Anda di halaman 1dari 5

MELAWAN LUPA

narasi-narasi Komunitas Taman 65 Bali

LUPA kok dilawan? Lha wong ada banyak orang malah berharap bisa lupa terutama sama kenangan buruk. Malah ada orang yang ga sampai berharap udah lupa sendiri. Lupa kalau sudah punya pacar trus ngegebet pacar baru (hihihi siapa tuh) atau Lupa ga ngerjain tugas kuliah (hihihi siapa juga tuh) atau Lupa bahwa lembaga pendidikan itu punya etika bisnis yang berbeda dengan lembaga-lembaga bisnis yang lain (wah kalo yang ini aku ga ikut-ikutan ed). Hehe sesuatu banget khaaannnnn Jadi Lupa yang seperti apa to yang pantas untuk selalu dikenang dan diingat? Menurut komunitas Taman 65 yang beralamat di Jalan WR Supratman no. 193 Puri Kesiman Denpasar Bali, KEBENARAN dalam SEJARAH adalah sesuatu yang pantas untuk dikenang dan diwariskan kepada anak dan cucu. Seperti motto di Taman 65 bertuliskan FORGIVE BUT NEVER FORGET. Mungkin bagi kita yang sudah terbiasa dengan budaya haha hihi dan jreng-jreng ngak ngik ngok, Sejarah dan Kebenaran yang terkandung di dalamnya adalah sesautu yang tidak akrab. Negara pun sampai sekarang masih menutup-nutupi kebenaran yang terjadi dan menjadi sejarah, terutama dalam isu kebenaran akan adanya pembunuhan massal, pemutaran sejarah, dan keterikatan pihak asing dalam peristiwa yang kata John Rossa telah merubah identitas bangsa Indonesia. (Memang apa sich jadi penasaran dech ) Kalau dari buku yang diterbitkan kawan-kawan dari komunitas Taman 65, peristiwa itu adalah pembunuhan massal yang kata om John Rossa terjadi pasca pemberontakan perwira muda terhadap perwira tua dalam G30S di Jakarta. Kita langsung aja yak ke bukunya (dipidipidip lubang sejarah di buka kembali ke tahun 60an) Yak Buku ini dibagi menjadi tiga bagian, pertama adalah bidang Kesejarahan, Kedua adalah Dinamika Komunitas, dan Ketiga adalah Pergulatan Nilai. Di tulisan kali ini, kita akan membuka bagian pertama dulu aja ya. Bagian Kesejarahan ada 7 Tulisan menarik mulai dari masalah Tanah, Landreform dan Kemelut 1965 yakni permasalahan Tanah yang melatari peristiwa pembunuhan massal ditulis oleh Roro Sawita. Roro menggaris bawahi konflik sebelum peristiwa pembantaian massal di Bali. Konflik itu adalah konflik tertutup antara kaum buruh tani dengan Raja atau Bangsawan yang memiliki tanah. Konflik ini menjadi konflik terbuka sejak Tahun 1961 dengan bergabungnya petanipetani mandiri dan kecil di pedesaan dan pinggiran kota dalam BTI (Barisan Tani Indonesia) dengan PKI, sementara petanipetani makmur dan petani yang bergantung pada petani makmur bertanah

bergabung dengan organisasi PETANI dengan PNI. Tensinya makin meningkat ketika pelaksanaan Landreform banyak mengalami hambatan. Untuk itu BTI bersama LEKRA atau Lembaga kebudayaan rakyat sering mementaskan tari dan drama tujuh setan desa yang menyindir pihak-pihak yang tidak pro BTI. Konflik terbuka mulai terjadi saat pemilik tanah melarang buruh tani menanam. Aksi balas membalas dengan menanam dan mencabuti lahan akhirnya memuncak dengan konflik berdarah setelah peristiwa G30S. Teng teng teng ROnde kedua Kisah De Raka Sebuah Tutur Rekonsiliasi oleh Agung Alit. Ketika membaca tulisan ini pembaca akan dibawa masuk ke dalam kisah seorang anak yang pada masa pembunuhan masih balita sehingga tidak banyak mengingat dan tidak memiliki trauma psikologis. Anak ini menceritakan siapa ayahnya dari cerita-cerita tetangga serta pengalaman pribadinya sebagai anak melihat orang-orang berbaju hitam mondar-mandir merusak rumah, pada umur 8 tahun saat dibawa ke acara penggalian kuburan massal, sampai pengalamannya mendirikan Taman 65 sebagai tempat peringatan dan tempat belajar bersama tentang pengalaman sejarah, sosial, budaya, dan ekspresi seni yang jauh dari maksud menghidupkan ideologi komunis, membangun sebuah partai komunis apalagi membangkitkan perang saudara. Pengalaman bersama tetangga dan saudara baginya lebih penting dari pada konteks besar agenda perang dingin negara-negara berideologi Komunis lawan Kapitalis. Baginya pengalaman ini adalah agenda rumahan. Agenda rumahan adalah sirik, konflik tanah, cemburu karir, punya istri cantik, konflik keluarga, utang piutang, masalah kasta dan semacamnya. Baginya masalahmasalah ini memunculkan banyak tanda Tanya yang memancing dirinya untuk terus belajar mengenai masalah ini.

Narasi di bagian ke dua akan kita masuk lebih dalam ke narasi nomer Mayun akan menceritakan pengalamannya sendiri ketika peristiwa dalam sebuah tulisan berjudul Suara Yang Ditinggal. Di narasi ini Ibu Mayun detik-detik terakhir bapaknya, yang bapaknya Agung Alit, sebelum ditangkap dan tidak pernah kembali. Karma Phala adalah hukum yang akan ketidakadilan yang terjadi padanya. ibu Mayun tentu berbeda dengan Agung Alit karena ingatannya sudah waktu peristiwa itu terjadi. Kisah yang tragis saat De Raka memainkan seruling perpisahan yang beberapa saat sebelum meninggalkan anak-anak dan istri.

menghantar 3 di mana Ibu itu terjadi Hati Suara menceritakan adalah juga akhirnya Bagi dirinya menjawab Pengalaman pengalaman kuat pada perpisahan menyayat hati

Karma Phala macam apa yang terjadi? Mari kita masuk ke pengalaman seorang cucu dari pihak yang menjadi tameng (tukang jagal); Indra Kusuma dengan puisinya berjudul ??? Siapa sich yang tidak galau kalau tiba-tiba mengetahui bahwa kakeknya adalah pembunuh yang keji. Beban inilah yang muncul di Bli Indra Kusuma. Dalam kisah ini dia berangkat dengan mencari tahu kebenarannya melalui ceritra sang kakek. Kebenaran itupun akhirnya terungkap melalui Neneknya. Dalam puisi ini kita dapat melihat beban sejarah yang dialami oleh keluarga ini juga kakek dan neneknya di masa tua.

AWAS ADA BOM! Berada di barisan ke lima, Gde Putra melihat Warisan Konflik Tragedi 65 di Bali sebagai Bom Waktu yang suatu saat akan meledak. Judul yang lebih meneror ketimbang terror bom yang selalu menjadi ancaman di Bali. (Kok bisa warisan konflik menjadi bom waktu? Alasan utama Gde Putra berangkat dari pengalaman nyata keluarga Made yang berkonflik mengenai urusan tanah dengan keluarga paman. Dalam tulisan ini Bli Putre memandang hukum Karma Phala sebagai hukum yang tidak cukup untuk menjawab kebutuhan yang muncul dari kebutuhan akan ruang hidup dan penghidupan yang layak di jaman modern. Hal ini dia buktikan dengan memuncaknya konflik antara Made yang notabene adalah keturunan dari pemilik tanah yang pasca pembunuhan tanahnya dan sang paman yang mengambil tanah keluarga. Baginya konflik ini akan terus berlangsung meskipun negara dengan intervensinya telah membuat kewajiban menjalankan ritual dan pariwisata hendak membuat orang Bali lupa akan apa yang telah dibuatnya pada peristiwa tragedi 1965.

BAHASA NEGARA! Language of the State oleh Dewa Keta


adalah satu-satunya tulisan berbahasa Inggris di dalam buku ini. Sebagai anak bahasa yang kritis dan dinamis (duuhh Lidahibu bangeettttt.) saya mencermati penggunaan bahasa Inggris di tengah tulisan berbahasa Indonesia ini bukan tanpa alasan. Berkait dengan judul, State bukan negara. Jadi jelas yang diarah di sini adalah bahasa yang datang United State of America yang dalam konteks perang dingin adalah negara kiblatnya Kapitalis dan mati-matian menghilangkan pengaruh Russia sebagai negara Komunis. Dalam Tulisan ini Dewa Keta hendak mempromosikan istilah-istilah lokal untuk menyebut peristiwa kekerasan yang terjadi di Bali daripada menggunakan istilah yang ditawarkan

oleh state sebagai bahasa yang membuat lupa. Jika fungsi tujuan sejarah adalah untuk mengingat masa lalu, maka yang bukan sejarah dan supra-sejarah adalah strategi untuk membuat orang melupakan sajarah. Dan bagi Dewa Keta, bahasabahasa yang sekarang digunakan untuk menyebut peristiwa sejarah 1965 adalah bahasa yang membuat orang lupa akan kebenaran sejarah . Tulisan ini sebenarnya adalah tulisan pembuka yang menantang semua akademisi SASTRA dan BAHASA untuk mengkaji lebih lanjut tentang masalah penggunaan bahasa dalam sejarah dan Negara. Sesi Kesejarahan akhirnya ditutup dengan kisah ke-7 berjudul Riwayat Kakekku oleh Man Angga. Dia menceritakan kisah kakeknya yang hilang dan keadaan keluarga ayahnya yang harus berjuang pasca hilangnya sang kakek. Dalam kisah ini pembaca akan masuk ke dalam rumah kakek dan melihat apa yang dimiliki oleh kakek seraya turut pula merasakan ketakutannya saat dijemput oleh para tameng. Pembaca juga akan dibawa masuk ke pengalaman sang bapak yang mencari kuburan kakek dan menemukan tanah basah tempat perkuburan masal yang baru. Di dalamnya juga diceritakan bagaimana orang Bali membuat upacara pemakaman bagi orang yang jasadnya tidak ditemukan. Kepiluan dan kengerian yang digambarkan di dalam kisah ini akan membawa pembaca ke dalam paling privat penulis ketika bersentuhan dengan kenangan dan keluarga. Nah Sekian dulu ya nanti kita saksikan kupasan berikutnya oleh Dede Savio dan Maria Puspitasari Munthe di dua bagian berikutnya di KEHIDUPAN KOMUNITAS dan PERGULATAN NILAI. Setelah bagian pertama ini, saya sendiri sebagai pembaca dibawa untuk mempertanyakan bagaimana respons dan dampak nyata dalam kehidupan tiga jenis keluarga di Indonesia, KELUARGA KORBAN, KELUARGA PEMBUNUH, dan KELUARGA yang bukan kedua-duanya tapi menjadi KORBAN PELUPAAN SEJARAH? APAKAH MAKNA KORBAN bagiku?

Buku ini saya rekomendasikan bagi mahasiswa Sastra dan Bahasa, juga yang bergiat di Ke-Sejarahan karena di dalam buku ini terkandung tiga unsur tersebut. Narasi sebagai nilai kesusastraan, Nilai Bahasa dalam pilihan kata dan perumusan pengalaman, serta Nilai Sejarah dalam narasi yang beraneka sudut pandang

menjadi komplit terpadu dalam untaian tulisan-tulisan di buku ini.

Stevano Yusuf (Sastra 2008) September 2012 RUANG BACA 2012

Anda mungkin juga menyukai