Cukup sulit membayangkan masa lalu Mas Mono yang kini telah menjelma menjadi
seorang milyarder. Betapa tidak, belasan tahun yang lalu ia masih harus menjalani
hidup sebagai OB disebuah perusahaan. Bosan menjadi OB perlahan ia menata
hidupnya menjadi pengasong gorengan dari SD ke SD, dari kompleks ke kompleks
dengan berjalan kaki. “Ya, itulah masa lalu saya. Disaat saya menjadi OB, bapak
saya di desa meninggal. Saya tak bisa pulang karena tak ada uang. Itu tamparan
keras bagi saya. Dari situlah, akhirnya saya putuskan untuk keluar kerja,” kisah pria
kelahiran Madiun, 28 Agustus 1974 ini pelan.
Putus kerja tapi hidup harus terus dilakukan, dengan modal seadanya ia mulai
meniti hidup dengan menjaja gorengan dari SD ke SD. Cukup lama ia melakoni
profesi itu sampai akhirnya menemukan tempat yang cocok untuk mangkal. “Saya
sewa tuh lahan, karena jual gorengan tidak maksimal untungnya hanya 15 ribuann
per hari, saya beralih ke ayam bakar,” tuturnya. Dengan modal 500 ribu rupiah, ia
mulai berjualan 5 ekor ayam perhari.
Bencana Penggusuran
Naas bagi Mas Mono, disaat bisnisnya sedang menanjak dan naik daun, bencana
penggusuran pun melanda. Ia dipaksa hengkang dari tempat mangkalnya. “Saat itu
saya benar-benar kelimpungan, bingung. Bagaimana tidak, di saat yang sama,
bisnis penjualan saya tengah laris-larisnya. Saya harus pindah kemana, bagaimana
dengan nasib 6 karyawan saya. Sebelum penggusuran itu tiba, saya terus tanya-
tanya lokasi ke setiap pembeli yang mampir, hingga akhirnya seorang pelanggan
menunjukkan tempat di Tebet,” beber ayah yang memiliki anak semata wayang
bernama Novieta ini.
Di Tebet, kebingungan pun belum juga reda. Ia dihadapkan pada persoalan baru,
lokasi yang tidak strategis. Pria penyuka rujak cingur ini harus menata ulang lagi
bisnisnya. Dengan lokasi yang mojok dan tersembunyi itu, ia harus berjuang agar
pelanggan kembali ramai.
Tak jarang iapun mengajak bekas pelanggannya ditempat dulu untuk mampir ke
lokasi barunya. Hasilnya, pelan tapi pasti berkat kegigihannya dan perjuangannya,
pelanggan pun terus berjejalan. “Itulah dinamikanya. Saat ini, Alhamdulillah saya
bisa menyewa tempat yang lebih besar. Bahkan, karena banyaknya pelanggan
hingga makan pun harus antre, saya juga membuka cabang baru di tempat yang
tidak terlalu jauh,” ujar suami dari Nunung ini.
Rupanya ujian belum selesai juga menimpa dirinya. Di babak kedua dari
kebangkitan bisnisnya itu, flu burung menerjang, memborbardir omsetnya. “Dengan
merajalelanya flu burung, spontan penjualan pun merosot dan sepi. Dari situ saya
terus belajar untuk syukur nikmat hingga cobaan itupun berlalu,” ucap pria yang kini
telah mematenkan brand Mas Mono dibawah payung Panen Raya Indonesia itu.
Setelah hampir 10 tahun berlalu, akhirnya sukses pun menghampiri. Dari satu
cabang yang didirikannya kini sudah beranak pinak menjadi 20 cabang yang
tersebar dibeberapa wilayah di Jabodetabek seperti Kalimalang, Pondok Gede,
Ciputat, Cileduk, dan daerah lainnya. Diakuinya, satu hari di setiap cabangnya bisa
menghabiskan sekitar 150-200 ekor ayam. “Tempatnyapun sudah kami tata menjadi
tradisional modern. Bahkan saya bercita-cita ingin menjadikan ayam bakar ini
market leader di dunia kuliner,” harapnya.
Mengenai omset, jangan ditanya. Di setiap cabangnya per hari mampu meraup
untung hingga 8 jutaan. Sukses dengann ayam bakar, Mas Mono pun merangsek ke
bisnis lainnya seperti bakso, catering, travel umroh dan haji dan lain-lain. “Karena
saya mengambil segmen semua lapisan masyarakat, jadi tempat saya bisa
disinggahi siapapun. Sehari ya bisa 200 orangan yang berkunjung. Harganya juga
cukup murah, hanya 13 ribuan per porsi,” jelas pria yang kini telah memiliki 400
karyawan ini.
Bahkan bisnis ayam bakar yang dikelolanya kini sudah dikembangkan ke franchise.
Dalam waktu singkat, iapun berencana akan mengembangkan konsep franchisenya
ke berbagai daerah bahkan menembus pasar internasional. “ Untuk sementara, saya
fokuskan untuk menggempur Jakarta saja dulu. Kedepan saya akan kembangkan
lagi ke berbagai wilayah. Karena saat ini bagi saya kompetitor itu bukan lagi penjual
ayam sejenis melainkan seperti KFC dan lainnya,’ imbuh pria yang menjual
franchise-nya seharga 500 jutaan dan telah menyabet berbagai penghargaan itu.