Anda di halaman 1dari 7

Berkat Jangkrik, Lulusan ITB Ini Raup Omzet hingga Rp 500

Juta Per Bulan


Kamis, 9 April 2015 | 09:58 WIB

KONTAN/DOK PRIBADI Bambang Setiawan


KOMPAS.com Meski tidak memiliki pengalaman dan minim pengetahuan soal budidaya jangkrik, hal itu tidak
menyurutkan keinginan Bambang Setiawan untuk merambah usaha ini. Terbukti, dengan bekal keyakinan dan tekad yang
kuat, kini ia sukses menjadi pengusaha jangkrik beromzet ratusan juta per bulan.
Bambang, sapaan akrabnya, merintis usaha budidaya jangkrik pada 2010 dengan mengusung bendera usaha Trust Jaya
Jangkrik di bawah naungan CV Jaya Tani di Cirebon, Jawa Barat.
Saat itu, ia baru saja lulus dari Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB). Kendati bergelar sarjana teknik, hal
tersebut tidak membuatnya malu ketika memutuskan menjadi peternak jangkrik. "Begitu lulus, saya langsung pulang
kampung ke Cirebon dan buat usaha setelah beberapa bulan," kata Bambang kepada Kontan.
Saat ini, Bambang memiliki lebih dari 65 orang karyawan. Kini, ia tercatat sebagai pembudidaya jangkrik terbesar seCirebon. Adapun kapasitas produksinya ialah 200 kilogram (kg) jangkrik dan 8 kg telur jangkrik yang siap dibudidayakan.
Dari usahanya ini, ia pun diganjar sejumlah penghargaan. Tahun lalu, Bambang dinobatkan menjadi pemenang Wirausaha
Muda Mandiri 2014 perwakilan Jawa Barat untuk kategori bidang usaha industri, perdagangan, dan jasa.
Penghargaan ini didapat Bambang karena ia dinilai berhasil membuka industri peternakan jangkrik yang sebelumnya tidak
pernah ada di Cirebon, sekaligus membuka lapangan kerja bagi warga di Desa Bakungkidul, Kecamatan Jamblang, Cirebon.
Jangkrik hasil tangkarannya dipasarkan ke Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jabodetabek. Pengiriman terbesar
ialah ke Bandung, sebanyak 100 kg per hari.
Kebanyakan jangkrik itu digunakan untuk pakan burung, pakan ikan hias, umpan memancing, dan ada juga yang pesan
untuk dijual lagi.
Ia membanderol harga 1 kg jangkrik sebesar Rp 45.000-Rp 50.000, sedangkan telur jangkrik dihargai lebih mahal lagi.
Untuk varietas jangkrik alam, harganya Rp 350.000-Rp 400.000 per kg, sedangkan harga varietas telur jangkrik kalung
sebesar Rp 325.000 per kg.
Dari usaha ini, ia bisa mendapat omzet Rp 15 juta per hari. Itu belum termasuk dari penjualan telur jangkrik untuk
pembibitan. Jika ditotal, Bambang bisa meraup omzet hingga Rp 500 juta per bulan.
Kendati sukses menangguk omzet besar, ia tidak lantas berpuas diri. Belakangan, ia justru melakukan ekspansi produk
dengan membuat makanan olahan jangkrik, di antaranya kerupuk jangkrik dengan merek Cricket Chips. "Baru awal Maret
ini dibuat," katanya.
Kerupuk jangkrik ini dibuat dalam tiga pilihan rasa, yakni orisinal, keju, dan pedas dengan kemasan 175 gram. Harga per
bungkusnya ialah Rp 25.000.
Lantaran baru, skala produksinya belum terlalu besar dan pemasarannya baru terbatas di wilayah Cirebon. Dalam waktu
dekat, ia juga ingin meluaskan jangkauan pasarnya ke Sumatera dan wilayah lain di luar Jawa.
Geluti bisnis sejak mahasiswa
Sukses Bambang tidak datang begitu saja. Tempaan pengalaman panjang ia alami di dunia bisnis. Pria ini sudah berkenalan
dengan dunia bisnis sejak kuliah di ITB.
Saat masih mahasiswa, ia menekuni usaha sebagai penyuplai katering untuk acara seminar dan workshop di kampus.
Kebetulan, Bambang memang aktif di berbagai kegiatan kampus dan sering menjadi panitia yang mengurus masalah
konsumsi.
Dari situ, ia terinsipirasi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi untuk semua acara di kampus. "Di ITB itu, setiap minggunya
pasti ada saja seminar, pelatihan, dan saya lihat itu sebagai peluang," katanya.

Ia lalu mengajak pengusaha katering setempat untuk kerja sama memasok kebutuhan acara-acara kampus. Bukan hanya
seminar dan workshop, konsumsi untuk acara lain, seperti buka puasa bersama, pameran, atau kuliah umum juga
ditanganinya.
Profesi ini ditekuninya sejak pertama kuliah hingga lulus. "Saya membiayai kuliah dari hasil menyuplai konsumen," katanya.
Dari pengalaman menjadi agen pengusaha katering ini, minatnya terhadap dunia bisnis makin kuat. Seiring itu, cita-citanya
menjadi seorang insinyur sipil yang menangani berbagai proyek konstruksi pun mulai luntur.
Baginya, menjadi seorang pengusaha lebih menarik ketimbang seorang insinyur. Maka dari itu, begitu lulus, Bambang sudah
mantap menjadi pengusaha.
Namun, ia tidak meneruskan bisnis katering lagi, tetapi pindah haluan dengan menekuni usaha budidaya jangkrik.
Ide bisnisnya ini didapat setelah ia melihat minimnya pasokan jangkrik di Cirebon, daerah asalnya. Setiap pulang kampung
saat libur kuliah, ia kerap mendengar keluhan para pedagang dan peternak burung tentang minimnya pasokan jangkrik untuk
pakan burung mereka. "Saat itu, populasi jangkrik di Cirebon terus menurun," katanya.
Dari situ, naluri bisnisnya terus muncul. Ia melihat itu sebagai peluang bisnis baru. Maka dari itu, setelah resmi memegang
gelar sarjana teknik dari ITB, ia bertekad untuk menekuni usaha ini.
Modal jual motor
Bambang lalu menjual motor satu-satunya untuk modal usahanya. Setelah ditambah dengan uang tabungannya, terkumpullah
uang sebesar Rp 7 juta.
Tanpa menghiraukan ijazah teknik sipilnya, Bambang pun langsung memulai usaha ini. Ia langsung membeli kandang dan
bibit jangkrik. "Ijazah saya saja belum dilegalisasi. Kalau teman-teman, begitu diwisuda, sibuk interview kerja," katanya.
Bambang mengaku, ada beberapa perusahaan ternama yang menawarkan pekerjaan kepadanya. "Tapi, saya menolak,"
katanya.
Sikap Bambang ini sempat membuat orangtuanya kecewa. Namun, tekadnya untuk menerjuni dunia bisnis sudah kuat.
Kekecewaan orang sekitarnya justru semakin memacu dan mendorongnya untuk sukses di dunia usaha.
Dengan modal dari hasil penjualan sepeda motor dan merogoh tabungan, Bambang membeli kandang serta bibit jangkrik
varietas jangkrik alam dan jangkrik seliring. Karena di Cirebon tidak ada yang peternakan dan pembudidayaan jangkrik,
Bambang mencari bibit unggul dari luar Cirebon.
Bambang bercerita, Desa Bakung Kidul, Kecamatan Jamblang, yang menjadi tempat tinggalnya dulu, merupakan sentra
industri rotan. Namun, sejak tahun 2008, industri rotan di wilayah tersebut mati sehingga banyak perajin rotan menganggur.
Karena itu, ketika dia membuka usaha Trust Jaya Jangkrik di bawah bendera CV Jaya Tani yang bergerak di bidang budidaya
jangkrik pada 2010, itu menjadi peluang pekerjaan bagi orang-orang di desanya. Sebab, Bambang mempekerjakan perajin
rotan yang menganggur untuk membantunya meski pada saat itu baru bisa merekrut beberapa orang.
Selama setahun, Bambang mengaku masih belum bisa menikmati keuntungan dari penjualan jangkrik. Sebab, dia masih
harus memutar uang yang didapat untuk dijadikan modal agar usahanya terus berjalan dan berkembang. Tidak jarang ia juga
mengalami kerugian karena banyak telur dan jangkrik yang mati dan akhirnya tidak bisa dikirim.
Masa hidup jangkrik cukup singkat, dari telur hingga mati hanya dua bulan. Karena itu, ketika panen, jangkrik harus segera
dikirim ke pelanggan. Jika tidak, jangkrik akan mati. Oleh sebab itu, jika belum ada pemasok, mau tidak mau Bambang
harus menelan kerugian. Tidak jarang dia sampai harus merugi hingga belasan juta rupiah.
Namun, konsistensinya selama lebih dari setahun akhirnya membuahkan hasil. Lambat laun pemesan yang datang makin
banyak. Salah satu cara yang dia tempuh ialah dengan membuat situs pemasaran jangkrikindonesia.com. Hingga kini, Trust
Jaya Jangkrik berkembang menjadi kawasan budidaya jangkrik terbesar di Cirebon dengan luas 1 hektar.
Hasil jangkrik budidayanya banyak didistribusikan ke toko-toko burung dan para pehobi burung kicauan, sedangkan telur
jangkrik dipasarkan hampir ke setiap wilayah Indonesia dari Aceh sampai Papua. Fokus utama Bambang adalah melakukan
pengembangbiakan jangkrik dan memastikan kualitas dan telurnya selalu terjaga baik.
Di samping itu, dia juga membuka pelatihan bagi pembudidaya pemula untuk belajar membudidayakan jangkrik. Meski
Bambang tidak memiliki latar belakang ilmu pertanian, empat tahun terjun di dunia ini membuat Bambang sudah paham
betul bagaimana menghasilkan jangkrik kualitas prima.
Kapasitas produksinya saat ini sebanyak 200 kg jangkrik per hari dan 8 kg telur jangkrik per hari. Bagi Bambang, angka itu
dirasa masih harus ditingkatkan dan dia harus terus meluaskan pasarnya hingga ke seluruh Indonesia. Oleh sebab itu, dia
terus mendorong warga Cirebon untuk bergabung bersamanya menyuplai jangkrik untuk menambah produksi. (Rani
Nossar)

STORY: Dulunya Tukang Becak, Kini Pria Ini Jadi


Pengusaha Sukses
Aktivis
Des 1, 2014

Selalu ada jalan bagi seseorang yang mau berusaha. Mungkin itulah istilah yang cocok untuk
menggambarkan seorang pria bernama Pak Sanim.
Pak Sanim pun sudah membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi pengusaha suskes meski
dirinya dahulu adalah seorang tukang becak. Berkat kerja kerasnya yang tak pernah pantang
menyerah, Pak Sanim kini ia telah menjadi pengusaha sukses kaya raya yang memiliki 10
mobil, 3 rumah, dan 2 pabrik.
Sebelum pria asal Cirebon ini menjadi seorang pengusaha, Pak Sanim pernah bekerja
menjadi tukang becak di sekitar prapatan Cirebon.
Cukup lama Pak Sanim menjadi penarik becak. Suatu hari, Pak Sanim menjumpai sebuah
pabrik garam di sekitar tempat pangkalannya. Dari situ ia mencoba untuk beralih bekerja
menjadi seorang karyawan di pabrik tersebut.
Seiring berjalannya waktu, Pak Sanim mulai berpikir untuk membuka pabrik sendiri.
Menurutnya garam memiliki potensi besar pada waktu itu mengingat banyaknya permintaan
dari daerah sekitar Cirebon dan sekitar Jawa Tengah.
Setelah dua bulan bekerja, saya pun berpikir, daerah kita kan punya potensi garam, loh
kenapa saya tidak bisa membuat garam sendiri, papar Pak Sanim.
Setelah memiliki tekad kuat, Pak Sanim pun memutuskan berhenti kerja dari pabrik garam
tersebut. Alhasil, Pak Sanim membuka usaha garam yang menurutnya bisa meraup
keuntungan besar.
Ketika pertama kali memulai usaha garam, Pak Sanim bersama istri mengolah garam secara
tradisional. Meski begitu, garam itu ternyata laku dijual. Lantaran laris manis, Pak Sanim pun
merekrut tenaga kerja untuk membantu usahanya.

Lambat laun ternyata keuntungan kita tambah besar dan banyak peminatnya. Akhirnya kita
menambah karyawan dari tetangga-tetangga kita lalu kita bisa membeli tanah untuk tempat
produksi yang lebih luas lagi dan sekarang ada pabrik, yakni pabrik garam, lanjut Pak Sanim
Dalam setahun Pak Sanim bisa menghasilkan garam minimal mencapai 2.000 ton. Alangkah
senang Pak Sanim lantaran ia kini sudah menjadi pengusaha sukses.
Berkat usahanya ini, Pak Sanim bisa menunaikan ibadah haji dalam beberapa kali. Tak hanya
itu, Pak Sanim berhasil menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang sarjana. Hebatnya lagi,
usaha yang ditekuni Sanim sukses merambah ke pabrik pembuatan pupuk.
Anak saya pun kini sarjana semua. Sementara saya pendidikan kelas 4 SR (setara SD) dulu.
Makanya kita punya anak tidak mau mengalami masa muda seperti kita, makanya kita
sekolahkan semua itu. Kita haji pun sudah dua kali, malah akan datang tahun depan mau
umroh dulu, tutup Sanim.

H Sanim, Sukses Pengusaha Garam di Cirebon


BJB

Garam buatanSanim
REPUBLIKA.CO.ID,CIREBON -- Menjadi warga pesisir pantai merupakan sebuah keberkahan. Salah satunya
H Sanim, warga RT 01 RW 03, Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon. Gerbang rezeki ayah
dari empat putri ini justru berada di pesisir pantai.
Cuaca panas yang menyengat warga pesisir pantai, justru menjadi harapan bagi H Sanim. Melalui cuaca seperti
itu, dirinya bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas garam yang diproduksinya. Benar, H Sanim merupakan
salah satu pengusaha garam sukses di wilayah Pantura, Provinsi Jawa Barat.
Melalui usahanya sebagai produsen garam, H Sanim bisa tampil sebagai jutawan di kampung halamannya. H
Sanim bukanlah pengusaha turunan yang dibekali modal dan bisnis yang maju. H Sanim mengklaim dirinya
hanya bermodalkan dengkul saat mengawali usahanya.
Bekal pendidikan pun rasanya kurang cukup. Mengingat, H Sanim merupakan lulusan Sekolah Rakyat (SR),
setara dengan SD (saat ini). Sebelum tahun 1982, H Sanim berprofesi sebagai petani garam krosok. Sepetak
lahan peninggalan orang tuanya menjadi sejarah awal dirinya terjun di dunia garam.
Dari lahan itu, dirinya memproduksi garam krosok. Air laut yang dia ambil dari pantai utara Jawa Barat itu,
kemudian dikeringkan di ladang miliknya. Air laut yang mengering itulah berubah menjadi garam krosok.
Setelah menjadi garam krosok, kemudian dijual ke pabrik garam di wilayah Cirebon.
Dirinya membawa garam krosoknya itu ke pabrik garam dengan menggunakan sepeda. Setelah berjalan sekian
tahun, naluri wirausaha H Sanim mulai muncul. Saat itu, H Sanim sengaja melamar kerja sebagai buruh Pabrik
Garam Sarijaya di daerah Kasepuhan, Kabupaten Cirebon. Dengan tujuan mencari ilmu.
Tidak lebih satu tahun, dirinya berhasil mengantongi ilmu tentang cara membuat garam gandu. Dirinya
mengakui, sejak menjadi petani garam krosok, sama sekali tidak mengetahui proses pembuatan garam krosok
menjadi garam gandu (balok).
Dengan modal seadanya, hasil dari menambung saat menjadi buruh pabrik garam, H Sanim memberanikan diri
memproduksi garam gandu. Tepat 17 Agustus 1982, dirinya mengawali usahanya sebagai produsen garam
gandu. Tidak hanya bagi bangsa ini, bagi H Sanim pun 17 Agustus merupakan momentum kemerdekaannya
sebagai pengusaha garam berskala mikro.
Tak heran bila garam kemasan milik H Sanim diberi merk 17 dan 82. Bila Anda menemukan garam kemasan
dengan merk tersebut, dipastikan berasal dari Rawaurip, milik H Sanim.
Berjalan dua bulan, pesanan garam gandu dari pasar tradisional terus meningkat. Saat itu, dalam sehari dirinya
mampu memproduksi hingga 100 buah garam gandu. Dirinya pun mulai mempekerjakan lima tetangganya
sebagai tenaga produksi dan pemasaran.

Usahanya terus berkembang. Tahun 1992, dirinya mulai membukukan tambahan aset berupa tanah dan mobil.
Tanah seluas 140 meter persegi yang dibelinya itu masih terletak di Desa Rawaurip. Lahan itu digunakan untuk
perluasan pabrik garamnya. Sementara mobilnya digunakan untuk mengangkut garam ke pasar-pasar tradisional
di wilayah Cirebon.
Topangan aset tanah dan mobil itu semakin mengantarkan kesusksesan H Sanim. Lonjakan keuntungan H Sanim
terasa signifikan saat bangsa ini mengalami krisis (1997). Ketika itu, harga produk garam yang dijualnya
meroket dari Rp 300 per gandu menjadi Rp 800 per gandu.
Kebetulan saat itu stok garam H Sanim yang akan dijualnya mencapai 200 ton. Di tahun itu pula, H Sanim
langsung menambah daftar asetnya dengan membeli tiga unit kendaraan operasional. Salah satu kendaraan yang
dibelinya itu sengaja untuk angkutan keluarga. Sampai tahun 2000, saya tidak pernah dibantu oleh bank sekali
pun membutuhkan dorongan modal, ujar H Sanim. Padahal, sejak 1985, dirinya merupakan nasabah salah satu
bank besar di Tanah Air. Menjadi nasabah bank, kata dia, hanya untuk mempermudah proses transaksi dengan
konsumennya.
Menjelang tahun 2000, dirinya memberanikan diri untuk mengajukan kredit kepada bank yang dipercayainya
sejak 1985 itu. H Sanim sangat menyesal ketika bank tersebut menolak proposal pinjamannya. Alasannya,
ungkap dia, bangunan pabrik yang dimilikinya tidak bersifat permanen.
Saat dirinya coba-coba mengajukan bantuan modal ke bank bjb tahun 2000, justru mendapat respons positif.
bank bjb terlihat antusias dalam menyalurkan bantuan modal kepada H Sanim. Saya kaget, kok Bank BJB baik
yah, ungkapnya dengan lugu.
Tak banyak basa-basi, dirinya langsung menyampaikan kebutuhan modal usahanya yang mencapai Rp 100 juta
per tahun. Tidak memakan waktu lama, bantuan itu langsung masuk ke rekening H Sanim. Atas pilihan H
Sanim, masa pinjaman itu disepakati selama satu tahun.
Optimisme H Sanim dalam berwirausaha yang melatarbelakangi ditentukannya masa pinjaman selama setahun.
Bantuan modal dari bank bjb itu yang mengantarkan H Sanim semakin sukses dan berkembang dalam
menjalankan bisnis garam.
Hingga 2010, dirinya ditopang bantuan modal oleh Bank BJB. Per tahun, bantuan yang diterima dari bank bjb
berkisar Rp 100 juta hingga Rp 150 juta. Setiap tahun pula dirinya berhasil melunasi seluruh pinjamannya.
Hanya setahun saja, yakni 2011, dirinya tidak mengajukan bantuan. Saat ini, Juni 2012, dirinya kembali
mengajukan bantuan modal kepada bank bjb hingga Rp 500 juta. Dalam waktu dekat, papar dia, bantuan itu
akan segera diterimanya.
Bagi H Sanim, bank bjb merupakan satu-satunya bank yang tidak sungkan membantu para pelaku usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM). Dirinya banyak berterima kasih kepada bank bjb karena setia menemani
usahanya hingga berhasil menjadi salah satu produsen garam besar di wilayah Pantura.
Kini, aset yang dimilikinya berupa 10 unit mobil dan truk serta tanah sekitar tiga hektare. Pekerja di pabriknya
pun sudah mencapai 60 orang. Setiap bulan, H Sanim berhasil menjual 200 ton garam dan 170 ton pupuk.
Tanpa bank bjb, rasanya H Sanim akan kesulitan membayar suplai garam krosok dari 80 petani yang merupakan
tetangganya. Per hari, dirinya harus menampung sekitar 40 ton garam krosok dari petani. Harus dibayar
kontan. Petani tidak boleh ditunggak pembayarannya, tandasnya. (adv)

Anda mungkin juga menyukai