Anda di halaman 1dari 7

Hadits-Hadits Dhaif dan Palsu (bag.

5)

Dec 10, '09 10:57 PM for everyone

Oleh: Farid Numan Hasan


1. Ucapan: Sedekah Dapat Mencegah Bala (musibah/bencana)

Ucapan ini sangat terkenal di lisan manusia bahkan sebagian para penceramah ternama. Sedihnya lagi, ada situs seorang dai kondang yang menyebutnya sebagai hadits shahih Bukhari dan Muslim! Betulkah ini hadits nabi?


Shadaqatul Qaliil tadfaul Bala Al Katsiir. Sedekah yang sedikit dapat mencegah musibah yang banyak. Berkata Imam Al Ajluni dalam kitabnya, Kasyful Khafa:

. :
Dan ini bukan hadits, saya katakan: yang terkenal di lisan manusia adalah shadaqah qaliilah tadfau balaayaa katsiirah (sedekah sedikit mencegah musibah yang banyak), ini juga bukan hadits, sebagian mereka menambahkan: wa shaahibuhaa laa yalam wa laa yadri (dan pelakunya tidak tahu dan tidak menyadarinya). (Kasyful Khafa, 2/23. No. 1596. cet. 3, 1988M-1408H. Darul Kutub Al Ilmiyah) Sementara itu dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Sesungguhnya sedekah itu dapat memadamkan kemarahan Rabb, dan mencegah kematian yang jelek/buruk. (HR. At Tirmidzi No. 664, katanya: hadits ini hasan gharib (menyendiri) dari jalur ini. Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 3309) Sanad hadits ini: telah berkata kepada kami Uqbah bin Mukrim Al Ami Al Bashri, an (dari) Abdullah bin Isa, dari Yunus bin Ubaid, dari Al Hasan (Al Bashri), dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: (disebut hadits di atas) Apa yang dikatakan oleh Imam At Tirmidzi bahwa hadits hasan gharib dan Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Shahihnya, telah mendapat kritikan dari para ulama, seperti Imam As Sakhawi dan Imam Al Ajluni. Imam As Sakhawi Rahimahullah berkata dalam Al Maqashid Al Hasanah:

:
Dalam hadits ini ada yang perlu diperhatikan, sebab Abdullah bin Isa meriwayatkan hadits ini dari Yunus yang telah disepakati kedhaifannya, sampai-sampai Ibnu Hibban sendiri tidak memasukkannya dalam kitab Ats Tsiqat (orang-orang terpercaya), dan Ibnu Adi telah meriwayatkannya dalam biografinya, dan berkata: sesungguhnya dia tidak bisa diikuti. (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 141. Syamilah. Kasyful Khafa, 2/22) Oleh karena itu Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam berbagai kitabnya. (Al Irwa No. 885, Taliq Ar Raghib No. 2/22, Dhaif Al Jami Ash Shaghir No. 1489, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 664) Ada beberapa alasan lain penyebab kedhaifan hadits ini.

Pertama, karena ananah-nya Al Hasan Al Bashri, dan dia seorang mudallis (suka menggelapkan sanad atau matan). Ke-mudallis-an Al Hasan Al Bashri ini telah masyhur, sebagaimana dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Thabaqat Al Mudallisin:


An Nasai dan lainnya telah mensifatinya sebagai orang yang mentadliskan sanad. (Thabaqat Al Mudallisin, Hal. 29, No. 40) Berkata pula Al Hafizh Burhanuddin bin Al Ajami dalam Al Mudallisin:


Dia termasuk tenar sebagai rawi yang mentadlis. (Tamamul Minnah, Hal. 390) Perlu di ketahui, hadits di atas termasuk hadits muanan, yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan dengan menyebut an fulan (dari si fulan). Rawi yang meriwayatkan secara an disebut muanin. Hadits muanan pada dasarnya dihukumi bukan hadits muttashil (bersambung) sanadnya. Tetapi, dia dapat disebut muttashil jika memenuhi dua syarat sebagaimana kata Imam Al Bukhari:

1. Si muanin bukan seorang rawi yang mudallis. 2. Si muanin harus pernah berjumpa dengan orang yang pernah memberinya hadits (istilahnya
isytirathul liqa). Sementara Imam Muslim mengatakan hendaknya si muanin hidup sezaman dengan orang yang memberinya hadits (istilahnya isytitrathul muasharah). Ulama lain mengatakan si muanin harus diketahui secara meyakinkan bahwa dia benar-benar menerima hadits tersebut dari gurunya. Dalam konteks hadits ini, syarat yang pertama tidak terpenuhi, sebab Al Hasan Al Bashri adalah seorang mudallis, walau dia seorang imam besar pada masa tabiin. Ada pun syarat yang kedua terpenuhi, sebab Al Hasan Al Bashri meriwayatkannya dari Anas bin Malik, dan beliau adalah salah seorang murid dari Anas bin Malik, sebagaimana yang diceritakan Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar-nya, bahwa yang hadir dalam halaqah Anas bin Malik, di antaranya adalah Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Asy Syabi, Abu Qilabah, Makhul, Az Zuhri, Umar bin Abdul Aziz, Tsabit Al Banani, Qatadah, Ibnu Al Munkadir, dan lainnya. (Siyar Alam An Nubala, 3/396. Cet. 9. 1993M-1413H. Muasasah Ar Risalah) Maka, dari sisi ini, dua syarat ini tidak terpenuhi secara sempurna. Kedua, karena kedhaifan Abdullah bin Isa Al Khazaz, nama kun-yah (gelar)nya Abu Khalaf. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahzib, 1/521. Cet. 2. 1995M-1415H. Darul Kutub Al Ilmiyah). Abu Zurah mengatakan: munkarul hadits. Ibnu Adi mengatakan: dia meriwayatkan dari Yunus dan Daud bin Abi Hindi apa-apa yang tidak disepakati oleh orang-orang terpercaya, dan semua riwayatnya menyendiri. An Nasai mengatakan: dia bukan orang yang dapat dipercaya (laisa bi tsiqah). (Imam Adz Dzahabi, Mizanul Itidal, 2/470. Darul Marifah) Syaikh Al Albani mengatakan: Abdullah bin Isa ini telah disepakati kedhaifannya, sehingga para ulama mengingkari penghasanan yang dilakukan oleh Imam At Tirmidzi terhadap hadits ini. (Tamamul Minnah, Hal. 390) Disebutkan dalam Faidhul Qadir: Berkata Abdul Haq: dan belum jelas baginya yang menghalangi keshahihan hadits ini yakni kecacatannya yang membuat lemah riwayat tersebut, yakni Abu Khalaf si Al Khazaz ini, karena dia seorang yang munkarul hadits. Ibnu Al Qaththan mengatakan: hadits ini dhaif, tidak hasan. Al Iraqi memastikan kedhaifan hadits ini. Berkata Ibnu Hajar: Dia telah dinilai cacat oleh Ibnu Hibban, Al Uqaili, Ibnu Thahir, Ibnul Qaththan, dan berkata Ibnu Adi: tidak bisa diikuti. Demikian dalam Faidhul Qadir. (Ibid) Sebenarnya, hadits ini memiliki beberapa jalur lain, namun semuanya lemah dengan kelemahan yang parah, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai syahid (saksi penguat) bagi hadits ini. (Lengkapnya lihat dalam kitab Irwa Al Ghalil, Juz. 3, Hal. 390-392. Cet. 2, 1985M-1405H. Al Maktab Al Islami. Beirut -Libanon) Di antaranya:

Dari Abu Hurairah: Sesungguhnya shadaqah mencegah kematian yang buruk. Diriwayatkan oleh Hamzah As Sahmi dalam Tarikh Jurjan (453). Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), karena ada perawi bernama Yahya bin Ubaidillah, yang mendengarkan hadits ini dari ayahnya. Dalam At Taqrib disebutkan bahwa Yahya adalah seorang yang matruk (haditsnya ditinggalkan), dan Al Hakim menyebutnya lebih buruk lagi yakni menyebutnya sebagai pemalsu hadits. Sedangkan ayahnya adalah seorang yang majhul hal (keadaannya tidak diketahui). Dari Anas pula: Sedekah dapat mencegah 70 macam bencana, diantaranya kusta dan sopak (kulit belang). Diriwayatkan oleh Al Khathib dalam At Tarikh (8/208). Hadits ini juga dhaif. Dalam sanadnya terdapat Ishaq bin Ibrahim yaitu Al Israili Al Bashri, Imam Adz Dzahabi mengatakan: Pada orang ini terdapat kritikan (fiihi nazhar). Juga Al Harits bin An Numan bin Salim yang tidak sebutkan jarh (celaan) dan tadil (pujian) untuknya. Dari Rafi bin Makits: Tabiat/kepunyaan yang baik akan bertumbuh, akhlak yang buruk akan membawa celaka, berbuat baik akan menambah umur, dan sedekah akan mencegah kematian yang buruk. Hadits ini juga dhaif. (Dhaiful Jami No. 2720) Dari Amru bin Auf: Sedekah seorang muslim akan menambahkan umur, dan mencegah kematian yang buruk, dan akan Allah Taala hapuskan sifat angkuh dan sombong. Hadits ini dhaif jiddan. (Dhaiful Jami No. 3471) kelemahannya karena seorang rawi bernama Katsir bin Abdullah seorang yang matruk (haditsnya ditinggal), sebagaimana yang dikatakan Ad Daruquthni dan lainnya. Abu Daud mengatakan: dia adalah salah satu tiang di antara tiang-tiang kedustaan. (Tamamul Minnah Hal. 391) Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab Al Birr wash Shilah pada sebagian akhirnya, dengan lafazh: Sesungguhnya Allah Taala menolak dengan sedekah 70 pintu (musibah), diantaranya mencegah kematian yang buruk. (Kasyful Khafa, 2/23). Riwayat ini juga dhaif, lantaran seorang rawi bernama Yazid -yakni Ibnu Abaan Ar Ruqasyi- seorang yang dhaif. (Taqrib At Tahzib, 2/599). Dan juga rawi lainnya bernama Mahriz yakni Ibnu Abdillah Al Jazari- yang bergelar Abu Raja. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar tentang dia: Jujur tapi suka mentadlis. (Ibid, 2/521). Ditambah lagi hadits ini diriwayatkan secara ananah, sehingga lengkaplah faktor kedhaifannya. Oleh karena itu Al Iraqi memastikan kedhaifan hadits ini. (As SIlsilah Adh Dhaifah, 11/485) Wallahu Alam

2.Hadits: Berpuasalah kau akan sehat Hadits ini juga sering diucapkan para penceramah, khususnya ketika bulan Ramadhan untuk menyemangati kaum muslimin terhadap ibadah puasa. Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

.
Berpuasalah niscaya kalian akan sehat. Hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabarani (Al Mujam Al Awsath, 2/225/1/8477) dan Abu Nuaim. (Thib An Nabawi, q 24/1 dan 2). Dengan jalur, dari Muhammad bin Salman bin Abu Daud, telah mengabarkan kepada kami Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin Abu Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah: (lalu disebutlah hadits di atas). Ath Thabarani mengatakan: Tak ada yang meriwayatkannya dengan lafaz ini kecuali Zuhair. Imam Al Haitsami mengatakan: rijal hadits ini tsiqat (terpercaya). (Majma Az Zawaid, 3/179. Darul Kutub Al Ilmiyah) Namun, apa yang dikatakan oleh Imam Al Haitsami ini telah ditaqib (dikoreksi) para ulama. Bahkan sampai-sampai Imam Ash Shaghani Rahimahullah dalam Al Maudhuat (hal. 3. Syamilah) mengatakan bahwa hadits ini maudhu (palsu). Sedangkan Al Hafizh Al Iraqi mengatakan sanad hadits ini dhaif. (Takhrijul Ihya, 3/75)

Syaikh Al Albani juga mendhaifkan, dan dia mengatakan: Dan tidaklah bermanfaat ucapan Al Mundziri dalam At Targhib-nya dan Al Haitsami dalam Al Majma-nya setelah dia menyandarkannya kepada Ath Thabarani: Rijal hadits ini tsiqat (terpercaya). Sebab, tidak ada manfaatnya menyebutkan dalam sanadnya adalah rijal yang tsiqah, kalau ternyata punya cacat lain yang membawanya pada kelemahannya, sebagaimana tidak samar bagi orang paham kaidah dalam ilmu ini, dan kami telah menguraikan cacatnya hadits ini. (As Silsilah Adh Dhaifah, 1/420/253) Penyebabnya adalah para rawi dalam hadits ini adalah dhaif. Misal: Zuhair bin Muhammad. Imam Ibnul Qayyim mengatakan: Zuhair ini dhaif. (Syarh Sunan Abi Daud, 7/283) Imam Ahmad mengatakan: Zuhair meriwayatkan hadits-hadit munkar bagi penduduk Syam. Sedangkan dari Ibnu Main terdapat berbagai komentar. Dari Utsman bin A Darimi, dari Ibnu Main, katanya: tsiqah. Dari Muawiyah bin Shalih, dari Ibnu Main: dhaif. Sekali lagi dia mengatakan: laisa bi qawwi (bukan orang kuat). Ditempat lain mengatakan: tidak apa-apa. Sementara, Amru bin Abi Salamah meriwayatkan darinya riwayat-riwayat munkar. Abu Hatim mengatakan; Dia orang jujur tapi buruk hapalannya, dan hadits yang diriwayatkan darinya di Syam, lebih diingkari dibanding yang di Irak. An Nasai mengatakan; laisa bil qawwi (tidak kuat). At Tirmidzi bertanya kepada Al Bukhari tentang Zuhair ini, beliau menjawab: Aku khawatir terhadap Syaikh ini. Seakan haditsnya itu maudhu (palsu), dan menurutku, ini bukanlah Zuhair bin Muhammad. (Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul Itidal, 2/84) Lalu tentang Suhail bin Abu Shalih. Para imam berselisih tentang dia. Imam Yahya bin Main mengatakan, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah. Abu Hatim mengatakan, haditsnya hanya ditulis saja tidak boleh dijadikan hujjah. Sementara An Nasai mengatakan: dia tidak ada masalah. Ibnu Adi mengatakan bahwa Suhail adalah seorang Syaikh. Banyak para imam meriwayatkan darinya, dia juga menceritakan dari ayahnya dan jamaah dari selain ayahnya. Ini menunjukkan keisimewaannya, dan bagiku (Ibnu Adi) dia adalah tsabit (kokoh), taidak ada masalah, dan khabar darinya maqbul (diterima). As Sulami berkata: Aku bertanya kepada Ad Daruquthni bahwa Al Bukhari tidak meninggalkan hadits Suhail dalam kitab Shahihnya. Dia menjawa: Aku tidak tahu adanya udzur (halangan) baginya. Dan, An Nasai jika dia melewati hadits Suhail, maka dia mengatakan: Demi Allah, hadits Abu Suhail lebih baik dari pada hadits Abu Al Yaman dan Yahya bin Bakir dan selain keduanya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats Tsiqat, tetapi dia (Suhail) memiliki kesalahan. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 3/263264) Ada riwayat lain, Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

.
Berperanglah kalian akan mendapat ghanimah, berpuasalah niscaya kalian akan sehat, bepergianlah niscaya kalian akan cukup (kaya). Hadits ini, Dari Zuhair bin Muhammad Abul Mundzir, dari Suhail bin Abu Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam: (lalu disebut hadits tersebut). Al Uqaili mengeluarkannya dalam Adh Dhuafa (2/92), sedangkan Ath Thabarani dalam Al Awsath (9/144/4308) dari jalur Muhammad bin Sulaiman bin Abu Daud, dia berkata: berkata kepada kami Zuhair bin Muhammad dengan lafaz ini. Tentang Muhammad bin Sulaiman bin Abu Daud. Imam Abu Hatim mengatakan: munkarul hadits (haditsnya munkar). Sementara An Nasai mengatakan: tidak apa-apa. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Maslamah mengatakan tsiqah. (Ibid, 9/200) Ada pun tentang Zuhair bin Muhammad dan Suhail bin Abu Shalih sudah dipaparkan sebelumnya. Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini dengan bentuk kata seperti ini- adalah munkar. (As Silsilah Adh Dhaifah, 11/305/5188) Wallahu Alam 3. Hadits: Aku adalah kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya, maka barang siapa yang menghendaki ilmu maka datangilah pintunya.

Ungkapan ini sempat tenar di negeri ini dalam bentuk lagu, yang dibawakan oleh Haddad Alwi dan Sulis. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, katanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Aku adalah kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya, maka barang siapa yang menghendaki ilmu maka datangilah pintunya. Diriwayatkan oleh Al Hakim (Al Mustadrak No. 4637, katanya: isnadnya shahih, dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari Muslim) dengan sanad: menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad bin Yaqub, menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahim Al Harawi, menceritakan kepada kami Abu Shalt Abdussalam bin Shalih, telah mengabarkan kepada kami Abu Muawiyah, dari Al Amasy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma (lalu disebut hadits di atas). Juga oleh Ibnu Jarir dalam Tahdzibul Atsar, Ath Thabarani (Al Mujam Al Kabir, 3/108/1), Al Khathib (Tarikh Baghdad, 11/48), dan Ibnu Asakir (Tarikh Dimasyq, 12/159/2). Dari jalan Abu Shalt Abdussalam bin Shalih Al Harawi, telah mengabarkan kepada kami Abu Muawiyah, dari Al Amasy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas secara marfu. Al Hakim dan Ibnu Jarir telah menshahihkan hadits ini. Penshahihan yang disebutkan oleh Al Hakim dan Ibnu Jarir ini, lantaran bagi mereka Abu Shalt Abdussalam bin Shalih adalah tsiqah, mamun (amanah), dan shaduq (jujur), sebagaimana dikatakan Imam Yahya bin Main (Lihat Al Mustadrak No. 4637). Namun, hal ini telah dibantah para ulama. Imam Adz Dzahabi mengatakan: Justru hadits ini palsu. Beliau mengoreksi pujian Yahya bin Main terhadap Abu Shalt, dengan mengatakan: Tidak, demi Allah, dia tidak tsiqah dan tidak amanah. (As SilSilah Adh Dhaifah, 6/519) Al Uqaili mengatakan: rafidhi (syiah) yang busuk. Ibnu Adi mengatakan: dituduh sebagai pemalsu hadits . An Nasai mengatakan: bukan orang yang bisa dipercaya. Ad Daruquthni mengatakan; rafidhi yang busuk dan dituduh sebagai pemalsu hadits. (Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul Itidal, 2/616) Sebenarnya, sikap Imam Yahya bin Main dalam mentautsiq (mentsiqahkan) Abu Shalt tidaklah jazm (pasti). Lantaran ucapannya yang berbeda-beda terhadap Abu Shalt ini. Dia pernah menyebutnya: tsiqah. Pernah juga menyebut: tsiqah shaduq (bisa dipercaya dan jujur). Pernah juga menyebut: aku tidak tahu kedustaannya. Juga pernah menyebut: menurut kami dia bukan termasuk pendusta (ahlul kidzb). Pernah juga mengatakan; laisa mimman yakdzib (dia bukan termasuk orang yang berdusta). Pernah juga mengatakan; huwa shaduq (dia jujur). Bahkan dia pernah mengatakan; aku tidak mengenalnya. Oleh karena itu, Syaikh Al Albani menilai bahwa tautsiq yang dilakukan oleh Yahya bin Main ini dianggap idhthirab (goncang). Ditambah lagi dia menyendiri dalam hal ini, sementara para imam lain telah mendhaifkan dan mencela Abu Shalt, maka dari itu mesti berpegang pada mereka bukan, kepadanya (Ibnu Main). (As Silsilah Adh Dhaifah, 6/519-520). Ada pun tentang hadits ini, Yahya bin Main pun memiliki beberapa sikap. Pertama dia mengatakan: shahih. Pernah juga mengatakan; maa hadza fil hadits bi syai (hadits ini tidak ada apa-apanya). Pernah juga beliau mengingkarinya secara keras, setelah beliau ditanya oleh Yahya bin Ahmad bin Ziyad tentang hadits ini. Pernah juga mengatakan; hadits bohong dan tidak ada asalnya. Pernah juga mengatakan: aku belum pernah sekali pun mendengar hadits ini, kecuali telah disampaikan padaku darinya (Abu Shalt). (Ibid, 6/520-521) Sedangkan Syaikh Al Albani menyatakan dengan tegas bahwa hadits ini maudhu (palsu). (As Silsilah Adh Dhaifah, 6/518-519) Sementara itu dalam Al Maqashid Al Hasanah, para ahli hadits telah mendhaifkan hadits ini. Ad Daruquthni mengatakan: hadits ini idhthirab (goncang) dan tidak tsabit (kuat). At Tirmidzi mengatakan: munkar. Al Bukhari juga mengatakan hadits ini tidak memiliki jalur yang shahih. Ibnu Main mengatakan: dusta dan tidak ada asalnya, sebagaimana dikutip oleh Al Khathib dalam Tarikh Baghdad-nya. Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab Al Maudhuat (deretan hadits palsu) dan Adz Dzahabi dan lainnya menyepakati hal itu. Ada pun Ibnu Daqiq Al Id mengatakan: mereka tidak menguatkan hadits ini. Disebutkan; bahwa hadits ini bathil. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 54. Syamilah) Dalam Kasyful Khafa juga disebutkan seperti di atas, namun ada beberapa tambahan. Yaitu komentar dari Abu Hatim dan Yahya bin Said bahwa hadits ini tidak ada asalnya. (Imam Al Ajluni, Kasyful Khafa, 1/204. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Catatan: Dalam hadits-hadits shahih, banyak diceritakan tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib, maka cukuplah kita dengan riwayat-rawayat tersebut. Bahkan keutamaan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu, juga tertera dalam Al Quran. Di antaranya:


Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka. (QS. Al Hajj (22): 19) Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ayat ini turun ketika mubarazah (duel) awal dalam perang badar, yakni antara Hamzah, Ali, dan Abu Ubaidah (sebagai golongan beriman), melawan Syabah bin Rabiah, Utbah bin Rabiah, dan Al Walid bin Utbah (sebagai golongan kafir). (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, 5/405) Ayat lain:


Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama. (QS. As Sajdah (33): 18) Atha bin Yassar, As Suddi dan lainnya mengatakan ayat ini turun tentang Ali bin Abi Thalib (mumin) dan Uqbah bin Abu Muaith (fasiq). (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, 6/369) Wallahu Alam 4. Hadits: Berbicaralah kepada manusia sesuai kadar akal (pengetahuan) mereka.

Ucapan ini sering kali disampaikan para daI dalam berbegai kesempatan. Tak ada satu pun yang shahih secara marfu (berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam) tentang ucapan ini. Dari Ibnu Abbas secara marfu, katanya:


Kami diperintah untuk berbicara kepada manusia sesuai kadar akal mereka. Berkata Imam As Sakhawi Rahimahullah: Diriwayatkan oleh Ad Dailami, dari jalur Abu Abdurrahman As Sulami, bercerita kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Quraisy, bercerita kepada kami Al Hasan bin Sufyan, bercerita kepada kami Ismail bin Muhammad Ath Thalha, bercerita kepada kami Abdullah bin Abu Bakr, dari Abu Masyar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas secara marfu dengan seperti ini, sanadnya dhaif. (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 52. Mawqi Al Warraq) Hadits ini memiliki syahid (saksi penguat), tapi ternyata sanadnya sangat lemah (dhaif jiddan), sehingga tidak layak dijadikan sebagai penguat. Dari hadits Ibnu Abbas dengan lafaz:


Aku diperintah agar berbicara kepada manusia sesuai kadar akal mereka. (Ibid) Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, katanya:

Tidaklah engkau berbicara terhadap sebuah kaum dengan pembicaraan yang tidak dikuasai akal mereka, melainkan sebagian mereka akan tertimpa fitnah. Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir, dengan sanad dhaif. (Lihat Dhaiful Jami No. 5032) Dari Ibnu Abbas, secara marfu:


Hukumlah budak kalian sesuai dengan kadar akal mereka. Diriwayatkan oleh Ad Dailami dalam Musnadnya, juga Ad Daruquthni dalam Al Afrad dari Aisyah secara marfu. (Al Maqashid Al Hasanah Hal. 52) Dan, hadits ini maudhu (palsu). (Dhaiful Jami No. 3672) Catatan: Namun demikian ucapan seperti ini tidaklah salah secara makna. Bahkan ada riwayat shahih secara mauquf (ucapan sahabat), yakni dari Ibnu Masud Radhiallahu Anhu sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam muqaddimah kitab Shahihnya:

.
Tidaklah engkau berbicara terhadap sebuah kaum dengan pembicaraan yang tidak dikuasai akal mereka, melainkan sebagian mereka akan tertimpa fitnah. (Muqaddimah Shahih Muslim, Bab An Nahyu an Al hadits Bikulli ma samia) Juga telah shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu secara mauquf, katanya:


Berbicaralah kepada manusia dengan apa-apa yang mereka pahami, apakah kau suka Allah dan RasulNya didustakan? (Shahih Bukhari No. 127) Wallahu Alam (bersambung .. Insya Allah)

Anda mungkin juga menyukai