Anda di halaman 1dari 10

DIKIRA HADITS PADAHAL BUKAN (seri 3) Oleh: Farid Numan

May 20, '09 12:39 AM for everyone

1. Hadits: Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja dia menemukannya maka dialah yang paling berhak memilikinya.

Hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dalam sunannya, pada Bab Maa Jaa fil Fadhli Fiqh alal Ibadah, No. 2828. Dengan sanad: Berkata kepada kami Muhammad bin Umar Al Walid Al Kindi, bercerita kepada kami Abdullah bin Numair, dari Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi, dari Said Al Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: .... ( lalu disebut hadits di atas).

Imam At Tirmidzi mengomentari hadits tersebut: Hadits ini gharib (menyendiri dalam periwayatannya), kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah seorang yang dhaif fil hadits (lemah dalam hadits).

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Kitab Az Zuhud Bab Al Hikmah, No. 4169. Dalam sanadnya juga terdapat Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi.

Imam Ibnu Hajar mengatakan, bahwa Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah Abu Ishaq Al Madini, dia seorang yang Fahisyul Khatha (buruk kesalahannya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/14. Mawqi Al Warraq). Sementara Imam Yahya bin Main menyebutnya sebagai Laisa bi Syai (bukan apa-apa). (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/105. Mawqi Yasub)

Sederetan para Imam Ahli hadits telah mendhaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: dhaiful hadits laisa biqawwi fil hadits (haditsnya lemah, tidak kuat haditsnya). Imam Abu Zurah mengatakan: dhaif. Imam Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits munkarul hadits (hadisnya lemah dan munkar). Imam bukhari mengatakan: munkarul hadits. Imam An Nasai mengatakan: munkarul hadits, dia berkata ditempat lain: tidak bisa dipercaya, dan haditsnya tidak boleh ditulis. Abu Al Hakim mengatakan: laisa bil qawwi indahum (tidak kuat menurut mereka/para ulama). Ibnu Adi mengatakan: dhaif dan haditsnya boleh ditulis, tetapi menurutku tidak boleh berdalil dengan hadits darinya.

Yaqub bin Sufyan mengatakan bahwa hadits tentang Hikmah di atas adalah hadits Ibrahim bin Al Fadhl yang dikenal dan diingkari para ulama. Imam Ibnu Hibban menyebutnya fahisyul khatha (buruk kesalahannya). Imam Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan), begitu pula menurut Al Azdi. (Lihat semua dalam karya Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/131. Darul Fikr. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 2/43. Muasasah Ar Risalah. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizan Al Itidal, 1/52. Darul Marifah. Lihat juga Imam Abu Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Tadil, 2/122. Dar Ihya At Turats. Lihat juga Imam Ibnu Adi Al Jurjani, Al Kamil fidh Dhuafa, 1/230-231. Darul Fikr. Imam Al Uqaili, Adh Dhuafa Al Kabir, 1/60. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Syaikh Al Albani pun telah menyatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), lantaran Ibrahim ini. (Dhaiful Jami No. 4302. Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/320)

Ada pula yang serupa dengan hadits di atas:

Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja seorang mukmin menemukan miliknya yang hilang, maka hendaknya ia menghimpunkannya kepadanya.

Imam As Sakhawi mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Al Qudhai dalam Musnadnya, dari hadits Al Laits, dari Hisyam bin Saad, dari Zaid bin Aslam, secara marfu. Hadits ini mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 1/105. Imam Al Ajluni, Kasyful Khafa, 1/363)

Hadits mursal adalah hadits yang gugur di akhir sanadnya, seseorang setelah tabiin. Kita lihat, riwayat Al Qudhai ini, Zaid bin Aslam adalah seorang tabiin, seharusnya dia meriwayatkan dari seorang sahabat nabi, namun sanad hadits ini tidak demikian, hanya terhenti pada Zaid bin Aslam tanpa melalui sahabat nabi. Inilah mursal. Jumhur (mayoritas) ulama dan Asy Syafii mendhaifkan hadits mursal.

Ada pula dengan redaksi yang agak berbeda, bukan menyebut Hikmah, tetapi Ilmu. Diriwayatkan oleh Al Askari, dari Anbasah bin Abdurrahman, dari Syubaib bin Bisyr, dari Anas bin Malik secara marfu:

Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, dimana saja dia menemukannya maka dia mengambilnya.

Riwayat ini juga dhaif. Anbasah bin Abdurrahman adalah seorang yang matruk (ditinggal haditsnya), dan Abu Hatim menyebutnya sebagai pemalsu hadits. (Taqribut Tahdzib, 1/758)

Ibnu Abi Hatim bertanya kepada ayahnya (Abu Hatim) tentang Anbasah bin Abdurrahman, beliau menjawab: matruk dan memalsukan hadits. Selain itu, Abu Zurah juga ditanya, jawabnya: munkarul hadits wahil hadits (haditsnya munkar dan lemah). (Al Jarh wat Tadil, 6/403)

Ada pun Syubaib bin Bisyr, walau pun Yanya bin Main menilainya tsiqah (bisa dipercaya), namun Abu Hatim dan lain-lainnya mengatakan: layyinul hadits. (haditsnya lemah). (Imam Adz Dzahabi, Mizanul Itidal, 2/262)

Ada pula riwayat dari Sulaiman bin Muadz, dari Simak, dari ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara perkataannya:

Ambillah hikmah dari siapa saja kalian mendengarkannya, bisa jadi ada perkataan hikmah yang diucapkan oleh orang yang tidak bijak, dan dia menjadi anak panah yang bukan berasal dari pemanah.

Ucapan ini juga dhaif. Lantaran kelemahan Sulaiman bin Muadz.

Yahya bin Main mengatakan tentang dia: laisa bi syai (bukan apa-apa). Abbas mengatakan, bahwa Ibnu Main mengatakan: dia adalah lemah. Abu Hatim mengatakan: laisa bil matin (tidak kokoh). Ahmad menyatakannya tsiqah (bisa dipercaya). Ibnu Hibban mengatakan: dia adalah seorang rafidhah (syiah) ekstrim, selain itu dia juga suka menterbalikan hadits. An Nasai mengatakan: laisa bil qawwi (tidak kuat). (Mizanul Itidal, 2/219)

Catatan:

Walaupun ucapan ini dhaif, tidak ada yang shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Namun, secara makna adalah shahih. Orang beriman boleh memanfaatkan ilmu dan kemajuan yang ada pada orang lain, sebab hakikatnya dialah yang paling berhak memilikinya. Oleh karena itu, ucapan ini tenar dan sering diulang dalam berbagai kitab para ulama. Lebih tepatnya, ucapan ini adalah ucapan dari beberapa para sahabat dan tabiin dengan lafaz yang berbeda-beda.

Dari Al Hasan bin Shalih, dari Ikrimah, dengan lafaznya:

Ambil-lah hikmah dari siapa pun yang engkau dengar, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berbicara dengan hikmah padahal dia bukan seorang yang bijak, dia menjadi bagaikan lemparan panah yang keluar dari orang yang bukan pemanah. (Al Maqashid Al Hasanah, 1/105)

Ucapan ini adalah shahih dari Ikrimah, seorang tabiin senior, murid Ibnu Abbas. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Al Hasan bin Shalih bin Shalih bin Hay adalah seorang tsiqah, ahli ibadah, faqih, hanya saja dia dituduh tasyayyu (agak condong ke syiah). (Taqribut Tahdzib, 1/205)

Waki mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seseorang yang jika kau melihatnya kau akan ingat dengan Said bin Jubeir. Abu Nuaim Al Ashbahani mengatakan aku telah mencatat hadits dari 800 ahli

hadits, dan tidak satu pun yang lebih utama darinya. Abu Ghasan mengatakan, Al Hasan bin Shalih lebih baik dari Syuraik. Sedangkan Ibnu Adi mengatakan, sebuah kaum menceritakan bahwa hadits yang diriwayatkan darinya adalah mustaqimah, tak satu pun yang munkar, dan menurutnya Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang ahlush shidqi (jujur lagi benar). Ibnu Hibban mengatakan, Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang faqih, wara, pakaiannya lusuh dan kasar, hidupnya diisi dengan ibadah, dan agak terpengaruh syiah (yakni tidak meyakini adanya shalat Jumat). Abu Nuaim mengatakan bahwa Ibnul Mubarak mengatakan Al Hasan bin Shalih tidak shalat Jumat, sementara Abu Nuaim menyaksikan bahwa beliau shalat Jumat. Ibnu Saad mengatakan dia adalah seorang ahli ibadah, faqih, dan hujjah dalam hadits shahih, dan agak tasyayyu. As Saji mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seorang shaduq (jujur). Yahya bin Said mengatakan, tak ada yang sepertinya di Sakkah. Diceritakan dari Yahya bin Main, bahwa Al Hasan bin Shalih adalah tsiqatun tsiqah (kepercayaannya orang terpercaya). (Tahdzibut Tahdzib, 2/250251)

Hanya saja Sufyan Ats Tsauri memiliki pendapat yang buruk tentangnya. Beliau pernah berjumpa dengan Al Hasan bin Shalih di masjid pada hari Jumat, ketika Al Hasan bin Shalih sedang shalat, Ats Tsauri berkata: Aku berlindung kepada Allah dari khusyu yang nifaq. Lalu dia mengambil sendalnya dan berlalu. Hal ini lantaran Al Hasan bin Shalih menurut At Tsauri- adalah seseorang yang membolehkan mengangkat pedang kepada penguasa (memberontak). (Ibid, 2/249) Namun, jarh (kritik) ini tidak menodai ketsiqahannya, lantaran ulama yang mentadil (memuji) sangat banyak.

Selain itu, telah shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu, katanya:


Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, maka ambil-lah walau berada di tangan orang-orang musyrik, dan janganlah kalian menjauhkan diri untuk mengambil hikmah itu dari orang-orang yang mendengarkannya. (Ibnu Abdil Bar, Jami Bayan Al ilmi wa Fadhlihi, 1/482. Mawqi Jami Al Hadits)

Selesai.

2. Ucapan: Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia berada dalam kekurangan/aib/cela.

Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia berada dalam kekurangan/aib/cela.

Ucapan ini sangat terkenal. Dikutip dari lisan ke lisan, tersebar dalam berbagai kesempatan ceramah keagamaan. Kebanyakan mereka mengatakan Rasulullah bersada, padahal ini bukan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Ini adalah ucapan Abu Sulaiman Ad Darani, seorang sufi generasi pertama, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Nuaim Al Ashbahani dalam Hilyatul Auliya (4/177. Mawqi Al Warraq), Imam Abul Faraj bin Al Jauzi dalam Shifatush Shafwah (1/469. Mawqi Al Warraq).

3.

Ucapan: Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.

Ini hadits, walau tidak secara langsung berhubungan dengan puasa atau Ramadhan, namun amat sering dibaca ketika bulan Ramadhan. Hadits itu berbunyi:

. : :

Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad besar. Mereka bertanya: Apakah jihad paling besar itu? Beliau bersabda: Jihad hati. Berkata Imam Zainuddin Al Iraqi:

. :

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: Di dalam sanadnya dhaif. (Imam Al Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya, No. 2567) Begitu pula disebutkan dalam Tadzkirah Al Maudhuat, bahwa hadits ini dhaif. ( Al Allamah Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi Al Fatani, Tadzkirah Al Maudhuat, Hal. 191) Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Tasdidul Qaus bahwa ini adalah ucapan Ibrahim bin Abi Ablah seorang tabiin, sebagaimana dikatakan Imam An Nasai dalam Al Kuna. (Imam As Suyuthi, Ad Durar Muntatsirah fil Ahadits Musytahirah, Al Ajluni, Hal. 11. Mawqi Al Warraq. Imam Al Ajluni, Kasyful Khafa, No. 1362. Darul Kutub Al Ilmiyah) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan komentar terhadap hadits itu sebagai berikut:

: } {
Tidak ada dasarnya, dan tidak diriwayatkan oleh seorang pun ahli marifah (ulama) sebagai ucapan dan perbuatan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Dan, jihad melawan orang kafir termasuk amal yang paling agung, bahkan dia adalah tathawwu (anjuran) yang paling utama bagi manusia. Allah Taala berfirman: Tidaklah sama orang-orang beriman yang duduk (tidak pergi jihad) tanpa memiliki udzur (alasan yang benar), dibanding orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya. Allah mengutamakan satu derajat bagi orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di atas orangorang yang duduk saja. Kepada masing-masing mereka Allah menjajnjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar. (QS. An Nisa: 95). (Majmu Fatawa, 2/487. Mawqi Al Islam) Imam Al Iraqi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam kitab Az Zuhd, namun setelah dicek ke kitab Zuhd Al Kabir-nya Imam Al Baihaqi, ternyata tidak ada hadits dengan redaksi seperti di atas (Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar). Tetapi yang ada adalah:

. : :
Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar. Mereka bertanya: Apakah jihda besar itu? Beliau bersabda: Mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya. (HR. Al Baihaqi, Zuhd Al Kabir, No. 384, hadits dari Jabir bin Abdullah. Al Baihaqi mengatakan: sanadnya Dhaif . Imam Khathib Baghdadi, Tarikh Baghdad, 6/171. Lihat Alauddin Muttaqi Al Hindi, Kanzul Ummal, No. 11260)

Hadits ini juga dhaif, bahkan dengan kedhaifan yang parah. Lantaran dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang dhaif. Yakni Isa bin Ibrahim, Yahya bin Yala, dan Laits bin Abi Sulaim.

Tentang Isa bin Ibrahim ini, dia adalah Isa bin Ibrahim bin Siyar, disebut juga Ibnu Dinar Asy Syairi Abu Ishaq, disebut juga Abu Umar, ada juga yang mengatakan Abu Yahya Al Bashri, lebih dikenal dengan Al Barki. (Tahdzibut Tahdzib, 8/183). Disebutkan tentang dia : shaduq lahu awham (jujur tetapi ada keraguan). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/768. Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul Itidal, 3/310). Abu Hatim mengatakan: shaduq (jujur). An Nasai mengatakan: tidak apa-apa. (Mizanul Itidal, 3/310)

Sementara Yahya bin Yala, dia adalah Yahya bin Yala Al Aslami Al Qathuwani Al Kufi. Imam Ibnu Main ditanya tentang dia, katanya: bukan apa-apa. Al Bukhari mengatakan: mudhtharibul hadits (haditsnya guncang). Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits laisa bil qawwi (haditsnya lemah dan tidak kuat). Ibnu Abi mengatakan, dia adalah orang Kufah dan Syiah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzbut Tahdzib, 11/266. Lihat juga Mizanul Itidal, 4/415)

Ada pun tentang Laits bin Abi Sulaim, Imam Ahmad berkata tentangnya: sangat lemah dan banyak kesalahan. Yahya bin Main mengatakan: dhaif. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/232). Sufyan bin Uyainah mendhaifkannya, sedangkan Abu Zurah ditanya tentang Laits ini, katanya: haditsnya lemah dan tidak bisa berhujjah dengan haditsnya. (Tahdzibut Tahdzib, 8/418)

Maka, jelaslah sudah kelemahan hadits ini, dengan kelemahan yang sangat. Dan, Syaikh Al Albani mengatakannya sebagai hadits munkar. (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 2460).

Wallahu Alam

Catatan:

Walau hadits-hadits di atas lemah, bahkan tidak ada dasarnya. Islam mengakui bahwa jihad terhadap hawa nafsu memang ada. Dari Fadhalah bin Ubaid, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap hawa nafsunya. (HR. At Tirmidzi No. 1621, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 1258)

Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih No. 3823. As Silsilah Ash Shahihah No. 549. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1258)

Perlu diketahui, kelemahan hadits-hadits tentang jihad melawan hawa nafsu yang kita bahas lalu (bahkan tidak ada dasarnya), tidak berarti mengurangi derajat jihad melawan hawa nafsu. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

: } { .
Tidak diragukan bahwa berjihad mengendalikan diri adalah diperintahkan, begitu pula menguasai hawa nafsu dan syahwat. Sebagaimana telah tsabit (kuat) dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda: Mujahid adalah orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Allah, dan orang pintar adalah orang mampu menguasai dirinya dan berbuat untuk hari setelah kematiannya, dan orang lemah adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-angan kepada Allah. Tetapi seorang muslim hanya mengikuti syariat Islam, dia mengharamkan apa yang Allah dan RasulNya haramkan, dia tidak mengharamkan yang halal dan tidak berlebihan dalam menikmatinya, tetapi dia menggunakannya sesuai kebutuhan saja baik berupa makanan, nikah, dia sederhana dalam hal itu, dan sederhana pula dalam hal ibadah, dia tidak membebani dirinya dengan apa-apa yang tidak dia mampu. (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, 3/302) Bahkan seorang ulama mujahid, perawi hadits terpercaya, Imam Abdullah bin Mubarak mengomentari ayat:


Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad. Beliau berkata:


Itu adalah berjihad terhadap jiwa dan hawa nafsu. (Imam Ibnu Qayyim, Zaadul Maad, 3/8. Muasasah Ar Risalah). Imam Ibnul Qayyim sendiri telah membahas panjang masalah ini, dan dia membuat maratibul jihad (urutan jihad) bahwa jihad ada empat urutan, yakni jihad terhadap hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang kafir dan jihad melawan orang munafik. Jihad terhadap hawa nafsu juga terbagi atas

empat, yakni: Pertama, jihad untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Kedua, jihad mengamalkan ilmu tersebut. Ketiga, jihad mendakwahkan dan mengajarkan ilmu tersebut agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu. Keempat, jihad bersabar ketika mendakwahkannya atas segala bentuk kesulitan dan peneritaan yang akan menimpanya. (Ibid, 3/9) selesai. Ada pun riwayat yang shahih tentang jihad yang paling afdhal adalah sebagai berikut, dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Jihad paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim. (HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2265, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 10716, dalam lafaz Ahmad tertulis: Kalimatul haq ..(perkataan yang benar). Ibnu Majah No. 4011)

Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih, No. 3705. As Silsilah Ash Shahihah, No. 491. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4344)

Sedangkan jihad paling utama bagi wanita adalah haji yang mabrur. Dari Aisyah Radhiallahu Anha, katanya:


Ya Rasulullah, kami melihat jihad adalah amal yang paling utama, apakah kami juga boleh berjihad? Nabi bersabda: Tidak, tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji yang mabrur. (HR. Bukhari No. 1448, 1762, 2632, 2720, 2721)

Wallahu Alam

4.

Hadits: Shalat adalah tiang agama ..

Dari Ikrimah, dari Umar, bahwa ada seorang laki-laki datang kepad Rasulullah lalu bertanya: Wahai Rasulullah, hal apakah dalam Islam yang paling Allah sukai? Rasulullah menjawab:


Shalat pada waktunya, dan barangsiapa yang meninggalkan shalat maka tidak ada agama baginya, dan shalat adalah tiang agama. (HR. Al Baihaqi, Syuabul Iman, No. 2683, dan Al Baihaqi mengatakan: Abu Abdillah (Al Hakim) mengatakan: Ikrimah tidak mendengarnya dari Umar, aku kira maksudnya adalah Ibnu Umar. Lihat juga, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul Umal, No. 19582)

Jika benar ikrimah dari Umar, maka hadits ini munqathi (terputus sanadnya), sebab Ikrimah tidak sezaman dengan Umar bin Al Khathab.

Al Allamah Muhammad bin Thahir Al Hindi Al Fatani mengatakan dhaif. (Tadzkirah Al Maudhuat, Hal. 38)

Imam As Sakhawi mengatakan bahwa ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, dan sanad hadits ini dhaif, dan gurunya, Al Hakim, mengatakan, bahwa Ikrimah tidak mendengarnya dari Umar, mungkin maksudnya adalah Ibnu Umar. Pengarang Al Wasith mengatakan, bahwa Ibnu Shalah tidak mengomentari hadits ini. Sementara dalam Musykilul Wasith disebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal (ghairu maruf). Berkata An Nawawi dalam At Tanqih: hadits ini munkar bathil. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 144. Mawqi Al Warraq. Lihat juga Imam Al Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya, 1/368)

Apa yang dikatakan oleh Imam An Nawawi dianggap berlebihan. Al Munawi mengatakan bahwa Ibnu Haj telah membantahnya, bahwa hadits ini hanya dhaif dan terputus saja, bukan bathil. (Al Ajluni, Kasyful Khafa, 2/31)

Begitu pula Al Hafizh Ibnu Hajar mengomentari Imam An Nawawi, katanya: Tidaklah demikian, bahkan Abu Nuaim, Syaikhnya Bukhari, meriwayatkan dalam Kitabush Shalah, dari Habib bin Sulaim, dari Bilal bin Yahya, dia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan bertanya, maka beliau bersabda: Ash Shalatu Umududdin. (Shalat adalah tiang-tiang agama). Hadits ini mursal, dan perawinya terpercaya. (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 1/446. Darul Kutub Al Ilmiyah. Lihat juga Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 144)

Namun demikian hadits ini memang dhaif, walau tidak seperti yang dikatakan oleh Imam An Nawawi. Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Dhaiful Jami No. 170)

Ada juga riwayat lain, dari Ad Dailami, dari Ali secara marfu, yang berbunyi:

Shalat adalah tiang agama, jihad adalah puncaknya amal, dan zakat di antara keduanya.

Riwayat ini dhaif jiddan (sangat lemah). (As Silsilah Adh Dhaifah Mukhtasharah, No. 3805)

Catatan:

Walau riwayat-riwayat seperti ini adalah dhaif. Namun, adalah BENAR bahwa shalat sebagai tiang agama. Ini ditegaskan oleh riwayat lainnya yang shahih dari Imam At Tirmidzi, berikut:

Dari Muadz bin Jabal Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

Ketahuilah, akan aku beritahukan kepadamu tentang kepala segala urusan, tiang-tiangnya, dan puncak punuknya. Aku berkata: Tentu ya Rasulullah. Rasulullah bersabda: Kepalanya urusan adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat, dan puncak dari punuknya adalah jihad. (HR. At Tirmidzi No. 2749, katanya: hasan shahih)

Hadits ini shahih. (Syaikh Al Albani, Shahih Wa Dhaif Sunan At Tirmdzi, No. 2616). Wallahu Alam

Bersambung .... (Insya Allah)

Anda mungkin juga menyukai