Anda di halaman 1dari 12

DIKIRA HADITS PADAHAL BUKAN (seri 02)

Oleh: Farid Numan Hasan

Apr 15, '09 6:46 AM for everyone

Saya akan lanjutkan kajian tentang hadits-hadits dhaif dan palsu yang banyak beredar di masyarakat, dan sering dijadikan pedoman oleh mereka untuk beramal. Tidak sedikit di antara hadits-hadits tersebut sangat sering disampaikan dalam ceramah atau buku-buku, dan sayangnya tidak jelaskan kedudukannya sehingga banyak mengecoh pendengar dan pembacanya.

Semoga kajian ini bermanfaat dan bisa menjadi panduan bagi kita untuk berhati-hati dari hadits-hadits dhaif dan palsu. Cukuplah bagi kita hadits-hadits shahih saja, yang benar-benar nyata sebagai perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

1. Bekerjalah Kamu untuk Duniamu Seakan Kamu Hidup Selamanya ...dst

Bekerjalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.

Ungkapan ini sangat terkenal di bibir manusia saat ini dan mereka terkecoh dengan mengatakannya sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Padahal para Imam Ahli Hadits telah menegaskan bahwa ini bukanlah hadits.

Syaikh Al Albani mengatakan: La ashala lahhu marfuan (tidak ada dasarnya dari Rasulullah). (As Silsilah Adh Dhaifah, 1/63. No. 8. Darul Maarif)

Namun, ungkapan ini memang ada secara mauquf (sebagai ucapan sahabat), yakni ucapan Abdullah bin Umar bin Al Khathab. (Ibnu Asy Syajari, Al Amali, 1/386. Mawqi Al Warraq) ada juga yang menyebut sebagai ucapan Abdullah bin Amru bin Al Ash. (Ibnu Abdi Rabbih, Al Aqdul Farid, 2/469. Mawqi Al Warraq)

Ada juga ucapan yang mirip dengan ini juga dari Abdullah bin Amru bin Al Ash Radhiallahu Anhu, dengan kalimat sedikit berbeda yakni Uhruz lid Duniaka (Jagalah untuk duniamu) ..., bukan Imal lid Duniaka (bekerjalah untuk duniamu) ..


Jagalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok. (Lihat Musnad Al Harits, No. 1079. Mawqi Jami Al Hadits. Lalu Imam Nuruddin Al Haitsami, Bughiyatul Bahits an Zawaid Musnad Al Harits, Hal. 327. Dar Ath Thalai Lin Nasyr wat Tauzi wat Tashdir. Lihat juga, Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Mathalib Al Aliyah, No. 3256. Mauqi Jami Al Hadits.)

Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa ini adalah ucapan dari Abu Darda Radhiallahu Anhu dan Abdullah bin Amru bin Al Ash juga, dengan ungkapan yang juga agak berbeda yakni Ihrits lid Duniaka (tanamlah untuk duniamu) ..... dst. (Lihat Imam Ar Raghib Al Ashfahani, Muhadharat Al Adiba, 1/226. Mawqi Al Warraq. Lihat Ibnu Qutaibah, Gharibul Hadits, 1/81, pada Juz 2, Hal.123, beliau menyebutkan bahwa makna Ihrits adalah kumpulkanlah. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Jadi, ada tiga macam redaksi: Imalu (Bekerjalah), Uhruz (jagalah), dan Ihrits (tanamlah). Semua ini tidak satu pun yang merupakan ucapan Rasulullah, melainkan ucapan sahabat saja.

Bahkan ada juga sebagai berikut:


Perbaikilah oleh dunia kalian, dan bekerjalah untuk akhirat kalian, seakan kalian mati besok. (HR. Al Qudhai, No. 668. Mawqi Jami Al Hadits)

Hadits ini tanpa ada bagian, Seakan kau hidup selamanya. Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah). Lantaran di dalam sanadnya terdapat Miqdam bin Daud dan Sulaiman bin Arqam. Syaikh Al Albani mengatakan dua orang ini adalah perawi dhaif. (As Silsilah Adh Dhaifah, 2/266. No. 874. Darul Maarif)

Imam Al Haitsami mengatakan bahwa Miqdam bin Daud adalah dhaif. (Majma Az Zawaid, 5/120. Darul Kutub Al Ilmiyah) Sementara, Al Allamah Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi berkata tentang Sulaiman bin Arqam: matruk (haditsnya ditinggalkan). (Tadzkirah Al Maudhuat, Hal. 113. Mawqi Yasub) Begitu pula Al Allamah Alauddin Al Muttaqi Al Hindi juga menyebutnya matruk. (Kanzul Umal, 7/183. No. 18596. Masasah Ar Risalah)

Sedangkan Al Haitsami mengatakan: dhaif. (Majma Az Zawaid, 2/69) dan matruk. (Ibid, 2/112) Imam An Nasai dan Imam Ad Daruquthni juga mengatakan matruk.

(Al Hazfizh Az Zailai, Nashbur Rayyah, 1/188. Mawqi Al Islam) Sedangkan Az Zailai sendiri berkomentar tentang Sulaiman bin Arqam: dhaif menurut para ahli hadits. (Ibid, 1/190. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, 13/380. Al Maktab Al Islami) Al Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan: matruk. (At Talkhish Al Habir, 1/655. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Selain dua orang ini, sanad hadits ini juga terdapat Isa bin Waqid yang tidak diketahui identitasnya. Al Haitsami berkata: Aku belum mendapatkan siapa saja yang menyebutkan tentang dia. (Majma Az Zawaid, 1/293) Syaikh Al Albani sendiri mengatakan: Aku tidak mengenalnya.(As Silsilah Adh Dhaifah, 2/266. No. 874)

Dengan demikian jelaslah bahwa hadits ini sangat lemah. Wallahu Alam

Catatan:

Walau ini bukan hadits nabi, sekadar ucapan sahabat nabi saja. Secara esensi ini adalah ucapan yang baik yakni mengajarkan keseriusan dalam ibadah untuk akhirat dan bekerja untuk dunia. Sebab jika keadaannya dibalik, jika manusia beribadah merasa hidup selamanya, dia akan meremehkan ibadah tersebut sebab dia bisa melaksanakannya di lain waktu. Juga jika bekerja untk dunia justru merasa besok akan mati, maka dia tidak akan semangat kerja sebab dia merasa apa yang dikerjakannya adalah percuma saja, karena besok sudah mati.

Jadi, inti kalimat ini mengajarkan profesionalisme dalam bekerja dan ibadah. Namun demikian, sikap berlebihan dalam kedua hal ini juga bukan sikap yang dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersaba:


Apa pun yang sedikit tapi mencukupi, adalah lebih baik dibanding yang banyak tetapi melalaikan. (HR. Ahmad No. 20728. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/82, No. 7. Ath Thabarani, Al Mujam Al Awsath, No. 2640 dan 3001. Ath Thabari, Tahdzibul Atsar, No. 2496. Al Baihaqi, Syuabul Iman, No. 9986. Musnad Asy Syihab Al Qudhai No. 1165. Musnad Ath Thayalisi, No. 1061. Al Hakim, Al Mustadrak alash Shahihan, No. 3620. Katanya: shahih, dan Bukhari-Muslim tidak mengeluarkannya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Shahih-nya No. 3329)

2. Hadits Mengusap Dahi dan Wajah Setelah Shalat

Dalam hal ini ada dua hadits. Hadits pertama, dari Anas bin Malik, katanya:

Adalah Rasulullah jika telah selesai shalat, maka dia usapkan wajahnya dengan tangan kanannya, kemudian berkata: Aku bersaksi tiada Ilah kecuali Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan dan kesedihan. ( HR. Ibnu Sunni ,Amalul Yaum wal lailah, No. 110, dan Ibnu Samun, Al Amali, 2/176q).

Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan sebagian ulama mengatakan: maudhu (palsu).

Imam Ibnu Rajab Al Hambali berkata dalam Fathul Bari-nya:

.
Hadits ini memiliki banyak jalan dari Anas bin Malik, semuanya lemah. (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi Ruh Al Islam)

Sanad hadits ini adalah dari Salam Al Madaini, dari Zaid Al Ami dari Muawiyah, dari Qurrah, dari Anas ... (lalu disebutkan hadts di atas)

Cacatnya hadits ini lantaran Salam Al Madaini dan Zaid Al Ami. Salam Al Madaini adalah orang yang dtuduh sebagai pendusta, sedangkan Zaid Al Ami adalah perawi dhaif. Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan, sanad hadits ini palsu. Hanya saja, hadits ini juga diriwayatkan dalam sanad lainnya yang juga dhaif. Secara global, hadits ini dhaif jiddan. (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Ad Dhaifah wal Maudhuah, No. 1058. Darul Maarif)

Sementara, Imam Al Haitsami mengutip dari Al Bazzar, bahwa Salam Al Madaini adalah layyinul hadits (haditsnya lemah). (Imam Al Haitsami, Majma az Zawaid, 10/47. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Al Haitsami juga mengatakan bahwa Zaid Al Ami adalah dhaif (lemah). (Ibid,1/230) Imam Al Baihaqi juga menyatakan bahwa Zaid Al Ami adalah dhaif. (Al Allamah Ibnu At Turkumani, Al Jauhar, 3/46. Darul Fikr) begitu pula kata Imam Al Iraqi. (Takhrijul Ihya, 6/290)

Al Allamah As Sakhawi mengatakan, lebih dari satu orang menilai bahwa Zaid Al Ami adalah tsiqah (bisa dipercaya), namun jumhur (mayoritas) menilainya dhaif. (As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 4/486) yang menilainya tsiqah adalah Imam Ahmad. (Ibid, 2/400) Imam Ahmad juga mengatakan: shalih (baik). (Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad dam, Hal. 58. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Sementara Imam An Nasai mengatakan Zaid Al Ami sebagai laisa bil qawwi (bukan orang kuat hafalannya). (Al Hafizh Az Zailai, Nashbur Rayyah, 7/185. Lihat Abul Fadhl As Sayyid Al Maathi

An Nuri, Al Musnad Al Jami, 14/132) begitu pula kata Imam Abu Zurah. (Al Hafiz Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Tadil, 3/561. Dar Ihya At Turats)

Hadits kedua, dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu katanya:

Adalah Rasulullah Shallalllahu Alaihi wa Sallam jika telah selesai shalatnya, beliau mengusap dahinya dengan tangan kanan, kemudian ilanjutkan ke wajah sampai jenggotnya. Lalu bersabda: Dengan nama Allah yang Tidak ada Ilah selain Dia, yang Maha Mengetahui yang Ghaib dan Yang Tampak, Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan, kesedihan, dan keresahan. Ya Allah dengan memujiMu aku beranjak dan dengan dosaku aku mengakuinya. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan yang telah aku akui, dan aku berlidung kepadaMu dari beratnya cobaan kehidupan dunia dan siksaan akhirat. (HR. Abu Nuaim, Akhbar Ashbahan, No. 40446. Mawqi Jami Al Hadits)

Hadits ini dhaif (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Daud Al Mihbar pengarang kitab Al Aql.

Imam Al Bukhari berkata tentang dia: munkarul hadits. Imam Ahmad mengatakan: Dia tidak diketahui apa itu hadits. (Imam Al Bukhari, At Tarikh Al Kabir, No. 837. Mawqi Yasub. Lihat juga kitab Imam Bukhari lainnya, Adh Dhuafa Ash Shaghir, Hal. 45. Darul Marifah. Lihat juga Al Hafizh Al Uqaili, Dhuafa, 2/35. Darul Kutub Al Ilmiyah )

Al Hafizh Az Zarkili mengatakan mayoritas ulama menilainya dhaif. (Khairuddin Az Zarkili, Al Alam, 2/334. Darul Ilmi wal Malayin)

Ali Maldini mengatakan Daud ini: haditsnya telah hilang. Abu Zurah dan lainnya mengatakan: dhaif (lemah). Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan). Abu Hatim mengatakan: haditsnya hilang dan tidak bisa dipercaya. Ad Daruquthni mengatakan bahwa Daud Al Mihbar dalam kitab Al Aql telah memalsukan riwayat Maisarah bin Abdi Rabbih, lalu dia mencuri sanadnya dari Maisarah, dan membuat susunan sanad bukan dengan sanadnya Maisarah. Dia juga pernah mencuri sanad dari Abdul Aziz bin Abi Raja, dan Sulaiman bin Isa Al Sajazi. (Imam Adz Dzahabi, Mizan Al Itidal, 2/20. No. 2646. Darul Marifah) Abu Hatim juga mengatakan: munkarul hadits. (Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Tadil, 3/424, No. 1931)

Bahkan, Syaikh Al Albani dengan tegas mengatakan sanad hadits ini adalah maudhu (palsu) lantaran perilaku Daud yang suka memalsukan sanad ini. Beliau mengatakan Daud adalah orang yang dituduh sebagai pendusta. Sedangkan untuk Al Abbas bin Razin As Sulami, Syaikh Al Albani mengatakan: aku tidak mengenalnya. (Syaikh Al AlBani, As Silsilah Adh Dhaifah wal Maudhuah, No. 1059. Darul Maarif)

Catatan:

Walaupun hadits-hadits ini sangat lemah dan tidak boleh dijadikan dalil, namun telah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang mengusap wajah jika sekadar untuk membersihkan bekas-bekas sujud, seperti pasir, debu, tanah, dan lainnya. Di antara mereka ada yang membolehkan, ada juga yang memakruhkan.

Al Hafizh Al Imam Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan:

. .

Adapun mengusap wajah dari bekas sujud setelah shalat selesai, maka bisa difahami dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Masud dan Ibnu Abbas, yang menunjukkan bahwa hal itu tidak makruh. Al Maimuni meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia mengusap dahinya jika selesai shalat. (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi Ruh Al Islam)

Sebagian ulama lain memakruhkannya, bahkan mengusap wajah merupakan penyebab hilangnya doa pengampunan dari malaikat. Berikut penjelasan dari Imam Ibnu Rajab:

. . : . : . . )) : (( : : - - .

Sekelompok ulama memakruhkannya, dengan alasan hal itu merupakan penghilangan atas bekas-bekas ibadah, sebagaimana mereka memakruhkan mengelap air wudhu (dibadan) dan bersiwak bagi yang berpuasa. Berkata Ubaid bin Amir: Malaikat senantiasa bershalawat atas manusia selama bekas sujudnya masih ada di wajahnya. (Riwayat Al Baihaqi dengan sanad shahih)

Al Qadhi Abu Yala menceritakan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, bahwa ada bekas sujud di wajahnya lalu ada seorang laki-laki yang mengusapnya, maka beliau pun marah, dan berkata: Kau telah memutuskan istighfar-nya malaikat dariku. Abu Yala menyebutkan sanadnya darinya, dan didalamnya terdapat seseorang yang tanpa nama.

Imam An Nasai membuat bab: Meninggalkan Mengusap Wajah Setelah Salam. Beliau mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Said Al Khudri, yang telah dikeluarkan pula oleh Imam Bukhari di sini, di bagian akhirnya berbunyi: Berkata Abu Said: Kami kehujanan pada malam ke 21 (bulan Ramadhan), lalu air di masjid mengalir ke tempat shalat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka kami memandang kepadanya, beliau telah selesai dari shalat subuh, dan wajahnya terlihat sisa tanah dan air. (Ibid)

3.

Hadits Keutamaan Memakai Surban

.( )
Surban yang dililitkan ke peci (kopiah) merupakan pemisah antara kita dan kaum musyrikin, pada hari kiamat nanti setiap lilitan surban dikepalanya akan datang dalam bentuk cahaya. (Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul Umal, No. 41134. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah)

Al Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah memberikan keterangan sebagai berikut:

" " . " " ) 7 ( : " " . ) 43 ( . " " ) 2/9 ( : " " . : . " " ) " " . ( 1503

Hadits ini batil. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah secara marfu, sebagaimana tertera dalam Al Jami Ash Shaghir. Al Munawi telah memutihkannya (maksudnya membelanya, pen) tetapi tidak berpengaruh sedikit pun. Berkata Syaikh Al Kattani dalam Ad Daamah (Hal. 7): Sanadnya dhaif. Yakni sangat dhaif sebagaimana dijelaskan dalam halaman 34 dari kitabnya. Al Faqih Ahmad bin Hajar Al

Hatami telah menguatkan kedhaifan hadits ini dalam kitabnya Ahkam Al Libas (2/9Q), dengan berkata: Seandainya tidak sangat dhaif, niscaya hadits ini menjadi hujjah penghormatan terhadap surban.

Aku (Syaikh Al Albani) berkata: Hadits ini menurutku adakah batil, karena memperbanyak melilitkan surban justru bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahkan hal itu merupakan pakaian kemasyhuran yang telah dilarang oleh hadits-hadits yang sebagian telah saya keluarkan dalam kitab Hijab Al Marah Al Muslimah.

Bagian awal hadits ini juga dirwayatkan oleh At Tirmidzi dan dhaif, dan itu sudah dicantumkan dalam Al Irwa (No. 1503). (As Silsilah Adh Dhaifah, 3/362, No. 1217. Darul Maarif)

Dalam hadits lain berbunyi:

Barangsiapa yang menggunakan surban, maka pada setiap liliannya adalah satu kebaikan, dan jika dilepaskan lilitannya maka setiap satu kali lepasan lilitan menghapuskan satu kesalahan.

Syaikh Al Albani juga mengatakan bahwa hadits ini maudhu , dan Imam Ibnu Hajar Al Haitami juga menyebtkannya dalam Ahkam Al Libas. (Ibid, No. 718)

Catatan:

Walau hadits ini dhaif, kita mengakui bahwa memakai surban merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, sebagaimana dijelaskan dalam Kutubush Shahhah (Kitab haditshadits shahih) khususnya dalam bab-bab tentang wudhu. Sehingga, memakai surban telah menjadi identitas yang baku bagi seorang laki-laki muslim dari zaman-zaman. Namun, demikian tak ada satu pun riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan-keutamaannya. Wallahu Alam wa ilaihil musytaki ...

Syaikh Al Albani telah memberi komentar atas hadits ini:

: ! !

Hadits ini dan yang semisalnya merupakan sebab tersebarnya bidah dikalangan manusia, lantaran kebanyakan mereka sampai-sampai orang-orang yang sudah faham fiqih pun tidak bisa membedakan antara shahih dan dhaif, dan palsu-nya hadits. Dia tidak mengetahui hal itu, lalu mengamalkannya dan orang banyak melihat dia seperti itu. Jika, dikabarkan kepadanya bahwa hadits tersebut dhaif (lemah), serta merta dia menanggapi dengan ucapan; Tidak apa-apa mengamalkan hadits dhaif untuk masalah fadhailul amal! ini adalah kebodohan, karena hadits palsu atau hadits dhaif yang amat sangat, dan hadits yang semisalnya, telah disepakati oleh para ulama tidak boleh diamalkan. Sesungguhnya saya (Syaikh Al Albani) masih ingat tentang seorang syaikh yang mengimami manusia di sebagian masjid di daerah Halab, dia memakai surban yang sangat lebar di kepalanya, saking lebarnya surban itu memenuhi bagian kosong mihrab tempatnya shalat! Maka, hanya kepada Allah tempat mengadu terhadap apa-apa yang menimpa kaum muslimin berupa penyimpangan mereka dari agama mereka, disebabkan oleh hadits-hadits lemah dan kaidah yang mazum (dikira benar). (Ibid)

4.

Allah Taala Menolak Amal Ibadah Pelaku Bidah

Dari Ibnu Abbas Radhilallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Allah menolak amalan pelaku bidah sampai orang itu meninggalkan perbuatan bidahnya. (HR. Ibnu Majah, No. 50. Ibnu Abi Ashim, As Sunnah, No. 32)

Hadits ini dhaif. Berkata Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi Rahmahullah:

Dalam Az Zawaid disebutkan bahwa para periwayat (rijal) hadits ini semuanya majhul (tidak dikenal), itulah yang dikatakan Adz Dzahabi.(Imam Abul Hasan As Sindi, Hasyiyah Ala Ibni Majah, No. 49. Mauqi Ruh Al Islam)

Sanad hadits ini adalah dari Abdullah bin Said, dari Bisyr bin Manshur, dari Abu Zaid, dari Abu Al Mughirah, dari Ibnu Abbas, lalu disebutkan hadits di atas.

Al Hafizh Al Mizzi mengatakan:

Imam Abu Zurah ditanya tentang Abu Al Mughirah, beliau menjawab: Dia dan Bisyr bin Manshur adalah majhul (tidak dikenal), aku tidak mengenal keduanya. (Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, No. 6569. Al Maktab Al Islami)

Sedangkan, Syaikh Al Albani menyebutkan bahwa hadits ini munkar. (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 1492. Al Maktab Al Islami)

Ada hadits lain dari Hudzaifah yang berbunyi lebih mendetil:


Allah Tidak menerima amalan pelaku bidah, baik puasanya, shadaqah, haji, umrah, jihad, ibadahnya, dan keadilannya. Dia keluar dari Islam seperti tercabutnya rambut dari tepung. (HR. Ibnu Majah, No. 49)

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini lebih buruk dari sebelumnya, dan dia menyatakan hadits ini palsu (maudhu). (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 1493)

Hal ini disebabkan karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Mihshan. Imam Al Haitsami mengatakan:

Dia adalah pendusta dan pemalsu hadits. (Imam Al Haitsami, Majma Az Zawaid, 1/82. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan bahwa Muhammad bin Mihshan ini disebut pendusta oleh Imam Yahya bin Main. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 3/245)

Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Muhammad bin Mihshan adalah seorang syaikh pemalsu hadits yang dia kutip dari orang-orang terpercaya, tidak halal menyebutkan dirinya kecuali di dalamnya mesti ada cacatnya. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/277)

Lebih lengkap lagi dalam Tahdzibut Tahdzib sederetan para Imam Ahli Hadits yang memberikan Jarh (penilaian cacat) untuk Muhammad bin Mihshan ini, seperti Bukhari, Yahya bin Main, Ahmad, Ad Daruquthni, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Uqaili, semuanya menilai dengan sebutan yang berbeda-beda seperti: pemalsu hadits, pendusta, munkarul hadits, matruk (haditsnya ditinggal), dan majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 9/381.Darul Fikr)

Catatan:

Para pelaku bidah, amalan bidah yang dilakukannya adalah tertolak, bahkan dia telah melakukan kesesatan yang berdosa, sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits shahih. Namun demikian jika dia melakukan amal shalih yang sesuai sunah di lain waktu, maka hal itu tetap diterima dan berpahala. Hal ini sesuai dengan ayat:

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Az Zalzalah (99): 7-8)

Di sisi lain, orang yang melakukan bidah, lalu bertobat dari bidahnya itu, tetapi sayangnya dia masih melaksanakan bidahnya itu maka tobatnya sia-sia. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut: Dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

Sesungguhnya Allah menutup taubat dari pelaku seiap bidah. (HR. Ath Thabarani, Al Mujam Al Awsath, No. 4353. Al Baihaqi, Syuabul Iman, No. 9137. Ibnu Abi Ashim, As Sunnah, No. 30. Al Haitsami mengatakan perawi hadits ini adalah perawi hadits shahih, kecuali Harun bin Musa Al Farawi, dia tsiqah (bisa dipercaya). Majma Az Zawaid, 10/189. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Zhilalul Jannah, No. 37. Al Maktab Al Islami)

Al Imam An Nawawi juga menegaskan tentang perkataan para ulama dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhush Shalihin, tentang syarat-syarat diterimanya taubat, diantaranya adalah harus meninggalkan perbuatan dosa tersebut. Berikut keterangan Imam An Nawawi Rahimahullah:

: . : : .: : . . : .

Berkata para ulama: Tobat adalah wajib dari semua dosa, jika maksiatnya adalah antara seorang hamba dengan Allah Taala, yang tidak terkait dengan manusia, maka syarat tobatnya ada tiga:
1. 2. 3. Meninggalkan maksiat tersebut Membenci/menyesali perbuatan tersebut Berjanji tidak mengulanginya selamanya.

Jika salah satu saja tidak ada, maka tobatnya tidak sah. Dan, jika maksiatnya adalah terkait dengan manusia, maka syaratnya ada empat; yaitu yang tiga di atas, dan yang keempat adalah: menyelesaikan urusannya kepada orang yang berhak. Jika kesalahannya dalam bentuk harta maka dia harus mengembalikannya. Jika dia melemparkan tuduhan, maka dia meminta maaf kepada yang dituduh. Jika dia melakukan ghibah, maka dia meminta untuk dihalalkan (dimaafkan). (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 3-4. Mawqi Al Warraq) Demikian. Wallahu Alam

(Bersambung Insya Allah)

Anda mungkin juga menyukai