WB
KELOMPOK 1
NAMA : NURUL HIDAYAH (3194016)
a. SSP Standar
SSP Standar adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan atau berfungsi untuk
melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor Penerima Pembayaran dan
digunakan sebagai bukti pembayaran dengan bentuk, ukuran dan isi sebagaimana ditetapkan dalam
lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini (Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang Bentuk
Surat Setoran Pajak Pasal 1 Ayat (3)).
b. SSP Khusus
SSP Khusus adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke Kantor Penerima
Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran dengan menggunakan mesin transaksi
dan atau alat lainnya yang isinya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, dan mempunyai fungsi yang sama dengan SSP Standar dalam administrasi perpajakan
(Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang Bentuk Surat Setoran Pajak Pasal 1 Ayat (4)).
c. SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak Dalam Rangka Impor)
SSPCP adalah SSP yang digunakan oleh Importir atau Wajib Bayar dalam rangka impor
(Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang Bentuk Surat Setoran Pajak Pasal 1 Ayat (5)).
d. SSCP (Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan
Dalam Negeri)
SSCP adalah SSP yang digunakan oleh Pengusaha untuk cukai atas Barang Kena Cukai
dan PPN hasil tembakau buatan dalam negeri (Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang Bentuk
Surat Setoran Pajak Pasal 1 Ayat (6)).
4. Contoh SSP
5. Cara Mengisi SSP
1. Definisi
Dikutip dari laman ortax.org pada Peraturan Menteri Keuangan Tentang Bukti
Pemotongan dan/atau Pemugutan Pajak Penghasilan Pasal 1 Ayat (1), Pemotong dan/atau
Pemungut Pajak Penghasilan adalah Wajib Pajak yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan diwajibkan untuk melakukan pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan.
2. Kewajiban Pemotongan dan Pemungutan PPh
JENIS KEWAJIBAN DASAR HUKUM/ATURAN PELAKSANAAN
NO.
Pemotongan PPh Pasal 21/26 atas pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000
1. pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan
kegiatan
Keputusan Menkeu Nomor 254/KMK.03/2001 tanggal 30 April 2001 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang
Menkeu Nomor 392/KMK.03/2001 tanggal 4 Juli 2001 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-417/PJ/2001
tanggal 27 Juni 2001
Pemotongan PPh Pasal 23/26 atas pembayaran bunga, royalti, hadiah dan penghargaan selain Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
3. yang telah dipotong PPh Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret
harta serta jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa 2002
yang telah dipotong PPh Pasal 21
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5
4. Pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran dari persewaan tanah dan atau bangunan
Tahun 2002 dan Keputusan Menkeu Nomor 394/KMK.04/1996 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Menkeu Nomor 120/KMK.03/2002 tanggal 1 April 2002
Pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran berdasarkan perjanjian charter dari Keputusan Menkeu Nomor 416/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 dan SE Dirjen Pajak Nomor SE-29/PJ.4/1996
5. pengangkutan orang dan/atau barang oleh perusahaan pelayaran dalam negeri tanggal 13 Agustus 1996
Pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran berdasarkan perjanjian charter dari Keputusan Menkeu Nomor 417/KMK.04/1996 tanggal 14 Juni 1996 dan SE Dirjen Pajak Nomor SE-32/PJ.4/1996
6. pengangkutan orang dan/atau barang oleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar tanggal 29 Agustus 1996
negeri
Pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran berdasarkan perjanjian charter dari Keputusan Menkeu Nomor 475/KMK.04/1996 tanggal 23 Juli 1996 dan SE Dirjen Pajak Nomor SE-35/PJ.4/1996
7. pengangkutan orang dan/atau barang oleh perusahaan penerbangan dalam negeri tanggal 1 Oktober 1996
3. Objek dan Tarif PPh
Objek dan tarif PPh dapat dilihat pada laman ortax.org, yaitu:
• PPh Pasal 4 Ayat (2)
• PPh Pasal 15
• PPh Pasal 21
• PPh Pasal 22
• PPh Pasal 23
• PPh Pasal 26
4. Sifat Pemotongan/Pemungutan Pajak
1. Definisi
Dikutip dari laman ortax.org pada Peraturan Menteri Keuangan Tentang
Perubahan Atas Perubahan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat
Pemberitahuan (SPT) Pasal 1 Ayat (8), Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disingkat
SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
2. Jenis SPT
Pasal 1 Ayat (9), SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak. Ada dua jenis SPT Tahunan, yaitu (1) SPT Tahunan PPh WP
Badan, dan (2) SPT Tahunan WP Orang Pribadi (OP).
Pasal 1 Ayat (10), SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak. Ada 9
(sembilan) jenis SPT Masa, meliputi SPT Masa untuk melaporkan pembayaran
bulanan: (1) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, (2) PPh Pasal 22, (3) PPh Pasal 23,
(4) PPh Pasal 25, (5) PPh Pasal 26, (6) PPh Pasal 4 (2), (7) PPh Pasal 15, (8) Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas BArang Mewah (PPnBM) dan (9)
Pemungut PPN.
3. Sanksi Keterlambatan Pelaporan SPT
4. Pengecualian Pengenaan Sanksi Denda Penyampaian SPT
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU KUP, WP yang dikecualikan dari pengenaan sanksi
denda karena terlambat atau tidak menyampaikan SPT adalah :
Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda kepada Wajib Pajak yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak (Pasal 1 angka 20 Undang-undang KUP).
1. Fungsi STP
• Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak,
• Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda.
• Sarana untuk menagih pajak.
2. Sanksi yang Diberlakukan
Sanksi yang akan diberlakukan bagi penerima STP juga telah diatur oleh Pasal 14 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007.
• Sanksi administrasi
Sanksi administrasi berupa denda Rp 50.000 ,- jika wajib pajak tidak atau terlambat penyampaian SPT Masa
dan Rp 100.000,- jika tidak atau terlambat menyampaikan SPT Tahunan.
Sanksi administrasi berupa denda 2 persen dari Dasar Pengenaan Pajak dalam hal Pengusaha yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-Undang PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
PKP atau Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha te1ah
dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu
atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.
Sanksi administrasi berupa bunga dalam hal wajib pajak membetulkan sendiri SPT-nya, yang mana hasil
pembetulan tersebut menyatakan kurang bayar.
Sanksi administrasi berupa bunga apabila wajib pajak terlambat atau tidak membayar pajak yang sudah jatuh
tempo pembayarannya
C. Kekuatan Hukum Surat Tagihan Pajak (STP)
Dasar hukum penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) adalah Pasal 11, 12 dan 13 Undang-
undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Petunjuk Penerbitan Surat Tagihan
Pajak dan Pelaksanaan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan).
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak. Surat Paksa yang telah dilaksanakan diserahkan kepda Kasi P2K
disertai Laporan Pelaksanaan Surat Paksa (KP.PBB.5.38) untuk di masukkan
dalam berkas Penagihan Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang bersangkutan dengan
terlebih dahulu dicatat tanggal pelaksanaan Surat Paksa dalam Daftar Pengawasan
Tindakan Penagihan dan pada tindasan Surat Tagihan Pajak, Dalam melaksanakan
Surat Paksa tersebut Juru Sita sedapat mungkin melihat keadaan rumah
tangga/Perusahaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak untuk dapat memberikan
informasi dalam rangka mengambil langkah berikutnya.
E. Dasar Hukum dan Tahapan Penerbitan Surat Paksa
Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
Prosedur penagihan pajak melalui surat paksa:
a) Menteri keuangan akan menunjuk beberapa pejabat sebagai pejabat untuk penagihan pajak,
b) ejabat yang ditunjuk berhak mengangkat dan memberhentikan juru sita pajak sebagai pelaksana
tindakan penagihan pajak, sebelum penagihan telah disampaikan surat teguran oleh pejabat.
c) Sesuai Pasal 12 PMK 24/2008, apabila jumlah utang pajak masih belum juga dilunasi oleh penanggung
pajak setelah melewati waktu 21 hari sejak tanggal disampaikan surat teguran, akan diterbitkan surat
paksa oleh pejabat dan diberitahukan secara langsung oleh juru sita pajak kepada penanggung pajak.
d) Memberitahukan surat paksa tersebut kepada penanggung pajak yang bersangkutan dengan
membacakan isi surat paksa oleh juru sita pajak. Hal ini dituangkan dalam berita acara yang
ditandatangani oleh juru sita pajak dan penanggung pajak. Berita acara tersebut setidaknya harus berisi:
Hari dan tanggal pemberitahuan surat paksa;
Nama juru sita pajak;
Nama yang menerima; dan
Tempat pemberitahuan surat paksa
F. Rincian Jurusita, Lelang, dan Gugatan
1. Definisi
Dikutip dari laman ortax.org pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa, Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi
penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan
dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.
Gugatan atau Sanggahan adalah upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau
kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
2. Rincian Jurusita, Lelang, dan Gugatan
a. Jurusita
1. Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman
Lelang hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak (Pasal 37 Ayat (1));
2. Dalam hal gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Penanggung Pajak dapat memohon
pemulihan nama baik dan ganti rugi kepada Pejabat (Pasal 37 Ayat (1a));
3. Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1a) paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) (Pasal 37 Ayat
(1b));
4. Perubahan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1b) ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan
Kepala Daerah (Pasal 37 Ayat (1c));
5. Gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak
Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang dilaksanakan (Pasal 37 Ayat (2));
6. Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dan dalam Pasal 37 ayat (1) tidak menunda pelaksanaan penagihan
pajak (Pasal 41 Ayat (3)).
KESIMPULAN
Alur Pembayaran Pajak:
1. Menghitung, oleh Wajib Pajak yang bersangkutan;
2. Membayar, dengan melalui Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank Persepsi atau Kantor Pos;
3. Melapor, dengan Surat Pemberitahuan (SPT) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP);
4. Terbit Surat Tagihan Pajak, jika tidak membayar maka akan dikeluarkan Surat Teguran;
5. Surat Teguran, jika tidak membayar maka akan dikeluarkan Surat Paksa;
6. Surat Paksa, jika tidak membayar maka akan dikeluarkan Surat Sita;
7. Surat Sita, jika tidak membayar maka barang Wajib Pajak akan dilelang (apabila cukup maka
proses selesai, apabila kurang Fiskus akan melelang barang lain sampai nilai utang terlunasi,
apabila lebih maka akan dikembalikan kepada yang bersangkutan); dan
8. Gugatan atau sanggahan, apabila terjadi upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak
atau kepemilikan barang.
TERIMAKASIH
WASALAMUALAIKUM WR.WB