Anda di halaman 1dari 15

Hadits Terkenal Tapi Palsu dan Dhaif (Bag. 2) Oleh: Farid Numan Hasan 1.

Hadits Mengusap Dahi dan Wajah Setelah Shalat Dalam hal ini ada dua hadits. Hadits pertama, dari Anas bin Malik, katanya:

:
Adalah Rasulullah jika telah selesai shalat, maka dia usapkan wajahnya dengan tangan kanannya, kemudian berkata: Aku bersaksi tiada Ilah kecuali Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan dan kesedihan. ( HR. Ibnu Sunni ,Amalul Yaum wal lailah, No. 110, dan Ibnu Samun, Al Amali, 2/176q). Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan sebagian ulama mengatakan: maudhu (palsu). Imam Ibnu Rajab Al Hambali berkata dalam Fathul Bari-nya:

.
Hadits ini memiliki banyak jalan dari Anas bin Malik, semuanya lemah. (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi Ruh Al Islam) Sanad hadits ini adalah dari Salam Al Madaini, dari Zaid Al Ami dari Muawiyah, dari Qurrah, dari Anas ... (lalu disebutkan hadts di atas) Cacatnya hadits ini lantaran Salam Al Madaini dan Zaid Al Ami. Salam Al Madaini adalah orang yang dtuduh sebagai pendusta, sedangkan Zaid Al Ami adalah perawi dhaif. Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan, sanad hadits ini palsu. Hanya saja, hadits ini juga diriwayatkan dalam sanad lainnya yang juga dhaif. Secara global, hadits ini dhaif jiddan. (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Ad Dhaifah wal Maudhuah, No. 1058. Darul Maarif) Sementara, Imam Al Haitsami mengutip dari Al Bazzar, bahwa Salam Al Madaini adalah layyinul hadits (haditsnya lemah). (Imam Al Haitsami, Majma az Zawaid, 10/47. Darul Kutub Al Ilmiyah) Al Haitsami juga mengatakan bahwa Zaid Al Ami adalah dhaif (lemah). (Ibid,1/230) Imam Al Baihaqi juga menyatakan bahwa Zaid Al Ami adalah dhaif. (Al Allamah Ibnu At Turkumani, Al Jauhar, 3/46. Darul Fikr) begitu pula kata Imam Al Iraqi. (Takhrijul Ihya, 6/290) Al Allamah As Sakhawi mengatakan, lebih dari satu orang menilai bahwa Zaid Al Ami adalah tsiqah (bisa dipercaya), namun jumhur (mayoritas) menilainya dhaif. (As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 4/486) yang menilainya tsiqah adalah Imam Ahmad. (Ibid, 2/400) Imam Ahmad juga mengatakan: shalih (baik). (Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad dam, Hal. 58. Darul Kutub Al Ilmiyah) Sementara Imam An Nasai mengatakan Zaid Al Ami sebagai laisa bil qawwi (bukan orang kuat hafalannya). (Al Hafizh Az Zailai, Nashbur Rayyah, 7/185. Lihat Abul Fadhl As Sayyid Al Maathi An Nuri, Al Musnad Al Jami, 14/132) begitu pula kata Imam Abu Zurah. (Al Hafiz Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Tadil, 3/561. Dar Ihya At Turats) Hadits kedua, dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu katanya:

:
Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 1

Adalah Rasulullah Shallalllahu Alaihi wa Sallam jika telah selesai shalatnya, beliau mengusap dahinya dengan tangan kanan, kemudian dilanjutkan ke wajah sampai jenggotnya. Lalu bersabda: Dengan nama Allah yang Tidak ada Ilah selain Dia, yang Maha Mengetahui yang Ghaib dan Yang Tampak, Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan, kesedihan, dan keresahan. Ya Allah dengan memujiMu aku beranjak dan dengan dosaku aku mengakuinya. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan yang telah aku akui, dan aku berlidung kepadaMu dari beratnya cobaan kehidupan dunia dan siksaan akhirat. (HR. Abu Nuaim, Akhbar Ashbahan, No. 40446. Mawqi Jami Al Hadits) Hadits ini dhaif (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Daud Al Mihbar pengarang kitab Al Aql. Imam Al Bukhari berkata tentang dia: munkarul hadits. Imam Ahmad mengatakan: Dia tidak diketahui apa itu hadits. (Imam Al Bukhari, At Tarikh Al Kabir, No. 837. Mawqi Yasub. Lihat juga kitab Imam Bukhari lainnya, Adh Dhuafa Ash Shaghir, Hal. 45. Darul Marifah. Lihat juga Al Hafizh Al Uqaili, Dhuafa, 2/35. Darul Kutub Al Ilmiyah ) Al Hafizh Az Zarkili mengatakan mayoritas ulama menilainya dhaif. (Khairuddin Az Zarkili, Al Alam, 2/334. Darul Ilmi wal Malayin) Ali Maldini mengatakan Daud ini: haditsnya telah hilang. Abu Zurah dan lainnya mengatakan: dhaif (lemah). Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan). Abu Hatim mengatakan: haditsnya hilang dan tidak bisa dipercaya. Ad Daruquthni mengatakan bahwa Daud Al Mihbar dalam kitab Al Aql telah memalsukan riwayat Maisarah bin Abdi Rabbih, lalu dia mencuri sanadnya dari Maisarah, dan membuat susunan sanad bukan dengan sanadnya Maisarah. Dia juga pernah mencuri sanad dari Abdul Aziz bin Abi Raja, dan Sulaiman bin Isa Al Sajazi. (Imam Adz Dzahabi, Mizan Al Itidal, 2/20. No. 2646. Darul Marifah) Abu Hatim juga mengatakan: munkarul hadits. (Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Tadil, 3/424, No. 1931) Bahkan, Syaikh Al Albani dengan tegas mengatakan sanad hadits ini adalah maudhu (palsu) lantaran perilaku Daud yang suka memalsukan sanad ini. Beliau mengatakan Daud adalah orang yang dituduh sebagai pendusta. Sedangkan untuk Al Abbas bin Razin As Sulami, Syaikh Al Albani mengatakan: aku tidak mengenalnya. (Syaikh Al AlBani, As Silsilah Adh Dhaifah wal Maudhuah, No. 1059. Darul Maarif) Catatan: Walaupun hadits-hadits ini sangat lemah dan tidak boleh dijadikan dalil, namun telah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang mengusap wajah jika sekadar untuk membersihkan bekasbekas sujud, seperti pasir, debu, tanah, dan lainnya. Di antara mereka ada yang membolehkan, ada juga yang memakruhkan. Al Hafizh Al Imam Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan:

. .
Adapun mengusap wajah dari bekas sujud setelah shalat selesai, maka bisa difahami dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Masud dan Ibnu Abbas, yang menunjukkan bahwa hal itu tidak makruh. Al Maimuni meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia mengusap dahinya jika selesai shalat. (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi Ruh Al Islam) Sebagian ulama lain memakruhkannya, bahkan mengusap wajah merupakan penyebab hilangnya doa pengampunan dari malaikat. Berikut penjelasan dari Imam Ibnu Rajab:

. . : .
Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 2

. : . )) : (( - : : . -
Sekelompok ulama memakruhkannya, dengan alasan hal itu merupakan penghilangan atas bekas-bekas ibadah, sebagaimana mereka memakruhkan mengelap air wudhu (dibadan) dan bersiwak bagi yang berpuasa. Berkata Ubaid bin Amir: Malaikat senantiasa bershalawat atas manusia selama bekas sujudnya masih ada di wajahnya. (Riwayat Al Baihaqi dengan sanad shahih) Al Qadhi Abu Yala menceritakan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, bahwa ada bekas sujud di wajahnya lalu ada seorang laki-laki yang mengusapnya, maka beliau pun marah, dan berkata: Kau telah memutuskan istighfar-nya malaikat kepadaku. Abu Yala menyebutkan sanadnya darinya, dan didalamnya terdapat seseorang yang tanpa nama. Imam An Nasai membuat bab: Meninggalkan Mengusap Wajah Setelah Salam. Beliau mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Said Al Khudri, yang telah dikeluarkan pula oleh Imam Bukhari di sini, di bagian akhirnya berbunyi: Berkata Abu Said: Kami kehujanan pada malam ke 21 (bulan Ramadhan), lalu air di masjid mengalir ke tempat shalat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka kami memandang kepadanya, beliau telah selesai dari shalat subuh, dan wajahnya terlihat sisa tanah dan air. (Ibid) 2. Hadits Keutamaan Memakai Surban

.()
Surban yang dililitkan ke peci (kopiah) merupakan pemisah antara kita dan kaum musyrikin, pada hari kiamat nanti setiap lilitan surban dikepalanya akan datang dalam bentuk cahaya. (Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul Umal, No. 41134. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah) Al Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah memberikan keterangan sebagai berikut:

" " . " " ) 7 ( : " " . " ) 43 ( . " ) 2/9 ( : " " . : . " " . ( 1503) " "
Hadits ini batil. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah secara marfu, sebagaimana tertera dalam Al Jami Ash Shaghir. Al Munawi telah memutihkannya (maksudnya membelanya, pen) tetapi tidak berpengaruh sedikit pun. Berkata Syaikh Al Kattani dalam Ad Daamah (Hal. 7): Sanadnya dhaif. Yakni sangat dhaif sebagaimana dijelaskan dalam halaman 34 dari kitabnya. Al Faqih Ahmad bin Hajar Al Hatami telah menguatkan kedhaifan hadits ini dalam kitabnya Ahkam Al Libas (2/9Q), dengan berkata: Seandainya tidak sangat dhaif, niscaya hadits ini menjadi hujjah penghormatan terhadap surban. Aku (Syaikh Al Albani) berkata: Hadits ini menurutku adakah batil, karena memperbanyak melilitkan surban justru bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahkan hal itu merupakan pakaian kemasyhuran yang telah dilarang oleh hadits-hadits yang sebagian telah saya keluarkan dalam kitab Hijab Al Marah Al Muslimah.

Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 3

Bagian awal hadits ini juga dirwayatkan oleh At Tirmidzi dan dhaif, dan itu sudah dicantumkan dalam Al Irwa (No. 1503). (As Silsilah Adh Dhaifah, 3/362, No. 1217. Darul Maarif) Dalam hadits lain berbunyi:


Barangsiapa yang menggunakan surban, maka pada setiap liliannya adalah satu kebaikan, dan jika dilepaskan lilitannya maka setiap satu kali lepasan lilitan menghapuskan satu kesalahan. Syaikh Al Albani juga mengatakan bahwa hadits ini maudhu , dan Imam Ibnu Hajar Al Haitami juga menyebutkannya dalam Ahkam Al Libas. (Ibid, No. 718) Catatan: Walau hadits ini dhaif, kita mengakui bahwa memakai surban merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, sebagaimana dijelaskan dalam Kutubush Shahhah (Kitab hadits-hadits shahih) khususnya dalam bab-bab tentang wudhu. Sehingga, memakai surban telah menjadi identitas yang baku bagi seorang laki-laki muslim dari zaman-zaman. Namun, demikian tak ada satu pun riwayat shahih yang menyebutkan keutamaankeutamaannya. Wallahu Alam wa ilaihil musytaka ... Syaikh Al Albani telah memberi komentar atas hadits ini:

: ! !
Hadits ini dan yang semisalnya merupakan sebab tersebarnya bidah dikalangan manusia, lantaran kebanyakan mereka sampai-sampai orang-orang yang sudah faham fiqih pun tidak bisa membedakan antara shahih dan dhaif, dan palsu-nya hadits. Dia tidak mengetahui hal itu, lalu mengamalkannya dan orang banyak melihat dia seperti itu. Jika dikabarkan kepadanya bahwa hadits tersebut dhaif (lemah), serta merta dia menanggapi dengan ucapan; Tidak apa-apa mengamalkan hadits dhaif untuk masalah fadhailul amal! ini adalah kebodohan, karena hadits palsu atau hadits dhaif yang amat sangat, dan hadits yang semisalnya, telah disepakati oleh para ulama tidak boleh diamalkan. Sesungguhnya saya (Syaikh Al Albani) masih ingat tentang seorang syaikh yang mengimami manusia di sebagian masjid di daerah Halab, dia memakai surban yang sangat lebar di kepalanya, saking lebarnya surban itu memenuhi bagian kosong mihrab tempatnya shalat! Maka, hanya kepada Allah tempat mengadu terhadap apa-apa yang menimpa kaum muslimin berupa penyimpangan mereka dari agama mereka, disebabkan oleh hadits-hadits lemah dan kaidah yang mazum (dikira benar). (Ibid) 3. Allah Taala Menolak Amal Ibadah Pelaku Bidah Dari Ibnu Abbas Radhilallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Allah menolak amalan pelaku bidah sampai orang itu meninggalkan perbuatan bidahnya. (HR. Ibnu Majah, No. 50. Ibnu Abi Ashim, As Sunnah, No. 32) Hadits ini dhaif. Berkata Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi Rahmahullah:

Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 4


Dalam Az Zawaid disebutkan bahwa para periwayat (rijal) hadits ini semuanya majhul (tidak dikenal), itulah yang dikatakan Adz Dzahabi.(Imam Abul Hasan As Sindi, Hasyiyah Ala Ibni Majah, No. 49. Mauqi Ruh Al Islam) Sanad hadits ini adalah dari Abdullah bin Said, dari Bisyr bin Manshur, dari Abu Zaid, dari Abu Al Mughirah, dari Ibnu Abbas, lalu disebutkan hadits di atas. Al Hafizh Al Mizzi mengatakan:

:
Imam Abu Zurah ditanya tentang Abu Al Mughirah, beliau menjawab: Dia dan Bisyr bin Manshur adalah majhul (tidak dikenal), aku tidak mengenal keduanya. (Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, No. 6569. Al Maktab Al Islami) Sedangkan, Syaikh Al Albani menyebutkan bahwa hadits ini munkar. (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 1492. Al Maktab Al Islami) Ada hadits lain dari Hudzaifah yang berbunyi lebih mendetil:


Allah Tidak menerima amalan pelaku bidah, baik puasanya, shadaqah, haji, umrah, jihad, ibadahnya, dan keadilannya. Dia keluar dari Islam seperti tercabutnya rambut dari tepung. (HR. Ibnu Majah, No. 49) Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini lebih buruk dari sebelumnya, dan dia menyatakan hadits ini palsu (maudhu). (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 1493) Hal ini disebabkan karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Mihshan. Imam Al Haitsami mengatakan: Dia adalah pendusta dan pemalsu hadits. (Imam Al Haitsami, Majma Az Zawaid, 1/82. Darul Kutub Al Ilmiyah) Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan bahwa Muhammad bin Mihshan ini disebut pendusta oleh Imam Yahya bin Main. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 3/245) Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Muhammad bin Mihshan adalah seorang syaikh pemalsu hadits yang dia kutip dari orang-orang terpercaya, tidak halal menyebutkan dirinya kecuali di dalamnya mesti ada cacatnya. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/277) Lebih lengkap lagi dalam Tahdzibut Tahdzib sederetan para Imam Ahli Hadits yang memberikan Jarh (penilaian cacat) untuk Muhammad bin Mihshan ini, seperti Bukhari, Yahya bin Main, Ahmad, Ad Daruquthni, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Uqaili, semuanya menilai dengan sebutan yang berbeda-beda seperti: pemalsu hadits, pendusta, munkarul hadits, matruk (haditsnya ditinggal), dan majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 9/381.Darul Fikr) Catatan: Para pelaku bidah, amalan bidah yang dilakukannya adalah tertolak, bahkan dia telah melakukan kesesatan yang berdosa, sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits shahih. Namun demikian jika dia melakukan amal shalih yang sesuai sunah di lain waktu, maka hal itu tetap diterima dan berpahala. Hal ini sesuai dengan ayat:

Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 5

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Az Zalzalah (99): 7-8) Di sisi lain, orang yang melakukan bidah, lalu bertobat dari bidahnya itu, tetapi sayangnya dia masih melaksanakan bidahnya itu maka tobatnya sia-sia. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut: Dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Sesungguhnya Allah menutup taubat dari pelaku setiap bidah. (HR. Ath Thabarani, Al Mujam Al Awsath, No. 4353. Al Baihaqi, Syuabul Iman, No. 9137. Ibnu Abi Ashim, As Sunnah, No. 30. Al Haitsami mengatakan perawi hadits ini adalah perawi hadits shahih, kecuali Harun bin Musa Al Farawi, dia tsiqah (bisa dipercaya). Majma Az Zawaid, 10/189. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Zhilalul Jannah, No. 37. Al Maktab Al Islami) Al Imam An Nawawi juga menegaskan tentang perkataan para ulama dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhush Shalihin, tentang syarat-syarat diterimanya taubat, diantaranya adalah harus meninggalkan perbuatan dosa tersebut. Berikut keterangan Imam An Nawawi Rahimahullah:

: . : : .: : . . : .
Berkata para ulama: Tobat adalah wajib dari semua dosa, jika maksiatnya adalah antara seorang hamba dengan Allah Taala, yang tidak terkait dengan manusia, maka syarat tobatnya ada tiga: 1. Meninggalkan maksiat tersebut 2. Membenci/menyesali perbuatan tersebut 3. Berjanji tidak mengulanginya selamanya. Jika salah satu saja tidak ada, maka tobatnya tidak sah. Dan, jika maksiatnya adalah terkait dengan manusia, maka syaratnya ada empat; yaitu yang tiga di atas, dan yang keempat adalah: menyelesaikan urusannya kepada orang yang berhak. Jika kesalahannya dalam bentuk harta maka dia harus mengembalikannya. Jika dia melemparkan tuduhan, maka dia meminta maaf kepada yang dituduh. Jika dia melakukan ghibah, maka dia meminta untuk dihalalkan (dimaafkan). (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 3-4. Mawqi Al Warraq) Demikian. Wallahu Alam

4. Hadits: Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja dia
menemukannya maka dialah yang paling berhak memilikinya.


Perkataan hikmah adalah milik orang mukmin yang hilang, maka di mana saja dia menemukannya maka dia lebih berhak terhadapnya Hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dalam sunannya, pada Bab Maa Jaa fil Fadhli Fiqh alal Ibadah, No. 2687. Dengan sanad: Berkata kepada kami Muhammad bin Umar Al Walid Al Kindi, bercerita kepada kami Abdullah bin Numair, dari Ibrahim bin Al Fadhl Al

Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 6

Makhzumi, dari Said Al Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: .... ( lalu disebut hadits di atas). Imam At Tirmidzi mengomentari hadits tersebut: Hadits ini gharib (menyendiri dalam periwayatannya), kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah seorang yang dhaif fil hadits (lemah dalam hadits). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Kitab Az Zuhud Bab Al Hikmah, No. 4169. Dalam sanadnya juga terdapat Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi. Imam Ibnu Hajar mengatakan, bahwa Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah Abu Ishaq Al Madini, dia seorang yang Fahisyul Khatha (buruk kesalahannya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/14. Mawqi Al Warraq). Sementara Imam Yahya bin Main menyebutnya sebagai Laisa bi Syai (bukan apa-apa). (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/105. Mawqi Yasub) Sederetan para Imam Ahli hadits telah mendhaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: dhaiful hadits laisa biqawwi fil hadits (haditsnya lemah, tidak kuat haditsnya). Imam Abu Zurah mengatakan: dhaif. Imam Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits munkarul hadits (hadisnya lemah dan munkar). Imam bukhari mengatakan: munkarul hadits. Imam An Nasai mengatakan: munkarul hadits, dia berkata ditempat lain: tidak bisa dipercaya, dan haditsnya tidak boleh ditulis. Abu Al Hakim mengatakan: laisa bil qawwi indahum (tidak kuat menurut mereka/para ulama). Ibnu Adi mengatakan: dhaif dan haditsnya boleh ditulis, tetapi menurutku tidak boleh berdalil dengan hadits darinya. Yaqub bin Sufyan mengatakan bahwa hadits tentang Hikmah di atas adalah hadits Ibrahim bin Al Fadhl yang dikenal dan diingkari para ulama. Imam Ibnu Hibban menyebutnya fahisyul khatha (buruk kesalahannya). Imam Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan), begitu pula menurut Al Azdi. (Lihat semua dalam karya Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/131. Darul Fikr. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 2/43. Muasasah Ar Risalah. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizan Al Itidal, 1/52. Darul Marifah. Lihat juga Imam Abu Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Tadil, 2/122. Dar Ihya At Turats. Lihat juga Imam Ibnu Adi Al Jurjani, Al Kamil fidh Dhuafa, 1/230-231. Darul Fikr. Imam Al Uqaili, Adh Dhuafa Al Kabir, 1/60. Darul Kutub Al Ilmiyah) Syaikh Al Albani pun telah menyatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), lantaran Ibrahim ini. (Dhaiful Jami No. 4302. Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/320) Ada pula yang serupa dengan hadits di atas:


Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja seorang mukmin menemukan miliknya yang hilang, maka hendaknya ia menghimpunkannya kepadanya. Imam As Sakhawi mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Al Qudhai dalam Musnadnya, dari hadits Al Laits, dari Hisyam bin Saad, dari Zaid bin Aslam, secara marfu. Hadits ini mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 1/105. Imam Al Ajluni, Kasyful Khafa, 1/363) Hadits mursal adalah hadits yang gugur di akhir sanadnya, seseorang setelah tabiin. Kita lihat, riwayat Al Qudhai ini, Zaid bin Aslam adalah seorang tabiin, seharusnya dia meriwayatkan dari seorang sahabat nabi, namun sanad hadits ini tidak demikian, hanya terhenti pada Zaid bin Aslam tanpa melalui sahabat nabi. Inilah mursal. Jumhur (mayoritas) ulama dan Asy Syafii mendhaifkan hadits mursal. Ada pula dengan redaksi yang agak berbeda, bukan menyebut Hikmah, tetapi Ilmu. Diriwayatkan oleh Al Askari, dari Anbasah bin Abdurrahman, dari Syubaib bin Bisyr, dari Anas bin Malik secara marfu:


Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 7

Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, dimana saja dia menemukannya maka dia mengambilnya. Riwayat ini juga dhaif. Anbasah bin Abdurrahman adalah seorang yang matruk (ditinggal haditsnya), dan Abu Hatim menyebutnya sebagai pemalsu hadits. (Taqribut Tahdzib, 1/758) Ibnu Abi Hatim bertanya kepada ayahnya (Abu Hatim) tentang Anbasah bin Abdurrahman, beliau menjawab: matruk dan memalsukan hadits. Selain itu, Abu Zurah juga ditanya, jawabnya: munkarul hadits wahil hadits (haditsnya munkar dan lemah). (Al Jarh wat Tadil, 6/403) Ada pun Syubaib bin Bisyr, walau pun Yahya bin Main menilainya tsiqah (bisa dipercaya), namun Abu Hatim dan lain-lainnya mengatakan: layyinul hadits. (haditsnya lemah). (Imam Adz Dzahabi, Mizanul Itidal, 2/262) Ada pula riwayat dari Sulaiman bin Muadz, dari Simak, dari ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara perkataannya:


Ambillah hikmah dari siapa saja kalian mendengarkannya, bisa jadi ada perkataan hikmah yang diucapkan oleh orang yang tidak bijak, dan dia menjadi anak panah yang bukan berasal dari pemanah. Ucapan ini juga dhaif. Lantaran kelemahan Sulaiman bin Muadz. Yahya bin Main mengatakan tentang dia: laisa bi syai (bukan apa-apa). Abbas mengatakan, bahwa Ibnu Main mengatakan: dia adalah lemah. Abu Hatim mengatakan: laisa bil matin (tidak kokoh). Ahmad menyatakannya tsiqah (bisa dipercaya). Ibnu Hibban mengatakan: dia adalah seorang rafidhah (syiah) ekstrim, selain itu dia juga suka menterbalikan hadits. An Nasai mengatakan: laisa bil qawwi (tidak kuat). (Mizanul Itidal, 2/219) Catatan: Walaupun ucapan ini dhaif, tidak ada yang shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Namun, secara makna adalah shahih. Orang beriman boleh memanfaatkan ilmu dan kemajuan yang ada pada orang lain, sebab hakikatnya dialah yang paling berhak memilikinya. Oleh karena itu, ucapan ini tenar dan sering diulang dalam berbagai kitab para ulama. Lebih tepatnya, ucapan ini adalah ucapan dari beberapa para sahabat dan tabiin dengan lafaz yang berbeda-beda. Dari Al Hasan bin Shalih, dari Ikrimah, dengan lafaznya:


Ambil-lah hikmah dari siapa pun yang engkau dengar, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berbicara dengan hikmah padahal dia bukan seorang yang bijak, dia menjadi bagaikan lemparan panah yang keluar dari orang yang bukan pemanah. (Al Maqashid Al Hasanah, 1/105) Ucapan ini adalah shahih dari Ikrimah, seorang tabiin senior, murid Ibnu Abbas. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Al Hasan bin Shalih bin Shalih bin Hay adalah seorang tsiqah, ahli ibadah, faqih, hanya saja dia dituduh tasyayyu (agak condong ke syiah). (Taqribut Tahdzib, 1/205) Waki mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seseorang yang jika kau melihatnya kau akan ingat dengan Said bin Jubeir. Abu Nuaim Al Ashbahani mengatakan aku telah mencatat hadits dari 800 ahli hadits, dan tidak satu pun yang lebih utama darinya. Abu Ghasan mengatakan, Al Hasan bin Shalih lebih baik dari Syuraik. Sedangkan Ibnu Adi mengatakan, sebuah kaum menceritakan bahwa hadits yang diriwayatkan darinya adalah mustaqimah, tak satu pun yang munkar, dan menurutnya Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang ahlush shidqi (jujur lagi benar). Ibnu Hibban mengatakan, Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang faqih, wara, pakaiannya lusuh dan kasar, hidupnya diisi

Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 8

dengan ibadah, dan agak terpengaruh syiah (yakni tidak meyakini adanya shalat Jumat). Abu Nuaim mengatakan bahwa Ibnul Mubarak mengatakan Al Hasan bin Shalih tidak shalat Jumat, sementara Abu Nuaim menyaksikan bahwa beliau shalat Jumat. Ibnu Saad mengatakan dia adalah seorang ahli ibadah, faqih, dan hujjah dalam hadits shahih, dan agak tasyayyu. As Saji mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seorang shaduq (jujur). Yahya bin Said mengatakan, tak ada yang sepertinya di Sakkah. Diceritakan dari Yahya bin Main, bahwa Al Hasan bin Shalih adalah tsiqatun tsiqah (kepercayaannya orang terpercaya). (Tahdzibut Tahdzib, 2/250-251) Hanya saja Sufyan Ats Tsauri memiliki pendapat yang buruk tentangnya. Beliau pernah berjumpa dengan Al Hasan bin Shalih di masjid pada hari Jumat, ketika Al Hasan bin Shalih sedang shalat, Ats Tsauri berkata: Aku berlindung kepada Allah dari khusyu yang nifaq. Lalu dia mengambil sendalnya dan berlalu. Hal ini lantaran Al Hasan bin Shalih menurut At Tsauri- adalah seseorang yang membolehkan mengangkat pedang kepada penguasa (memberontak). (Ibid, 2/249) Namun, jarh (kritik) ini tidak menodai ketsiqahannya, lantaran ulama yang mentadil (memuji) sangat banyak. Selain itu, telah shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu, katanya:


Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, maka ambil-lah walau berada di tangan orangorang musyrik, dan janganlah kalian menjauhkan diri untuk mengambil hikmah itu dari orang-orang yang mendengarkannya. (Ibnu Abdil Bar, Jami Bayan Al ilmi wa Fadhlihi, 1/482. Mawqi Jami Al Hadits) Selesai.

5. Ucapan: Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia berada
dalam kekurangan/aib/cela.


Barangsiapa yang kekurangan/aib/cela. harinya sama dengan kemarin maka dia berada dalam Ucapan ini sangat terkenal. Dikutip dari lisan ke lisan, tersebar dalam berbagai kesempatan ceramah keagamaan. Kebanyakan mereka mengatakan Rasulullah bersada, padahal ini bukan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini adalah ucapan Abu Sulaiman Ad Darani, seorang sufi generasi pertama, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Nuaim Al Ashbahani dalam Hilyatul Auliya (4/177. Mawqi Al Warraq), Imam Abul Faraj bin Al Jauzi dalam Shifatush Shafwah (1/469. Mawqi Al Warraq). Imam Abu Syuja Ad Dailami menyebutkan bahwa seperti ucapan ini adalah dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu secara marfu:


Barangsiapa yang harinya sama saja maka dia telah tertipu, barangsiapa yang akhir harinya lebih buruk maka dia terlaknat, dan barangsiapa yang tidak memiliki tambahan maka dia mengalami kekurangan, dan barangsiapa yang berada dalam kekurangan/aib/cela, maka kematian lebih baik baginya. (Al Firdaus bi Matsur Al Khathab, No. 5910) Sedangkan Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi menyebutnya dari Al Hasan bin Ali (Kanzul Ummal No. 44236) Imam Badrudin Abi Abdillah Az Zarkasyi, menyebutkan bahwa riwayat di atas adalah dhaif, katanya: Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 9


Pengarang Musnad Al Firdaus telah menyandarkan riwayat ini sebagai hadits Muhammad bin Sauqah, dari Al Harts, dari Ali secara marfu, dan isnadnya dhaif. (At Tadzkirah fil Ahadits, Fi Az Zuhd, hadits No. 14) Imam As Suyuthi juga mendhaifkannya. (Ad Durar Al Muntatsirah, Hal. 18), begitu pula didhaifkan oleh Imam As Sakhawi (Al Maqashid Al Hasanah No. 1080) Ada pula yang menyebutnya sebagai perkataan Abu Hazim:

, : :
Bercerita kepada kami Ibrahim Al Harbi, bercerita kepada kami Daud bin Rusyaid, dia berkata: Abu Hazim berkata: barangsiapa yang harinya sama saja maka dia telah tertipu, siapa saja yang esoknya lebih buruk dari hari ini maka dia telah diharamkan dari rahmat Allah, siapa saja yang melihat dirinya tidak ada tambahan kebaikan maka dia dalam keadaan aib, dan siapa saja yang dalam keadaan aib maka kematian lebih baik baginya. (Imam Abu Bakar Ad Dainuri Al Maliki, Al Majaalisah wa Al Jawaahirul Ilm, 5/57, No. 1861) Imam Al Iraqi Rahimahullah mengatakan:

" : . : .
Saya tidak mengetahui hadits ini kecuali ada pada mimpi Abdul Aziz bin Rawad. Dia berkata: Saat saya tidur, saya melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam saat, saya berkata: Wahai Rasulullah, berwasiatlah kepadaku. Maka beliau mengatakan hal itu dengan tambahan pada bagian akhirnya, Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. (Takhrijul Ihya No. 4162. Lihat juga Ali Al Qari, Al Mashnu, 1/173) Catatan: Kalimat ini, dengan berbagai versinya, jelas tidak sah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sebagian sebagai ucapan orang shalih zaman awal Islam, baik dari Ali, Al Hasan, Abu Hazim, dan lainnya. Walau demikian, secara makna, ucapan ini tidak bertentangan dengan Islam. Ucapan ini mengajarkan kita untuk meningkatkan amal shalih secara baik dari waktu ke waktu. Bahkan Allah Taala bersumpah demi waktu (wal ashr), bahwa merugilah orang-orang yang tidak melakukan iman, amal shalih, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. 6. Ucapan: Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar. Ini hadits, walau tidak secara langsung berhubungan dengan puasa atau Ramadhan, namun amat sering dibaca ketika bulan Ramadhan. Hadits itu berbunyi:

. : :
Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 10

Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad besar. Mereka bertanya: Apakah jihad paling besar itu? Beliau bersabda: Jihad hati. Berkata Imam Zainuddin Al Iraqi:

. :
Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: Di dalam sanadnya dhaif. (Imam Al Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya, No. 2567) Begitu pula disebutkan dalam Tadzkirah Al Maudhuat, bahwa hadits ini dhaif. ( Al Allamah Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi Al Fatani, Tadzkirah Al Maudhuat, Hal. 191) Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Tasdidul Qaus bahwa ini adalah ucapan Ibrahim bin Abi Ablah seorang tabiin, sebagaimana dikatakan Imam An Nasai dalam Al Kuna. (Imam As Suyuthi, Ad Durar Muntatsirah fil Ahadits Musytahirah, Al Ajluni, Hal. 11. Mawqi Al Warraq. Imam Al Ajluni, Kasyful Khafa, No. 1362. Darul Kutub Al Ilmiyah) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan komentar terhadap hadits itu sebagai berikut:

: } {
Tidak ada dasarnya, dan tidak diriwayatkan oleh seorang pun ahli marifah (ulama) sebagai ucapan dan perbuatan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Dan, jihad melawan orang kafir termasuk amal yang paling agung, bahkan dia adalah tathawwu (anjuran) yang paling utama bagi manusia. Allah Taala berfirman: Tidaklah sama orang-orang beriman yang duduk (tidak pergi jihad) tanpa memiliki udzur (alasan yang benar), dibanding orangorang yang berjihad dengan harta dan jiwanya. Allah mengutamakan satu derajat bagi orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk saja. Kepada masing-masing mereka Allah menjajnjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar. (QS. An Nisa: 95). (Majmu Fatawa, 2/487. Mawqi Al Islam) Imam Al Iraqi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam kitab Az Zuhd, namun setelah dicek ke kitab Zuhd Al Kabir-nya Imam Al Baihaqi, ternyata tidak ada hadits dengan redaksi seperti di atas (Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar). Tetapi yang ada adalah:

. : :
Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 11

Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar. Mereka bertanya: Apakah jihda besar itu? Beliau bersabda: Mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya. (HR. Al Baihaqi, Zuhd Al Kabir, No. 384, hadits dari Jabir bin Abdullah. Al Baihaqi mengatakan: sanadnya Dhaif . Imam Khathib Baghdadi, Tarikh Baghdad, 6/171. Lihat Alauddin Muttaqi Al Hindi, Kanzul Ummal, No. 11260) Hadits ini juga dhaif, bahkan dengan kedhaifan yang parah. Lantaran dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang dhaif. Yakni Isa bin Ibrahim, Yahya bin Yala, dan Laits bin Abi Sulaim. Tentang Isa bin Ibrahim ini, dia adalah Isa bin Ibrahim bin Siyar, disebut juga Ibnu Dinar Asy Syairi Abu Ishaq, disebut juga Abu Umar, ada juga yang mengatakan Abu Yahya Al Bashri, lebih dikenal dengan Al Barki. (Tahdzibut Tahdzib, 8/183). Disebutkan tentang dia : shaduq lahu awham (jujur tetapi ada keraguan). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/768. Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul Itidal, 3/310). Abu Hatim mengatakan: shaduq (jujur). An Nasai mengatakan: tidak apa-apa. (Mizanul Itidal, 3/310) Sementara Yahya bin Yala, dia adalah Yahya bin Yala Al Aslami Al Qathuwani Al Kufi. Imam Ibnu Main ditanya tentang dia, katanya: bukan apa-apa. Al Bukhari mengatakan: mudhtharibul hadits (haditsnya guncang). Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits laisa bil qawwi (haditsnya lemah dan tidak kuat). Ibnu Abi mengatakan, dia adalah orang Kufah dan Syiah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzbut Tahdzib, 11/266. Lihat juga Mizanul Itidal, 4/415) Ada pun tentang Laits bin Abi Sulaim, Imam Ahmad berkata tentangnya: sangat lemah dan banyak kesalahan. Yahya bin Main mengatakan: dhaif. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/232). Sufyan bin Uyainah mendhaifkannya, sedangkan Abu Zurah ditanya tentang Laits ini, katanya: haditsnya lemah dan tidak bisa berhujjah dengan haditsnya. (Tahdzibut Tahdzib, 8/418) Maka, jelaslah sudah kelemahan hadits ini, dengan kelemahan yang sangat. Dan, Syaikh Al Albani mengatakannya sebagai hadits munkar. (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 2460). Wallahu Alam Catatan: Walau hadits-hadits di atas lemah, bahkan tidak ada dasarnya. Islam mengakui bahwa jihad terhadap hawa nafsu memang ada. Dari Fadhalah bin Ubaid, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap hawa nafsunya. (HR. At Tirmidzi No. 1621, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 1258) Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih No. 3823. As Silsilah Ash Shahihah No. 549. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1258) Perlu diketahui, kelemahan hadits-hadits tentang jihad melawan hawa nafsu yang kita bahas lalu (bahkan tidak ada dasarnya), tidak berarti mengurangi derajat jihad melawan hawa nafsu. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 12

: } { .
Tidak diragukan bahwa berjihad mengendalikan diri adalah diperintahkan, begitu pula menguasai hawa nafsu dan syahwat. Sebagaimana telah tsabit (kuat) dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda: Mujahid adalah orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Allah, dan orang pintar adalah orang mampu menguasai dirinya dan berbuat untuk hari setelah kematiannya, dan orang lemah adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-angan kepada Allah. Tetapi seorang muslim hanya mengikuti syariat Islam, dia mengharamkan apa yang Allah dan RasulNya haramkan, dia tidak mengharamkan yang halal dan tidak berlebihan dalam menikmatinya, tetapi dia menggunakannya sesuai kebutuhan saja baik berupa makanan, nikah, dia sederhana dalam hal itu, dan sederhana pula dalam hal ibadah, dia tidak membebani dirinya dengan apa-apa yang tidak dia mampu. (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, 3/302) Bahkan seorang ulama mujahid, perawi hadits terpercaya, Imam Abdullah bin Mubarak mengomentari ayat:


Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad. Beliau berkata:


Itu adalah berjihad terhadap jiwa dan hawa nafsu. (Imam Ibnu Qayyim, Zaadul Maad, 3/8. Muasasah Ar Risalah). Imam Ibnul Qayyim sendiri telah membahas panjang masalah ini, dan dia membuat maratibul jihad (urutan jihad) bahwa jihad ada empat urutan, yakni jihad terhadap hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang kafir dan jihad melawan orang munafik. Jihad terhadap hawa nafsu juga terbagi atas empat, yakni: Pertama, jihad untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Kedua, jihad mengamalkan ilmu tersebut. Ketiga, jihad mendakwahkan dan mengajarkan ilmu tersebut agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu. Keempat, jihad bersabar ketika mendakwahkannya atas segala bentuk kesulitan dan peneritaan yang akan menimpanya. (Ibid, 3/9) selesai. Ada pun riwayat yang shahih tentang jihad yang paling afdhal adalah sebagai berikut, dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 13

Jihad paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim. (HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2265, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 10716, dalam lafaz Ahmad tertulis: Kalimatul haq ..(perkataan yang benar). Ibnu Majah No. 4011) Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih, No. 3705. As Silsilah Ash Shahihah, No. 491. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4344) Sedangkan jihad paling utama Radhiallahu Anha, katanya: bagi wanita adalah haji yang mabrur. Dari Aisyah


Ya Rasulullah, kami melihat jihad adalah amal yang paling utama, apakah kami juga boleh berjihad? Nabi bersabda: Tidak, tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji yang mabrur. (HR. Bukhari No. 1448, 1762, 2632, 2720, 2721) Wallahu Alam 7. Hadits: Shalat adalah tiang agama .. Dari Ikrimah, dari Umar, bahwa ada seorang laki-laki datang kepad Rasulullah lalu bertanya: Wahai Rasulullah, hal apakah dalam Islam yang paling Allah sukai? Rasulullah menjawab:


Shalat pada waktunya, dan barangsiapa yang meninggalkan shalat maka tidak ada agama baginya, dan shalat adalah tiang agama. (HR. Al Baihaqi, Syuabul Iman, No. 2683, dan Al Baihaqi mengatakan: Abu Abdillah (Al Hakim) mengatakan: Ikrimah tidak mendengarnya dari Umar, aku kira maksudnya adalah Ibnu Umar. Lihat juga, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul Umal, No. 19582) Jika benar ikrimah dari Umar, maka hadits ini munqathi (terputus sanadnya), sebab Ikrimah tidak sezaman dengan Umar bin Al Khathab. Al Allamah Muhammad bin Thahir Al Hindi Al Fatani mengatakan dhaif. (Tadzkirah Al Maudhuat, Hal. 38) Imam As Sakhawi mengatakan bahwa ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, dan sanad hadits ini dhaif, dan gurunya, Al Hakim, mengatakan, bahwa Ikrimah tidak mendengarnya dari Umar, mungkin maksudnya adalah Ibnu Umar. Pengarang Al Wasith mengatakan, bahwa Ibnu Shalah tidak mengomentari hadits ini. Sementara dalam Musykilul Wasith disebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal (ghairu maruf). Berkata An Nawawi dalam At Tanqih: hadits ini munkar bathil. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 144. Mawqi Al Warraq. Lihat juga Imam Al Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya, 1/368) Apa yang dikatakan oleh Imam An Nawawi dianggap berlebihan. Al Munawi mengatakan bahwa Ibnu Haj telah membantahnya, bahwa hadits ini hanya dhaif dan terputus saja, bukan bathil. (Al Ajluni, Kasyful Khafa, 2/31) Begitu pula Al Hafizh Ibnu Hajar mengomentari Imam An Nawawi, katanya: Tidaklah demikian, bahkan Abu Nuaim, Syaikhnya Bukhari, meriwayatkan dalam Kitabush Shalah, dari Habib bin Sulaim, dari Bilal bin Yahya, dia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan bertanya, maka beliau bersabda: Ash Shalatu Umududdin. (Shalat adalah tiang-tiang agama). Hadits ini mursal, dan perawinya Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 14

terpercaya. (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 1/446. Darul Kutub Al Ilmiyah. Lihat juga Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 144) Namun demikian hadits ini memang dhaif, walau tidak seperti yang dikatakan oleh Imam An Nawawi. Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Dhaiful Jami No. 170) Ada juga riwayat lain, dari Ad Dailami, dari Ali secara marfu, yang berbunyi:


Shalat adalah tiang agama, jihad adalah puncaknya amal, dan zakat di antara keduanya. Riwayat ini dhaif jiddan (sangat lemah). (As Silsilah Adh Dhaifah Mukhtasharah, No. 3805) Catatan: Walau riwayat-riwayat seperti ini adalah dhaif. Namun, adalah BENAR bahwa shalat sebagai tiang agama. Ini ditegaskan oleh riwayat lainnya yang shahih dari Imam At Tirmidzi, berikut: Dari Muadz bin Jabal Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Ketahuilah, akan aku beritahukan kepadamu tentang kepala segala urusan, tiangtiangnya, dan puncak punuknya. Aku berkata: Tentu ya Rasulullah. Rasulullah bersabda: Kepalanya urusan adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat, dan puncak dari punuknya adalah jihad. (HR. At Tirmidzi No. 2749, katanya: hasan shahih) Hadits ini shahih. (Syaikh Al Albani, Shahih Wa Dhaif Sunan At Tirmdzi, No. 2616). Wallahu Alam Bersambung .... (Insya Allah)

Kajian ahad Pagi Masjid Nurul Fikri 15

Anda mungkin juga menyukai