Anda di halaman 1dari 2

Apakah perdebatan ‘sekadar’ adu argumentasi didepan umum?

Suatu ketika Intelektual Islam asal Andalusia Ibnu Hazm (994 -


1064) berdebat dengan seseorang tentang suatu masalah. Adu
argumentasi terjadi. Hasilnya, forum mengklaim argumentasi
paling kuat diutarakan oleh pria bernama lengkap Abu
Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm.Tradisi berdebat
intelektual di era Islam sudah biasa terjadi. Baytul Hikmah (830) di
Baghdad, tempat penerjemahan dan sumber ilmu pengetahuan dari
berbagai peradaban, menjadi saksi bisu terjadinya adu argumentasi
banyak ilmuwan (Safia Aoude).

Ketika itu ilmu logika (Mantiq) berkembang dengan pesat. Adu


argumentasi selalu mengedepankan etika saling menghormati,
bukan menjatuhkan muruah orang lain. Pemerintahan Islam ketika
itu kerap mengadakan perdebatan antara dua pihak yang berbeda
pendapat untuk menemukan argumentasi siapa yang paling
mendekati kebenaran. Isu yang diangkat biasanya seputar fikih dan
teologi.

Namun apakah perdebatan sekadar adu argumentasi di depan


umum? Apakah hanya untuk memamerkan keunggulan data dan
analisis? Ternyata tidak. Sesampainya di rumah, Ibnu Hazm teringat
sesuatu yang cukup mengganggu pikiran terkait dengan perdebatan
tadi. Dia kemudian membuka referensi untuk memverifikasi
argumentasi (hujjah) yang diutarakannya, apakah benar atau
tidak.

Ternyata, hujjah Ibnu Hazm tidak tepat. Seharusnya dia kalah dalam
perdebatan tadi. Permasalahan itu dia utarakan kepada sahabatnya.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya si sahabat. “Membawa kitab ini dan
menerangkannya kepada si Fulan yang tadi berdebat dengan saya”,
ujar Ibnu Hazm.
Sang alim ingin menunjukkan, bahwa argumentasinya tidak tepat.
Hujjah lawan debatnya adalah yang benar.”Saya mendukung
pendapatnya,” kata Ibnu Hazm. Sahabat yang menemaninya bingung.
"Apakah kamu berlapang dada dengan masalah ini? tanya dia. "Ya,
saya tak akan menangguhkannya sampai besok,"kata Ibnu Hazm.

Percakapan itu tertulis dalam kitab yang ditulisnya at-Taqrib Lihaddil


Mantiq. Debat bukan didasarkan pada kekuatan massa yang bisa
dipengaruhi seseorang. Bukan pula pada harta dan kekuasaan
yang dipegang. Dasarnya adalah argumentasi yang dibangun
berdasarkan data dan fakta.

Tujuan perdebatan adalah untuk mencari kebenaran dengan


menghilangkan sikap fanatik pada pandangan tertentu. Debat
harus didukung dalil yang menguatkan. Seandainya seseorang
menunjukkan argumentasi yang lemah, apalagi kosong, maka dia tak
akan mampu membangun kebenaran. Orang seperti itu, kata Ibnu
Hazm, tidak akan mampu memerangi kebatilan, bahkan bisa jadi
keyakinannya menjadi tidak sah.

َ ‫سنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم بِالَّتِي ه‬


َ ْ‫ِي أَح‬
‫س ُن‬ َ ‫ظ ِة ْال َح‬
َ ‫سبِي ِل َربِِّكَ بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْو ِع‬
َ ‫ع ِإ َلى‬
ُ ‫ا ْد‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS an-Nahl [16]: 125)

Anda mungkin juga menyukai