Anda di halaman 1dari 5

Awas ..! Sholat Jangan merem ..!

Oleh: Farid Numan Hasan

May 30, '09 12:21 AM for everyone

Memejamkan mata ketika shalat pada dasarnya dimakruhkan. Sebab hal itu merupakan tasyabbuh terhadap Yahudi ketika mereka shalat. Namun, jika memejamkan mata karena ada kebutuhan, yakni agar mata kita tidak diganggu oleh pemandangan, karpet, permadani, atau sajadah masjid yang bergambar, maka tidak mengapa dia memejamkan matanya agar tetap terjaga kekhusyuannya.
Sebagian ulama ada yang membolehkan memejamkan mata, sama sekali tidak makruh, lantaran tidak ada hadits shahih yang melarangnya. Ini diisyarakatkan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berikut:

:
Memejamkan mata: sebagian ulama ada yang memakruhkan, sebagian lain membolehkan tidak makruh. Hadits yang meriwayatkan kemakruhannya tidak shahih. (Fiqhs Sunnah, 1/269. Darul Kitab Al Arabi) Bahkan Syaikh Abdul Qadir Ar Rahbawi dalam kitab Ash Shalah Alal Madzahib Al Arbaah tidak memasukkan memejamkan mata dalam bab hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat. Tetapi, Syaikh Sayyid Sabiq sendiri dalam kitab Fiqhus Sunnahnya, memasukkan memejamkan mata dalam bab hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat.

Pandangan Ulama Salaf


Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, mengatakan:


Kami meriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah bahwa mereka berdua memakruhkan memejamkan mata dalam shalat. Tentang hal ini telah ada hadits musnad, dan hadits tersebut tidak ada apa-apanya. (As Sunan Al Kubra, 2/284) Ini juga menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr) Imam Al Hasan Al Bashri membolehkannya. Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Zaid bin Hibban, telah bercerita kepada kami Jamil bin Ubaid,katanya:

.
Aku mendengar bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al Hasan, tentang memejamkan mata ketika sujud. Al Hasan menjawab: Jika engkau mau.(Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/162)

Pandangan Hanafiyah Imam Abu Bakr Al Kasani Al Hanafi mengatakan dalam Al Badai Ash Shanai:

Dimakruhkan memejamkan mata dalam shalat, karena telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa beliau melarang memejamkan mata ketika shalat, dan juga karena disunahkan melemparkan pandangan ke tempat sujud, ketika memejamkan mata sunah ini akan ditinggalkan. (Al Badai Ash Shanai, 2/343. Mawqi Al Islam) Tokoh besar madzhab Hanafi, yakni Imam Abu Jafar Ath Thahawi juga memakruhkannya. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr) Pandangan Malikiyah Disebutkan oleh Imam An Nawawi, tentang pendapat Imam Malik:


Berkata Malik: tidak apa-apa memejamkan mata, baik pada shalat wajib atau sunah. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr) Imam Muhammad Al Kharasyi Al Maliki mengatakan dalam Syarh Mukhatshar Al Khalil:


Demikian juga dimakruhkan memejamkan pandangan, khawatir hal itu diyakini sebagai kewajiban, kecuali jika membuka mata membuatnya was-was. (Syarh Mukhtashar Al Khalil, 3/453. Mawqi Al Islam) Imam Ahmad bin Muhammad Ash Shawi Al Maliki mengatakan dalam Hasyiah ala Asy Syarh Ash Shaghir: &nb sp;

. ) (
Dimakruhkan memejamkan mata, kecuali dikhawatiri jika terjadi pada pandangannya apa-apa yang membuatnya shalatnya terganggu. (Hasyiah ala Asy Syarh Ash Shaghir, 6/42. Mawqi Al Islam) Imam Muhammad Jalil mengatakan: bin Ahmad Alisy Al Maliki dalam Manhal

) (
Dimakruhkan memejamkan pendangan yaitu mata orang yang shalat, dikhawatiri dia meyakininya sebagai kewajiban, kecuali jika dikhawatiri dia memandang sesuatu yang dharamkan atau apa-apa yang membuatnya terganggu. (Manhal Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, 2/95. Mawqi Al Islam) Pandangan Asy Syafiiyah

Madzhab ini ada yang membolehkan seperti Imam An Nawawi, yang mengatakan dalam Raudhatuth Thalibin:

.
Pendapat yang dipilih adalah, tidak makruh memejamkan mata jika dia tidak khawatir adanya dharar (hal yang merusak) dan hal itu diharapkan bisa menyemangatinya dan hatinya bersih dari hal-hal yang membuatnya

terganggu. (Raudhatuth Thalibin, 1/99. Mawqi Al Islam) Ini juga dikatakan oleh Imam Al Malibari Al Hindi. (Fathul Muin, 1/214. Mawqi Yasub) lantaran hal itu tidak ada hadits yang melarangnya. (Imam Zakaria Anshari, Hasyiah Al Jumal, 3/474. Mawqi Al Islam Ada pula yang memakruhkan seperti Imam As Sayyid Bakr Ad Dimyathi, dalam Ianatuth Thalibin:

( ) .
Dan, bahwasanya dimakruhkan memejamkan mata, mereka beralasan bahwa Yahudi melakukan hal itu, dan belum pernah dinukil perbuatan tersebut dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan tidak pula dilakukan oleh para sahabat Radhiallahu Anhum ajmain. (Ianatuth Thalibin, 1/193.Mawqi Yasub)

Al Abdari juga memakruhkan. (Al Majmu, 3/314. Mughni Muhtaj, 2/425)

Pandangan Hambaliyah

Imam Ahmad memakruhkan sebagaimana dikatakan Imam Ibnul Qayyim. (Zaadul Maad, 1/294. Muasasah Ar Risalah)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah tokoh madzhab Hambali abad ini- mengulas ini dalam kitabnya, Syarhul Mumti:

: : . . . .
Dimakruhkan memejamka mata, alasannya: karena hal itu adalah perbuatan Yahudi saat mereka shalat. Kita dilarang untuk menyerupai orang kafir, baik Yahudi atau lainnya, apalagi dalam hal syiar agama mereka. Karena agama mereka adalah agama yang sudah dihapus (mansukh) oleh Allah Taala dengan syariat Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka tidak boleh menyerupai mereka dalam hal ibadah dan lainnya. Tetapi banyak manusia menyebutkan bahwa memejamkan mata bisa lebih khusyu. Ini adalah dari syetan. Dia mengkhusyukannya ketika memejamkan

matanya, karena melakukan ini adalah perbuatan makruh. Seandainya seseorang bisa mengobati dirinya dan tetap membiarkan matanya terbuka dan memperoleh kekhusyuan, maka itu lebih baik. Tetapi jika di hadapan Anda ada sesuatu, dan mata terbuka Anda tidak mampu di hadapannya, karena Anda akan disibukkan olehnya, maka saat itu boleh memejamkan mata sejauh kebutuhan saja. Ada pun jika tanpa kebutuhan maka itu makruh, sebagaimana yang dikatakan penyusun kitab ini. Janganlah Anda terpedaya dengan apa yang dilemparkan syetan ke dalam hatimu, berupa perasaan lebih khusyu ketika anda memenjamkan mata. (Syarhul Mumti, 3/72. Mawqi Ruh Al Islam) Kesimpulan Semua sepakat bahwa memejamkan mata tidak haram, dan bukan pembatal shalat. Perbedaan terjadi antara makruh dan mubah. Jika dilihat dari sisi dalil -dan dalil adalah hal yang sangat penting- ternyata tidak ada hadits yang shahih tentang larangannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq, dan diisyaratkan oleh Imam Al Baihaqi. Namun, telah shahih dari tabiin bahwa hal itu adalah cara shalatnya orang Yahudi, dan tidak boleh menyerupai mereka dalam hal keduniaan, lebih-lebih ritual keagamaan. Maka, pandangan kompromis yang benar dan bisa diterima dari fakta-fakta ini adalah seperti apa yang diulas Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah sebagai berikut:

: : . : .
Para fuqaha telah berselisih pendapat tentang kemakruhannya. Imam Ahmad dan lainnya memakruhkannya. Mereka mengatakan itu adalah perilaku Yahudi, segolongan yang lain membolehkannya tidak memakruhkan. Mereka mengatakan: Hal itu bisa mendekatkan seseorang untuk mendapatkan kekhusyuan, dan itulah ruhnya shalat, rahasia dan maksudnya. Yang benar adalah: jika membuka mata tidak menodai kekhusyuan maka itu lebih utama. Dan, jika justru hal itu mengganggu dan tidak membuatnya khusyu karena dihadapannya terdapat ukiran, lukisan, atau lainnya yang mebuat hatinya tidak tenang, maka secara qathi(meyakinkan) memejamkan mata tidak makruh. Pendapat yang menganjurkan memejamkan mata dalam kondisi seperti ini lebih mendekati dasardasar syariat dan maksud-maksudnya, dibandingkan pendapat yang mengatakan makruh. Wallahu Alam. (Zaadul Maad, 1/294. Muasasah Ar Risalah) Pendapat beliau, juga sama dengan yang difatwakan oleh Imam Izzuddin bin Abdissalam. Berikut keterangannya:


Ibnu Abdissalam berfatwa, bahwa jika memejamkan mata bisa menghilangkan gangguan atas kekhusyuannya atau mampu menghadirkan hati kepada Rabbnya, maka memejamkan lebih utama dibanding membukanya. (Imam Al Khathib Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 2/425. Mawqi Al Islam) Jadi esensinya adalah kekhusyuan dan hadirnya hati ketika shalat. Memejamkan mata bisa makruh jika tanpa ada keperluan tersebut. Tetapi jika hal itu dibutuhkan, demi menghilangkan gangguan pandangan, dan menjaga suasana

kekhusyuan dihati maka itu boleh, bahkan afdhal (lebih utama). Oleh karena itu, masalah ini tidak sama pada setiap orang, dan sifatnya sangat personally. Wallahu Alam

Anda mungkin juga menyukai