Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Perkembangan HPI

A. Tahap Pertama ( Masa Kekaisaran Romawi Abad ke 2-6 sesudah Masehi)

• Masa ini adalah masa awal perkembangan hukum perdata internasional. Wujud
nyatanya adalah dengan tampaknya hubungan antara warga romawi dengan penduduk
provinsi atau municipia, dan penduduk provinsi atau orang asing dengan satu sama lain
didalam wilayah kekaisaran romawi. Dalam hubungan hukum tersebut tentu memiliki
sengketa, dan untuk menyelesaikan sengketa dibentuklah peradilan khusus yang
disebut preator peregrines. Hukum yang digunakan adalah Ius Civile, yaitu hukum yang
berlaku bagi warga Romawi, yang sudah disesuaikan untuk kepentingan orang luar.
• Asas HPI yang berkembang pada masa ini dan menjadi asas penting dalam Hukum
Perdata Internasional modern yakni:
• a. Asas Lex Rei Sitae ( Lex Situs ) yang berarti perkara-perkara yang menyangkut benda-
benda tidak bergerak tunduk pada hukum dari tempat di mana benda itu
berada/terletak.
• b. Asas Lex Domicilii yang berarti hak dan kewajiban perorangan harus diatur oleh
hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.
• c. Asas Lex Loci Contractus yang berarti bahwa terhadap perjanjian-perjanjian ( yang
melibatkan para pihak-pihak warga dari provinsi yang berbeda ) berlaku hukum dari
tempat pembuatan perjanjian
B. Tahap Kedua ( Masa Pertumbuhan Asas Personal Hukum Perdata
Internasional Abad ke-6 sampai 10)

• Pada masa ini kekaisaran romawi ditaklukan oleh orang “barbar” dan wilayah bekas
provinsi-provinsi jajahan romawi, dan akibatnya ius civile pada masa kekaisaran romawi
tidak berguna.
• Pada masa iini tumbuh dan berkembang beberapa prinsip atau asas genealogis,
yaitu :
• 1. Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian sengketa
hukum, hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat.
• 2. Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan
berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak.
• 3. Proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris.
• 4. Peralihan hak milik atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum personal pihak
transferor.
• 5. Penyelesaian perkara tentang perbuatan melanggar hukum harus dilakukan
berdasarkan hukum personal dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum.
• 6. Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari piahak suami.
C. Tahap Ketiga (Pertumbuhan Asas Teritorial Abad ke 11-12 di Italia)

• Pertumbuhan asas genealogis sulit untuk


dipertahankan diakibatkan struktur masyarakat yang semakin
condong ke arah masyarakat teritorialistik diseluruh wilayah
eropa.
• Keanekaragaman sistem-sistem hukum lokal kota-kota ini
didukung dengan intensitas perdagangan antar kota yang
tinggi yang sering menimbulkan persoalan mengenai
pengakuan terhadap hak asing diwilayah suatu kota. Dalam
hal menyelesaikan masalah inilah untuk menjawab
perselisihan tersebu dapat dianggap sebagai pemicu
tumbuhnya teori Hukum Perdata Internasional yang dikenal
dengan sebutan teori statuta diabad ke 13 sampai abad 15.
D. Tahap Keempat ( Perkembangan Teori Statuta) yang terdiri dari :

• Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad ke 13-15)


• Ø Dasar-dasar Teori Statuta
• Lahirnya teori statuta italia dipicu oleh gagasan seorang tokoh post glassator yang bernama Accurcius
yaitu “Bila seorang yang berasal dari suatu kota tertentu di Italia di gugat disebuah kota lain, maka ia tidak
dapat dituntut berdasarkan hukum dari kota lain it karena ia bukan subjek hukum dari kota lain itu.”

• Perkembangan Teori Statuta di Prancis ( Abad ke-16)


• Perkembangan Teori Statuta di Prancis terjadi pada abad ke-16 Masehi. Situasi
• Ø Kenegaran di Prancis Abad ke-16
• Struktur kenegaraan Prancis pada abad ini, mendorong untuk mempelajari hubuungan perselisihan secara
intensif. Para ahli hukum Prancis berusaha menjalani dan memodifikasi teori Statuta Italia dan
menerapkannya dalam konflik antar propinsi di Prancis.
• Ø Cara Penyelesaian
• Para ahli hukum mendalami dan memodifikasi teori statuta dan menerapkannnya di provinsi italia,
beberapa tokoh teori statuta diprancis yang dikenal yaitu Dumoulin (1500-1566) dan D’Argentre (1523-
1603).
• Perkembangan Teori Statuta di Belanda (Abad ke 17-18)
• Tokoh dalam Teori Statuta Belanda adalah Ulrik Huber (1636-1694), dan Johannes Voet (1647-1714)
• Prinsip dasar yang dijadikan titik tolak dalam teori statuta belanda ini adalah kedaulatan ekslusif negara
yang berlaku didalam teritorial suatu negara.
• Menurut Ulrik, untuk menyelesaikan perkara hukum perdata internasional, ulrik berpendapat bahwa
orang harus bertitik tolak dari 3 prinsipdasar, yaitu :
– Hukum suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas teritorial negara itu
– Semua orang atau subjek hukum secara tetap atau sementara berada didalam teritorial wilayah suatu negara
berdaulat.
– Berdasarkan prinsip sopan santun antarnegara, hukum yang belaku dinegara asalnya tetap memilikikekuatan
berlaku dimana-mana, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara pemberin
pengakuan.
• Menurut Johannes Voet, ia menjelaskan kembali ajaran comitas gentium, yaitu :
• Pemberlakuan hukum asing disuatu negara bukan merupakan kewajiban hukum internasional
• Suatu negara asing tidak dapat menuntut pengakuan kaidah hukumnya didalam wilayah hukum suatu
negara lain.
• Karena itu, pengakuan atas berlakunya suatu hukum asing hanya dilakukan demi sopan santun pergaulan
antar negara
• Namun, asas comitas gentium harus ditaati oleh setiap negara dan asas ini harus dianggap sebagai
bagian dari suatu sistem hukum nasional negara itu.
E. Tahap Kelima ( Teori Hukum Perdata Internasional Universal) Abad ke-19

• Tokoh yang mencetuskan teori ini adalah Friedrich Carl V. Savigny yang berasal dari Jerman. Pemikiran Savigny
ini juga berkembang setelah didahului oleh pemikiran tokoh lain yang juga berasal dari jerman yaitu C.G. Von
Wacher yang mengkritik bahwa teori statuta italia dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum.
• Watcher berasumsi bahwa Hukum intern forum hanya dibuat untuk dan hanya diterapkan pada kasus-kasus
hukum lokal saja. Karena itu kaidah perkara Hukum perdata internasional, forumlah yang harus menyediakan
kaidah hukum perdata internasional.
• Sedangkan demikian pandangan F.C Von Savigny adalah bahwa :
• Savigny mencoba menggunakan konsepsi “legal seat” itu dengan berasumsi bahwa “untuk setiap jenis hubungan
hukum, dapat ditentukan legal seat/tempat kedudukan hukumnya” dengan melihat hakikat dari hubungan
tersebut.
• Jika orang hendak menetukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam suatu perkara yang terbit dari
suatu hubungan hukum
• Savigny beranggapan bahwa legal seat itu harus ditetapkan terlebih dahulu dan caranya adalah dengan
melokalisasi tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu melalui bantuanm titik-titik taut.
• Jika tempat kedudukan hukum dari suatu jenis hubungan hukum telah dapat ditentukan, sistem hukum dari
tempat itulah yang akan digunakan sebagai lex causae.
• Setelah tempat kedudukan hukum itu dapat selalu dilokalisasi, melalui penerapan titik-titik taut yang sama pada
hubungan hukum yang sejenis.
• Asas hukum itulah yang menjadi asas Hukum Perdata Internasional yang menurut pendekatan tradisional
mengandung titik taut penentu yang harus digunakan dalam rangka menentukan lex causae.
• Menggunakan sebuah asas HPI yang bersifat tetap untuk menyelesaikan berbagai perkara HPI .

Anda mungkin juga menyukai