Anda di halaman 1dari 46

1

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pepaya ( Carica papaya L) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Tropis. Pusat penyebaran tanaman diduga berada di daerah sekitar Meksiko bagian selatan dan Nikaragua. Tanaman ini menyebar ke berbagai negara tropis lainnya, termasuk Indonesia dan pulau-pulau di Lautan Pasifik di abad ke-17 yang berasal dari India. Banyak bangsa Amerika menggangap buah pepaya adalah buah asli dari Kepulauan Hawaii. Masyarakat di Kepulauan Hawaii dan Amerika Serikat sangat menggemari buah pepaya. Buah pepaya telah menjadi bagian penting dalam menu makan pagi atau menu yang disebut continental breakfast. Buah pepaya tergolong buah yang populer dan digemari oleh hampir seluruh penduduk penghuni bumi. Daging buahnya lunak dengan warna merah atau kuning. Rasanya manis dan menyegarkan karena mengandung banyak air. Nilai gizi buah pepaya cukup tinggi karena mengandung banyak provitamin A dan vitamin C, juga mineral kalsium. Oleh karena teksturnya yang lunak dan nilai gizinya yang tinggi maka buah ini sangat baik diberikan untuk anak-anak dan orang yang berusia lanjut. Dalam pengobatan tradisional, bagian-bagian tanaman pepaya banyak berperan. Pada masa pendudukan Jepang, ketika obat kina sukar diperoleh, penderita penyakit malaria diobati dengan minuman perasan pepaya. Daun pepaya yag pahit disebabkan oleh kandungan alkaloid carpain (C14H25N O2) yang banyak terdapat pada daun muda. Alkaloid ini dapat menurunkan tekanan darah dan membunuh amuba. Sari akar tanaman pepaya dapat pula digunakan sebagai obat

penyakit kencing batu, penyakit saluran kencing, dan cacing kremi. Biji pepaya sering pula digunakan sebagai obat penyakit cacing kremi. Pepaya masak memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi yaitu gula buah 10%, zat asam 0,1% , lemak 0,1 %, abu 0,6%, serat 0,7% dan air 90%. Didalamnya juga terdapat kandungan vitamin A dan vitamin C (Direktorat Gizi, 1979). Buah pepaya mengandung enzim papain yang sangat aktif dan memiliki kemampuan mempercepat proses pencernaan protein, karbohidrat dan lemak. Pepaya masak dipergunakan sebagai bahan baku minuman sedangkan pepaya muda dipakai sebagai bahan makanan, campuran rujak, dibuat sayuran dan manisan. Bagian tanaman pepaya juga dapat dimanfaatkan, antara lain sebagai obat tradisional, pakan ternak dan kosmetik. Pepaya juga dapat diolah menjadi berbagai bentuk makanan dan minuman yang diminati pasar luar negeri seperti olahan pasta pepaya, saus pepaya dan lain-lain. Bahkan bijinya dapat diolah lebih lanjut menjadi minyak dan tepung. Permintaan pepaya banyak berdatangan dari pasar tradisional, rumahrumah makan, swalayan dan supermarket. Permintaan juga banyak berdatangan dari pedagang-pedagang buah yang bermunculan di berbagai tempat untuk menambah ragam dagangannya. Berdasarkan data Direktorat Jendral Hortikultura (2010) mengenai data konsumsi per kapita buah-buahan di Indonesia tahun 20072010, buah pepaya termasuk buah yang cukup potensial di Indonesia. Konsumsi tertinggi buah pepaya terjadi pada tahun 2007 sebesar 3,28 kilogram per kapita per tahun. Walaupun terjadi penurunan pada tahun 2009 menjadi 2,03 kilogram per kapita per tahun, pepaya termasuk dalam lima besar komoditi buah yang banyak dikonsumsi masyarakat di Indonesia. Tingkat konsumsi buah pepaya

termasuk tinggi bila dibandingkan dengan tingkat konsumsi buah-buahan lainnya. Hal ini merupakan peluang pasar dalam negeri untuk komoditas pepaya di Indonesia. Selain permintaan dalam pasar domestik, buah pepaya juga telah menjadi komoditi perdagangan internasional dan menjadi produk ekspor beberapa negara produsen di kawasan Asia seperti Malaysia, Thailand dan Philipina. Pada kenyataannya, buah pepaya belum menjadi produk ekspor unggulan Indonesia yang dapat diandalkan karena produksinya masih terbatas dan bahkan belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Seperti yang terlihat pada Tabel 1 tentang perkembangan ekspor dan impor buah pepaya di Indonesia tahun 2007-2010, volume impor buah pepaya Indonesia lebih besar daripada volume ekspor buah pepaya. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat volume impor buah pepaya jauh lebih besar daripada ekspor buah pepaya. Pada tahun 2009 volume impor pepaya Indonesia mencapai 1.789.680 kg atau hampir dua kali lipat lebih besar daripada ekspor papaya yang hanya mencapai 524.686 kg. Permintaan masyarakat dalam negeri terhadap buah pepaya yang terus meningkat mengakibatkan Indonesia harus mengimpor komoditas tersebut untuk memenuhi permintaan masyarakat domestik.

Tabel.1 Perkembangan Ekspor dan Impor Buah Pepaya di Indonesia Tahun 2007-20110 Tahun Volume Ekspor (kg) 2007 3.287 2008 187.972 2009 524.686 2010 60.485 Sumber: Badan Pusat Statistik (2010) Volume Impor (kg) 298.834 1.789.680 156.646

Tingginya volume dan nilai ekspor-impor buah pepaya menunjukkan adanya peluang untuk mengembangkan usaha pepaya dalam rangka memenuhi permintaan dalam negeri dan luar negeri. Berdasarkan data BPS pada Tabel 1, nilai impor buah pepaya lebih besar daripada ekspor pepaya dengan impor terbesar pada tahun 2009 sebesar 1.789.680 kilogram. Hal tersebut merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas pepaya dalam negeri. Sehingga nantinya diharapkan selain dapat mencukupi kebutuhan pasar domestik buah pepaya, juga dapat bersaing di pasar internasional. Di Indonesia, tanaman pepaya umumnya tumbuh menyebar dari dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu sampai ketinggian 1.000 m di atas permukaan air laut. Tanaman ini umumnya diusahakan dalam bentuk tanaman pekarangan atau usaha tani yang tidak terlalu luas. Tanaman pepaya memiliki potensi produksi buah tropis segar, buah olahan, dan enzim papain yang cukup prospektif di pasaran dunia. Oleh karenanya, pengusahaan tanaman ini secara komersial cukup menjanjikan keuntungan petani. Pepaya di Indonesia biasanya ditanam secara tumpang sari dengan tanaman lain, seperti ketela pohon, nanas, pisang, dan tanaman lainnya. Masih

sangat sedikit dijumpai petani yang menanamnya secara komersial. Kultivar pepaya yang banyak diusahakan, antara lain Dampit, Jingga, Paris, dan Sunrise Solo, sedangkan kultivar yang paling banyak disukai konsumen adalah Dampit (Broto et al. 1991). Untuk memperkaya kultivar unggul nasional, Balai Penelitian Tanaman Buah Solok, telah menghasilkan dua kultivar pepaya, yaitu Sarirona dan Sarigading yang pada tahun 1999 telah dilepas oleh Menteri Pertanian. Sentra produksi pepaya di Indonesia terdapat di daerah Jawa Timur dan Sumatera Barat, dimana di daerah tersebut kebanyakan mempunyai jenis tanah ultisol (Setiadi dkk, 2000). Kendala umum yang dijumpai pada tanah ultisol adalah tingkat ketersediaan P yang sangat rendah, kemasaman tanah tinggi, pH rata-rata < 4,5, kejenuhan Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, dan kandungan bahan organik rendah. Sifat biologi yang tidak menguntungkan pada tanah ultisol adalah rendahnya populasi mikroorganisme yang bermanfaat, salah satunya adalah cendawan mikoriza. Dalam mengatasi permasalahan hara P pemupukan merupakan salah satu cara yang terus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanah. Di samping itu pemberian mikroorganisme hidup ke dalam tanah sebagai inokulan dapat membantu memfasilitasi atau menyediakan unsur hara tertentu bagi tanaman (Simanungkalit, 2001). Pertumbuhan tanaman pepaya tergolong relatif cepat dan membutuhkan pemupukan berat (Cruz et al, 2000). Pemberian kapur juga sangat dibutuhkan oleh pepaya, terutama untuk pertanaman pada lahan bereaksi masam seperti pada tanah ordo inceptisols dan ultisols. Upaya penambahan pupuk yang tinggi serta tindakan pengapuran biasanya cukup mahal. Selain itu pemberian pupuk anorganik dalam jumlah besar dan terus menerus dapat merusak sifat fisik,

mengganggu keseimbangan lingkungan, dan menurunnya aktivitas mikroba tanah (Thikkumaran & Parkinson, 2000). Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka perlu dicari alternatif lain yang efektif, ekonomis, dan bersahabat dengan lingkungan. Aplikasi teknologi mikroba tanah berupa pengembangan agensia hayati dari cendawan mikoriza arbuskula (CMA) merupakan strategi yang perlu dicoba dan dikembangkan. Cendawan mikoriza arbuskula sebagai mikrosimbion dapat berfungsi dalam meningkatkan serapan hara, menstimulasi pertumbuhan meningkatkan kualitas buah, meningkatkan ketahanan terhadap kekurangan air, serta serangan patogen tanah (Fortuna et al 1996). Mikoriza merupakan jenis cendawan yang menguntungkan pertumbuhan tanaman terutama di tanah-tanah yang mengalami kekahatan P. Mikoriza tidak hanya menguntungkan pertumbuhan tanaman, tetapi juga menekan kebutuhan pupuk 20% - 30% (Sutanto, 2002). Salah satu upaya untuk meningkatkan ketersediaan P pada lahan masam tersebut adalah dengan pemberian mikoriza. Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) adalah salah satu alternatif yang memungkinkan dalam mengefisienkan penggunaaan pupuk. Menurut Nuhamara (1994) dalam Subiksa (2002), CMA dapat meningkatkan serapan hara dalam hasil tanaman. Efektifitas infeksi CMA itu sendiri dipengaruhi oleh spesies CMA, tumbuhan inang dan faktor lingkungannya. Tiap spesies CMA memiliki tingkat efektifitas dan interaksi fisiologi yang berbeda terhadap tumbuhan inangnya. I.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui peranan Cendawan Mikoriza Arbuskula terhadap peningkatan serapan hara pada bibit pepaya.

II. TINJAUAN PUSTAKA II.1 Botani Tanaman Pepaya Kedudukan tanaman pepaya dalam sistematik (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut (Moehd. Baga Kalie, 1996) Kingdom Divisi Sub-divisi Kelas Ordo Famili Spesies : Plantae (Tumbuh-tumbuhan) : Spermatophyta (Tumbuhan berbiji) : Angiospermae (Biji Tertutup) : Dycotyledonae (Biji berkeping dua) : Carilases : Caricaceae : Carica papaya L. Spesies lain yang sering tumbuh di daerah-daerah dataran tinggi (pegunungan) adalah C. cauliflora. Ciri-ciri tanaman pepaya ini adalah buahnya kecil-kecil, licin, tahan terhadap serangan penyakit akar ataupun virus, tetapi tidak biasa dimakan. Nama umum pepaya di dunia adalah Pawpaw, namun di berbagai negara memiliki nama yang beragam. Misalnya di Malaysia disebut Betik, di Tamil dinamakan Pappali, di Cina dikenal dengan Pohon Melon(Tree melon), dan di Indonesia populer dengan nama pepaya.

II.2 Morfologi Tanaman Pepaya Menurut Rahmat Rukmana (1994) bentuk dan susunan tubuh bagian luar tanaman pepaya termasuk tumbuhan perdu yang umur sampai berbunganya dikelompokkan sebagai tanaman buah-buahan semusim, namun dapat tumbuh setahun atau lebih. Sistem perakarannya memiliki akar tunggang dan akar-akar cabang yang tumbuh mendatar ke semua8 arah pada kedalaman 1 meter atau lebih dan menyebar sekitar 60-150 cm atau lebih dari pusat batang tanaman. Batang tanaman pepaya berbentuk bulat lurus berbuku-buku (beruas-ruas), di bagian tengahnya berongga, dan tidak berkayu. Ruas-ruas batang merupakan tempat melekatnya tangkai daun yang panjang, berbentuk bulat, dan berlubang. Daun pepaya bertulang menjari (palminervus) dengan warna permukaan atas hijau tua, sedangkan warna permukaan bagian bawah hijau muda. Hal yang penting ditelaah dari sifat morfologis pepaya adalah bentuk dan struktur bunga, serta buahnya. Tanaman pepaya memiliki tiga macam bunga, yaitu:
1. Bunga Betina (pistilate)

Ciri-ciri bunga pepaya betina adalah: Daun bunga terdiri atas lima helai dan letaknya terlepas satu sama lain Tidak mempunyai benangsari Bakal buah berbentuk bulat atau bulat telur dan tepinya rata

10

Bunga betina dapat menjadi buah bila diserbuki tepungsari bunga jantan dari tanaman lain

Buah yang dihasilkan dari bunga betina bentuknya bulat atau bulat telur denga tepi yang rata

2. Bunga Sempurna (hermaphrodite)

Ciri-ciri umum bunga pepaya sempurna adalah memiliki putik, bakal buah dan benangsari dalam satu kuntum bunga, kecuali pada bunga sempurna rudimenter tidak terdapat bakal buah dan putik. Dikenal ada empat macam bunga pepaya sempurna, yaitu: a. Bunga sempurna elongate yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Daun bunga lima helai di bagian bawah saling melekat membentuk tabung dan melekat sepanjang dari bakal buah, bagian ujungnya terlepas. Bentuk bunga sempurna elongate mirip dengan bunga jantan, tetapi ukurannya relatif besar dan panjang. Bakal buah berbentuk panjang lonjong, mempunyai 5-10 helai daun buah, namun ada pula yang kurang dari lima helai. Benangsari memilki 10 helai yag terdapat pada ujung tabung sebelah dalam. Letak benangsari ini lima helai bertangkai panjang melekat di antara daun bunga, dan lima helai bertangkai pendek yag melekat pada bagian tengah dari daun bunga.

11

Bunga sempurna elongata menghasilkan buah yang bentuknya panjang lonjong

b. Bunga sempurna pentandria. Ciri-ciri bunga ini adalah sebagai berikut: Daun bunga berjumlah lima helai yang letaknya sebagian besar di bagian ujung, terlepas satu sama lain. Sedangkan di bagian bawahnya bersatu dan melekat pada bakal buah. Bentuk bakal buah bulat tepinya beralur lima dan mempunyai lima helai daun buah. Benangsarinya lima helai, bertangkai pendek, letaknya di antara daun bunga dan bakal buah, sedangkan tangkai sarinya melekat pada bakal buah ataupun pada tempat daun bunga menjadi satu. Bunga ini diduga muncul di musim kemarau atau bila ada waktu kering lebih dari 10 hari di musim penghujan. Bunga sempurna pentandria menghasilkan buah yang bentuknya bulat atau bulat telur yang tepinya beraluran. c. Bunga sempurna antara. Ciri-ciri bunga ini adalah sebagai berikut: Daun bunga berjumlah lima helai, letak daun bunga ada yang terlepas sampai dasarnya dan ada pula hanya melekat dari bakal buah. Benangsarinya terdiri atas 2-10 helai yang tata letaknya bermacammacam.

12

Bakal buah berbentuk mengkerut dan mempunyai 5-10 helai daun bunga yang saling melekat satu sama lain.

Bunga sempurna antara menhasilkan buah yang bentuknya berkerut.

d. Bunga sempurna rudimenter. Ciri-ciri bunga ini adalah sebagai berikut:


-

Bentuknya mirip bunga elongate, namun tidak memiliki bakal buah. Bunga ini muncul di musim kemarau. Bunga sempurna rudimenter tidak dapat menghasilkan buah.

3. Bunga Jantan (staminate)

Bunga jantan biasanya tersusun atas rangkaian bunga bertangkai panjang. Cirri-ciri khas bunga jantan adalah sebagai berikut: Daun bunga berjumlah lima helai, letaknya saling melekat pada bagian bawah sehingga membentuk tabung, sedangkan bagian atasnya saling terlepas seolah-olah mirip bentuk corong. Benangsarinya terdapat 10 helai. Tidak dapat menghasilkan buah, karena tidak mempunyai bakal buah maupun putik. Pada ujung rangkaian bunga biasanya terdapat beberapa bunga sempurna yang bentuk bakal buahnya bulat telur. Bunga sempurna ini

13

dapat menjadi buah yang bentuknya bulat-telur dan kecil-kecil atau disebut buah pepaya gantung (gandul). Berdasarkan struktur bunga dan buah yang beragam tadi maka di lapangan (kebun) dikenal tiga macam pohon pepaya, yaitu:
1. Pohon pepaya betina, yaitu pohon pepaya yang berbunga dan berbuah

betina.
2. Pohon pepaya sempurna, yaitu pohon pepaya yang memiliki empat macam

bunga sempurna (elongata, antara, rudimenter, pentandria). Buah pepaya elongata biasanya muncul pada musim hujan, sedangkan buah pepaya pentandria umumnya muncul pada musim kemarau. Buah pepaya antara yang bentuknya mirip buah pisang biasanya muncul pada musim kemarau panjang atau antara musim hujan ke musim kemarau, sedangkan bunga rudimenter yang mirip bunga jantan tidak menghasilkan buah.
3. Pohon pepaya jantan, yaitu pohon pepaya yang berbunga jantan dan

bertangkai panjang, namun di ujung rangkaian bunga terdapat beberapa bunga sempurna yang dapat menghasilkan buah pepaya gandul (gantung). II.3 Syarat Tumbuh Tanaman Pepaya II.3.1 Syarat Iklim Menurut Rahmat Rukmana (1994), tanaman pepaya mempunyai daya adaptasi cukup luas terhadap lingkungan tumbuhnya. Tanaman ini dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai dataran tinggi 1.000 meter dari permukaan laut (dpl). Bahkan sering pula diketemukan pada ketinggian

14

antara 1.200-1.500 m dpl masih tumbuh tanama pepaya. Meskipun di dataran tinggi tanaman pepaya dapat tumbuh dengan baik, namun makin tinggi tempat penananam justru akan mengurangi rasa manisnya buah. Hal ini dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari yang relatif rendah dan kelembaban udaranya tinggi. Daerah yang paling optimum untuk pengembangan budidaya tanaman pepaya adalah pada ketinggian 600 - 700 m dpl, suhu udaranya berkisar antara 22 - 26C, mendapat sinar matahari penuh (tempat terbuka), curah hujan antara 1.000 - 1.500 mm per tahun, dan iklimnya basah. Di daerah yang banyak turun hujan, tanaman pepaya dapat tumbuh cepat dan ruas-ruas batangnya panjangpanjang. Sebaliknya, di daerah yang kering pertumbuhan pepaya lambat dan ruasruas batangnya pendek. Tanaman pepaya mempunyai toleransi cukup tinggi terhadap faktor suhu udara dan intensitas matahari. Di dataran rendah dan daerahnya kering seperti di Nusa Tenggara Timur, tanaman pepaya dapat tumbuh dan berbuah baik. Demikian pula penanaman pepaya di tempat yang terlindung masih produktif berbuah, sehingga sering ditanam di lahan-lahan pekarangan.

II.3.2 Syarat Tanah Menurut Rahmat Rukmana (1994), tanaman pepaya dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada berbagai jenis tanah yang digunakan untuk pertanian. Untuk mendapatkan produksi yang tinggi dan kualitas hasil yang baik,

15

tanaman pepaya ideal ditanam pada tanah latosol dan tanah-tanah ringan yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik (humus), tata udara dan tata air (aerasi dan drainase) tanahnya baik, dengan pH tanah sekitar 6 7. Pada tanah-tanah yang mudah menggenang (becek) akan menyebabkan gangguan proses metabolisme (fisiologis) pertumbuhan tanaman pepaya. Gejala yang mudah diamati adalah daun-daunnya menguning, layu, dan lekas rontok (gugur). Sebaliknya pada tanah yang terlalu kering (kurang air) menyebabkan pertumbuhan tanaman pepaya kerdil dan merana, bunga dan buahnya berguguran, sehingga buah yang berbentuk pun relatif sedikit. Demikian pula pada tanah-tanah yang kurang subur, tanaman pepaya tumbuh kurus dan bunganya banyak yang berguguran. Pengelolaan tanah merupakan hal yang penting untuk diperhatikan sebelum berkebun pepaya. Tanah yang mudah becek sebaiknya dilakukan perbaikan drainase dengan cara membuat saluran pembuangan air yang cukup dalam. Pada tanah-tanah yang reaksinya asam (pH < 6) perlu dilakukan pengapuran dengan menggunakan kapur pertanian seperti Calcit, Zeagro ataupun Dolomit. Dosis pengapuran tanah ini disesuaikan dengan jenis keasaman tanah, namun pada umumnya menggunakan kisaran dosis antara 1 2 ton kapur/hektar. Tanaman pepaya dapat ditanam pada lahan-lahan kering (tegalan) yang kurang produktif. Hal yang penting untuk mengelola lahan kering adalah pengairannya memadai atau air tanahnya sekitar 50 cm 150 cm dari permukaan tanah, pemberian kapur pertanian dan pupuk organik dalam jumlah (dosis) cukup

16

tinggi, serta penambahan pasir pada setiap lubang tanam dalam jumlah berimbang dengan volume tanah.

II.4 Penyerapan Unsur Hara Pada Tanaman

Tanaman memerlukan makanan yang sering disebut hara tanaman. Berbeda dengan manusia yang menggunakan bahan organik, tanaman

menggunakan bahan anorganik untuk mendapatkan energi dan pertumbuhannya. Dengan fotosintesis, tanaman mengumpulkan karbon yang ada di atmosfir yang kadarnya sangat rendah, ditambah air yang diubah menjadi bahan organik oleh klorofil dengan bantuan sinar matahari. Unsur yang diserap untuk pertumbuhan dan metabolisme tanaman dinamakan hara tanaman. Mekanisme perubahan unsur hara menjadi senyawa organik atau energi disebut metabolisme. Dengan menggunakan hara, tanaman dapat memenuhi siklus hidupnya. Fungsi hara tanaman tidak dapat digantikan oleh unsur lain dan apabila tidak terdapat suatu hara tanaman, maka kegiatan metabolisme akan terganggu atau berhenti sama sekali. Di samping itu umumnya tanaman yang kekurangan atau ketiadaan suatu unsur hara akan menampakkan gejala pada suatu organ tertentu yang spesifik yang biasa disebut gejala kekahatan. Unsur hara yang diperlukan tanaman adalah Karbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Sulfur (S), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Seng (Zn), Besi (Fe), Mangan (Mn), Tembaga (Cu), Molibden (Mo), Boron (B), Klor (Cl), Natrium (Na), Kobal (Co), dan Silikon (Si).

17

Unsur Na, Si, dan Co dianggap bukan unsur hara essensial, tetapi hampir selalu terdapat dalam tanaman. Misalnya, unsur Na pada tanaman di tanah garaman yang kadarnya relatif tinggi dan sering melebihi kadar P (Fosfor). Silikon (Si) pada tanaman padi dianggap penting walaupun tidak diperlukan dalam proses metabolisme tanaman. Jika tanaman padi mengandung Si yang cukup, maka tanaman tersebut lebih segar dan tidak mudah roboh diterpa angin sehingga seakan-akan Si meningkatkan produksi tanaman. Bahan organik memainkan beberapa peranan penting di tanah, sebab bahan organik berasal dari tanaman yang tertinggal, berisi unsur-unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Bahan organik mempengaruhi struktur tanah dan cenderung untuk menjaga menaikkan kondisi fisik yang diinginkan. Peranan bahan organik ada yang bersifat langsung terhadap tanaman, tetapi sebagian besar mempengaruhi tanaman melalui perubahan sifat dan ciri tanah. Melalui penelitian ditemukan bahwa beberapa zat tumbuh dan vitamin dapat diserap langsung dari bahan organik dan dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Dulu dianggap orang bahwa hanya asam amino, alanin, dan glisin yang diserap tanaman. Serapan senyawa N tersebut ternyata relatif rendah daripada bentuk N lainnya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa bahan organik mengandung sejumlah zat tumbuh dan vitamin serta pada waktu-waktu tertentu dapat merangsang pertumbuhan tanaman dan jasad mikro. Bahan organik ini merupakan sumber nutrien inorganik bagi tanaman. Jadi tingkat pertumbuhan tanaman untuk periode yang lama sebanding dengan suplai nutrien organik dan inorganik. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan langsung utama bahan organik adalah untuk menyuplai nutrien bagi tanaman.

18

Penambahan bahan organik kedalam tanah akan menambahkan unsur hara baik makro maupun mikro yang dibutuhkan oleh tumbuhan, sehingga pemupukan dengan pupuk anorganik yang biasa dilakukan oleh para petani dapat dikurangi kuantitasnya karena tumbuhan sudah mendapatkan unsur-unsur hara dari bahan organik yang ditambahkan kedalam tanah tersebut. Efisiensi nutrisi tanaman meningkat apabila permukaan tanah dilindungi dengan bahan organik. Unsur hara atau bahan organik juga sangat diperlukan oleh bibit tanaman. Pada masa awal pertumbuhan, tanaman sangat membutuhkan banyak unsur hara. Unsur hara ini berguna untuk perkembangan masa fase vegetatif tanaman. Fase vegetatif tanaman ini adalah masa dimana awal mula tanaman tumbuh. Baik itu pertumbuhan akar, batang, dahan, dan daun.

II.5 Cendawan Mikoriza Arbuskula

Menurut Syibli (2008) Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) merupakan asosiasi antara cendawan tertentu dengan akar tanaman dengan membentuk jalinan interaksi yang komplek. Mikoriza berasal dari kata miko (mykes= cendawan) dan rhiza yang berarti akar. Mikoriza dikenal dengan jamur tanah karena habitatnya berada di dalam tanah dan berada di area perakaran (rizosfer). Selain disebut sebagai jamur tanah juga biasa dikatakan sebagai jamur akar. Keistimewaan dari jamur ini adalah kemampuannya dalam membantu tanaman untuk menyerap unsur hara terutama unsur hara Phosphates (P). Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistik antar cendawan dengan akar tanaman. Baik cendawan maupun tanaman sama-sama

19

memperoleh keuntungan dari asosiasi ini. Infeksi ini antara lain berupa pengambilan unsur hara dan adaptasi tanaman yang lebih baik. Dilain pihak, cendawan pun dapat memenuhi keperluan hidupnya (karbohidrat dan keperluan tumbuh lainnya) dari tanaman inang (Anas, 1997). Berdasarkan struktur dan cara cendawan menginfeksi akar, mikoriza dapat dikelompokkan ke dalam tiga tipe : 1. 2. 3. Ektomikoriza Ektendomikoriza Endomikoriza Ektomikoriza mempunyai sifat antara lain akar yang terinfeksi membesar, bercabang, rambut-rambut akar tidak ada, hifa menjorok ke luar dan berfungsi sebagai alat yang efektif dalam menyerap unsur hara dan air, hifa tidak masuk ke dalam sel tetapi hanya berkembang di antara dinding-dinding sel jaringan korteks membentuk struktur seperti pada jaringan Hartiq. Ektendomikoriza merupakan bentuk antara (intermediet) kedua mikoriza yang lain. Ciri-cirinya antara lain adanya selubung akar yang tipis berupa jaringan Hartiq, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteksnya. Penyebarannya terbatas dalam tanah-tanah hutan sehingga

pengetahuan tentang mikoiza tipe ini sangat terbatas. Endomokoriza mempunyai sifat-sifat antar lain akar yang terinfeksi tidak membesar, lapisan hifa pada permukaan akar tipis, hifa masuk ke dalam individu sel jaringan korteks, adanya bentukan khusus yang berbentuk oval yang disebut Vasiculae (vesikel) dan sistem percabangan hifa yang dichotomous disebut arbuscules (arbuskul) (Brundrett, 2004)

20

Suatu simbiosis terjadi apabila cendawan masuk ke dalam akar atau melakukan infeksi. Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan spora didalam tanah. Hifa yang tumbuh melakukan penetrasi ke dalam akar dan berkembang di dalam korteks. Pada akar yang terinfeksi akan terbentuk arbuskul, vesikel intraseluler, hifa internal diantara sel-sel korteks dan hifa ekternal. Penetrasi hifa dan perkembangannya biasanya terjadi pada bagian yang masih mengalami proses diferensiasi dan proses pertumbuhan. Hifa berkembang tanpa merusak sel (Anas, 1997). Hampir semua tanaman pertanian akarnya terinfeksi cendawan mikoriza. Gramineae dan Leguminosa umumnya bermikoriza. Jagung merupakan contoh tanaman yang terinfeksi hebat oleh mikoriza. Tanaman pertanian yang telah dilaporkan terinfeksi mikoriza vesikular-arbuskula adalah kedelai, barley, bawang, kacang tunggak, nenas, padi gogo, pepaya, selada, singkong dan sorgum. Tanaman perkebunan yang telah dilaporkan akarnya terinfeksi mikoriza adalah tebu, teh, tembakau, palem, kopi, karet, kapas, jeruk, kakao, apel dan anggur (Rahmawaty, 2003)

II.5.1

Anatomi dan Morfologi CMA Schubler et al. (2001) dengan menggunakan data molekuler telah menetapkan kekerabatan diantara CMA dan cendawan lainnya. CMA sekarang menjadi filum tersendiri, yang memiliki perbedaan tegas, baik ciri-ciri genetika maupun asal-usul nenek moyangnya, dengan Ascomycota dan Basidiomycota. Taksonomi CMA berubah menjadi filum Glomeromikota yang memiliki empat ordo yaitu 1) Archaeosporales (famili Arachaeosporaceae dan Geosiphonaceae),

21

2)

Paraglomerales

(famili

Para-glomerace),

3)

Diversisporales

(famili

Acaulosporaceae, Diversisporaceae, Gigaspora-ceae, dan Pacisporaceae) dan 4) Glomerales (famili Glomerace). Dewasa ini filum Glomeromikota disepakati memiliki dua belas genus yaitu Archaeo-spora, Geosiphon, Paraglomus, Gigaspora, Scutellospora, Acaulospora, Kuklospora, Intraspora, Entrophospora, Diversipora, Pacispora, dan Glomus sp. Cendawan ini membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang biak jika berassosiasi dengan tanaman inang. Sampai saat ini berbagai usaha telah dilakukan untuk menumbuhkan cendawan ini dalam media buatan, akan tetapi belum berhasil. Faktor ini merupakan suatu kendala yang utama sampai saat ini yang menyebabkan CMA belum dapat diproduksi secara komersil dengan menggunakan media buatan, walaupun pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman sangat menggembirakan. Spora cendawan ini sangat bervariasi dari sekitar 100 m sampai 600 m. Oleh karena ukurannya yang cukup besar inilah maka spora ini dapat dengan mudah diisolasi dari dalam tanah dengan menyaringnya (Pattimahu, 2004). Cendawan CMA membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscule), vesikel (vesicle) dan spora. Berikut ini dijelaskan sepintas lalu mengenai struktur dan fungsi dari organ tersebut serta penjelasan lain (Pattimahu, 2004). a. Vesikel (Vesicle) Vesikel merupakan struktur cendawan yang berasal dari pembengkakan hifa internal secara terminal dan interkalar, kebanyakan berbentuk bulat telur, dan berisi banyak senyawa lemak sehingga merupakan organ penyimpanan cadangan

22

makanan dan pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk mempertahankan kehidupan cendawan. Tipe CMA vesikel memiliki fungsi yang paling menonjol dari tipe cendawan mikoriza lainnya. Hal ini dimungkinkan karena kemampuannya dalam berasosiasi dengan hampir 90 % jenis tanaman, sehingga dapat digunakan secara luas untuk meningkatkan probabilitas tanaman (Pattimahu, 2004). b. Arbuskul Cendawan ini dalam akar membentuk struktur khusus yang disebut arbuskula. Arbuskula merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk oleh percabangan yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon dari dalam sel inang (Pattimahu, 2004). Arbuskul merupakan percabangaan dari hifa masuk ke dalam sel tanaman inang. Masuknya hara ini ke dalam sel tanaman inang diikuti oleh peningkatan sitoplasma, pembentukan organ baru, pembengkokan inti sel, peningkatan respurasi dan aktivitas emzim. Hifa intraseluler yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya akan menembus dinding sel dan membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks, tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang yang dinamakan Arbuskul. Arbuskul dianggap hara dua arah antara simbion cendawan dan tanaman inang. Mosse (1981) mengamati bahwa struktur yang dibentuk pada akar-akar muda adalah Arbuskul. Dengan bertambahnya umur, Arbuskul ini berubah menjadi suatu struktur yang menggumpal dan cabang-cabang pada Arbuskul lama kelamaan tidak dapat dibedakan lagi. Pada akar yang telah dikolonisasi oleh CMA dapat dilihat berbagi Arbuskul dewasa yang dibentuk berdasarkan umur dan letaknya. Arbuskul dewasa terletak dekat pada sumber unit kolonisasi tersebut.

23

c.

Spora Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk

secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokrap tergantung pada jenis cendawannya. Perkecambahan spora sangat sensitif tergantung kandungan logam berat di dalam tanah dan juga kandungan Al. Kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai sekarang beberapa tahun. Namun untuk perkembangan CMA memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum digunakan lagi (Mosse, 1981). Mirip dengan cendawan patogen, hifa cendawan CMA akan masuk ke dalam akar menembus atau melalui celah antar sel epidermis, kemudian apresorium akan tersebar baik inter maaupun intraseluler di dalam korteks sepanjang akar. Kadang-kadang terbentuk pula jaringan hifa yang rumut di dalam sel-sel kortokal luar. Setelah proses-proses tersebut berlangsung barulah terbentuk Arbuskul,vesikel, dan akhirnya spora (Mosse, 1981). II.5.2 Peranan CMA dalam Pertumbuhan Tanaman a. Peningkatan penyerapan Unsur Hara Tanaman yang bermikoriza tumbuh lebih baik dari tanaman tanpa bermikoriza. Penyebab utama adalah mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro. Selain daripada itu akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman (Anas, 1997). Selain daripada membentuk hifa internal, mikoriza juga membentuk hifa ekternal. Pada hifa ekternal akan terbentuk spora, yang merupakan bagian penting

24

bagi mikoriza yang berada di luar akar. Fungsi utama dari hifa ini adalah untuk menyerap fosfor dalam tanah. Fosfor yang telah diserap oleh hifa ekternal, akan segera dirubah manjadi senyawa polifosfat. Senyawa polifosfat ini kemudian dipindahkan ke dalam hifa internal dan arbuskul. Di dalam arbuskul, senyawa polifosfat ini kemudian dipindahkan ke dalam hifa internal dan arbuskul. Di dalam arbuskul senyawa polifosfat dipecah menjadi fosfat organik yang kemudian dilepaskan ke sel tanaman inang. Dengan adanya hifa ekternal ini penyerapan hara terutama fosfor menjadi besar dibanding dengan tanaman yang tidak terinfeksi dengan mikoriza. Peningkatan serapan fosfor juga disebabkan oleh makin meluasnya daerah penyerapan, dan kemampuan untuk mengeluarkan suatu enzim yang diserap oleh tanaman. Sebagai contoh dapat dilihat pengaruh mikoriza terhadap pertumbuhan berbagai jenis tanaman dan juga kandungan fosfor tanaman (Anas, 1997). Perbaikan pertumbuhan tanaman karena mikoriza bergantung pada jumlah fosfor yang tersedia di dalam tanah dan jenis tanamannya. Pengaruh yang mencolok dari mikoriza sering terjadi pada tanah yang kekurangan fosfor. Efisiensi pemupukan P sangat jelas meningkat dengan penggunaan mikoriza. Hasil penelitian Mosse (1981) menunjukkan bahwa tanpa pemupukan. TSP produksi singkong pada tanaman yang tidak bermikoriza kurang dari 2 g, sedangkan ditambahkan TSP pada takaran setara dengan 400-kg P/ha, masih belum ada peningkatan hasil singkong pada perlakuan tanpa mikoriza. Hasil baru meningkat bila 800 kg P/ha ditambahkan. Pada tanaman yang diinfeksi mikoriza, penambahan TSP setara dengan 200 kg P/ha saja telah cukup meningkatkan hasil

25

hampir 5 g. Penambahan pupuk selanjutnya tidak begitu nyata meningkatkan hasil.

b.

Peningkatan Ketahanan terhadap Kekeringan Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan dari pada

yang tidak bermikoriza. Rusaknya jaringan korteks akibat kekeringan dan matinya akar tidak akan permanen pengaruhnya pada akar yang bermikoriza. Setelah periode kekurangan air (water stress), akar yang bermikoriza akan cepat kembali normal. Hal ini disebabkan karena hifa cendawan mampu menyerap air yang ada pada pori-pori tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air. Penyebaran hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil meningkat (Anas, 1997). c. Lebih Tahan terhadap Serangan Patogen Akar Terbungkusnya permukaan akar oleh mikoriza menyebabkan akar terhindar dari serangan hama dan penyakit. Infeksi patogen akar terhambat. Tambahan lagi mikoriza menggunakan semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi patogen. Dilain pihak, cendawan mikoriza ada yang dapat melepaskan antibiotik yang dapat mematikan patogen (Anas,1997). Mikoriza sangat mengurangi perkembangan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Phytopthora cenamoni. Demikian pula mikoriza telah dilaporkan dapat mengurangi serangan nematoda. Jika terhadap jasad renik berguna, CMA memberikan sumbangan yang menguntungkan, sebaliknya terhadap jasad renik

26

penyebab penyakit CMA justru berperan sebagai pengendali hayati yang aktif terutama terhadap serangan patogen akar (Huang et al., 1993). Interaksi sebenarnya antara CMA, patogen akar, dan inang cukup kompleks dan kemampuan CMA dalam melindungi tanaman terhadap serangan patogen tergantung spesies, atau strain cendawan CMA dan tanaman yang terserang (Mosse, 1981). d. Produksi Hormon dan zat Pengatur Tumbuh Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa cendawan mikoriza dapat menghasilkan hormon seperti, sitokinin dan giberalin. Zat pengatur tumbuh seperti vitamin juga pernah dilaporkan sebagai hasil metabolisme cendawan mikoriza (Anas, 1997). II.5.3 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan CMA Banyak faktor biotik dan abiotik yang menentukan perkembangan CMA. Faktor-faktor tersebut antar lain suhu, tanah, kadar air tanah, pH, bahan organik tanah, intensitas cahaya, dan ketersediaan hara, logam berat dan fungisida. Berikut ini faktor tersebut diuraikan satu persatu. a. Suhu Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktivitas cendawan. Untuk daerah tropika basah, hal ini menguntungkan. Proses perkecambahan

pembentukan CMA melalui 3 tahap yaitu perkecambahan spora di tanah, penetrasi hifa ke dalam sel akar dan perkembangan hifa di dalam korteks akar. Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung pada jenisnya (Mosse, 1981).

27

Suhu yang tinggi pada siang hari (350C) tidak menghambat perkembangan akar dan aktivitas fisiologi CMA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu di atas 400C. Suhu bukan merupakan faktor pembatas utama bagi aktivitas CMA. Suhu yang sangat tinggi lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang (Mosse, 1981). b. Kadar Air tanah Untuk tanaman yang tumbuh di daerah kering, adanya CMA menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan tanaman. Untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang kurang air. Adanya CMA dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang. Manjunath et al., (1984) mengamati penampakan aneh pada bibit tanaman alpukat (Acacua raddiana) yang diinokulasi dengan CMA. Pada tengah hari, saat kelembapan air rendah, daun bibit alpukat berCMA tetap terbuka sedangkan tanaman yang tidak diinokulasi tertutup. Hal ini menandakan bahwa tanaman yang tidak berCMA memiliki evapotranspirasi yang lebih besar dari tanaman berCMA. Meningkatnya kapasitas serapan air pada tanaman alpukat berCMA menyebabkan bibit lebih tahan terhadap pemindahan. Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah : (1) adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap gerakan air menurun sehingga transpor air ke akar meningkat, (2) tanaman kahat P lebih peka terhadap kekeringan, adanya CMA menyebabkan status P tanaman meningkat sehingga menyebabkan daya tahan terhadap kekeringan meningkat pula, (3) adanya hifa ekternal menyebabkan tanaman berCMA lebih mampu mendapatkan air daripada yang tidak berCMA, tetapi jika

28

mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam-logam tanah lebih cepat menurun. Penemuan akhir-akhir ini yang menarik adalah adanya hubungan antara potensial air tanah dan aktivitas mikoriza. Pada tanaman bermikoriza jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 gram bobot kering tanaman lebih sedikit daripada tanaman yang tidak bermikoriza, karena itu (4) tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan barangkali karena pemakaian air yang lebih ekonomis, (5) pengaruh tidak langsung karena adanya miselium eksternal menyebabkan CMA mempan (efektif) di dalam mengagregasi butir-butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat (Rotwell, 1984). c. pH tanah Cendawan pada umumnya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian daya adaptasi masing-masing spesies cendawan CMA terhadap pH tanah berbeda-beda karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman (Mosse, 1981) d. Bahan Organik Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting di samping bahan anorganik, air dan udara. Jumlah spora CMA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan bahan organik di dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik 1-2 % sedangkan pada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0,5 % kandungan spora sangat rendah (Anas, 1997). Residu akar mempengaruhi ekologi cendawan CMA, karena serasah akar yang terinfeksi mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan generasi CMA dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah tersebut

29

mengandung hifa, vesikel dan spora yang dapat menginfeksi CMA. Di samping itu juga berfungsi sebagai inokulan untuk generasi tanaman berikutnya (Anas, 1997).

e.

Cahaya dan Ketersediaan Hara Anas (1997) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya yang tinggi

kekahatan sedang nitrogen ataupun fosfor akan meningkatkan jumlah karbohidrat di dalam akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi oleh cendawan CMA. Derajat infeksi terbesar terjadi pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan yang rendah. Pertumbuhan perakaran yang sangat aktif jarang terinfeksi oleh CMA. Jika pertumbuhan dan perkembangan akar menurun infeksi CMA meningkat. Peran mikoriza yang erat dengan penyediaan P bagi tanaman menunjukkan keterikatan khusus antar mikoriza dan status P tanah. Pada wilayah beriklim sedang konsentrasi P tanah yang tinggi menyebabkan menurunnya infeksi CMA yang mungkin disebabkan konsentrasi P internal yang tinggi dalam jaringan inang (Anas., 1997). f. Pengaruh Logam Berat dan Unsur lain Pada tanah-tanah tropika sering permasalahan salinitas dan keracunan alumunium maupun mangan. Sedikit diketahui pengaruh CMA pada pengambilan sodium, klor, alumunium, dan mangan. Di samping itu pengetahuan mengenai pengaruh masing-masing ion tersebut terhadap terhadap CMA secara langsung maupun dalam hubungannya dengan pertumbuhan tanaman atau metabolisme

30

inang belum banyak yang diketahui. Mosse (1981) mengamati infeksi CMA lebih tinggi pada tanah yang mengalami kekahatan Magnesium dibandingkan tanah yang tidak kahat. Pada percobaan dengan menggunakan tiga jenis tanah dari wilayah iklim sedang didapatkan bahwa pengaruh menguntungkan karena adanya CMA menurun dengan naiknya kandungan Al di dalam tanah. Alumunium diketahui menghambat muncul jika ke dalam larutan tanah ditambahkan kalsium (Ca). Jumlah Ca di dalam larutan tanah rupa-rupanya mempengaruhi perkembangan CMA. Tanaman yang ditumbuhkan pada tanah yang memilik derajat infeksi CMA yang rendah (Happer et al., 1984 dalam Anas, 1997). Hal ini mungkin karena peran Ca2+ dalam memelihara integritas membran sel. Beberapa spesies CMA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies CMA peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui pula bahwa strain-strain cendawan CMA tertentu toleran terhadap kandungan Mn, Al, dan Na yang tinggi (Mosse, 1981). g. Fungisida Fungisida merupakan racun kimia yang dirakit untuk membunuh cendawan penyebab penyakit pada tanaman. Rupa-rupanya di samping mampu memberantas cendawan penyebab penyakit, fungisida Agrosan, Benlate,Plantavax meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah (2,5 g per g tanah) menyebabkan turunnya kolonisasi CMA yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan pengambilan P (Manjunath dan Bagyaraj, 1984).

31

Pemakaian fungisida menjadi dilematis, disatu pihak jika fungisida tidak dipakai maka tanaman yang terserang cendawan bisa mati atau merosot hasilnya, tetapi jika dipakai membunuh cendawan CMA yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman. Pada masa depan perlu dicari satu cara untuk mengendalikan penyakit tanaman tanpa menimbulkan pengaruh yang merugikan terhadap jasad renik berguna di dalam tanah. Praktik pengendalian secara biologis perlu mendapat perhatian lebih serius karena memberikan dampak negatif yang mampu bertindak sebagai pengendali hayati yang aktif terhadap serangan patogen akar (Marx, 1982 dalam Anas, 1997).

32

III.

METODE DAN PEMBAHASAN 3.1 Metode Penelitian Kajian ini merupakan hasil percobaan dilakukan oleh Muas yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2001 hingga Januari 2002. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca, dan laboratorium Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Padjadajaran, Bandung Kampus Jatinangor, pada ketinggian 700 m dpl. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih pepaya dan isolat CMA. Media tumbuh yang digunakan adalah campuran tanah dengan pasir (2:1). Tanah yang digunakan adalah ordo inseptisols (pH H 2O 4,8; N total 0,20%; P tersedia 5,15 ppm; K 0,58 me/100 g), diambil dari Kebun Percobaan Universitas Padjadjaran Kampus Jatinangor. Penelitian ini merupakan percobaan pot yang dilakukan di rumah kaca. Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok, dengan pola faktorial dan diulang tiga kali. Sebagai faktor pertama adalah isolat CMA, terdiri dari (1) tanpa inokulasi CMA (kontrol), (2) Glomus etunicatum (NPI-126), (3) Glomus manihotis (INDO-1), (4) Gigaspora margarita (Gi-mf), (5) Acaulospora tuberculata (INDO-2), dan (6) Scutellospora heterogama (YS). Faktor kedua

33

adalah jenis pepaya, yaitu kultivar Dampit dan Sarirona. Satu unit perlakuan setiap ulangan terdiri dari lima pot (tanaman). Muas (2005) melakukan penelitian yang hampir sama pula yaitu tentang Kebergantungan Dua Kultivar Pepaya terhadap Cendawan Mikoriza Arbuskula yang dilaksanakan di rumah kaca dan laboratorium Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung. Percobaan dilakukan dari bulan Agustus hingga November 2001. Isolat CMA yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lima jenis. Sumber isolat (starter) diperoleh dari Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, kemudian diperbanyak di BALITBU Solok. Untuk bahan inokulum CMA diperbanyak secara kultur pot menggunakan media pasir steril dan tanaman inang Pueraria javanica (PJ). Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian adalah benih pepaya. Benih pepaya dari masing-masing kultivar disemai pada kotak persemaian menggunakan media pasir steril. Penyemaian berlangsung hingga bibit berdaun dua lembar, yaitu 4 minggu setelah semai. Tanah yang digunakan adalah ordo inceptisols [pH H2O 4,8 (masam); N total (0,20%(rendah), P tersedia 5,15 ppm (rendah), K 0,58 me/100g(sedang)], diambil dari Kebun Percobaan Universitas Padjadjaran Kampus Jatinangor, Bandung. Tanah dipisahkan dari material kasar dan diaduk dengan pasir (2:1), kemudian difumigasi dengan fumigant (dazemot 98%) selama 2 minggu. Media tanam yang telah difumigasi dimasukkan ke dalam pot berisi 2 kg media. Penelitian ini merupakan percobaan pot yang disusun menurut rancangan acak kelompok dengan pola faktorial dan diulang tiga kali. Faktor pertama adalah lima jenis isolat CMA ditambah kontrol, terdiri dari tanpa inokulasi CMA
31

34

(kontrol),

Glomus

etunicatum

(NPI-126),

Glomus

manihotis

(INDO-1),

Gigaspora margarita (Gi-mf),

Acaulospora

tuberculata (INDO-2), dan

Scutellospora heterogama (YS). Faktor kedua adalah kultivar pepaya terdiri dari dua kultivar, yaitu Dampit dan Sarirona. Satu unit terdiri lima pot tanaman.

3.2 3.2.1

Pembahasan Serapan Fosfor Dua Kultivar Pepaya Pada Umur Dua Bulan Setelah Diinokulasi Dengan CMA Muas (2003) melaporkan hasil analisis serapan nitrogen, fosfor, dan

kalium dua kultivar pepaya pada umur dua bulan setelah diinokulasi dengan CMA tersaji dalamTabel 2. Tabel 2. Serapan Nitrogen, Fosfor, dan Kalium Dua Kultivar Pepaya Pada Umur Dua Bulan Setalah Diinokulasi dengan CMA Perlakuan Kultivar Pepaya : Dampit Sarirona Isolat CMA : Kontrol G. etunicatum G. manihotis Gi. margarita A. tuberculata S. heterogama N (mg/tan) 4,23 b 6,08 c 0,71 a 14,95 c 1,33 a 3,07 a 9,79 b 1,10 a P (mg/tan) 11,44 b 16,17 c 1,84 a 41,50 c 3,34 a 6,84 a 26,67 b 2,67 a K (mg/tan) 0,43 b 0,62 c 0,07 a 1,54 c 0,13 a 0,31 a 0,99 b 0,11 a

Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% Sumber : Muas (2003) Menurut Muas (2003), serapan hara nitrogen, fosfor, dan kalium pada pupus tanaman hanya ditentukan oleh efek mandiri dari faktor jenis CMA dan kultivar pepaya (Tabel 2). Serapan N, P, dan K yang lebih tinggi diperoleh pada

35

inokulasi dengan G. etunicatum dan A. tuberculata. Hasil pengamatan terhadap serapan hara pada kedua kultivar pepaya menunjukkan bahwa serapan hara ini tampaknya lebih tinggi dibanding Dampit. Perbedaan serapan ini tampaknya lebih menonjol pada tanaman pepaya yang mempunyai tingkat infeksi lebih tinggi yaitu pada inokulasi dengan G. etunicatum, Gi. margarita, dan A. tuberculata. Penyerapan nitrogen oleh hifa CMA terutama dalam bentuk ammonium (NH4+) telah banyak dibuktikan, pengaruh langsung dari CMA dalam proses penyerapannya belum banyak diketahui (Sieverding, 1991). Respon tanaman terhadap serapan nitrogen juga sangat dipengaruhi oleh kombinasi antara inang dengan cendawan. Dalam penelitian ini, tingginya serapan nitrogen pada pupus tanaman pepaya berasosiasi dengan G. etunicatum, dapat disebabkan karena tingkat infeksinya termasuk sangat tinggi, diduga hifa eksternalnya berkembang lebih banyak. Hifa eksternal dari akar bermikoriza yang berkembang pada zona perakaran akan meningkatkan volume tanah yang dapat dieksploitasi untik penyerapan fosfor (Bagyaraj, 1992). Peningkatan kemampuan penyerapan P oleh tanaman yang terinfeksi CMA diduga karena adanya peningkatan aktivitas enzim fosfatase asam (AP) pada rizosfir dan akar tanaman tersebut. Dood e. al. (1987) telah membuktikan bahwa aktivitas AP pada akar dan rizosfir tanaman gandum yang terinfeksi G. mosseae dan G. geosporum lebih tinggi disbanding dengan tanaman kontrol dan secara nyata meningkatkan pertumbuhan dan kandungan P tanaman. Aktivitas enzim AP telah diketahui secara positif berkorelasi dengan penyerapan P dan pertumbuhan tanaman pada tanah dengan kahat fosfat (Khalil et al., 1999). Inokulasi CMA pada bibit pepaya meningkatkan aktivitas AP dan

36

konsentrasi P pada daun (Mohandas, 1992 dalam Cruz et al. 2000). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini, bahwa inokulasi CMA dapat meningkatkan serapan P pada tanaman (pupus). Namun efek dari beberapa jenis isolat yang diinokulasikan tidak sama. Hal ini disebabkan oleh faktor kesesuaian cendawan dengan inang (Khasa et al. 1992; Declerck et al. 1995; Fortuna et al. 1996). Unsur hara makro esensial lainnya, yaitu K, juga sering ditemukan dalam konsentrasi yang lebih tinggi pada tanaman bermikoriza dibanding yang tidak terinfeksi cendawan mikoriza. Elemen K ini lebih bersifat mobil di dalam tanah dibanding P, dan mekanisme pengangkutan K secara langsung dalam hifa CMA belum diketahui jelas. Pada penelitian ini, walaupun peningkatan serapan K diduga tidak merupakan efek langsung dari CMA, pada kenyataannya semua jenis CMA memberikan efek tidak sama terhadap serapan K pada bibit pepaya. Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Jaizme-Vega & Azcon (1995) pada tanaman alpukat, nanas, pisang, dan pepaya, serta tanaman jeruk. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan K pada tanah yang kahat K, berkaitan dengan spesies CMA, yang mengindikasikan bahwa K mungkin ditransportasikan oleh hifa CMA (Dutra et al. 1996). Muas (2005) melaporkan hasil analisis serapan fosfor dua kultivar pepaya pada umur dua bulan setelah diinokulasi dengan CMA tersaji dalam Tabel 3.

37

Tabel 3. Serapan Fosfor Dua Kultivar Pepaya Pada Umur Dua Bulan Setelah Diinokulasi Dengan CMA Kultivar Kontrol Dampit Sarirona Rataan 2,00 1,67 1,84 a G. etu 35,33 47,67 41,50 c Jenis Isolat CMA G.man Gi. mar serapan P, g/tan 3,00 5,00 3,67 8,67 3,34 a 6,84 a Rataan A. tub 20,33 33,00 26,67 b S. het 3,00 2,33 2,67 a 11,44 A 16,17 B

Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% G. etu = Glumus etunicatum, G. man = Glomus manihotis, Gi. Mar = Gigaspora Mararita, A. tub = Acaulospora tuberculata, S. het = Scutellospora heterogama Sumber : Muas (2003) Muas (2005) melaporkan serapan hara fosfor (P) pada pupus tanaman hanya ditentukan oleh efek mandiri dari faktor jenis CMA dan kultivar pepaya. Untuk perlakuan jenis isolat CMA, serapan fosfor tertinggi diperoleh bibit yang diinokulasi dengan G. etunicatum, kemudian diikuti dengan A. tuberculata, yang secara statistik berbeda nyata. Inokulasi dengan tiga jenis isolat lainnya memberikan efek yang lebih rendah dan tidak berbeda nyata dengan kontrol. Sedangkan untuk kedua kultivar pepaya, serapan P yang lebih tinggi adalah pada Sarirona dan berbeda nyata dibandingkan dengan Dampit (Tabel 3). Kemampuan CMA dalam meningkatkan penyerapan P dan pertumbuhan tanaman terutama pada tanah yang kahat fosfat telah . umum diketahui. Hifa eksternal dari akar bermikoriza yang berkembang di zona perakaran tanaman akan

38

meningkatkan volume tanah yang dapat dieksploitasi untuk penyerapan fosfor (Bagyaraj, 1992) Absorbsi P yang lebih tinggi pada tanaman yang terinfeksi CMA diduga karena adanya peningkatan aktivitas enzim asam fosfatase pada rizosfir dan akar tanaman tersebut. Dodd et al. (1987) mengemukakan bahwa aktivitas acid phosphatase pada akar dan rizosfir tanaman gandum yang terinfeksi CMA (G. mosseae dan G. geosporum) lebih tinggi dibanding dengan tanaman kontrol dan secara nyata meningkatkan kandungan P dan pertumbuhan tanaman. Aktivitas enzim asam fosfatase telah diketahui secara positif berkorelasi dengan penyerapan P dan pertumbuhan tanaman pada tanah dengan kahat fosfat (Khalil et al..1999). Meskipun inokulasi CMA dapat meningkatkan serapan P pada tanaman (pupus), namun efek dari beberapa jenis isolat yang diinokulasikan tidak sama. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kesesuaian dengan inang. Selanjutnya Khalil et al (1999) menambahkan bahwa aktivitas asam fosfatase yang berbeda nyata dari interaksi kultivar dengan CMA mengindikasikan bahwa kultivar memberikan respon yang berbeda pada tanaman bermikoriza dalam hal penyerapan fosfat.
3.2.2

Derajat Infeksi Akar Dua Kultivar Pepaya Pada Umur Dua Bulan Setelah Diinokulasi Dengan CMA Muas (2003) melaporkan hasil analisis derajat infeksi akar dua kultivar

pepaya pada umur dua bulan setelah diinokulasi dengan CMA disajikan dalam Tabel 4.

39

Tabel 4. Derajat Infeksi Akar Dua Kultivar Pepaya Pada Umur Dua Bulan Setelah Diinokulasi Dengan CMA Kultivar Kontrol Dampit Sarirona 0,00 A a 0,00 A a G. etu 86,00 A d 98,67 B d Isolat CMA G.man Gi. Mar Derajat Infeksi (%) 59,67 B 82,33 A c d 44,33 A 90,00 A b cd

A. tub 89,33 A d 82,67 A c

S. het 24,67 A b 21,33 A b

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu baris dan huruf besar dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%. G. etu = Glumus etunicatum, G. man = Glomus manihotis, Gi. Mar = Gigaspora Mararita, A. tub = Acaulospora tuberculata, S. het = Scutellospora heterogama Sumber : Muas (2003) Muas (2003) menerangkan tingkat infeksi akar pada dua bulan setelah inokulasi, secara statistik menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara jenis isolat CMA dengan kultivar pepaya (Tabel 4). Keadaan ini terjadi disebabkan oleh perbedaan respons dari kombinasi kultivar pepaya dengan jenis CMA yang diinokulasikan. Tingkat kolonisasi yang terbentuk pada akar bervariasi antarspesies cendawan dengan tanaman inang (Declerck et al. 1995; Khalil et al. 1999). Fenomena tingkat infeksi yang rendah dan tinggi sangat ditentukan oleh kecocokan CMA dengan tanaman (Brundrett & Walker 1999), faktor lingkungan beserta interaksinya, serta senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan tanaman (Anderson, 1992). Apabila dihubungkan dengan penggolongan tingkat infeksi akar berdasarkan The Institute of Mycorrhizaln Research and Development, USDA (dalam Setiadi et al. 1992), ternyata efek inokulasi dari lima jenis isolat pada

40

penelitian ini berkisar dari rendah hingga sangat tinggi. Inokulasi S. heterogama pada kedua kultivar pepaya hanya menghasilkan tingkat infeksi yang tegolong rendah, yaitu rataan 23%. Jenis isolat A. tuberculata, G. etunicatum, dan Gi. margarita, memberikan efek dengan tingkat infeksi sangat tinggi, yaitu mencapai lebih besar dari 76% untuk kedua kultivar pepaya. Berdasarkan hasil pengamatan ini, diharapkan ketiga jenis isolat tersebut di atas dapat dikembangkan untuk diaplikasikan pada tanaman pepaya, namun demikian untuk mengetahui lebih jauh keefektifannya diperlukan pengamatan lebih lanjut. 3.2.3 Bobot Kering Pupus Dua Kultivar Pepaya Pada Umur Dua Bulan Setelah Diinokulasi Dengan CMA Muas (2003) melaporkan bobot kering pupus dua kultivar pepaya pada umur dua bulan setelah diinokulasi dengan CMA tersaji dalam Tabel 5. Tabel 5. Bobot Kering Pupus Dua Kultivar Pepaya Pada Umur Dua Bulan Setelah Diinokulasi Dengan CMA Kultivar Kontrol Dampit 0,050 Sarirona 0,040 0,045 a Rataan Jenis Isolat CMA Gi. G. etu G. man Mar A. tub bobot kering pupus, g/tan 0,560 0,060 0,095 0,318 0,748 0,057 0,187 0,548 0,654 c 0,058 a 0,141 a 0,433 b S. het 0,062 0,043 0,053 a 0,198 A 0,271 B Rataan

Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% G. etu = Glumus etunicatum, G. man = Glomus manihotis, Gi. Mar = Gigaspora Mararita, A. tub = Acaulospora tuberculata, S. het = Scutellospora heterogama Sumber : Muas (2003) Muas (2003) melaporkan nilai rataan bobot kering pupus tertinggi didapatkan pada bibit pepaya yang diinokulasi dengan G. etunicatum, kemudian

41

diikuti oleh A. tuberculata, yaitu 0,654 dan 0,433 g/tanaman yang secara statistik berbeda nyata. Untuk perlakuan inokulasi lainnya memberikan efek dengan bobot kering pupus rendah dan berbeda nyata dengan kontrol. Di samping itu, kultivar Sarirona juga mempunyai bobot kering pupus yang lebih tinggi (0,271 g/tanaman) dibandingkan kultivar Dampit dengan nilai 0,198 g/tanaman (Tabel 5). Perbedaan bobot kering pupus bibit pepaya berkaitan erat dengan tingkat keefektifan CMA yang diinokulasikan, terutama dalam hal meningkatkan serapan hara. Peran CMA terhadap peningkatan bobot kering pupus sudah banyak diungkapkan. Produksi bahan kering pada simbiosis Trifolium subterraneum L. dengan Acaulospora leavis nyata lebih tinggi dibanding simbiosis dengan Glomus sp. dan Scutellospora calospora pada 47 hari setelah inokulasi (Jakobsen et al. 1992). Inokulasi CMA pada batang bawah jeruk (Carrizo citrange) menghasilkan bobot kering pupus yang lebih tinggi dan signifikan dibanding dengan yang tidak diinokulasi. Muas (2005) juga melaporkan hasil analisis bobot kering pupus dua kultivar pepaya pada umur dua bulan setelah diinokulasi dengan CMA tersaji dalam Tabel 6.

Tabel 6. Bobot Kering Pupus Dua Kultivar Pepaya Pada Umur Dua Bulan Setelah Diinokulasi Dengan CMA Kultivar Jenis Isolat CMA Rataan

42

G. Kontrol Dampit 0,040 Sarirona 0,053 Rataan 0,035 a G. etu man Gi. Mar A. tub S. het bobot kering pupus, g/tan 0,560 0,060 0,095 0,318 0,062 0,198 A 0,748 0,057 0,187 0,548 0,043 0,249 B 0,654 c 0,058 a 0,141 a 0,433 b 0,053 a

Keterangan : Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% G. etu = Glumus etunicatum, G. man = Glomus manihotis, Gi. Mar = Gigaspora Mararita, A. tub = Acaulospora tuberculata, S. het = Scutellospora heterogama Sumber : Muas (2005) Hasil pengamatan bobot kering pupus yang dilakukan oleh Muas (2005) menunjukkan tidak adanya pengaruh interaksi dari perlakuan jenis isolat CMA dengan dua kultivar pepaya. Bobot kering pupus tertinggi diperoleh pada bibit pepaya yang diinokulasikan dengan G. etunicatum, kemudian diikuti oleh A. tuberculata, yaitu 0,654 dan 0,433 g/tanaman yang secara statistik berbeda nyata dan peningkatan bobot pupus masing-masing sebesar 1,768% dan 1,137%. Hasil yang hampir sama juga diperoleh pada tanaman apel (Matsubara et al., 1996; Fortuna et al., 1996), adpokat, nenas, pisang, dan pepaya (Jaizme-Vega & Azcon, 1995) yang diinokulasikan dengan CMA. Selain itu, peningkatan bobot kering tanaman yang diinokulasikan dengan CMA juga sangat dipengaruhi oleh kandungan P tanah.

IV.

KESIMPULAN

43

Dari penjelasan yang telah dikemukakan dalam makalah seminar akademik ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.

Seluruh isolat yang diuji dapat berasosiasi dengan pepaya kultivar Dampit dan Sarirona.

2.

Isolat A. tuberculata, G. etunicatum, dan Gi. margarita memberikan derajat infeksi sangat tinggi, sedangkan isolat G. manihotis, dan S. heterogama memberikan tingkat infeksi yang lebih rendah pada bibit pepaya umur dua bulan setelah inokulasi.

3.

Inokulasi dengan dan G. etunicatum memberikan serapan hara P kedua kultivar pepaya yang lebih tinggi dibanding A. tuberculata, G. manihotis, S. heterogama, dan kontrol.

4.

Kultivar Sarirona menunjukkan serapan hara dan bobot kering pupus yang lebih tinggi dibanding Dampit.

DAFTAR PUSTAKA 42

44

Anas, I. 1997.Bioteknologi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Anderson, A. J. 1992. The Influence of the plant root on mychorrhizal formation. In M. F. Allen (ed.). Mychorrhizal functioning, an integrative plantfungal process. Chapman and Hall, Inc. p. 37-64. Badan Pusat Statistik. 2010. Perkembangan Ekspor dan Impor Buah Pepaya di Indonesia Tahun 2007-2010. Bagyaraj, D. J. 1992. Vesicular-arbuscular mycorrhiza: Application in agriculture. Methods in Microbiol. 24:359-373. Broto, W., Suyanti, dan Sjaifullah. 1991. Karakterisasi varietas untuk standarisasi mutu buah pepaya (Carica papaya L.). J. Hort. I(2) 41-44. Brundrett, M. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations. Biol. Rev. 79:473495. Brundrett, M. and C. Walker. 1999. Understanding the diversity of glomalean fungi in tropical Australian habitats. In. F.A. Smith et al. (ed.). Proc. Int. Conf. Mycorrhizae in Sustainable Trop. Agric. and Forest Ecosytem. Bogor, Indonesia, Oct. 27-30, 1997. p. 219-220. Declereck, S., C. Plenchette, and D.G. Strullu. 1995. Mycorrhizal dependency of banana (Musa acuminata, A.A.A group) cultivar. Plant and Soil. 176:183-187. Direktorat Gizi. 1979. Analisis Komposisi Zat Gizi Buah dan Daun Pepaya. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jendral Hortikultura. 2010. Produksi Perkapita Pepaya. Dodd, J.C., C.C. Burton, R.G. Burns., and P. Jeffries. 1987. Phosphatase activity associated with the roots and the rhizosphere of plants infected with vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi. New Phytol. 107:163-172. Dutra, P.V., M. Abad, V. Almela, and M. Agusti. 1996. Auxin Interaction with The Roots and The Rhizophere of Plants Infected with VesicularArbuscular Mycorrizhal Fungus Glomus intraradices Schenck & Smith improves Vegetative Growth of Two Citrus Rootstocks. Scientia Hort. 66: 77-83. Fortuna, P., A.S. Citernesi, S. Morini, C. Vitagliano, and M. Giovannetti. 1996. Influence of arbuscular mychorrhizae and phosphate fertilization on
43

45

shoot apical growth of micropropagated apple and plum rootstocks. Tree Physiol. 16(9):757-763. Huang, R.S. W. K. Smith and R. S. Yeast. 1983. Influence of VA on growh, water relation and leaf oriantation in Leucaena Leucocephala (LAM) de Wit. Jurnal Series 2814- University of Hawai, Hawai. Jaizme-Vega, M.C., and R. Azcon. 1995. Responses of some tropical and subtropical cultures to endomycorrhizae fungi. Mycorrhiza. 5:213-217. Jakobsen, A., R.D.Finiay, and P.A. Olsson. 1996. External hyphae of vesiculararbuscular mycorrhizal fungi associated with Trifollium subterraneum L. I.Spread of hyphae and phosphorus inflow into roots. News Phytol. 120:371-380. Khasa, P., V. Furlan, and J.A. Fortin. 1992. Response of Some Tropical Plant Species to Endomycorrizhal Fungi Under Field Conditions. Trop. Agric. 69 (3): 279 -283. Kalie, Moehd Baga. 1996. Bertanam Pepaya. Jakarta : Penebar Swadaya. Kemas Ali Hanafi. 2001. Rancangan Teori dan Aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Khalil, S., T. E. Loynachan, and M. A. Tabatai. 1999. Plant determinants of mycorrhizal dependency in soybean. Agron, J. 91:135-141. Matsubara, Y., T. Karikomi, M. Ikuta, H. Hori, S. Ishikawa, and T. Harada. 1996. Effect of arbuscular mycorrhizal funi inoculation on growth of apple (Malus ssp.) seedlings. J. Japan Soc. Hort. Sci. 65(2):297-302. Manjunath, A., D. J. Bagrayad. 1984. Effect of funicides on mycorrhizal colonization and growht of anion. Plant and Soil 78: 147-150. Mosse, S. 1981. Vesicular Arbuscular Mycorizarescarh for tropical agriculture. Ress. Bull. Muas, I. 2003. Peranan Cendawan Mikoriza Arbuskula Terhadap Serapan Unsur Hara Oleh Bibit Pepaya. Balai Penelitian Tanaman Buah, Solok. Muas, I. 2005. Kebergantungan Dua Kultivar Pepaya terhadap Cendawan Mikoriza Arbuskula. Balai Penelitian Tanaman Buah, Solok. Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidah ekologi. Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Rahmawaty. 2003. Restorasi lahan bekas tambang berdasarkan kaidah ekolog

46

Rotwell, F. M. 1984. Agregation of surface mine soil by interaction between Vam fungi and lignin degradation pruduct of lespedeza. Plant and Soil 80-99104. Rukmana, H Rahmat. 1994. Pepaya. Yogyakarta : Kanisius. Schubler, A., D. Schwarzott, and C. Walker. 2001. A new fungal phylum, the Glomero-mycota: phylogeny and evolution. Mycol. Res. 105(12):14131421. Setiadi, Y., I. Mansur, S.W. Budi, dan Achmad. 1992. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Tanah Hutan. Dep. P dan K, Dirjen Pend. Tinggi, PAUIPB. Bogor. Sieverding, E. 1991. Vesicular-arbuscular Mycorrizha Management in Tropical Agrosystems. GTZ GmbH. Germany. pp371. Simanungkalit, R.D.M. 2001. Aplikasi Pupuk Hayati dan Pupuk Kimia : Suatu Pendekatan Terpadu. Buletin Agrobio Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor. Subiksa, IGM. 2002. Pemanfaatan Mikoriza untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Makalah Falsafah Sains (PPS 702). Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bobor. Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Hlm 71-81. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Syibli. M. A. 2008. Jati Mikoriza, Sebuah Upaya Mengembalikan Eksistensi Hutan dan Ekonomi. Thirukkumaran, C.M., and D. Parkinson. 2000. Microbial respiration, biomass, metabolic quotient and litter decomposition in a lodgepole pine forest floor amended with nitrogen and phosphorus fertilizers. Soil Biol. Biochem. 32:59-66. Warisno. 2003. Budidaya Pepaya. Yogyakarta : Kanisius. . 2011. Unsur Hara Tanaman. http://kapurpertanian.com. Diakses pada tanggal 27 Mei 2011, Cirebon.

Anda mungkin juga menyukai

  • Rang Kuman
    Rang Kuman
    Dokumen5 halaman
    Rang Kuman
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • ITS PHD 15748 Chapter1 244395
    ITS PHD 15748 Chapter1 244395
    Dokumen10 halaman
    ITS PHD 15748 Chapter1 244395
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • Andri 4
    Andri 4
    Dokumen9.765 halaman
    Andri 4
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • Penda Hulu An
    Penda Hulu An
    Dokumen52 halaman
    Penda Hulu An
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • Analisis Faktor
    Analisis Faktor
    Dokumen2 halaman
    Analisis Faktor
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • Invigorasi
    Invigorasi
    Dokumen6 halaman
    Invigorasi
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • A10ryu1 Abstract
    A10ryu1 Abstract
    Dokumen10 halaman
    A10ryu1 Abstract
    Susi006
    Belum ada peringkat
  • Alih Fungsi Lahan
    Alih Fungsi Lahan
    Dokumen23 halaman
    Alih Fungsi Lahan
    Andri Apriyanto IX
    100% (1)
  • Isi Tataniaga
    Isi Tataniaga
    Dokumen48 halaman
    Isi Tataniaga
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • Kewirausahaan
    Kewirausahaan
    Dokumen2 halaman
    Kewirausahaan
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • Alih Fungsi Lahan
    Alih Fungsi Lahan
    Dokumen23 halaman
    Alih Fungsi Lahan
    Andri Apriyanto IX
    100% (1)
  • Isi Makalah
    Isi Makalah
    Dokumen12 halaman
    Isi Makalah
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • Kedaulatan Pangan
    Kedaulatan Pangan
    Dokumen37 halaman
    Kedaulatan Pangan
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • PP (Tugas Botani) (Andri Apriyanto) 2
    PP (Tugas Botani) (Andri Apriyanto) 2
    Dokumen18 halaman
    PP (Tugas Botani) (Andri Apriyanto) 2
    Andri Apriyanto IX
    Belum ada peringkat
  • Pengantar Biokim
    Pengantar Biokim
    Dokumen39 halaman
    Pengantar Biokim
    asepirwan
    Belum ada peringkat