Anda di halaman 1dari 6

KINERJA ORGANISASI

1.

Konsep Kinerja Organisasi

Seseorang akan selalu mendambakan penghargaan terhadap hasil pekerjaanya dan mengharapkan imbalan yang adil. Penilaiaan kinerja perlu dilakukan subyektif mungkin karena akan memotivasi karyawan dalam melakukan kegiatannya. Disamping itu pula penilaan kinerja dapat memberikan informasi untuk kepentingan pemberian gaji, promosi dan melihat perilaku karyawan. Berbagai macam jenis pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan tentunya membutuhkan kriteria yang jelas, karena masing-masing jenis pekerjaan tentunya mempunyai standar yang berbeda-beda tentang pencapaian hasilnya. Makin rumit jenis pekerjaan, maka standard operating procedure yang ditetapkan akan menjadi syarat mutlak yang harus dipatuhi. Konsep kinerja (Performance) dapat didefinisikan sebagai sebuah pencapaian hasil atau degree of accomplishtment (Rue dan byars, 1981 dalam Keban 1995). Hal ini berarti bahwa, kinerja suatu organisasi itu dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana organisasi dapat mencapai tujuan yang didasarkan pada tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Mengingat bahwa Raison detre dari suatu organisasi itu adalah untuk mencapai tujuan tertentu yang sudah ditetapkan sebelumnya, maka informasi tentang kinerja organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting. Informasi tentang kinerja organisasi dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah proses kerja yang dilakukan organisasi selama ini sudah sejalan dengan tujuan yang diharapkan atau belum. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak organisasi yang justru kurang atau bahkan tidak jarang ada yang tidak mempunyai informasi tentang kinerja dalam organisasinya. Untuk menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan indikator-indikator atau kriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas. Tanpa indikator dan kriteria yang jelas tidak akan ada arah yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang relatif lebih efektif diantara : alternatif alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desain-desain organisasi yang berbeda; dan diantara pilihanpilihan pendistribusian tugas dan wewenang yang berbeda (Bryson, 2002). Sekarang permasalahannya adalah kriteria apa yang digunakan untuk menilai organisasi. Sebagai sebuah pedoman, dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan pada tujuan atau alasan dibentuknya suatu organisasi. Misalnya, untuk sebuah organisasi privat/swasta yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan barang yang dihasilkan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut mampu memproduksi barang untuk menghasilkan keuntungan bagi organisasi. Indikator yang masih bertalian dengan sebelumnya adalah seberapa besar efficiency pemanfaatan input untuk meraih keuntungan itu dan seberapa besar effectivity process yang dilakukan untuk meraih keuntungan tersebut. Sementara itu ada indikator yang sering kali digunakan untuk mengukur kinerja organisasi privat/publik seperti : work lood/demain, economy, efficiency, effectiveness dan equity (Sclim dan Wood ward, 1992 dalam Keban, 1995) productivity (Perry, 1990 dalam Dwiyanto, 1995).

Dalam organisasi publik, sulit untuk ditemukan alat ukur kinerja yang sesuai (Fynn, 1986, Jackson dan Palmer, 1992 dalam Bryson, 2002). Bila dikaji dari tujuan dan misi utama kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan publik, kelihatannya sederhana sekali ukuran kinerja organisasi publik, namun tidaklah demikian kenyataannya, karena hingga kini belum ditemukan kesepakatan tentang ukuran kinerja organisasi publik. Berkaitan dengan kesulitan yang terjadi dalam pengukuran kinerja organisasi publik ini dikemukakan oleh Dwiyanto (1995: 1), kesulitan dalam pengukuran kinerja organisasi pelayanan publik sebagian muncul karena tujuan dan misi organisasi publik seringkali bukan hanya kabur akan tetapi juga bersifat multidimensional. Organisasi publik memiliki stakeholders yang jauh lebih banyak dan kompleks ketimbang organisasi swasta. Stakeholders dari organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang berbenturan satu dengan yang lainnya, akibatnya ukuran kinerja organisasi publik dimata para stakeholders juga menjadi berbeda-beda. Namun ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik (Dwiyanto, 1995) yaitu sebagai berikut: a. Produktivitas Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. b. Kualitas Layanan

Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik. c. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. d. Responsibilitas

Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit (Lenvine, 1990). e. Akuntabilitas

Akuntabilitas publik menunjukan pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat, asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Kumorotomo (1995) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik, antar lain adalah berikut ini: a. Efisiensi

Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan fakltor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis. b. Efektivitas

Apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? Hal tersebut erat kaitannya organisasi rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan. c. Keadilan

Keadilan mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. d. Daya Tanggap

Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap ini Kinerja birokrasi sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi seperti dimensi akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas maupun responsibilitas. Berbagai literatur yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki kesamaan substansial yakni untuk melihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan. Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dari berbagai indikator yang sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya. Adapun menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 47 tahun 1999 tanggal 31 Mei 1999 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum, indikator yang dipakai meliputi aspek keuangan, aspek operasional dan aspek administrasi seperti dalam tabel berikut Faktor yang mempengaruhi kinerja Organisasi Kinerja dalam lingkup organisasi adalah hasil kerja yang telah dicapai oleh suatu organisasi dalam melakukan suatu pekerjaan dapat dievaluasi tingkat kinerjanya. Berhasil tidaknya tujuan dan citacita dalam organisasi tergantung bagaimana proses kinerja itu dilaksanakan. Kinerja organisasi tidak lepas dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi: 1. Teknologi yang meliputi peralatan kerja dan metode kerja yang digunakan untuk mengahasilkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh organisasi. semakin berkualitas teknologi yang digunakan, maka akan semakin tinggi tingkat kinerja organisasi tersebut. 2. Kualitas input atau material yang digunakan oleh organisasi. 3. Kualitas lingkungan fisik yang meliputi keselamatan kerja, penataan ruangan, dan kebersihan. 4. Budaya organisasi sebagai pola tingkah laku dan pola kerja yang ada dalam organisasi yang bersangkutan.

5. Kepemimpinan sebagai upaya untuk mengendalikan anggota organisasi agar bekerja sesuai dengan standar dan tujuan organisasi. 6. Pengelolaan sumber daya manusia yang meliputi aspek kompensasi, imbalan, promosi dan lainnya. (Ruky, 2001:7) 2. Konsep Peningkatan Kinerja Organisasi Kinerja bisa juga dikatakan sebagai sebuah hasil (output) dari suatu proses tertentu yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap sumber-sumber tertentu yang digunakan (input). Selanjutnya, kinerja juga merupakan hasil dari serangkaian proses kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu organisasi. Bagi suatu organisasi, kinerja merupakan hasil dari kegiatan kerjasama diantara anggota atau komponen organisasi dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Sederhananya, kinerja merupakan produk dari kegiatan administrasi, yaitu kegiatan kerjasama untuk mencapai tujuan yang pengelolaannya biasa disebut sebagai manajemen. Sebagai produk dari kegiatan organisasi dan manajemen, kinerja organisasi selain dipengaruhi oleh faktor-faktor input juga sangat dipengaruhi oleh proses-proses administrasi dan manajemen yang berlangsung. Sebagus apapun input yang tersedia tidak akan menghasilkan suatu produk kinerja yang diharapkan secara memuaskan, apabila dalam proses administrasi dan manajemennya tidak bisa berjalan dengan baik. Antara input dan proses mempunyai keterkaitan yang erat dan sangat menentukan dalam menghasilkan suatu output kinerja yang sesuai harapan atau tidak. Seperti sudah kita ketahui bersama bahwa proses manajemen yang berlangsung tersebut, merupakan pelaksanaan dari fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating, dan controlling (POAC) atau lebih detailnya lagi adalah planning, organizing, staffing, directing, coordinating, regulating, dan budgetting (POSDCoRB). Mengingat bahwa kinerja organisasi sangat dipengaruhi oleh faktor input dan proses-proses manajemen dalam organisasi, maka upaya peningkatan kinerja organisasi juga terkait erat dengan peningkatan kualitas faktor input dan kualitas proses manajemen dalam organisasi tersebut. Analisis terhadap kondisi input dan proses-proses administrasi maupun manajemen dalam organisasi merupakan analisis kondisi internal organisasi. Selain kondisi internal tersebut kondisi-kondisi eksternal organisasi juga mempunyai peran yang besar dalam mempengaruhi kinerja organisasi. Penilaian terhadap faktor-faktor kondisi eksternal tersebut dapat dilakukan dalam analisis: (a) kecenderungan politik, ekonomi, sosial, tekhnologi, fisik, dan pendidikan; (b) peranan yang dimainkan oleh pihak-pihak yang dapat diajak bekerja sama (collaborators) dan pihak-pihak yang dapat menjadi kompetitor, seperti swasta, dan lembaga-lembaga lain; dan (c) dukungan pihak-pihak yang menjadi sumber resources seperti para pembayar pajak, asuransi, dan sebagainya (Bryson, 1995 dalam Keban, 2001). Berkaitan dengan upaya peningkatan kinerja organisasi, maka pilihan mana yang akan dioptimalkan penanganannya, apakah pada sisi internal organisasi atau pada sisi eksternal organisasi, itu tergantung pada permasalahan yang dihadapi organisasi. PENGUKURAN OBJEKTIF KINERJA ORGANISASI: EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS

Menurut Brown dan Coulter (1983:50) ada dua pendekatan berbeda yang umum digunakan dalam menganalisis dan mengukur kinerja organisasi publik. Pendekatan pertama adalah mengukur kinerja dengan menggunakan data dan informasi yang berasal dari dalam organisasi pemerintah yang diukur tersebut.

Seringkali dihubungkan dengan model produksi seperti pada Gambar 1, pendekatan pertama ini dikenal sebagai pengukuran objektif dengan dua indikator utama yaitu efisiensi dan efektivitas (Carter dkk. 1992:35; Downs dan Larkey 1986:5; Brown dan Coulter 1983:50).

Efisiensi dan efektivitas dapat dikatakan sebagai dua istilah yang paling populer digunakan dalam pengukuran kinerja organisasi pemerintah walaupun kedua istilah ini seringkali digunakan secara tidak tepat (Mulreany 1991:7). Secara umum efisiensi didefinisikan dan diukur dari perbandingan input dan output atau rasio di mana input diubah menjadi output (Carter dkk. 1992:37; Mulreany 1991:8; Boyle 1989:19; Gleason dan Barnum 1982:380).

Berdasarkan definisi ini, efisiensi organisasi dapat dicapai dengan meminimalkan input dan mempertahankan output atau dengan mempertahankan input tetapi memaksimalkan output atau secara bersamaan meminimalkan input dan memaksimalkan output. Namun, banyak yang berpendapat bahwa penggunaan istilah efisiensi umumnya hanya dilihat satu sisi yaitu dalam arti meminimalkan input atau mengurangi biaya untuk menghasilkan sejumlah tertentu output (input efficiency). Istilah efisiensi jarang digunakan dalam arti memaksimalkan output atau meningkatkan pelayanan dengan menggunakan sejumlah tertentu input (output efficiency) (McGowan 1984:19; Boyle 1989:19; Carter, Klein dan Day 1992:38). Dalam kajian-kajian ilmu ekonomi, memaksimalkan output dan mempertahankan input (output efficiency) lebih dikenal sebagai produktivitas (Pass dkk. 1993:436-7).

Selain itu, dalam kajian-kajian menyangkut kinerja organisasi dikenal juga istilah efisiensi produksi dan efisiensi distrbusi (Mulreany 1991). Efisiensi produksi atau disebut juga efisiensi teknis, efisiensi X, efisiensi manajerial, atau efisiensi internal tercapai apabila organisasi dapat menghasilkan output dengan biaya semurah mungkin. Dengan kata lain, efisiensi produksi inilah sebenarnya yang dimaksudkan dengan efisiensi (Goldsmith 1996:26). Selanjutnya, efisiensi alokasi (allocative efficiency) tercapai apabila semua output organisasi dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebaliknya, akan terjadi inefisiensi alokasi apabila output organisasi pemerintah tidak dimanfaatkan oleh masyarakat seperti rumah-rumah guru sekolah yang dibangun tetapi tidak dimanfaatkan atau tangki-tangki air bersih yang dibangun tetapi tidak digunakan karena kering.

Jika dibandingkan dengan efisiensi, definisi efektivitas lebih problematik dan membingungkan. Pada organisasi publik, tujuan organisasi yang kurang jelas dan sering saling bertentangan sehingga semakin menyulitkan untuk menyepakati definisi efektivitas yang dapat diterima secara luas. Meskipun demikian, menurut Cameron (1981a:45) sedikitnya ada empat pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan dan mengukur efektivitas organisasi.

Pertama dan paling umum digunakan adalah mengukur efektivitas dengan sejauh mana sebuah organisasi mencapai tujuan atau target yang sudah ditetapkan yang disebut dengan Goal Model (Mulreany 1991:19; Boyle 1989:19-20; Downs dan Larkey 1986:7; Gleason dan Barnum 1982:380). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa tujuan-tujuan organisasi jelas dan dapat diukur (clear and measurable objectives) serta semakin banyak tujuan dan target organisasi dapat dicapai maka semakin efektiflah organisasi tersebut. Tetapi karena tidak semua organisasi publik memiliki tujuan yang jelas dan terukur maka pencapaian tujuan dianggap kurang relevan untuk mengukur efektivitas organisasi pemerintah.

Pendekatan kedua mengukur efektivitas organisasi, menurut Cameron (1981b:4), disebut SystemResource Model yaitu suatu organisasi dapat dikatakan efektif apabila organisasi tersebut mampu memperoleh semua sumber daya yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan organisasi tersebut. Semakin banyak sumber daya yang dapat dikumpulkan oleh sebuah organisasi dari lingkungannya maka semakin efektiflah organisasi tersebut. Dengan kata lain, kalau pendekatan Goal Model menekankan pada output maka pendekatan System-Resource Model mengutamakan pada input.

Pendekatan ketiga untuk mengukur efektivitas organisasi disebut Internal Process Model yang menekankan pada proses dan mekanisme kerja dalam organisasi. Menurut model ini, sebuah organisasi dapat dikatakan efektif apabila proses dan mekanisme kerja di dalam organisasi tersebut berlangsung damai. Hal ini ditandai dengan adanya saling percaya di antara pegawai dan lancarnya arus informasi horizontal dan vertikal di dalam organisasi (Cameron 1981b:4).

Pendekatan keempat dan terakhir dalam mengukur efektivitas organisasi adalah StategicConstituencies Model yang mengukur efektivitas suatu organisasi dengan sejauh mana organisasi tersebut dapat memuaskan stakeholder-nya. Stakeholder ini terdiri dari orang-orang yang menyediakan input untuk organisasi atau yang menggunakan output dari organisasi atau yang memiliki kerjasama dengan organisasi atau individu yang peranannya sangat penting bagi kelangsungan hidup organisasi (Cameron 1981b:4).

Anda mungkin juga menyukai