Anda di halaman 1dari 27

ASSALAMUALAIKUM WR.

WB
KELOMPOK 1
NAMA : NURUL HIDAYAH (3194016)

: PUTERI NURLESTARI (3194018)

: KURNIA DWI AGUSTINA (3194010)

KELAS : D4 AKUNTANSI KEUANGAN 2A

MATA KULIAH : PERPAJAKAN


A. Surat Setoran Pajak (SSP) dan Pembayaran Pajak

1. Definisi Surat Setoran Pajak (SSP)


Dikutip dari laman ortax.org pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang Bentuk Surat
Setoran Pajak Pasal 1 Ayat (2), Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui
Kantor Penerima Pembayaran.

2. Fungsi Surat Setoran Pajak (SSP)


Digunakan sebagai bukti transaksi pajak yang tentunya sudah disahkan oleh pejabat kantor atau
dalam hal ini kantor penerima pajak yang berwenang.
3. Jenis-Jenis Surat Setoran Pajak (SSP)

a. SSP Standar
SSP Standar adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan atau berfungsi untuk
melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor Penerima Pembayaran dan
digunakan sebagai bukti pembayaran dengan bentuk, ukuran dan isi sebagaimana ditetapkan dalam
lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini (Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang Bentuk
Surat Setoran Pajak Pasal 1 Ayat (3)).

b. SSP Khusus
SSP Khusus adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke Kantor Penerima
Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran dengan menggunakan mesin transaksi
dan atau alat lainnya yang isinya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, dan mempunyai fungsi yang sama dengan SSP Standar dalam administrasi perpajakan
(Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang Bentuk Surat Setoran Pajak Pasal 1 Ayat (4)).
c. SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak Dalam Rangka Impor)
SSPCP adalah SSP yang digunakan oleh Importir atau Wajib Bayar dalam rangka impor
(Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang Bentuk Surat Setoran Pajak Pasal 1 Ayat (5)).

d. SSCP (Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan
Dalam Negeri)
SSCP adalah SSP yang digunakan oleh Pengusaha untuk cukai atas Barang Kena Cukai
dan PPN hasil tembakau buatan dalam negeri (Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang Bentuk
Surat Setoran Pajak Pasal 1 Ayat (6)).
4. Contoh SSP
5. Cara Mengisi SSP

• Isi nomor NPWP pada kolom NPWP;


• Isikan nama Wajib Pajak beserta alamat jelas ;
• Tuliskan nomor kode akun pajak dan kode jenis setoran;
• Dalam bagian uraian pembayaran tuliskan keterangan pembayaran pajak yang akan dilakukan;
• Pada bagian masa pajak berikan tanda silang (X) sesuai periode pajak;
• Isi nomor ketetapan sesuai yang tercantum pada Surat Ketetapan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) atau Surat Tagihan Pajak (STP);
• Kemudian tulis jumlah pembayaran dalam angka dan format rupiah penuh di kolom jumlah pembayaran.
Sedangkan pada kolom terbilang tuliskan dalam huruf latin dan bahasa Indonesia jumlah angka yang
dibayarkan;
• Pada bagian Wajib Pajak/Penyetor mencantumkan tempat serta tanggal dilakukannya penyetoran disertai
tanda tangan dan nama jelas; dan
• Sedangkan pada kolom “Diterima oleh Kantor Pembayaran” diisi dengan NTP, NTB atau NTPP oleh pihak
Kantor Penerima Pembayaran.
B. Pemotongan/Pemungutan Pajak

1. Definisi
Dikutip dari laman ortax.org pada Peraturan Menteri Keuangan Tentang Bukti
Pemotongan dan/atau Pemugutan Pajak Penghasilan Pasal 1 Ayat (1), Pemotong dan/atau
Pemungut Pajak Penghasilan adalah Wajib Pajak yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan diwajibkan untuk melakukan pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan.
2. Kewajiban Pemotongan dan Pemungutan PPh
JENIS KEWAJIBAN DASAR HUKUM/ATURAN PELAKSANAAN
NO.
Pemotongan PPh Pasal 21/26 atas pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000
1. pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan
kegiatan

Keputusan Menkeu Nomor 254/KMK.03/2001 tanggal 30 April 2001 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang
Menkeu Nomor 392/KMK.03/2001 tanggal 4 Juli 2001 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-417/PJ/2001
tanggal 27 Juni 2001

Pemotongan PPh Pasal 23/26 atas pembayaran bunga, royalti, hadiah dan penghargaan selain Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
3. yang telah dipotong PPh Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret
harta serta jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa 2002
yang telah dipotong PPh Pasal 21

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5
4. Pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran dari persewaan tanah dan atau bangunan
Tahun 2002 dan Keputusan Menkeu Nomor 394/KMK.04/1996 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Menkeu Nomor 120/KMK.03/2002 tanggal 1 April 2002

Pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran berdasarkan perjanjian charter dari Keputusan Menkeu Nomor 416/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 dan SE Dirjen Pajak Nomor SE-29/PJ.4/1996
5. pengangkutan orang dan/atau barang oleh perusahaan pelayaran dalam negeri tanggal 13 Agustus 1996

Pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran berdasarkan perjanjian charter dari Keputusan Menkeu Nomor 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 dan SE Dirjen Pajak Nomor SE-32/PJ.4/1996
6. pengangkutan orang dan/atau barang oleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar tanggal 29 Agustus 1996
negeri

Pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran berdasarkan perjanjian charter dari Keputusan Menkeu Nomor 475/KMK.04/1996 tanggal 23 Juli 1996 dan SE Dirjen Pajak Nomor SE-35/PJ.4/1996
7. pengangkutan orang dan/atau barang oleh perusahaan penerbangan dalam negeri tanggal 1 Oktober 1996
3. Objek dan Tarif PPh

Objek dan tarif PPh dapat dilihat pada laman ortax.org, yaitu:
• PPh Pasal 4 Ayat (2)
• PPh Pasal 15
• PPh Pasal 21
• PPh Pasal 22
• PPh Pasal 23
• PPh Pasal 26
4. Sifat Pemotongan/Pemungutan Pajak

Peraturan Menteri Keuangan Tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemugutan


Pajak Penghasilan Pasal 3 Ayat (1), Pajak Penghasilan yang tercantum dalam Bukti
Pemotongan PPh dan/atau Bukti Pemungutan PPh atas penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat tidak final dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak bagi
pihak yang dipotong dan/atau dipungut.

Peraturan Menteri Keuangan Tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemugutan


Pajak Penghasilan Pasal 3 Ayat (2), Pajak Penghasilan yang tercantum dalam Bukti
Pemotongan PPh dan/atau Bukti Pemungutan PPh atas penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final merupakan bukti pelunasan Pajak Penghasilan bagi pihak
yang dipotong dan/atau dipungut.
C. Surat Pemberitahuan (SPT) dan Pelaporan Pajak

1. Definisi
Dikutip dari laman ortax.org pada Peraturan Menteri Keuangan Tentang
Perubahan Atas Perubahan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat
Pemberitahuan (SPT) Pasal 1 Ayat (8), Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disingkat
SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
2. Jenis SPT

Pasal 1 Ayat (9), SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak. Ada dua jenis SPT Tahunan, yaitu (1) SPT Tahunan PPh WP
Badan, dan (2) SPT Tahunan WP Orang Pribadi (OP).
Pasal 1 Ayat (10), SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak. Ada 9
(sembilan) jenis SPT Masa, meliputi SPT Masa untuk melaporkan pembayaran
bulanan: (1) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, (2) PPh Pasal 22, (3) PPh Pasal 23,
(4) PPh Pasal 25, (5) PPh Pasal 26, (6) PPh Pasal 4 (2), (7) PPh Pasal 15, (8) Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas BArang Mewah (PPnBM) dan (9)
Pemungut PPN.
3. Sanksi Keterlambatan Pelaporan SPT
4. Pengecualian Pengenaan Sanksi Denda Penyampaian SPT
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU KUP, WP yang dikecualikan dari pengenaan sanksi
denda karena terlambat atau tidak menyampaikan SPT adalah :

Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;


Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Penagihan Pajak
A. Pengertian dan Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP)

Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda kepada Wajib Pajak yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak (Pasal 1 angka 20 Undang-undang KUP).

B. Fungsi dan Sanksi Administrasi Surat Tagihan Pajak (STP)

1. Fungsi STP
• Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak,
• Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda.
• Sarana untuk menagih pajak.
2. Sanksi yang Diberlakukan
Sanksi yang akan diberlakukan bagi penerima STP juga telah diatur oleh Pasal 14 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007.

• Sanksi administrasi
Sanksi administrasi berupa denda Rp 50.000 ,- jika wajib pajak tidak atau terlambat penyampaian SPT Masa
dan Rp 100.000,- jika tidak atau terlambat menyampaikan SPT Tahunan.
Sanksi administrasi berupa denda 2 persen dari Dasar Pengenaan Pajak dalam hal Pengusaha yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-Undang PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
PKP atau Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha te1ah
dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu
atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.
Sanksi administrasi berupa bunga dalam hal wajib pajak membetulkan sendiri SPT-nya, yang mana hasil
pembetulan tersebut menyatakan kurang bayar.
Sanksi administrasi berupa bunga apabila wajib pajak terlambat atau tidak membayar pajak yang sudah jatuh
tempo pembayarannya
C. Kekuatan Hukum Surat Tagihan Pajak (STP)

Dasar hukum penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) adalah Pasal 11, 12 dan 13 Undang-
undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Petunjuk Penerbitan Surat Tagihan
Pajak dan Pelaksanaan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan).

D. Surat Teguran Pajak


1. Definisi
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan
Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus Pasal 1 Ayat (3), Surat Teguran, Surat
Peringatan, atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau
memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat Teguran tidak diterbitkan
terhadap Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
2. Cara Penyampaian Surat Teguran
• secara langsung;
• melalui pos;atau
• melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

3. Tidak Terjadi Pelunasan


Apabila jumlah utang pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat
waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal disampaikan Surat Teguran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat dan
diberitahukan secara langsung oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
E. Surat Paksa

Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak. Surat Paksa yang telah dilaksanakan diserahkan kepda Kasi P2K
disertai Laporan Pelaksanaan Surat Paksa (KP.PBB.5.38) untuk di masukkan
dalam berkas Penagihan Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang bersangkutan dengan
terlebih dahulu dicatat tanggal pelaksanaan Surat Paksa dalam Daftar Pengawasan
Tindakan Penagihan dan pada tindasan Surat Tagihan Pajak, Dalam melaksanakan
Surat Paksa tersebut Juru Sita sedapat mungkin melihat keadaan rumah
tangga/Perusahaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak untuk dapat memberikan
informasi dalam rangka mengambil langkah berikutnya.
E. Dasar Hukum dan Tahapan Penerbitan Surat Paksa
Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
Prosedur penagihan pajak melalui surat paksa:
a) Menteri keuangan akan menunjuk beberapa pejabat sebagai pejabat untuk penagihan pajak,
b) ejabat yang ditunjuk berhak mengangkat dan memberhentikan juru sita pajak sebagai pelaksana
tindakan penagihan pajak, sebelum penagihan telah disampaikan surat teguran oleh pejabat.
c) Sesuai Pasal 12 PMK 24/2008, apabila jumlah utang pajak masih belum juga dilunasi oleh penanggung
pajak setelah melewati waktu 21 hari sejak tanggal disampaikan surat teguran, akan diterbitkan surat
paksa oleh pejabat dan diberitahukan secara langsung oleh juru sita pajak kepada penanggung pajak.
d) Memberitahukan surat paksa tersebut kepada penanggung pajak yang bersangkutan dengan
membacakan isi surat paksa oleh juru sita pajak. Hal ini dituangkan dalam berita acara yang
ditandatangani oleh juru sita pajak dan penanggung pajak. Berita acara tersebut setidaknya harus berisi:
 Hari dan tanggal pemberitahuan surat paksa;
 Nama juru sita pajak;
 Nama yang menerima; dan
 Tempat pemberitahuan surat paksa
F. Rincian Jurusita, Lelang, dan Gugatan

1. Definisi
Dikutip dari laman ortax.org pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa, Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi
penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan
dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.
Gugatan atau Sanggahan adalah upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau
kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
2. Rincian Jurusita, Lelang, dan Gugatan

a. Jurusita

Tugas dan wewenang Jurusita Pajak:

1) Tugas jurusita pajak menurut Pasal 5 Ayat (1):


Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
Memberitahukan Surat Paksa;
Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
dan
Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.
2) Wewenang jurusita pajak menurut Pasal 5 Ayat (3):
• Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk
membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat usaha, di tempat kedudukan, atau di
tempat tinggal Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
b. Lelang
• Ketentuan lelang:
• Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak belum memperoleh keputusan
keberatan (Pasal 27 Ayat (1));
• Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak (Pasal 27 Ayat (2));
• Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, atau
berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan badan peradilan pajak, atau objek lelang musnah (Pasal 27 Ayat (3));
• Hasil Lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang belum dibayar dan sisanya
untuk membayar utang pajak (Pasal 28 Ayat (1));
• Dalam hal penjualan secara lelang, biaya penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditambah 1% (satu
persen) dari pokok lelang (Pasal 28 Ayat (1a));
• Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak,
pelaksanaan lelang dihentikan oleh pejabat walaupun barang yang akan dilelang masih ada (Pasal 28 Ayat (2));
• Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah
pelaksanaan lelang (Pasal 28 Ayat (3));
• Pejabat yang lalai melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 28 Ayat (4));
• Hak Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan Risalah
Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak (Pasal 28 Ayat (5)).
• c. Gugatan
• Ketentuan gugatan :

1. Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman
Lelang hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak (Pasal 37 Ayat (1));

2. Dalam hal gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Penanggung Pajak dapat memohon
pemulihan nama baik dan ganti rugi kepada Pejabat (Pasal 37 Ayat (1a));

3. Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1a) paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) (Pasal 37 Ayat
(1b));

4. Perubahan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1b) ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan
Kepala Daerah (Pasal 37 Ayat (1c));

5. Gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak
Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang dilaksanakan (Pasal 37 Ayat (2));

6. Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dan dalam Pasal 37 ayat (1) tidak menunda pelaksanaan penagihan
pajak (Pasal 41 Ayat (3)).
KESIMPULAN
Alur Pembayaran Pajak:
1. Menghitung, oleh Wajib Pajak yang bersangkutan;
2. Membayar, dengan melalui Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank Persepsi atau Kantor Pos;
3. Melapor, dengan Surat Pemberitahuan (SPT) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP);
4. Terbit Surat Tagihan Pajak, jika tidak membayar maka akan dikeluarkan Surat Teguran;
5. Surat Teguran, jika tidak membayar maka akan dikeluarkan Surat Paksa;
6. Surat Paksa, jika tidak membayar maka akan dikeluarkan Surat Sita;
7. Surat Sita, jika tidak membayar maka barang Wajib Pajak akan dilelang (apabila cukup maka
proses selesai, apabila kurang Fiskus akan melelang barang lain sampai nilai utang terlunasi,
apabila lebih maka akan dikembalikan kepada yang bersangkutan); dan
8. Gugatan atau sanggahan, apabila terjadi upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak
atau kepemilikan barang.
TERIMAKASIH
WASALAMUALAIKUM WR.WB

Anda mungkin juga menyukai