaskan setiap


pandangan tentang pendidikan dengan
memberikan kritik tentang aspek positif dan
negatif bagi masyarakat.
Referensi

• Andersen, Margaret, L; Taylor, Howard, F; Sociology,


USA : Thomson Learning, Inc, 2005, hal. 350 – 363

• Poythress, Vern, Sheridan; Redeeming Sociology,


USA : Illinois, 2011, hal. 249 – 252

• Budijanto, Rohman; Teknologi Industri Media Dan


Perubahan Sosial; Malang : Sosiologi Komunikasi
Pascasarjana UMM & Buku Litera, 2010, hal. Vi, 51
Sekolah dan Masyarakat

Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting bagi kehidupan


dan perkembangan masyarakat. Mengajarkan pengetahuan formal
seperti; membaca, menulis, dan berhitung, serta moral, nilai-nilai,
dan etika. Pendidikan mempersiapkan anak muda untuk masuk ke
dalam masyarakat.
Sosiolog lebih tertarik untuk dilembagakan sekolah sbg pendidikan
formal.
 Wajib belajar adalah ide yang relatif baru.
 Selama abad ke 19, banyak negara belum memiliki Undang-
undang Pendidikan sebagai kebutuhan untuk semua orang.
 Sebagian besar pekerjaan di pertengahan abad ke 19 tidak
menuntut adanya pendidikan atau keaksaraan apapun.
Pendidikan dianggap mewah, tersedia hanya untuk anak-anak
dari kelas atas.
a. Pandangan fungsionalis tentang pendidikan

Di Amerika Serikat dan negara-negara berbasis masyarakat


industri; sistem pendidikan menjadi kebutuhan dan
diformalkan. Namun dalam masyarakat lain; seperti masyarakat
yg bersifat pastoral; orang tua yang mengajar anak-anak
bagaimana untuk mampu bertahan hidup seperti;
mengumpulkan makanan dan mendapatkan lahan. Oleh sebab
itu pendidikan dalam keluarga merupakan sistem pendidikan
yang sangat baik dan melembaga.
Teori fungsionalis berpendapat pendidikan dapat
menyelesaikan konsekuensi atau berfungsi untuk masyarakat.
Perspektif sosiologis; pendidikan tidak cukup sekedar
mendapatkan kemajuan dalam masyarakat.
Kesuksesan tergantung dan dipengaruhi oleh kelas sosial
dalam masyarakat, pendidikan formal, ras, etnis, dan gender.
b. Pandangan Konflik tentang pendidikan

Teori konflik menekankan adanya disintegratif dan aspek yang mengganggu pendidikan. Teori
konflik berfokus pada persaingan antara kelompok-kelompok kekuasaan, pendapatan, dan status
sosial, sehingga melihat pentingnya adanya lembaga dalam konflik. Salah satu persimpangan
antara kelompok pendidikan dan persaingan kelas diwujudkan dalam korelasi yang signifikan yang
ada antara pendidikan, kelas, ras, dan gender. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,
semakin besar kemungkinan orang pada kelas menengah berpindah ke kelas atas, kulit putih, dan
laki-laki. Teori konflik berpendapat bahwa tingkat pendidikan adalah mekanisme untuk
memproduksi dan mereproduksi ketidak-setaraan.
Menurut teori konflik tingkat pendidikan dapat menjadi alat bagi diskriminasi dengan
menggunakan mekanisme yakni desakan kepercayaan terhadap pendidikan untuk kepentingan
mereka sendiri. Perangkat ini digunakan oleh majikan yang sangat berpotensi untuk melakukan
diskriminasi terhadap kelompok minoritas, orang-orang kelas pekerja, perempuan, dan orang-
orang yang pendidikannya rendah.
Teori konflik juga berpendapat; kategori pendidikan menimbulkan pekerjaan yang kurang
kompleks. Oleh sebab itu tetap memerlukan pendidikan yang tradisional seperti pelatihan.
Meskipun demikian, majikan tetap berpotensi akan bersikeras pada tingkat tertentu bagi
pekerjaannya, dimana harus ada sedikit harapan terhadap tingkat pendidikan, yang pasti akan
mempengaruhi kinerja kerja. Sehingga di sini pendidikan berfungsi sebagai diskriminatif.
c. Pandangan Interaksionis-simbolik tentang pendidikan

Interaksi simbolik berfokus pada apa yang muncul dari proses interaksi
selama sekolah. Melalui interaksi antara mahasiswa dan dosen, harapan
tertentu muncul pada bagian kedua. Akibatnya, dosen mulai
mengharapkan atau mengantisipasi perilaku tertentu seperti; baik atau
buruk dari mahasiswa. Melalui pengoperasian efek harapan, maka
harapan seorang dosen untuk mahasiswa adalah dosen akan dapat
menciptakan perilaku yang bersangkutan menjadi baik.
Dengan demikian perilaku sebenarnya di sebabkan karena harapan,
bukan sebaliknya.
Pentingnya Kepedulian Pendidikan

a. Efek untuk pekerjaan dan penghasilan

Salah satu cara sosiolog mengukur kelas sosial seseorang,


atau tingkat kesejahteraan negara adalah melalui jumlah
orang yang berpendidikan, pendapatan, dan jenis
pekerjaan. Secara umum; ada hubungan yang kuat
antara pendidikan formal dan pekerjaan, meskipun
hubungan ini tidak sempurna.
Mengukur pekerjaan dalam hal status sosial atau
prestise: semakin tinggi status pekerjaan seseorang, dan
pendidikan yang lebih formal.
b. Efek latar belakang kelas sosial pada pendidikan dan mobilitas sosial

Pendidikan secara tradisional dipandang sebagai jalan keluar dari kemiskinan, rendahnya status
sosial dan untuk mobilitas sosial. Asumsinya bahwa seseorang dapat mengatasi keterbelakangan,
dimulai dengan belajar di sekolah.
Banyak penelitian sosiologi telah menunjukkan efek dari pendidikan pada pekerjaan yaitu telah
mendorong seseorang dengan pendapatannya yang sangat menentukan kelas sosial. Hal ini
terjadi ketika pada masa lampau kelas sosial sangat ditentukan oleh ras, keturunan, dan kekayaan.
Bahkan pada masa itu pendidikan bukanlah hal yang sangat penting untuk merubah status. Di
antara orang kulit putih dari kelas atas, termasuk mereka yang mewarisi kekayaan, serta
profesional dan manajer tingkat tinggi, menganggap kelas sosial lebih penting daripada
pendidikan dalam menentukan pekerjaan dan pendapatan.
Kelas dan ras bekerja sama untuk melindungi kelas atas dari rongrongan kelas sosial bawah yang
dapat terjadi karena mobilitas. Kelas atas berusaha untuk memblokir kelas bawah dari beberapa
bentuk mobilitas untuk naik tingkat ke atas. Pendidikan digunakan oleh kelas atas untuk
menghindari mobilitas kelas bawah, dengan cara seperti mengirim anak-anak mereka ke sekolah-
sekolah menengah swasta elit. Bentuknya terlihat pada jumlah yang tidak proporsional dari anak
upper-class mendapatkan pendidikan di asrama dan sekolah elit, dibandingkan dengan anak-anak
kelas pekerja yang jauh kurang terwakili.
Di antara kulit putih kelas menengah, pendidikan dapat meningkatkan kemungkinan mendapatkan
pekerjaan upper class, namun akses ke posisi kelas atas terbatas. Di antara orang-orang dari kelas
bawah, seperti buruh kasar atau menganggur, kemungkinan mendapatkan pendidikan yang baik
serta pekerjaan bergengsi sangat sulit. Singkatnya, pendidikan dipengaruhi oleh asal-usul kelas
sosial, dan pekerjaan (termasuk pendapatan) yang tentu saja dipengaruhi oleh kelas sosial dan
pendidikan. Namun apabila individu yang berasal dari kelas bawah dapat mengikuti pendidikan
tinggi, maka kemungkinannya untuk mendapatkan pekerjaan bergengsi sangat kecil.
c. Pandangan global tentang pendidikan, kelas sosial, dan mobilitas

Opini : sistem pendidikan, banyak yang bekerja, dan mobilitas pendapatan di Amerika
Serikat lebih baik daripada di negara-negara industri lainnya terutama Inggris, Jerman,
dan Jepang. Secara umum ini benar, tetapi tidak banyak. Sampai beberapa tahun yang
lalu, siswa di Inggris diminta untuk mengikuti ujian yang disebut ‘Eleven Plus’, pada usia
sebelas tahun. Skor yang diperoleh seseorang akan menentukan penempatan ke
jenjang universitas yang bergengsi seperti Oxford atau Cambridge atau langsung bekerja.
Hasilnya adalah bahwa skor dari anak-anak kelas atas jauh lebih baik (skor tinggi) dari
pada skor capaian anak-anak kelas menengah (keluarga kelas pekerja), dan nilai dari
anak-anak kelompok minoritas, terutama Afrika dan Timur India.
Di Jepang; pengecekan serupa diberikan pada usia dua belas yang menentukan, dan
bahkan lebih kaku bagi kesempatan pendidikan anak selanjutnya. Bagi yang
mendapatkan skor tinggi, mereka dijamin untuk masuk ke universitas terbaik. Sebaliknya
skor di bawahnya, tidak diberikan kesempatan. Oleh sebab itu orang tua seringkali pada
akhir pekan mengirim anak-anaknya untuk mengikuti sejenis seminar disebut ‘juku’
untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian.
Di Indonesia : Ujian Nasional (UN) menjadi tolok ukur bagi siswa untuk dapat menduduki
kursi di sekolah negeri. Tolok ukur ini disebut Nilai Evaluasi Murid (NEM).
Ketimpangan dalam pendidikan

Pada abad ke 19 di Amerika; konsep awal tentang pendidikan


disebut sistem asuhan, yakni untuk melayani masyarakat menuju
kesetaraan penuh bagi semua warga negara tanpa memandang ras,
kelas sosial asal, agama, atau gender, Yahudi dan bukan Yahudi,
hitam dan putih, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, akan
belajar bersama-sama dan berdampingan. Melalui pendidikan,
setiap siswa akan mempelajari cara orang lain, dan dengan
demikian datang untuk memahami dan menghormati mereka.
a. Kemampuan kognitif dan pengukuran

Pada jaman Yunani klasik, manusia telah berusaha untuk mengukur 'kemampuan
mental' atau 'intelegensi’. Dewasa ini disebut kemampuan-kognitif, sebagai
kapasitas untuk berpikir abstrak. Sejak awal abad ke 20, dari prasekolah hingga
perguruan tinggi, telah berusaha mengukur kecerdasan melalui tes kemampuan
standar seperti tes IQ (Intelligence Quotient) dan tes SAT (Scholastic Aptitude Test),
untuk mengukur kemampuan potensial.
Tes SAT mendapat kritikan. Pertama; tes cenderung mengukur hanya kisaran
terbatas atau kemampuan (seperti bakat kuantitatif dan bakat lisan), yang
mengabaikan keabsahan kognitif lainnya seperti kreativitas, kemampuan musik, atau
bahkan keterampilan politik. Kedua; tes memiliki setidaknya beberapa derajat bias
budaya dan bias gender. Sebagai hasilnya, mereka dapat melanggengkan ketidak-
setaraan antara kelompok yang berbeda budaya atau ras, dan kelas sosial, serta
mengabadikan kesenjangan sosial, ekonomi, dan pendidikan antara laki-laki dan
perempuan. Tes tersebut dirancang terutama terkait dengan strata, kondisi sosialnya
sebagai 'standarisasi' penilaian. Kritik ketiga; adalah bahwa mereka tidak
memprediksi kinerja sekolah yang sangat baik.
b. Pengukuran dan Keberagaman

Skor rata-rata pada tes IQ , dan juga tes kemampuan


kognitif seperti SAT, berbeda dengan ras , kelompok
etnis, kelas sosial, dan gender. Secara keseluruhan;
kelompok kulit putih skornya lebih tinggi daripada
rata-rata kelompok minoritas. Secara umum dapat
dikatakan, semakin tinggi kelas sosial seseorang,
semakin tinggi nilai tesnya. Perbedaan antara
kelompok-kelompok dilihat oleh para ahli terkait
dengan lingkungan asal, yang mencerminkan
perbedaan kelompok status kelas sosial, sosialisasi
masa kanak-kanak , bahasa, gizi, dan keuntungan
budaya yang diterima di rumah semasa muda.
c. Tingkat Harapan Pengajar

Mirip dengan efek pelabelan, pelacakan adalah efek dari


harapan dosen; yang merupakan efek dari harapan dosen
kepada mahasiswa yang sebenarnya kinerjanya tidak terkait
dengan kemampuan sebenarnya dari mahasiswa. Dosen
mengharapkan mahasiswa untuk melakukan dan dapat
mempengaruhi apa yang akan mereka lakukan. Harapan
dosen untuk kinerja mahasiswa secara dramatis dapat
mempengaruhi seberapa-banyak mahasiswa untuk belajar.
Kutipan dari sosiolog awal W. I. Thomas; jika laki-laki
mendefinisikan situasi sebagai sesuatu yang nyata, mereka
nyata dalam konsekuensi mereka. Jika seorang mahasiswa
didefinisikan berada pada tingkat pendidikan tertentu, maka
mahasiswa menjadi tipe tersebut dan berada pada tipe
tersebut juga.
d. Pengajaran dan Gender

Tidak dapat disangkal di tingkat sekolah menengah; ada


guru memiliki harapan yang berbeda untuk anak
perempuan dan anak laki-laki di sekolah. Guru seringkali
menunjukkan pilihan jurusan di Perguruan Tinggi yang
berbeda antara anak perempuan dan anak laki-laki. Hasil
pengamatan di Perguruan Tinggi, secara signifikan ada
jurusan yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin.
Misalnya ; proporsi yang jauh lebih besar dari anak laki-
laki dalam ilmu pengetahuan dan matematika, daripada
anak perempuan.
e. Ancaman Stereo-type

Dewasa ini ancaman stereo-type masih berlaku


dalam masyarakat. Stereo-type rasial dan jenis
kelamin dapat mempengaruhi perilaku aktual.
Misalnya;
1). Pada waktu Obama mencalonkan diri menjadi
Presiden Amerika. Stereo-type kulit hitam yang
berada pada kelas sosial bawah dalam masyarakat
Amerika.
2). Pada waktu Megawati Soekarno Putri menjadi
Presiden Indonesia. Stereo-type perempuan lemah,
perempuan tidak boleh memimpin.
Peran Media Massa

Peran media massa terhadap perubahan masyarakat sangatlah besar dan pesat. Media
massa menjadi perantara penyampaian berita sebuah diskripsi peristiwa atau pendapat
sumber berita kepada orang lain.
Menurut Rohman Budijanto dalam ‘Teknologi Industri Media Dan Perubahan Sosial’ yang
diterbitkan tahun 2010, menjelaskan peran media sebagai medium dan dan messenger.
Mc Luhan menguraikan bahwa teknologi media modern memberikan dampak
fundamental terhadap indra dan daya kognitif manusia. Bahkan dengan keberadaan
teknologi media modern melahirkan kultur baru yang didominasi oleh indra visual atau
penglihatan manusia. Perkembangan teknologi media elektronik modern mampu
menyatukan individu dalam sebuah jaringan komunikasi yang lebih bersifat instan yang
disebut global village.
Peran yang bersifat edukasi dari media massa dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat
ada 2 jenis. Pertama; Direct role, peran yang secara langsung mempertemukan komukator
dengan komunikan. Kedua; Indirect role, peran yang tidak langsung mempertemukan
komunikator dan komunikan.

Anda mungkin juga menyukai