Merasa sudah bisa menjalankan bisnis sendiri, setahun kemudian Asep mencoba
untuk melepas diri dari bayang-bayang orangtuanya. Dia menyewa satu kandang
milik ayahnya dan mulai memelihara 10 ribu ekor ayam.
Satu setengah bulan kemudian, Asep menikmati hasil keringkatnya sendiri. Ayam-
ayam yang dipeliharanya itu dijual dan memberikan keuntungan sebesar Rp 10
juta. Mengantongi untung besar, rupanya, membuat Asep— yang saat itu baru
menginjak usia 20 tahun- makin ambisus. Suami Vina Nuryanti ini lantas menjadi
petani plasma dan menggelontorkan modal lebih besar lagi. Jika semula hanya 10
ribu ekor, dalam periode berikutnya Asep menambah ternaknya hingga 60 ribu
ekor. Dengan ayam sebanyak itu, Asep berpikir bakal mengantongi untung hingga
Rp 60 juta. Tapi apa mau dikata. Ambisi besarnya itu justru berbuah pil pahit.
Asep menderita kerugian sebanyak Rp 80 juta.
Kegagalan itu membuat Asep sempat down. Maklum, sebagian besar modal
usahanya diperoleh dari perusahaan inti. Untungnya, ia tak terlalu lama larut dalam
kegagalan. Menghadapi situasi yang amat sulit itu, Asep lantas mengambil sebuah
keputusan dramatis. ”Untuk menutup kerugian itu, saya menambah jumlah ayam
hingga 90 ribu ekor,” ujarnya. Celakanya, upaya penyelamatan itu gagal total.
Bukannya untung, pria yang tak menyelesaikan kuliahnya di Universitas Subang
ini justru merugi lebih besar, sekitar Rp 90 juta. Tak ayal, kondisi itu membuat
bisnis Asep bangkrut. Dengan utang senilai Rp 170 juta, Asep hanya memiliki aset
berupa jip tua seharga Rp 4 juta. ”Hampir setiap hari saya selalu dikejar-kejar debt
collector,” akunya.
Melihat anaknya dalam kesulitan, sang ayah, Shobur Tadjudin, akhirnya turun
tangan. Dengan reputasinya yang cukup baik, Shobur lantas menjadi penjamin
semua utang-utang Asep. Alhamdulillah semua kreditur bersedia melunakkan
sikapnya dan mau memahami kondisi sang buah hati. Setelah persoalan utang bisa
ditangani, Asep mulai merintis kembali usahanya. Namun, strategi bisnisnya
diubah. Jika semula menjadi petani plasma, dia memutuskan untuk hanya menjadi
pedagang saja. Menurutnya, dalam rantai bisnis ayam, trading merupakan bidang
usaha yang paling mini resikonya.
Saat itu dia mengalami kerugian hingga Rp 2,5 miliar. Untungnya, kerugian itu
bisa ditutup. Bahkan, tak lama kemudian dia mendapatkan tambahan kredit untuk
memperluas usahanya. Dengan payung usaha Santika Group, Asep kini memiliki
sejumlah perusahaan yang bergerak di berbagai sektor usaha.
Diluar bisnis ayam, Asep memiliki PT Aufa Duta Nusantara, sebuah agen tour dan
travel yang menggarap bisnis penyelenggaraan ibadah haji. Lalu, dengan bendera
PT Santika Berlian Nusantara ia menyewakan kendaraan roda, termasuk alat berat
di lokasi tambang batubara. Baru-baru ini dia terjun ke bisnis hotel melalui PT
Sabanda Propertindo Utama. Hotel melati yang telah dibelinya kini sedang
direnovasi untuk dijadikan hotel berbintang tiga.
Saat ini asep mulai merintis usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan perkebunan
di Kalimantan dengan luas lahan mencapai 1000 ha. Gurita bisnisnya memang
sudah menjalar ke sejumlah daerah. Mulai Indramayu, Karawang, Purwakarta,
Malang, Kalimantan, Jakarta hingga merambah ke negeri tetangga Malaysia,
Singapura, dan Brunei Darussalam.
Walaupun sudah dilimpahi kekayaan, ada satu hal yang tidak pernah berubah dari
pria ini. ”Saya masih tetap mengajar anak-anak membaca Al Qur’an,” katanya.
Begitulah, pria muda nan kaya raya ini agaknya tidak ingin melupakan ilmunya di
pesantran Gontor. Dan seperti kata Asep, duniawi dan uhrowi memang harus
seimbang.
Sumber:
http://www.majalahtrust.com/bisnis/profil/1393.php