Pabrik http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/07/09/06380627/Dulu.Tukang.Becak.Kini. Punya.10.Mobil.dan.2.Pabrik JAKARTA, KOMPAS.com Bertahun-tahun lamanya Sanim menggantungkan nasib pada sebuah becak yang dimilikinya. Kini nasibnya berubah, ia menjadi jutawan dengan dua pabrik, tiga rumah, 10 mobil, dan dua kali haji dari usahanya itu. Sanim (60) merupakan seorang pengusaha asal Desa Rawa Urip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ia menjadi salah satu contoh warga yang berhasil keluar dari garis kemiskinan. Dua usaha yang ia jalani saat ini ialah pabrik pembuatan garam dan pupuk organik. Namun, nama Sanim lebih dikenal sebagai pengusaha garam ketimbang pengusaha pupuk organik. "Sekarang saya punya 10 mobil, tiga di antaranya mobil pribadi tipe Daihatsu Taruna, Honda Jazz, dan mobil pertama ketika saya beli tahun 1997, yaitu Daihatsu Espass, bangga sekali saya saat itu. Sisanya mobil angkut produksi, seperti Fuso," ujar bapak empat anak ini, saat ditemui Kompas.com di acara peluncuran buku kewirausahaan Rhenald Kasali di Gedung WTC, Jakarta Kamis (5/7/2012). Adapun beberapa jenis garam yang diproduksi ialah jenis garam grosok (garam non- yodium masih berbentuk butiran besar dan kasar, biasanya dipakai untuk budidaya dan pengawetan ikan), garam dapur (konsumsi), dan garam industri untuk pabrik tekstil. Sementara jenis pupuknya, yakni organik tipe KCL (kalium clorida), fungsinya meningkatkan unsur hara kalium di dalam tanah budidaya. Kemampuan produksi kedua pabriknya, Samin mengaku, dalam setahun mampu memproduksi masing-masing 2.000 ton baik garam maupun pupuk organik. "Oh kalau barang jadinya, itu mah (harga jual) rahasia perusahaan, Mas. Yang penting perhitungan saya ini ada lebihnyagitu. Saya tidak tahu kiranya berapa, tapi tahun kemarin bersih minimal mencapai Rp 400 juta per tahun," tuturnya sambil tertawa. 1 Menimba ilmu dari pabrik garam Sanim menceritakan, pada awalnya ketika masih sebagai tukang becak, ia sering mangkal di persimpangan Jalan Cirebon. Di tempatnya mangkal, berdiri sebuah pabrik garam yang cukup besar. Sanim pun tertarik untuk melamar kerja di pabrik tersebut, dengan harapan nasibnya bisa lebih baik. Beruntung, Ia diterima bekerja di situ. "Setelah dua bulan bekerja, saya pun berpikir, daerah kita kan punya potensi garam, loh kenapa saya tidak bisa membuat garam sendiri," ungkapnya. Akhirnya, Sanim berhenti kerja dari pabrik garam tersebut. Di situlah ia mulai berpikir, usaha garam ternyata mampu mengeruk keuntungan yang lebih besar dari buruh pabrik, apalagi tukang becak. Baginya, garam bukan hanya sebagai bumbu penyedap makanan, melainkan juga dibutuhkan untuk keperluan industri, pertanian, dan perikanan. Ternyata, tidak sia-sia pernah bekerja di pabrik garam. "Jadi bisa dikatakan cuma menimba ilmu di pabrik tersebut," tuturnya. Ilmu yang diperolehnya ialah cara membuat garam krosok. Sanim pun menggarap empang peninggalan orang tuanya yang berada di belakang rumahnya untuk mencoba membuat garam. "Alhamdulillah, lama-lama usaha saya berkembang, sampai yang awalnya usaha di halaman belakang rumah, lalu berkembang dan kita bisa membeli tanah untuk tempat produksi yang lebih luas lagi," ujar Sanim, yang mampu mengantarkan keempat anaknya meraih gelar sarjana ini. Petani garam umumnya memanfatkan empang atau kolam di dekat pantai. Caranya, dengan mengumpulkan air laut ke dalam empang. Lalu, dengan bantuan sinar matahari, air laut yang terkumpul tersebut akan menguap dan menghasilkan kristal- kristal bersenyawa Natrium clorida (NaCl). Kristal NaCL itu dikumpulkan oleh petani, lalu dibersihkan berulang kali dari kotoran yang melekat hingga menjadi butiran halus dan kecil, tetapi non-yodium. 2 Itu dulu, tetapi kini, selain memproduksi sendiri garam krosok, ia juga membelinya dari petani garam di sekitar Cirebon. Dengan kisaran harga beli sekitar Rp 400 per kilogram. Harga belinya murah disebabkan garam yang diterima masih sangat kotor dan berwarna hitam. Kemudian ia cuci kembali dengan alat seadanya. Akhirnya, Ia memutuskan untuk membeli alat pencuci khusus garam krosok seharga Rp 20 juta-an. Lebih efisien, dan garam krosok bisa dibersihkan dengan cepat. Ia pun menjual garam itu ke industri, pertanian, dan perikanan. Namun, Sanim enggan menyebut berapa harga jual garamnya. Di beberapa iklan promosi yang beredar di internet, harga jual garam krosok bersih bisa mencapai Rp 810. Peralatan produksi garamnya pun masih menggunakan mesin tradisional. Menurutnya, ini warisan budaya setempat. Lagi pula, ia menganggap mesin tradisional lebih tahan lama dan tidak menimbulkan suara bising ketimbang mesin modern berbahan besi. Mesin tradisional inilah yang digunakan Sanim untuk mengolah garam krosoknya menjadi garam beryodium dan bisa dikonsumsi oleh masyarakat. "Kalau barang, jualnya habis-habis terus, tak pernah berkurang. Karena pemasaran banyak sekali setelah garam beredar," ungkapnya. Memanfaatkan KUR Lambat laun, Sanim pun mulai berpikir untuk mengembangkan usaha lebih besar lagi dari yang ia jalani sekarang. Pada 2010, ia memutuskan untuk menggunakan fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disediakan perbankan BUMD Jawa Barat, yakni Bank Jabar Banten (BJB). Sebelumnya, ia hanya memanfaatkan jasa bilyet giro Bank BJB untuk bertransaksi dengan pembeli luar kota. "Kita pernah mengajukan utang pinjaman ke Bank BCA, tapi waktu itu ditolak. Setelah itu akhirnya kita ke bank BJB. setelah diproses dan melihat prospek perkembangan usaha kita, akhirnya kita dapat dana," katanya bercerita saat kesulitan memperoleh dana usaha. 3 Untuk menghasilkan 2.000 ton garam, paling tidak Sanim harus mengeluarkan biaya produksi sebesar Rp 1 miliar. Untuk itu, ia sangat membutuhkan suntikan dana bank untuk memperlancar arus produksinya. Ia mengaku tidak pernah mengalami kredit macet selama meminjam ke bank. "Ke depannya nanti saya akan meminjam kembali ke Bank BJB sebesar Rp 500 juta. Kepenginnya sayabalikin sekitar 1 tahun," katanya. Sementara itu, ditemui Kompas.com di tempat yang sama, Dirut Bank BJB Bien Subiantoro mengatakan, bank yang dipimpinnya itu memberikan akses kemudahan bagi para pengusaha mikro melalui jalur KUR. Salah satu langkah BJB ialah meluncurkan suatu program bernama "Warung BJB". Warung tersebut semacam bank keliling khusus untuk menyalurkan pembiayaan usaha mikro. Kini, 430 Warung BJB tersebar di pasar-pasar tradional di beberapa wilayah Jawa Barat dan Banten. "Khusus kredit (KUR) kita masih fokus di Jawa Barat dan Banten. Ini karena untuk menyalurkan kredit, kita harus tahu dulu customer-nya," tutur Bien. Dirinya mengklaim, pengusaha mikro tidak perlu lagi berpikir ribetnya proses birokrasi pengajuan dana KUR. Biasanya, lanjut Bien, pengusaha mikro yang datang ke BJB untuk mengajukan KUR didiskusikan terlebih dahulu, bank pun bisa langsung mencairkan dananya. Asalkan pengusaha punya tempat usaha tetap. "Kita memberi dana mulai paling kecil yakni Rp 2 juta hingga yang paling besar sampai Rp 50 juta. Begitu tumbuh, lalu kita naikkan kembali levelnya sampai RP 100 juta. Lalu begitu tumbuh lagi, kita naikkan kembali level pinjamannya. NPL-nya (kredit bermasalah) pun kecil, hanya empat persen (maksimal lima persen) untuk mikro," kata Bien, yang pernah menjabat Direktur Treasury dan Internasional Bank BNI ini. 4 Rhenald Kasali tentang Sanim Guru Besar FEUI sekaligus penggiat Rumah Perubahan kewirausahaan Rhenald Kasali mengatakan, banyak sekali orang yang menjadi tukang becak selama 20 tahun dan bahkan hingga akhir hayatnya. "Tapi Pak Sanim berubah, justru Pak Sanim melihat dirinya ada potensi. Dan sekarang Pak Salim menjadi pengusaha besar di bidang garam. Ketika sebagian besar orang justru ingin impor garam. Pak Sanim berkutat untuk menyelamatkan garam Indonesia. Jadi ini salah satu contoh," ungkapnya pada sambutannya di peluncuran buku terbarunya tentang kewirausahaan. Rhenald menyebut Sanim dan pengusaha mikro sejenis adalah para "pengusaha cracking". Para pengusaha yang awalnya bukan dari kalangan keluarga pengusaha, tetapi mereka nekat keluar dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada umumnya. 5 Artikel II Lebih Untung Jual Olahan http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/06/12/10503971/Lebih.Untung.Jual.Olaha n KOMPAS.com - Bertani buah, lalu memanen, dan terakhir menjualnya ke pengepul. Ini merupakan siklus yang umumnya dilakukan petani. Keuntungan yang didapat pun belum tentu lebih untung bila dibandingkan dengan para pengepul buah di pasaran. Belum lagi, bila masuk masa panen raya, harga buah malah turun drastis karena kelebihan produksi. Hal inilah mendorong Rubiah, menyulap hasil pertanian hortikulturanya (sayuran/buah/tanaman hias), yakni jambu biji jenis getas merah menjadi produk makanan buah olahan. Perbedaan harga jual yang cukup signifikan, juga mendorong petani buah asal Kendal ini, akhirnya fokus merintis usaha rumahan tersebut. Kalau musim panen raya, harga jambunya malah jatuh, cuma Rp 500 - Rp 1.000 per kilonya. Beda bila saya jual olahannya. per kemasan bisa mencapai Rp 5.000 - Rp 12.500, ungkapnya saat ditemui di pameran UMKM Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta, Jumat (8/6/2012). Dari tangannya, 15 jenis makanan tercipta dari hasil olahan buah berdaging merah berbiji namun berkulit hijau tersebut, seperti sirup, jus, selai, sambal pasta petis, manisan, dodol, wingko, dan masih banyak lagi. Dari belasan makanan bercita rasa jambu biji getas merah tersebut, Rubiah mengatakan, sirup, selai, dan sambal pasta petis lah merupakan produk paling laku di pasaran. Sirup dijual dengan harga Rp 12.000 per lemasan, Sambal pasta Rp 5.000, dan selai Rp 12.500. Unik mas, makanya saya tertarik untuk membelinya, karena tidak ada di sini (Jakarta), paling yang ada cuma buah dan jusnya saja, ujar salah seorang pembeli kepada Kompas.com, saat mengunjungi stan pameran produk Rabiah. Walaupun usahanya berskala home industy, per harinya Rubiah mengakui, mampu menjual produknya hingga 50 kemasan atau sekitar Rp 500.000. Saya tidak tahu pastinya dapat berapa, mungkin bersihnnya sekitar Rp 5 juta per bulan, ujar Rabiah yang kini mampu menyekolahkan anak sulungnya hingga ke jenjang sarjana. 6 Ekspansi pasar yang dilakukan Rubiah pun, hanya sebatas toko oleh-oleh dan acara- acara pernikahan. Pernah juga, beberapa kali mengirim produk pesanan ke daerah Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta. Selain itu, bila pertaniannya masuk masa panen raya, maka untuk mengakali kelebihan produksi buah, Rubiah menjualnya ke dalam dua jenis. Satunya dijual dalam bentul produk makanan hasil olahan buah dan satunya lagi dijual utuh dalam bentuk buah. Hasil belajar Sebelumnya, keuangan keluarga Rubiah bergantung penuh pada suami. Bertani pun ia lakukan untuk membantu perekonomian keluarga. Saya juga tidak ingin menjadi ibu- ibu rumah tangga lainnya mas, menganggur di rumah, tidak bisa berbuat apa-apa, ungkapnya Berbekal pengetahuan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kendal dan beberapa lembaga pemerhati agrobisnis, cara pengolahan hortikultura pun ia peroleh. Pada 2008, ia pun mulai merintis usaha produk makanan buah olahan. Jambu biji getas merah pun Ia peroleh dari hasil tani dan lahannya sendiri. Beruntung, Ia juga mendapat hibah peralatan produksi dari pemkab Kendal. Bila Rubiah untung besar, ia pun tidak diwajibkan mengembalikan modal yang diberikan pemerintah. Sekalipun produk usaha rumah tangga, Rubiah juga ingin produknya diminati konsumen dan dapat bersaing dalam hal kualitas. Ia pun menjalin kerja sama dengan Agri Care Comunty (ACC) untuk urusan standarisasi baku produknya. Hanya saja, pemasarannya masih di daerah, belum nasional, apalagi internasional. Hanya saja, produk kita belum mendapatkan pengakuan HAKI (Hak Cipta Kekayaan Intelektual) untuk masuk ke pasar yang lebih luas, kata Ibu dari Dewi dan Andika ini. 7 Kendala modal Untuk mengembangkan produknya lebih lanjut, Rubiah masih terkendala permodalan. Pihak pemkab hanya bisa memberi bantuan peralatan produksi saja. Jadi untuk modal pengembangan usaha, Rubiah disarankan untuk meminjamnya ke bank. Hal ini diakui Kasi Fasilitas dan Kemitraan UMKM Pemkab Kendal Siti Nurul yang turut mendampingi Rubiah jaga stan di pameran UMKM itu. Menurutnya, sesuai aturan dari pemerintah pusat, pemkab sudah tidak boleh lagi mendanai Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dari dana APBD. Asalkan ada proposal jelas, kita bantu dalam bentuk peralatan produksi, kalau kurang modal, paling harus lewat perbankan, ujar Nurul. Empat tahun pun sudah Rubiah menekuni UMKM produk olahan dari jambu biji getas merah. Skala penjualannya kecil dan masih produk rumahan. Ada harapan besar dari Rubiah, yakni hasil olahannya dapat masuk ke pasar modern. Ia juga tidak ingin mengulang nasibnya yang sama. Bergantung pada pengepul karena tidak memiliki toko pemasaran pribadinya saat menjadi petani buah dulu. Maklum mas, skala kecil, saya tidak punya toko pribadi menjual produk olahan ini, ungkapnya. Potensi besar Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Kendal, buah bernama latin Psidium guajava L ini menjadi salah satu komoditas unggulan kabupaten Kendal. Maklum, dengan luas lahan sekitar 2.000 hektar dan 800.000 pohon jambu yang tersebar di empat kecamatan (Sukorejo, Patean, Plantungan, Pagergunung), kabupaten Kendal mampu memproduksi jambu tersebut sebanyak 64 ton per bulannya. Hanya saja, seperti yang dituturkan Rubiah sebelumnya, kelebihan produksi buah, justru malah menurunkan harga jual itu sendiri. Belum lagi, banyak buah membusuk, bila penwaran terhadap buah berkurang dan lama tersimpan di lumbung. Maka, mengakali harga yang rendah, yakni dengan menjual produk makanan hasil olahan buah. 8 Adapun khasiat yang tersimpan pada kandungan nutrisi buah tersebut, di antaranya kaya Vitamin C dan A. menaikan sel darah putuh saat terserang demam berdarah, mencegah kanker karena mengandung antioksidan Likopen, berguna untuk penderita hipertensi penyakit jantung, dan masih banyak lagi khasiatnya. Dennis Voboril dalam bukunya berjudul Market Development Report Indonesia Beverage Industry mengemukakan, produksi olahan sari buah umumnya dijumpai di pasar modern. Sangat jarang produk seperti ini dijumpai di pasar-pasar tradisional karena mayoritas konsumen utamanya adalah masyarakat kelas menengah. Masih menurut penelitian Voboril, masyarakat Indonesia umumnya mengonsumsi buah dalam bentuk segar. Hal yang berbeda bila dibandingkan di negara maju seperti Amerika Serikat. Masyarakatnya lebih suka mengonsumsi -buah yang telah diolah menjadi sari buah atau jus. 9 Artikel III Dari Hobi Jadi Pengusaha Produk Kulit Buaya Beromzet Ratusan Juta http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/08/14/09530268/Dari.Hobi.Jadi.Pengusa ha.Produk.Kulit.Buaya.Beromzet.Ratusan.Juta. JAKARTA, KOMPAS.com Tidak sedikit orang menjadikan produk kulit buaya sebagai barang hobi atau kesenangan belaka. Namanya hobi, sekalipun mahal, tetap mereka beli. Akan tetapi, tidak banyak yang lebih memilih menghasilkan sendiri untuk dijual ketimbang sekadar membeli atau menjual kembali barang yang dibelinya ke sesama pehobi. Pardianto adalah salah satu di antaranya. Pria ini mulai menyukai berbagai produk dari kulit, seperti sepatu, ikat pinggang, dan dompet, sejak 1991. Berselang delapan tahun kemudian sebagai pehobi, ia memutuskan terjun sebagai pengusaha kerajinan kulit buaya itu. "Lambat laun, ada niat dari saya untuk belajar bagaimana membuatnya dari perajin lain dan akhirnya kita bisa menghasilkan sendiri. Daripada hanya jadi penikmat saja yang hanya menghabiskan uang," ujarnya kepada Kompas.com ditemui di ajang pameran fashion dan kerajinan tangan di JCC Senayan, Jakarta, akhir pekan lalu. Kini, melalui usaha kerajinan kulit buaya asli dari Provinsi Papua tersebut, ia mengaku mampu menghasilkan pendapatan kotor Rp 100 juta dalam sebulan. Itu pun masih bentuk industri rumahan dengan bantuan alat manual non-mesin modern atau handmadedan tidak bermerek jual. Pegawainya pun hanya berjumlah lima orang. Pardianto mengatakan, populasi buaya di Papua terbilang banyak. Ini membuat keberadaannya cukup membahayakan bagi masyarakat, terutama anak-anak di sekitar rawa, sungai, dan pantai. Menurutnya, hewan ini pun akhirnya menjadi salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat sekitarnya. Warga memanfaatkan buaya mulai dari kulit, daging, gigi, telur, hingga empedunya. Selain hasil penangkapan, ada juga yang ditangkarkan di suatu tempat hingga menghasilkan keturunan. 10 "Kita di Papua sudah memiliki izin dari pemda untuk membudidayakan buaya. Kita juga bermitra dengan konservasi sumber daya alam di sana. Mungkin kalau di wilayah Indonesia barat, membunuh buaya hal yang legal, tapi di Papua tidak demikian," ungkapnya. Kulit buaya yang didapat Pardianto berasal dari masyarakat sekitar. Ia hargai kulit Rp 30.000 per inci. Seekor buaya ukuran besar bisa mencapai 20 inci kulit dan dalam 1-3 hari bisa mendapat pasokan sekitar 200 inci. Kulit mentah itu berbentuk kasar, bersisik hitam, dan masih banyak daging yang menempel. Melalui industrinya, kulit tersebut disamak atau dihaluskan dengan cara manual tanpa bantuan mesin modern. Ketika dirasa sudah halus, maka layak pakai atau sesuai standar dijadikan sebagai bahan dasar kain. Dalam sebulan, rumah produksinya mampu memproduksi sekitar 500 dompet, 25 tas wanita, dan 150 ikat pinggang. Sebagian besar wilayah pemasarannya masih sebatas di Papua saja, seperti Timika, Sorong, dan Merauke. Kendati demikian, ia mengaku penjualannya tidak pernah merugi. "60 persen dari total produksi sebulan bisa habis terjual. Kebanyakan pembeli dari kalangan pejabat, pengusaha yang berkunjung ke Papua, dan juga satgas yang bertugas di wilayah perbatasan," ujarnya. Wilayah Jakarta dan sekitarnya hanya dijadikan tempat pameran. Akan tetapi, ia juga menyadari pasar di Jawa sangat potensial bagi produknya. Maka dari itu, ia juga mempunyai tempat produksi sekaligus showroom di daerah pasar wisata Sidoarjo, Jawa Timur, dengan pasokan kulitnya tetap dari Papua. Harga lebih murah Produk Pardianto pun direspons cukup baik oleh konsumen, harga yang ditawarkan terbilang murah dibanding produk serupa di tempat lain. "Bila saya ke suatu toko di Plaza Senayan, sepasang sepatu dengan merek terkenal Hermes atau Louis Vuitton seperti ini bisa mencapai Rp 40 juta, dompet dan ikat pinggang Rp 15 juta, dan tas wanita bisa mencapai Rp 400 juta," ungkap salah seorang pembeli saat mengunjungi stan pameran Purdianto. Hanya saja, ia mengaku, penyamakan kulit buaya dari kerajinan Pardianto memang tidak sehalus dengan buatan brand-brandternama itu yang menggunakan mesin 11 modern ratusan juta rupiah. Menurutnya, bila Purdianto mau bermodal mesin tersebut dan memakai merek, maka harga jual sekarang bisa 2-5 kali lipat. Sementara produk Pardianto dibanderol mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah, seperti dompet dan ikat pinggang kisaran Rp 300.000, sepatu Rp 1,8 juta-Rp 2 juta, dan tas wanita Rp 2 juta-Rp 2,5 juta. Dari ketiga barang tersebut, Pardianto mengakui, tas wanita dan dompetlah yang paling laku di pasaran. "Harga fashion kulit buaya ini umumnya diketahui oleh masyarakat kalangan menengah atas. Kalau ada tamu ke rumah lalu saya bilang harganya Rp 5 juta dan itu asli, pasti bakal langsung dibayar," ungkapnya tertawa lepas sembari menunjukkan dompet kulit pribadinya berumur lebih dari enam tahun merupakan hasil produksi sendiri. Ia mengungkapkan, butuh permodalan yang cukup besar bila ingin menerapkan mesin produksi modern. Padahal, tawaran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari berbagai bank daerah berdatangan. Namun, hingga saat ini ia masih belum berani mencobanya. Selain permodalan, juga butuh perizinan, sumber daya manusia lebih banyak dan sebagainya. "Saya bersyukur dengan usaha yang sekarang ini bisa punya rumah, tanah, dan kendaraan pribadi. Selama 14 tahun, usaha ini pun juga tidak pernah merugi," tutur pemilik CV Argo Boyo Timika ini. 12 Artikel IV Retno, Inovasi Es Krim Jamu http://bisniskeuangan.kompas.com/read/komentar/2012/09/10/10105378/Retno.Inovasi. Es.Krim.Jamu KOMPAS.com - Namanya es krim jamu. Kata terakhir yang disebutkan itu, seringkali malah menjadi alat orang tua menakuti anak kecil bandel yang susah diatur. Ada kesan yang tertanam jamu itu menakutkan hingga s ikecil tumbuh dewasa. Hal ini yang mendasari Retno Widati berupaya melestarikan jamu agar tidak punah dimakan zaman yang modern. Ia hanya tidak ingin konsumen jamu punah hanya karena berganti generasi. Percuma ada banyak perajin dan penjual jamu sementara penikmatnya tidak ada. Ia sendiri sudah menjadi penikmat jamu sejak kecil. Penikmat yang berupaya melestarikan jamu dengan belajar membuatnya lalu berinovasi. Ide ini mucul ketika dirinya kedapatan melihat seorang ibu penjual jamu gendong di pasar. Hingga pukul 12.00 siang, barang dagangnya masih banyak yang tersisia. Ia pun tertarik sekedar mengobrol dengan penjual tersebut. Dari hasil pembicaraannya, diketahui suami penjual jamu gendong tersebut adalah perajin es dungdung. Kemudian saya berpikir kenapa tidak dibuat saja dari jamu menjadi es krim. Kan jadi inovasi baru, ungkap Retno. Sempat terlintas di pikirannya, ini peluang bisnis yang cukup menarik. Apalagi dengan sekali proses pembuatan selama 15-20 menit, dapat menghasilkan minimal 50 cup es krim jamu. Satu cup es krim jamu bila dilempar ke pasar, Ia taksir harganya hampir sama dengan yang dijual di salah satu toko es krim biasa yang cukup tenar di Jalan Veteran, Jakarta. 13 Untuk harga sendiri, saya pikir harganya bisa sejajar dengan es krim Ragusa. Satu cup itu bisa mencapai Rp 13.000. kata Retno kepada Kompas.com ditemui di tempat praktik terapinya di Jalan Kayu Manis Timur 8, Matraman, Jakarta. Akan tapi, Ia menyadari, usaha terapi tradisional yang dijalaninya saat ini sudah cukup menyita waktu di hari tuanya. Apalagi, Retno berprinsip, hanya akan mau berbisnis yang 90 persennya bisa dilakukan seorang diri. Sementara membuat es krim tersebut butuh tenaga manusia yang lebih banyak. Ia pun hanya ingin masyarakat dapat mempertimbangkanpentingnya kesadaran back to natural. Hidup sehat kembali ke alam di samping mengonsumsi camilan berbahan tambahan kimia, baik dalam keadaan sehat maupun sakit. "Kalau ada yang mau mematenkan es krim jamu, Kami tidak menyalahkan. Justru malah merestui, sekalipun tidak kenal. Mau bikin workshop soal jamu es krim ini yah silahkan. Workshop di sekolah-sekolah internasional juga ada duitnya loh," ungkap pemilik hak paten beberapa obat herbal merek Jamu Honocoro dan menjadi rekanan salah satu perusahaan Jamu Jago ini. Sekalipun ini inovasi yang keluar dari idenya, Ia pun tidak mau mengklaim bahwa jamu yang dijadikan es krim merupakan penemuannya. Mungkin saja, di daerah telah lebih dahulu menemukannya, namun tidak terekspos media. Belajar gratis Ia menegaskan, es krim jamu ini hanyalah bersifat hobi semata, yakni penikmat, pecinta, dan pelestari yang ketiganya itu tanpa adanya motif bisnis. Dengan senang hati, Retno bantu secara ikhlas, bila ada masyarakat yang ingin belajar cara membuat es krim jamu. Sekalipun ada yang bermotif bisnis, namun tetap dibimbing caranya meracik rerempahan alamiah itu menjadi menjadi es krim jamu yang ngepop. "Tidak dipungut biaya. Tinggal datang saja ke tempat terapi. Nanti saya ajari bagaimana mengolahnya. Saya senang kalau ada orang yang mau belajar caranya melestarikan jamu. Yang penting datang saja dulu," kata Retno. 14 Retno menjelaskan, sebenarnya cara membuat es krim jamu tidak terlalu sulit. Yang rumit dan malah berbahaya dikonsumsi, justru meracik rempah-rempah menjadi ramuan jamu. Tapi, masyarakat tak perlu takut mencobanya. Mereka bisa bekerja sama dengan tukang jamu gendong yang telah piawai sebagai penyuplai ramuan jamu. Caranya, ramuan jamu dicampur dengan tepung tapioka dan tepung hunkwe. Lalu pemanisnya bisa menggunakan madu, gula aren, gula jawa maupun gula tropicana. Dan terpenting ditambahkan kayu legi, sejenis kayu manis yang ampuh menetralkan pahitnya jamu. Untuk pewarna sendiri, Retno tidak menyarankan pakai pewarna buatan maupun alami. Lebih baik menerima warna natural dari jamu itu sendiri, misalnya cokelat, putih abu-abu, dan kuning. Ini akan mencirikan warna keaslian dari jamunya sendiri. Setelah bahan jadi satu, kemudian dimasukan ke dalam termos kecil khusus bikin es krim yang berbahan dasar aluminium. Tukang es krim potong menyebutnya Termos Bos yang biasa dijual dengan harga Rp 100.000-an ukuran kecil atau cukup untuk 50 cup ukuran standar es krim jamu. Lalu, termos kecil yang telah terisi dimasukan ke dalam termos bos besar. Bila tidak ada, bisa gunakan ember plastik yang harganya jauh lebih murah. Bos kecilnya itu dimasukan ke dalam bos besar. Baru lah bos besar diisi es batu dan garam kasar (Penggunaan garam agar tidak mudah mencair saat diputar). Lalu diputar-putar sekitar 15-20 menit-an hingga membeku. Walaupun membeku tapi empuk, jelas Retno. Berdasarkan nasihat dari apoteker rekanannya, Retno menjelaskan es krim jamu yang disimpan di dalam frezzer kulkas, ada baiknya tidak lebih dari 24 jam. Lewat dari itu, dikhawatirkan akan mengurang khasiat dari jamu sendiri. Maklum, es krim tersebut memang tidak pakai bahan pengawet. Ia menjamin, khasiat memakan dinginnya es krim jamu ini seperti halnya meminum hangatnya jamu tradisional yang biasa ditemui di jalan. "Untuk mencoba inovasi usaha es krim jamu ini dengan kemampuan industri rumahan minimal 50 cup itu, Saya pikir dananya minimal Rp 300.000-an. Itu sudah termasuk 15 untuk termos bos kecil, ember plastik, batu es, garam, dan yang terpenting ramuan jamunya," ungkap Retno. 16