Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

BAB VII : MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN

Disusun Oleh Kelompok VI: 1. 2. Fuad Yanuar 3. Adi Erivan 4. Rizki Ornelasari 5. Ainurizal Hilmi Kelas B (115524085) (115524095) (115524209) (115524233)

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2012 BAB VII Manusia, Keragaman dan Kesetaraan


A. Pendahuluan Ada tiga istilah yang digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri dari agama, ras, dan budaya, yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multicultural (multicultural). Acapkali ketiga konsep ini dipakai secara bergantian dengan makna yang sama, padahal ketiga ekspresi tersebut sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ketidaktunggalan (Siswarini dan Kasijanto, 2003). Konsep pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu (many), keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan. Dibandingkan dengan konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatife baru. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman dan multicultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa maupun agama. Apabila pluralitas sekedar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respon kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Menurut Suparlan, seperti dikutip oleh Siswarini dan Kasijanto (2003), multikulturalisme adalah sebuah ideology yang mengakui dan mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan-perbedaan individual atau orang perorang dan perbedaan budaya. Perbedaan budaya mendorong upaya terwujudnya keanekaragaman atau pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat yang mempunyai keanekaragaman kebudayaan, yaitu yang saling memahami dan menghormati kebudayaan kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai kelompok minoritas. Dalam pengertian multikulturalisme, sebuah masyarakat bangsa dilihat sebagai memiliki sebuah kebudayaan yang utama dan berlaku umum (mainstream) di dalam kehidupan masyarakat bangsa tersebut. Kebudayaan bangsa ini merupakan sebuah mozaik, dan yang di dalam mozaik tersebut terdapat beranekaragam corak budaya yang merupakan ekspresi dari berbagai kebudayaan yang ada dalam masyarakat bangsa tersebut. Dalam model multikulturalisme penekanannya pada kesederajatan ungkapan-ungkapan budaya yang berbeda-beda, pada pengkayaan budaya melalui pengadopsian unsur-unsur budaya yang dianggap paling cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidupannya tanpa ada hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut, karena adanya batas-batas

suku bangsa yang primordial. Dalam masyarakat multibudaya atau multikultural, setiap orang adalah multikulturalis, kata Nathan Glazer (seperti dikutip oleh Siswarini dan Kasijanto, 2003), karena setiap orang mempunyai kebudayaan yang bukan hanya berasal dari kebudayaan asal atau suku bangsa tetapi juga mempunyai kebudayaan yang berisikan kebudayaan-kebudayaan dari suku bangsa atau bangsa lain. Adalah Samuel P. Huntington (seperti dikutip oleh Siswarini dan Kasijanto, 2003) yang meramalkan bahwa konflik antar perbedaan di masa depan tidak lagi disebabkan oleh fakto-faktor ekonomi, politik, dan ideologi tetapi justru dipicu oleh masalah-masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan dengan runtuhnya politik negara-negara Eropa Timur. Peristiwa runtuhnya ideologi komunisme di Eropa Timur menjadi salah satu bukti historis. Yang menggantikan komunisme di negara-negara kawasan itu bukan demokrasi liberal, melainkan sebaliknya merupakan kelahiran kembali fraksionalisme dan konflik berdasarkan persaingan etnis, agama, dan budaya yang sudah berabad-abad lamanya. Huntington mengemukakan enam alasan mengapa dimasa mendatang akan terjadi benturan antara perbedaan yaitu: (1) perbedaan antara peradaban yang tidak hanya riil, tetapi juga mendasar; (2) dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antar ornag yang berbeda peradaban semakin meningkat; (3) proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, disamping memperlemah negara-negara sebagai sumber identitas mereka; (4) tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda barat. Di satu sisi Barat berada dipuncak kekuatan, dilain sisi dan ini mungkin akibat posisi Barat tersebut, kembalinya ke fenomena asal, sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban non-Barat; (5) karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi; dan (6) regionalisme ekonomi semakin meningkat (Siswarini dan Kasijanto, 2003) Asumsi tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan pengamat dan pakar politik, ekonomi, maupun budaya. Seorang ahli lain misalnya menolak spekulasi Huntington tersebut dan menyatakan bahwa dengan berakhirnya perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke dalam entitas tertinggi yaitu pengelompokan peradaban, tetapi justru perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis justru disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama (Siswarini dan Kasijanto, 2003) B. Pluralitas Masyarakat Indonesia Dalam skala lokal, Indonesia yang merupakan bagian dari dunia global menghadapi gejala pluralitas etnis, agama, dan budaya. Indonesia sebagai negara bangsa mempunyai karakteristik yang unik (Sunyoto Usman, 1992), yaitu merupakan negara yang pluralistik dilihat baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya

polarisasi social berdasarkan kekuatan ekonomi dan politik. Kontras demikian akan menempatkan dua kelompok masyarakat seolah-olah dalam posisi saling berhadap-hadapan secara antagonistik. Struktur masyarakat terpolarisasi menjadi sebagian besar orang yang secara ekonomi dan politik lemah yang menempati lapisan bawah dan sebagian kecil orang yang secara ekonomi dan politik kuat yang menempati lapisan atas. Dibidang ekonomi, misalnya kita dapat menyaksikan dua macam ekonomi yang berkembang dimasyarakat, yaitu sektor ekonomi modern yang secara komersial lebih bersifat canggih (sophisticated), banyak bersentuhan dengan lalu lintas perdagangan internasional, dan profit oriented, dan sektor ekonomi tradisional yang bersifat konservatif, berorientasi untuk motif-motif memelihara keamanan dan kelanggengan sistem yang sudah ada, tidak profit oriented, serta kurang mampu mengusahakan pertumbuhan. Perbedaan antara kedua sektor ekonomi tersebut secara integral berakar didalam keseluruhan struktur masyarakat Indonesia yang mengandung perbedaan yang tajam antara struktur masyarakat kota yang bersifat modern, dengan struktur masyarakat desa yang tradisional. Dalam kehidupan seharihari kita dapat menyaksikan adanya jurang pemisah antara sejumlah besar orang yang miskin dengan sejumlah kecil orang yang kaya raya, antara sejumlah besar orang yang kurang berpendidikan dengan sejumlah kecil orang yang berpendidikan, antara sejumlah besar orang yang hidup didesa dengan sejumlah kecil orang yang hidup dikota, antara sejumlah besar orang yang masih tradisional dengan sejumlah kecil orang yang modern. Didalam kehidupan politik kita juga dapat menyaksikan adanya polarisasi yang seolah-olah membelah masyarakat Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu antara kelompok elit dan kelompok massa. Struktur masyarakat demikian juga ditandai oleh adanya gap yaitu sejumlah kecil orang yang memegang kekuasaan dengan sejumlah besar orang yang tidak memiliki kekuasaan. Secara horizontal, pluralitas masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat, dan kedaerahan. Perbedaan perbedaan dibidang kehidupan masyarakat tersebut yang menandai masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk. Pada pascakemerdekaan pengertian masyarakat majemuk menurut Furnivall haruslah direvisi, karena terdapat perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat Indonesia. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan. Secara geografis wilayah Indonesia terbentang dari sabang sampai merauke. Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri dari sekitar delapanbelas ribu pulau, yang hampir sebagian besar dihuni oleh penduduk. Secara historis, kondisi geografis yang demikian memaksa penduduk dimasing-masing pulau untuk hidup terpisah dan masing-masing membentuk komunitas. Komunitas inilah yang membentuk kesatuan yang disebut dengan sukubangsa. Tiap kesatuan sukubangsa terdiri dari sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional serta memandang diri mereka maing-masing sebagai suatu jenis tersendiri. Masing-masing suku bangsa mengembangkan kepercayaan, adat istiadat dan bahasanya sendiri. Kenyataan geografis demikian melahirkan pluralitas dibidang suku bangsa. Sementara itu, menurut Suparlan (2001) arti lambang Bhineka Tunggal Ika atau berbeda-beda satu juga, mencerminkan kenyataan aktual dari masyarakat Indonesia. Indonesia terdiri atas 500 sukubangsa, yang masing-

masing mempunyai jati diri sukubangsa dan kebudayaan dan meng-haki wilayah tempat hidup mereka. Anggota-anggota dari setiap masyarakat sukubangsa hidup dalam komunitas-komunitas yang pada dasarnya homogen dengan masing-masing jati diri suku bangsa dan jatidiri budayanya didalam batas-batas wilayah sendiri. Letak Indonesia yang strategis, yang berada diantara dua samudera, yaitu samudera Indonesia dan samudera pasifik menjadi faktor yang mempengaruhi pluralitas agama di masyarakat Indonesia. Letak yang strategis tersebut menjadikan masyarakat Indonesia telah menjalin kontak dengan pengaruh kebudayaan luar, yang dibawa oleh para pedagang asing. Sementara itu pengaruh kebudayaan Barat mulai masuk ke Indonesia melalui kedatangan bangsa Portugis pada permulaan abad ke-16. Bangsa Portugis dalam kedatangannya membawa serta agama Katolik, yang memperoleh tempat berpijak di daerah-daerah seperti Maluku. C. Beberapa Kasus Konflik di Indonesia Kebhinekaan demikian bagi bangsa Indonesia dapat menjadi kekayaan dan kebanggaan bila dapat dikelola dengan baik, dan sebaliknya dapat menjadi potensi konflik bila tidak dikelola dengan baik. Menjelang peralihan abad ke20 ke abad ke-21 bangsa Indonesia dihadapkan pada serangkaian peristiwa konflik yang terjadi diberbagai daerah seperti Jawa, Maluku, Poso, Mataram, Kupang, Papua, D.I Aceh, dan daerah lainnya. Konflik dan kerusuhan yang telah memakan korban ribuan jiwa, ribuan tempat tinggal, dan ratusan tempat ibadah tersebut telah meninggalkan luka phisik dan psikis yang amat dalam dikalangan mereka yang langsung maupun tidak langsung terlibat dalam berbagai konflik tersebut. Berikut ini akan diuraikan pola-pola konflik yang dapat dikategorikan sebagai konflik yang bernuansa SARA. Sejak runtuhnya pemerintahan Soeharto beberapa daerah di Indonesia, seperti Kupang NTT, Mataram NTB, dan Sambas Kalimantan Barat dilanda konflik yang bernuansa SARA. MATRIK PERBANDINGAN ANATOMI KONFLIK SAMBAS, KUPANG, DAN MATARAM (AKAR MASALAH, AKSELERATOR, DAN PEMICUNYA)
KUPANG (NUSA TENGGARA TIMUR) MATARAM (NUSA TENGGARA BARAT) SAMBAS (KALIMANTAN BARAT)

KATEGORI

Sumber Masalah

Revalitas sumber ekonomi antara pendatang dan penduduk asli. Pengangguran penduduk asli yang tinggi. Kemiskinan

Provokasi para provokator dari luar dan dari NTB pada Aksi Solidaritas untuk kasus Ambon. Konflik elit pusat yang

Konflik cultural antara etnik Madura dan etnik Dayak yang sudah berlangsung lama. Akumulasi tindakan kekerasan 5

penduduk asli hampir 60%. Ketimpangan modal antara pendudduk asli dengan pendatang. Kecemburuan sosial penduduk asli terhadap pendatang.

Akselerator

Pertarungan etnik dan agama dalam sejarah sosial NTT. Politisasi dan persaingan agama dalam birokrasi dan kekuasaan. Masalah keamanan, kriminalitas dan perkelahian pemuda (premanisme). Segregasi sosial solidaritas mekanik (lebih ke etniknya). Masalah pengungsi yang tidak segera diatasi, memicu konflik dengan penduduk asli. Tidak siapnya aparat keamanan mengantisipasi keadaan pra dan pada kerusuhan. Kondisi hubungan antar SARA yang rapuh di Indonesia menyebabkan longgarnya hubungan sosial

berimbas ke daerah. Fanatisme kehidupan keagamaan disatu sisi, disisi lain ada gejala agama lain melakukan agresivitas penyebaran agama. Berlarutlarutnya konflik Ambon. Penarikan Pamswakarsa (Pasukan Amphibi) dari rencana awal untuk mengamankan acara Tabliq Akbar di Mataram. Kesenjangan sosial ekonomi khususnya antara pendatang dan penduduk asli. Pemberitaan media massa yang tidak imbang dan cenderung provokatif. Perubahan kebijakan ditubuh TNI-Polri mengakibatkan saling lempar tanggung jawab terhadap keamanan di Mataram. Kurangnya koordinasi antara TNI dan Polri dalam mengahadapi ancaman kerusuhan massa. Tersumbatnya jalur komunikasi antara masyarakat

antar etnik Madura dengan Melayu dan Dayak. Hubungan antar-etnik lebih berwujud rivalitas dan konflik.

Berkurangnya daya dukung lingkungan bagi masyarakat asli (Dayak) seperti tanah yang tercemar, penebangan hutan (HPH) yang merugikan masyarakat lokal, krisis ekonomi, kemiskinan, dan lainnya. Pergeseran sumber-sumber ekonomi vital Sambas kepada pendatang (terutama penduduk yang beragama islam). Segregasi pemukiman antara penduduk asli dan pendatang yang melebar. Terganggunya interaksi antaretnik. Interaksi lebih berciri kedalam, bukan keluar dan prasangka (kecurigaan) lebih tinggi

ditingkat nasional dan lokal.

dan pemimpin (baik formal maupun informal). Pola pemukiman yang cenderung atas dasar pengelompokan etnis, ras, dan golongan, khususnya antara warga Hindu-Bali dan muslim Sasak, berkaitan dengan akar sejarah yang rivalitas keagamaan yang panjang.

Pemicu atau Penyulut

Acara perkabungan yang berubah menjadi anarki massa dan kerusuhan. Isu-isu pembakaran gereja dan masjid (provokator) Kerusuhan Ketapan yang menyebar ke Kupang dengan isu-isu yang menyesatkan.

Munculnya seorang penceramah berinisial IS yang membuat suasana Tabliq Akbar menjadi panas dan gaduh, karena isi ceramahnya cenderung memprovokasi. Tidak dimuatnya surat balasan pihak gereja atas surat ancaman terhadap nasrani yang tidak mendukung acara Tabliq Akbar.

dibandingkan dengan harmonisasi. Ketidaktegasa n aparat keamanan (polisi) terhadap premanisme, tindak kekerasan, dan pembunuhan yang dilakukan oleh oknum beretnis Madura. Lambannya aparat keamanan dan birokrasi dalam menangani konflik antar-etnik. Ketidakpastian penegakan hukum atau hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Politisasi etnik dalam perebutan kekuasaan dan birokrasi lokal. Tindak kekerasan: penganiayaan dan pembunuhan etnik Madura terhadap etnik Melayu dan Dayak. Peranan media massa dalam pemberitaan kerusuhan yang cenderung provokatif, tidak imbang yang memicu spirit atas konflik lebih lanjut. Penyebaran isu melalui telepon genggam atas perkembangan situasi konflik dan

berita-berita yang menyesatkan. Pengiriman bagian tubuh yang dimutilasi. Penjelasan yang agak berbeda dalam melihat akar masalah konflik yang terjadi dibeberapa daerah dibelikan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra (2001). Dikatakan pluralitas etnik, agama, dan budaya tidak selalu menimbulkan konflik, malah sebaliknya seringkali justru dapat memperkuat integrasi, karena perbedaan-perbedaan yang ada walaupun saling berlawanan namun juga saling mengisi. Karena itu, Heddy berpandangan bahwa pandangan yang menyatakan SARA merupakan faktor penyebab konflik harus ditinjau kembali. Heddy mengajukan teoti alternative untuk mngajukan berbagai konflik dan kerusuhan massal, yaitu teori Kondisi Sosial dan teori Rumput Kering. Teori ini dibangun atas sejumlah asumsi atau anggapan dasar. Pertama, bahwa berbagai macam peristiwa atau gejala sosial budaya termasuk didalamnya konflik dan kekerasan massal. Pada dasarnya tidak lahir dari sebuah kekosongan sosial budaya, tetapi dari kondisi-kondisi tertentu yang ada dalam masyarakat. Kedua, kondisi-kondisi dalam suatu masyarakat merupakan hasil dari sebuah proses sejarah yang bersifat khusus, yang tidak dialami secara persis oleh masyarakat yang lain. Ketiga, tidak semua kondisi sosial-budaya yang ada memberikan sumbangan yang sama besarnya untuk memunculkan suatu gejala atau peristiwa sosial-budaya tertentu. Ada kondisi yang sangat besar sumbangannya, ada pula kondisi yang relative kecil sumbangan atau pengaruhnya, sehingga kondisikondisi ini dapat dibedakan paling tidak menjadi dua kategori, yaitu: Kondisi-kondisi primer dan kondisi-kondisi sekunder. Keempat, kondisi-kondisi sosial-budaya ini lebih lebih memungkinkan kita memberikan penjelasan yang didasarkan atas fakta empiris, serta melakukan penelitian empiris untuk membuktikan kebenaran penjelaan tersebut, dibandingkan dengan apabila kita menggunakan teori-teori yang lain. Kondisi-kondisi Primer Terdesaknya akses kelompok tertentu ke kekuasaan dan sumber daya. Keterdesakannya terjadi melalui proses yang dianggap tidak adil. Penguasa baru atas akses dan sumber daya adalah pendatang. Para pendatang berbeda suku, Kondisi-kondisi agama, dan ras. Sekunder Etnosentrisme masyarakat Rasa keadilan dan aksklusivisme. terpenuhi. setempat tidak Aparat pemerintahan yang tidak peka terhadap kondisi genting masyarakat. Aparat pemerintahan yang memihak / mengutamakan salah satu kelompok. Kesadaran kesatuan bangsa yang masih lemah. Pengetahuan budaya lokal yang sangat kurang.

PERISTIWA KONFLIK / KERUSUHAN MASSAL

Anda mungkin juga menyukai