Anda di halaman 1dari 5

Stefanus Putu P H0808149 AGB Tugas Ekonomi Internasional Pak Darsono

1. Uraikan aspek kepentingan dari sistem keuangan internasional dalam peradaban global! 2. Bagaimana sistem kurs mata uang antar negara bisa mencapai keseimbangan? Jelaskan! 3. Bagaimana ancaman nilai tukar uang domestik dalam perdagangan sistem keuangan internasional? Jelaskan! 4. Jelaskan transaksi dalam neraca pembayaran (balance of payment) dari transaksi perdagangan internasional? 5. Tata kelola keuangan internasional dalam peradaban global mengapa perlu pemahaman? Bagaimana pandangan anda tentang Multi National Corporation (MNC)?

Jawab : 1. Globalisasi ekonomi terus melaju, meluas dan mendalam. Melalui perjanjian WTO, dalam program-program IMF dan Bank Dunia dan juga dalam perjanjian - perjanjian liberalisasi ekonomi regional seperti AFTA dan ASEAN, globalisasi ekonomi merasuk ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Prakarsa sendiri melihat, globalisasi sebagai satu arus sejarah yang terkendali. Pemegang kendalinya ada pada lembaga dan forum ekonomi global seperti World Trade Organization (WTO), World Bank, IMF dan BIS. Prakarsa mengajak para pihak untuk memahami cara kerja globalisasi dengan lebih mendalam. Bagian vital yang harus dicermati dari globalisasi ada pada mekanisme pengambilan keputusannya. Dalam forum-forum globalisasi seperti WTO, dan peran Lembaga-lembaga Keuangan Internasional (International Financial Institutions/IFIs), seperti IMF, World Bank dan WTO dan BIS sangatlah vital. Dengan memahami lembaga-lembaga ini, negosiasi dalam globalisasi akan menjadi lebih mudah. Prakarsa telah mengundang para pihak di Indonesia untuk berbagi dan memperdalam pengetahuan mereka mengenai tata kelola lembagalembaga keuangan internasional. Para pihak itu mulai dari sesama Ornop hingga unsur

pemerintah dari berbagai kementerian terkait. Perkumpulan Prakarsa lalu memfasilitasi serangkaian kegiatan seperti : penulisan kertas kerja oleh aktivis Ornop (tentang dampak kerja lembaga keuangan internasional terhadap layanan publik di Indonesia di sektor sumber daya air dan restrukturisasi sektor energi) dan pemerintah (tentang tata kelola lembaga keuangan internasional), survey persepsi mengenai stakeholders lembaga keuangan internasional, pertemuan multi-stakeholders untuk memetakan masalah - masalah tata kelola globalisasi, dilanjutkan penulisan position paper masyarakat sipil mengenai tata kelola globalisasi. 2. Sifat kurs valuta asing tergantung dari sifat pasar. Apabila transaksi jual beli vvaluta asing dapat dilakukan secara bebas di pasar, maka kurs valuta asing akan berubah ubah sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran. Apabila pemerintahan menjalankan kebijakan stabilitas kurs tanpa melibatkan pihak swasta, maka kurs ini akan berubah ubah di dalam batas yang kecil, meskipun batas batas ini dapat diubah dari waktu ke waktu. Kegiatan stabilitas kurs dapat dijalankan dengan cara : apabila tendensi kurs valuta asing akan turun maka pemerintah membeli valuta asing di pasar. Dengan tambahnya permintaan dari pemerintah maka tendensi kurs turun dapat dicegah. Sebaliknya, apabila tendensi kurs naik, maka pemerintah menjual valuta asing di pasar sehingga penawaran valuta asing bertambah dan kenaikan kurs dapat dicegah. 3. Secara makro, perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa akselarasi pembangunan ekonomi nasional yang semestinya dapat dirasakan oleh masyarakat secara adil dan merata mengalami kendala mendasar. Kondisi ini ini dapat terlihat bahwa ada kecenderungan beberapa daerah yang masih memiliki potensi sumber daya menghendaki untuk memekarkan diri sebagai sebuah propinsi yang otonom, bahkan beberapa daerah berupaya untuk memisahkan diri. Pertimbangan beberapa daerah tersebut umumnya mempunyai alasan misalnya, distribusi welfare state yang tidak adil memicu kesenjangan ekonomi antar daerah. Adanya tuntutan atau "demanding" masyarakat lokal terkait dengan otonomi daerah pada saat reformasi digulirkan sesungguhnya diharapkan dapat membawa solusi bagi pembangunan ekonomi nasional. Namun karena pengelolaannya yang tidak mempertimbangan kepentingan nasional secara utuh, maka yang terjadi adalah justru sebaliknya dimana kemudian berdampak pada masalah manajemen pembangunan dan keamanan ekonomi, yang kemudian berujung kepada masalah perebutan sumber daya. Karena itu, secara makro ekonomi

Indonesia dilihat dari perspektif ketahanan ekonomi tidak menunjukkan sinergisitas dalam mendorong roda perekonomian nasional. Secara mikro ekonomi, nampak telah terjadi kesenjangan di tengah masyarakat, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs). Di lain pihak beberapa kelompok masyarakat dapat menikmati kebutuhan yang lebih bersifat sekunder dan tertier, sehingga mendorong terjadinya disparitas ekonomi. Begitu halnya adanya investasi asing di daerah-daerah yang semestinya dapat mendukung ekonomi masyarakat setempat justru memicu "social gap. Karena itu yang paling penting dalam mengatasi masalah keamanan ekonomi saat ini paling tidak kebutuhan dasar masyarakat dapat terpenuhi secara baik sehingga tidak berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Meskipun kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah selama ini disadari bahwa untuk meningkatkan kondisi perekonomian nasional secara makro, namun karena persoalanpersoalan keamanan moneter dan perbankan, investasi, serta terganggunya perdagangan internasional sebagai akibat mengemukanya isu-isu terorisme, pembajakan, pencucian uang maupun yang terkait dengan masalah ekonomi politik internasional yang tidak menentu, maka resiko ekonomi mikro harus ditanggung oleh masyarakat. 4. Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun 1990/91 sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik militer sekitar Teluk Persia serta timbulnya gejala resesi di negara-negara industri. Harga komoditi primer secara umum cenderung menurun sedangkan harga minyak bumi yang semula lesu, melonjak mulai awal semester ke dua tahun 1990 dan kemudian disusul dengan kemerosotan dalam triwulan pertama tahun 1991. Di dalam negeri, investasi yang meningkat sangat pesat mengakibatkan pertumbuhan impor yang amat pesat pula, terutama impor barang - barang modal. Peningkatan kegiatan investasi juga sangat meningkatkan penggunaan berbagai bahan baku dan penolong tertentu seperti bahan bakar minyak, semen, besi dan baja. Meningkatnya investasi juga menimbulkan tekanan-tekanan pada kapasitas beberapa prasarana dasar seperti listrik, pelabuhan dan telekomunikasi. Dalam tahun 1990/91 nilai ekspor secara keseluruhan meningkat sebesar 18,1% dari US$ 23,8 miliar pada tahun 1989/90 menjadi US$ 28,1 miliar. Laju pertumbuhan tersebut menurun dibandingkan dengan kenaikan sebesar 20,2% dalam tahun 1989/90.

Melambatnya pertumhuhan ekspor dalam tahun 1990/91 ini terutama karena laju pertumbuhan ekspor di luar minyak dan gas bumi menurun dari 19,0% menjadi 6,1%. Laju pertumbuhan nilai ekspor minyak bumi dan gas alam cair (LNG) termasuk gas minyak bumi cair (LPG) masing-masing meningkat dari 25,6% menjadi 28,1% dan dari 15,8% menjadi 54,5%. Peranan ekspor di luar minyak dan gas bumi dalam nilai ekspor keseluruhan menurun dari 60,8% dalam tahun 1989/90 menjadi 54,6% dalam tahun 1990/91. Sementara itu, nilai impor (f.o.b.) keseluruhan dalam tahun 1990/91 meningkat pesat yaitu dengan 32,5%, sedangkan dalam tahun 1989/90 impor meningkat dengan 21,4%. Seperti yang disebutkan di atas, peningkatan impor selama dua tahun terakhir ini terutama disebabkan oleh peningkatan impor di luar migas sebagai akibat dari peningkatan kegiatan investasi. Pengeluaran devisa netto untuk jasa-jasa dalam tahun 1990/91 mengalami peningkatan sebesar 9,9% dibanding dengan tahun 1989/90. Untuk jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi dan jasa-jasa di sektor minyak bumi, pengeluaran devisa netto mengalami kenaikan sebesar masing-masing 10,2% dan 9,1%. Demikian pula pengeluaran devisa netto untuk jasa-jasa di sektor LNG dan LPG meningkat dengan 10,1%. Sementara itu, penerimaan devisa dari jasa-jasa di luar jasa-jasa sektor minyak dan bumi menunjukkan kenaikan sebesar 16,0% dari US$ 2.373 juta menjadi US$ 2.752 juta. Salah satu pos terpenting dalam penerimaan jasa-jasa ini adalah penerimaan dari sektor pariwisata, yang meningkat pesat dari US$ 1.630 juta pada tahun 1989/90 menjadi US$ 2.199 juta pada tahun 1990/91 atau naik sebesar 34,9%. Dalam tahun 1990/91 kecenderungan umumnya adalah surplus perdagangan yang mengecil dan defisit jasa-jasa yang membesar. Sebagai akibatnya defisit transaksi berjalan meningkat dari US$ 1.599 juta dalam tahun 1989/90 menjadi US$ 3.741 juta dalam tahun 1990/91. Bersamaan dengan defisit transaksi berjalan yang membesar, arus modal yang masuk sangat meningkat terutama modal sektor swasta. Di sektor pemerintah justru terj adi penurunan arus modal sebesar 9,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bantuan program turun dari US$ 1.037 juta menjadi US$ 718 juta karena menurunnya pembiayaan melalui bantuan khusus dari US$ 1.031 juta menjadi US$ 718 juta,

sedangkan bantuan program berupa pangan sudah tidak ada lagi. Dalam pada itu, bantuan proyek bersyarat lunak meningkat sebesar 14,3% dari US$ 2.939 juta menjadi US$ 3.358 juta, sesuai dengan kebijaksanaan untuk sebanyak mungkin mengusahakan pinjaman bersyarat lunak. Penggunaan seluruh bantuan khusus menurun dari US$ 1.670 juta pada tahun 1989/90 menjadi US$ 1.310 juta pada tahun 1990/91. Sementara itu, pelunasan pokok hutang luar negeri pemerintah naik dengan 10,7% dari US$ 3.686 juta dalam tahun 1989/90 menjadi US$ 4.082 juta dalam tahun 1990/91. 5. Multi-National Corporations (MNCs) cenderung untuk memilih berinvestasi pada Negara - negara berkembang atas faktor rendahnya biaya tenaga kerja, kemudahan untuk mendapatkan sumberdaya natural, dan yang paling penting, adalah sebagai pasar potensial untuk mendistribusikan produk mereka. Kehadiran MNCs tidak berarti akan selalu membawa dampak positif pada setiap dimensi kehidupan, akan tetapi juga membawa dampak negatif, khususnya pada dimensi tenaga kerja seperti praktik perlakuan diskriminatif dan rasis, eksploitasi pekerja di bawah umur, pembayaran upah yang tidak sesuai dengan standar regulasi, praktik outsourcing yang semakin menekan posisi tawar pekerja itu sendiri, serta pelecehan seksual dan lingkungan hidup yang tercemar sebagai akibat dari proses operasional mereka. Sinergi yang positif dari tripartite yang efektif akan menguntungkan setiap stakeholder, baik itu MNCs, pekerja, maupun pemerintah negara. Dibutuhkan adanya kesepahaman antara masing-masing hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap pihak.

Anda mungkin juga menyukai