Anda di halaman 1dari 3

Kebudayaan Ammatoa Dongeng yang berkembang di tengah komunitas suku Kajang; dulu langit dan bumi menyatu berbentuk

tetampah (pattapi). Ketika manusia pertama (mula tauna) muncul di tempat ini, langit dan bumi terpisah. Peristiwa itulah yang mengilhami penamaan kajang yang berarti memisahkan. Beberapa artefak dan andesit di tempat ini menunjukkan, kawasan ini pernah menjadi sentral upacara adat suku Kajang. Suku Kajang bermukim di areal pemukiman di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba sekitar 250 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Menurut tempat mukimnya, suku Kajang terbagi dalam dua kelompok; suku Kajang Luar dan suku Kajang Dalam. Suku Kajang Dalam mendiami tujuh dusun di dalam lingkungan Desa Tana Toa. Pusat kegiatan komunitas adatnya berada di Dusun Benteng. Rumah Ammatoa (pemimpin adat suku Kajang) juga berada di tempat ini; sebuah rumah panggung yang seluruh bagiannya dibuat dari bahan kayu. Bangunan sederhana yang menjadi simbol prinsif kesederhanaan. Sejak dipilih sebagai pemimpin adat, Ammatoa memang harus memperlihatkan simbolsimbol kesederhanaan itu. Ia harus tinggalkan pernik-pernik kehidupan mewah dan modern, dan memberi teladan kepada warganya; bagaimana seharusnya pemimpin bersikap dan berprilaku di setiap bidang kehidupan. Setiap hari, ia harus memakai pakaian adat suku Kajang; baju, kain, dan ikat kepala, berwarna hitam. Dulu, seluruh warga suku Kajang berpakaian seperti itu. Ada makna filosofis di balik pilihan warna ini simbol kesederhanaan, sisi gelap, dan peringatan akan kematian. Di saat sekarang, hanya Ammatoa dan para pemuka adat yang tetap berpakaian hitam dan menjauhi kehidupan modern. Sementara warga suku Kajang lain hanya mengenakan pakaian adat di upacara adat atau menghadap Ammatoa. Warga suku Kajang percaya, Ammatoa merupakan orang yang dipilih oleh Turie Arana (Yang Mahakuasa) sebagai pembimbing dan pengarah kehidupan sesuai Pandangan Patuntung. Sehingga, mereka pun benar-benar menjaga kesucian tokoh adat itu. Dan, tidak seorang pun diperkenankan merekam wajahnya. Pantangan terbesar di lingkungan Tana Toa. Mengenal Kebudayaan Ammatoa Masyarakat Ammatoa pada umumnya berprinsip kamase-masea. Maksudnya suatu konsepsi dengan muatan: lambusu (jujur), gattang (tegas), sabara (sabar), dan apisona (pasrah sepasrah-pasrahnya). Prinsip ini diselimuti oleh ikatan-ikatan emosi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kepercayaan karena mengandung nilai-nilai keramat yang disertai imbalan dan sanksi yang juga keramat. Kegiatan yang tampak dalam kehidupan mereka adalah kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan hidup yang bukan duniawi. Melainkan tujuan alam ghaib (berkumpul bersama Tuhan di tempat yang telah dijanjikan). Sejarah Berdirinya Kebudayaan Ammatoa Menurut suku Amma, Ammatoa ada sejak manusia dilahirkan ke bumi. Menurut mereka Amma ada bersamaan dengan manusia sebelum-sebelum kita (manusia purba). Jadi, Ammatoa sudah ada sejak jaman purba. Perkembangan Kebudayaan Ammatoa

Struktur kehidupan masyarakat Ammatoa amat dibatasi oleh prinsip kamase-masea. Kamase-masea adalah suatu pola sikap dan pola berpikir komunitas Ammatoa yang menyangkut semua hal di dalam kehidupannya. Pola itu diilhami oleh nilai-nilai yang dikandung dalam pasang. Sistem Kepercayaan dan Agama Masyarakat Ammatoa Kepercayaan atau religi adalah kegiatan keagamaan manusia dalam hubungannya dengan budaya. Artinya, perilaku keagamaan dilihat sebagai bagian dari kebudayaan dan terpisah dari pengertian agama menurut definisi agama-agama seperti Islam, Kristen, dan agama lainnya. Religi sebagai gejala manusiawi sudah diterangkan dalam berbagai macam teori. Pengkategorian teori asal mula religi terdiri atas: Teori yang bercorak psikologis Teori yang bercorak sosiologis Teori yang bercorak gabungan psikologis dan sosiologis Adapun sistem kepercayaan masyarakat Ammatoa adalah menekankan usaha mengekang hawa nafsu untuk tidak melaksanakan perbuatan yang tidak sesuai dengan moral yang dapa merugikan orang lain. Juga tidak merusak alam, menaati aturan-aturan pemimpin, jujur, tegas, sabar, rendah diri, dan tidak cinta materi. Serta pasrah sepasrah-pasrahnya untuk mencapai tujuan keselamatan di alam ghaib. Ketaatan mereka dalam menjalankan prinsip kamase-masea disebabkan oleh: Adanya imbalan kalumannyang kalupepeang (kekayaan tiada taranya) Adanya sanksi bagi yang tidak menjalankannya. Sanksi yang dijatuhkan berupa sanksi biasa (pengusiran dari wilayah Tana Kamase-mase atau pengucilan dari semua kegiatan masyarakat) dan yang lebih berat lagi adalah sanksi sakral (penolakan Tuhan terhadap arwahnya apabila mati). Masyarakat ammatoa pada umumnya menganut agama Islam. Akan tetapi, mereka belum sepenuhnya menjalankan rukun islam. Seperti shalat lima waktu, berpuasa, dan berhaji. Tetapi masyarakat Ammatoa tidak mau dikatakan sebagai non-islam. Perkembangan IPTEK di Ammatoa Mengenai pendidikan, banyak warga Ammatoa yang juga mementingkan pendidikan bagi mereka dan anak-anaknya. Buktinya, ada beberapa warga Ammatoa yang menjadi tokoh pendidikan di kalangan manusia yang telah mengalami banyak pergeseran (modernisasi). Akan tetapi, perkembangan IPTEK tersebut tidak boleh dibawa masuk ke dalam wilayah Ammatoa. Karena mereka sangat menolak adanya perubahan terhadap kebudayaan mereka. Hal ini dapat dibenarkan, karena setelah melakukan pengamatan langsung, memang masyarakat di sana seperti tidak mengenal perubahan teknologi di luar Ammatoa. Kami tidak pernah melihat adanya TV, radio, ataupun sepeda. Kehidupan mereka sangat alami. Keadaan ketika Masyarakat Ammatoa Berduka Agama warga Ammatoa 100% Islam. Ketika Amma berduka taksiyah dilakukan selama 100 hari, dan bagi keluarga yang ditinggalkan tidak boleh memakai baju. Hanya menggunakan sarung berwarna hitam selama 100 hari.

Anda mungkin juga menyukai