Anda di halaman 1dari 46

BAB II PEMBAHASAN

A. Jaringan Periodontal Jaringan periodontal adalah jaringan yang mengelilingi gigi dan berfungsi sebagai penyangga gigi, terdiri dari gingiva, epitel penghubung, sementum, ligamen periodontal dan tulang alveolar. Sebelum memahami kerusakan jaringan periodontal, sebaiknya dimulai dengan gingival yang sehat dan tulang pendukung yang normal. Gingiva yang sehat dapat menyesuaikan diri dengan keadaan gigi.

Gingiva Gingiva merupakan bagian mukosa rongga mulut yang mengelilingi gigi dan menutupi linggir (ridge) alveolar. Gingiva sendiri tersusun oleh epitel berkeratin dan jaringan ikat yang berfungsi melindungi jaringan di bawah perlekatan gigi terhadap pengaruh lingkungan rongga mulut (Susanto, 2009). Gingiva yang sehat secara klinis tampak berwarna pink salmon, pada orang kulit hitam (termasuk orang kaukasia) kadang menunjukkan adanya derajat variasi pigmentasi warna coklat pada gingiva (Wolf dkk., 2005). Menurut Santoso (2009), ciri gingiva sehat yaitu berwarna merah muda hingga bervariasi

tergantung pada jumlah pigmen melanin pada epitelium, derajat keratinisasi epithelium dan vaskularisasi serta sifat fibrosa dari jaringan ikat dibawahnya, tepinya seperti pisau dan scallop agar sesuai dengan kontur gigi-geligi. Secara histologis kedalaman sulkus pada gingiva sehat maksimal 0,5 mm dan lebar 0,15 mm. Pada saat dilakukan probing, probe dapat berpenetrasi ke dalam epithel junctional sampai 2 mm (Wolf dkk., 2005).

Warna Gingiva Warna ginggiva normal umumnya merah jambu (coral pink). Hal ini disebabkan oleh adanya pasokan darah, tebal dan derajat lapisan keratin epithelium serta sel-sel pigmen. Warna ini bervariasi untuk setiap orang erat hubungannya dengan pigmentasi kutaneous. Pigmentasi pada ginggiva biasanya terjadi pada individu berkulit gelap. Pigmentasi pada gingiva cekat berkisar dari cokelat sampai hitam. Warna pigmentasi pada mukosa alveolar lebih merah, karena mukosa alveolar tidak mempunyai lapisan keratin dan epitelnya tipis. Besar Gingiva Besar ginggiva ditentukan oleh jumlah elemen seluler, interseluler dan pasokan darah. Perubahan besar ginggiva merupakan gambaran yang paling sering dijumpai pada penyakit periodontal.

Kontur Ginggiva Kontur dan besar ginggiva sangat bervariasi. Keadaan ini dipengaruhi oleh bentuk dan susunan gigi-geligi pada lengkungnya, lokalisasi dan luas area kotak proksimal, dan dimensi embrasure (interdental) gingival oral maupun vestibular. Papilla interdental menutupi bagian interdenterdental sehingga tampak lancip. Konsistensi Gingival melekat erat ke struktur di bawahnya dan tidak mempunyai lapisan submukosa sehingga ginggiva tidak dapat digerakkan dan kenyal. Tekstur Permukaan ginggiva cekat berbintik-bintik seperti kulit jeruk. Bintikbintik ini disebut stipling. Stipling akan terlihat jelas jika permukaan ginggiva dikeringkan. Stipling ini bervariasi dari individu ke individu yang lain dan pada permukaan yang berbeda pada mulut yang sama. Stipling akan lebih jelas terlihat pada permukaan vestibular dibandingkan dengan permukaan oral. Pada permukaan marginal gingival tidak terdapat stipling. B. Penyakit Jaringan Periodontal Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit yang sangat meluas dalam kehidupan masyarakat, sehingga mereka menganggap penyakit ini sebagai sesuatu yang tidak terhindari. Seperti karies gigi, penyakit periodontal juga lambat perkembangannya dan apabila tidak dirawat dapat menyebabkan kehilangan gigi. Namun studi epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit ini dapat dicegah

dengan pembersihan plak dengan sikat gigi teratur serta menyingkirkan karang gigi apabila ada. Menurut Martinez dan Ruiz (2005), penyakit periodontal merupakan penyakit yang terdapat pada gingiva dan struktur pendukung gigi, yaitu ligamen periodontal dan tulang alveolar, sedangkan istilah penyakit gingiva digunakan untuk mendefinisikan adanya gejala dan tanda dari berbagai penyakit yang terletak pada gingiva. Etiologi dan Predisposisi

Faktor penyebab penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor lokal (ekstrinsik) dan faktor sistemik (intrinsik). Faktor lokal merupakan penyebab yang berada pada lingkungan disekitar gigi, sedangkan faktor sistemik dihubungkan dengan metabolisme dan kesehatan umum. Kerusakan tulang dalam penyakit periodontal terutama disebabkan oleh factor lokal yaitu inflamasi gingiva dan trauma dari oklusi atau gabungan keduanya. Kerusakan yang disebabkan oleh inflamasi gingiva mengakibatkan pengurangan ketinggian tulang alveolar sedangkan trauma dari oklusi menyebabkan hilangnya tulang alveolar pada sisi permukaan akar. Faktor Lokal : 1. Plak bakteri 2. Kalkulus 3. Impaksi makanan dan Wisdom Teeth 4. Pernafasan mulut 5. Sifat fisik makanan 6. Iatrogenik Dentistry 7. Trauma dari oklusi 1. Plak Bakteri Oral hygiene yang buruk dapat menyebabkan adanya penumpukan bakteri dan pembentukan plak sehingga dapat menyebabkan resiko terjadinya penyakit periodontal. Bakteri yang menyebabkan penyakit periodontal dapat berkembang biak dalam lingkungan yang asam. Oleh karena itu, konsumsi gula dan makanan yang dapat meningkatkan keasaman dalam rongga mulut dalam jumlah yang berlebih, dapat meningkatkan kadar asam dalam rongga mulut sehingga bakteri berkembang biak sehingga jumlahnya bertambah dan mempermudah terjadinya pembentukan plak. Plak bakteri merupakan suatu massa hasil pertumbuhan mikroba yang melekat erat pada permukaan gigi dan gingiva bila seseorang mengabaikan

kebersihan mulut. Berdasarkan letak huniannya, plak dibagi atas supra gingival yang berada disekitar tepi gingival dan plak sub-gingiva yang berada apikal dari dasar gingival. Bakteri yang terkandung dalam plak di daerah sulkus gingiva mempermudah kerusakan jaringan. Hampir semua penyakit periodontal berhubungan dengan plak bakteri dan telah terbukti bahwa plak bakteri bersifat toksik. Bakteri dapat menyebabkan penyakit periodontal secara tidak langsung dengan jalan : 1. Meniadakan mekanisme pertahanan tubuh. 2. Mengurangi pertahanan jaringan tubuh 3. Menggerakkan proses immuno patologi. Meskipun penumpukan plak bakteri merupakan penyebab utama terjadinya gingivitis, akan tetapi masih banyak faktor lain sebagai penyebabnya yang merupakan multifaktor, meliputi interaksi antara mikroorganisme pada jaringan periodontal dan kapasitas daya tahan tubuh. 2. Kalkulus Kalkulus terdiri dari plak bakteri dan merupakan suatu massa yang mengalami pengapuran, terbentuk pada permukaan gigi secara alamiah. Kalkulus merupakan pendukung penyebab terjadinya gingivitis (dapat dilihat bahwa inflamasi terjadi karena penumpukan sisa makanan yang berlebihan) dan lebih banyak terjadi pada orang dewasa, kalkulus bukan penyebab utama terjadinya penyakit periodontal. Faktor penyebab timbulnya gingivitis adalah plak bakteri yang tidak bermineral, melekat pada permukaan kalkulus, mempengaruhi gingiva secara tidak langsung. 3. Impaksi makanan dan Wisdom Teeth Wisdom teeth, atau yang disebut dengan gigi molar ketiga, dapat menjadi tempat yang baik bagi bakteri yang menyebabkan penyakit periodontal, untuk berkembang biak. Faktanya, pada pasien dengan umur 20an, penyakit periodontal kebanyakan terjadi disekitar gigi molar ketiga. Periodontitis dapat terjadi pada gigi molar tiga yang impaksi. Penyakit periodontal juga dapat terjadi pada pada

pasien yang sedang mengalami erupsi gigi molar ketiga tanpa adanya impaksi(Kinane dkk, 2006). Impaksi makanan (tekanan akibat penumpukan sisa makanan) merupakan keadaan awal yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal. Gigi yang berjejal atau miring merupakan tempat penumpukan sisa makanan dan juga tempat terbentuknya plak, sedangkan gigi dengan oklusi yang baik mempunyai daya self cleansing yang tinggi. Dan biasanya impaksi makanan dapat sering terjadi pada molar tiga. Tanda-tanda yang berhubungan dengan terjadinya impaksi makanan yaitu a. perasaan tertekan pada daerah proksimal b. rasa sakit yang sangat dan tidak menentu c. inflamasi gingiva dengan perdarahan dan daerah yang terlibat sering berbau. d. resesi gingiva e. pembentukan abses periodontal menyebabkan gigi dapat bergerak dari soketnya, sehingga terjadinya kontak prematur saat berfungsi dan sensitif terhadap perkusi. f. kerusakan tulang alveolar dan karies pada akar 4. Pernafasan Mulut Kebiasaan bernafas melalui mulut merupakan salah satu kebiasaan buruk. Hal ini sering dijumpai secara permanen atau sementara. Permanen misalnya pada anak dengan kelainan saluran pernafasan, bibir maupun rahang, juga karena kebiasaan membuka mulut terlalu lama. Sementara misal pasien penderita pilek dan pada beberapa anak yang gigi depan atas protrusi sehingga mengalami kesulitan menutup bibir. Keadaan ini menyebabkan viskositas (kekentalan) saliva akan bertambah pada permukaan gingiva maupun permukaan gigi, aliran saliva berkurang, populasi bakteri bertambah banyak, lidah dan palatum menjadi kering dan akhirnya memudahkan terjadinya penyakit periodontal. 5. Sifat fisik makanan Sifat fisik makanan merupakan hal yang penting karena makanan yang bersifat lunak seperti bubur atau campuran semiliquid membutuhkan sedikit

pengunyahan, menyebabkan debris lebih mudah melekat disekitar gigi dan bisa berfungsi sebagai sarang bakteri serta memudahkan pembentukan karang gigi. Makanan yang mempunyai sifat fisik keras dan kaku dapat juga menjadi massa yang sangat lengket bila bercampur dengan ludah. Makanan yang demikian tidak dikunyah secara biasa tetapi dikulum di dalam mulut sampai lunak bercampur dengan ludah atau makanan cair, penumpukan makanan ini akan memudahkan terjadinya penyakit. Makanan yang baik untuk gigi dan mulut adalah yang mempunyai sifat self cleansing dan berserat yaitu makanan yang dapat membersihkan gigi dan jaringan mulut secara lebih efektif, misalnya sayuran mentah yang segar, buahbuahan dan ikan yang sifatnya tidak melekat pada permukaan gigi. 6. Iatrogenik Dentistry Iatrogenik Dentistry merupakan iritasi yang ditimbulkan karena pekerjaan dokter gigi yang tidak hati-hati dan adekuat sewaktu melakukan perawatan pada gigi dan jaringan sekitarnya sehingga mengakibatkan kerusakan pada jaringan sekitar gigi. Dokter gigi harus memperhatikan masa depan kesehatan jaringan periodontal pasien, misalnya : Waktu melakukan penambalan pada permukaan proksimal (penggunaan matriks) atau servikal, harus dihindarkan tepi tambalan yang menggantung (kelas IIamalgam), tidak baik adaptasinya atau kontak yang salah, karena hal ini menyebabkan mudahnya terjadi penyakit periodontal. Sewaktu melakukan pencabutan, dimulai dari saat penyuntikan,

penggunaan bein sampai tang pencabutan dapat menimbulkan rusaknya gingiva karena tidak hati hati. Penyingkiran karang gigi (manual atau ultra skeler) juga harus berhati hati, karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan gingiva. 7. Trauma dari oklusi Trauma dari oklusi menyebabkan kerusakan jaringan periodonsium, tekanan oklusal yang menyebabkan kerusakan jaringan disebut traumatik oklusi. Trauma dari oklusi dapat disebabkan oleh : - Perubahan-perubahan tekanan oklusal

Misal adanya gigi yang elongasi, pencabutan gigi yang tidak diganti, kebiasaan buruk seperti bruksim, clenching. - Berkurangnya kapasitas periodonsium untuk menahan tekanan oklusal - Kombinasi keduanya. Faktor Sistemik Respon jaringan terhadap bakteri, rangsangan kimia serta fisik dapat diperberat oleh keadaan sistemik. Untuk metabolisme jaringan dibutuhkan material-material seperti hormon, vitamin, nutrisi dan oksigen. Bila keseimbangan material ini terganggu dapat mengakibatkan gangguan lokal yang berat. Gangguan keseimbangan tersebut dapat berupa kurangnya materi yang dibutuhkan oleh selsel untuk penyembuhan, sehingga iritasi lokal yang seharusnya dapat ditahan atau hanya menyebabkan inflamasi ringan saja, dengan adanya gangguan

keseimbangan tersebut maka dapat memperberat atau menyebabkan kerusakan jaringan periodontal. Faktor-faktor sistemik ini meliputi : 1. Demam yang tinggi 2. Defisiensi vitamin 3. Drugs atau pemakaian obat-obatan 4. Hormonal 5. Penuaan 6. Stres emosional dan psikososial 7. Kelainan genetik 8. Penyakit/kelainan darah 9. Penyakit periodontal pada penderita AIDS 1. Demam yang tinggi Pada anak-anak sering terjadi penyakit periodontal selama menderita demam yang tinggi, (misal disebabkan pilek, batuk yang parah). Hal ini disebabkan anak yang sakit tidak dapat melakukan pembersihan mulutnya secara optimal dan makanan yang diberikan biasanya berbentuk cair. Pada keadaan ini

saliva dan debris berkumpul pada mulut menyebabkan mudahnya terbentuk plak dan terjadi penyakit periodontal. 2. Defisiensi vitamin Di antara banyak vitamin, vitamin C sangat berpengaruh pada jaringan periodontal, karena fungsinya dalam pembentukan serat jaringan ikat. Defisiensi vitamin C sendiri sebenarnya tidak menyebabkan penyakit periodontal, tetapi adanya iritasi local menyebabkan jaringan kurang dapat mempertahankan kesehatan jaringan tersebut sehingga terjadi reaksi inflamasi (defisiensi memperlemah jaringan). Defisiensi vitamin C yang berat (scurvy) diketahui dapat menginduksi kerusakan jaringan periodontal. Perubahan awal dapat bermanifestasi sebagai gingivitis ringan hingga sedang yang diikuti oleh pembesaran gingiva yang terinflamasi akut, edematous dan hemoragik. Jika tidak terdeteksi, scurvy pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan jaringan periodontal yang hebat dan tanggalnya gigi. 3. Drugs atau obat-obatan Obat-obatan merupakan faktor etiologi sekunder yang berpotensi

menimbulkan penyakit periodontal. Obat-obatan dapat menyebabkan hiperplasia, hal ini sering terjadi pada anak-anak penderita epilepsi yang mengkomsumsi obat anti kejang, yaitu phenytoin (dilantin). Dilantin bukan penyebab langsung penyakit jaringan periodontal, tetapi hyperplasia gingiva memudahkan terjadinya penyakit. Penyebab utama adalah plak bakteri. Sebagai contohnya obat-obatan yang menginduksi xerostomia (kekeringan mulut) dapat meningkatkan akumulasi plak dan kalkulus. Tidak adanya efek buffer dari saliva dan berkurangnya imunoglobulin saliva dapat mengubah ketahanan hospes terhadap iritan lokal. Obat-obatan yang menyebabkan xerostomia antara lain obat diuretik, antipsikotik, antihipertensi dan antidepresan. 4. Hormonal

Penyakit periodontal dipengaruhi oleh hormon steroid. Peningkatan hormone estrogen dan progesteron selama masa remaja dapat memperhebat inflamasi margin gingiva bila ada faktor lokal penyebab penyakit periodontal. Beberapa kelainan endokrin dapat berpengaruh secara langsung pada jaringan periodontal atau berasal dari disfungsi neutrofil atau terhambatnya proses penyembuhan luka. Diabetes melitus Kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia) dapat menekan respons imun hospes dan menyebabkan penyembuhan luka yang tidak baik serta infeksi kambuhan. Manifestasi dalam rongga mulut dapat berupa abses periodontal multipel atau selulitis. Pasien dengan diabetes melitus tidak terkontrol atau tidak terdiagnosa lebih rentan terhadap gingivitis, hiperplasia gingiva dan periodontitis. Hormon seks Ketidakseimbangan hormon seks dapat menimbulkan efek yang merugikan pada gingiva. Sebagai contoh adanya hiperplasi gingiva inflamatif pada masa pubertas, kehamilan dan sebagai akibat pemakaian kontrasepsi oral. Perubahan fisiologis terkait hormon seks ini menyebakan perubahan permeabilitas kapiler dan meningkatkan retensi cairan di jaringan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya gingivitis yang edematous, hemoragik dan hiperplastik sebagai respon terhadap plak. 5. Penuaan Pertambahan usia termasuk dalam faktor resiko terjadinya penyakit periodontal karena penuaan dikaitkan dengan perubahan jaringan periodontal yang secara teoritis dapat mengubah respons hospes. 6. Stres emosional dan psikososial Beberapa penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara keparahan penyakit periodontal dengan stres karena pekerjaan atau karena kejadian tertentu dan reaksi psikologis terhadap terhadap perubahan dalam dalam hidup (khususnya depresi). Kebiasaan memelihara kesehatan dikalangan orang-orang yang

mengalami stres menurun, tercermin dari meningkatnya kebiasaan merokok, penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, sulit tidur, gangguan makan, serta kebersihan mulut yang buruk. Faktor-faktor ini memegang peranan yang penting dalam insidensi dan keparahan penyakit periodontal. 7. Kelainan genetik Beberapa kelainan genetik yang parah dapat menimbulkan efek buruk terhadap jaringan mulut dan periodontal. Efek ini biasanya terjadi karena defisiensi atau disfungsi sel-sel hematologik yang berkaitan dengan pertahanan hospes. Sindrom Papillon-Lefevre adalah kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan hiperkeratosis telapak tangan dan telapak kaki serta periodontitis yang berkembang dengan cepat. Kondisi ini sering dikaitkan dengan dengan defisiensi fagositosis dan kemotaksis neutrofil. Kelainan herediter lain yang mengakibatkan berkurangnya jumlah neutrofil atau kegagalan fungsi neutrofil misalnya sindrom Down, neutropenia idiopatik kronis, neutropenia siklik, sindrom Chediak-Higashi dan sindrom defisiensi adhesi leukosit (LAD). 8. Penyakit/kelainan darah Sel darah merah, platelet/keping darah terlibat dalam nutrisi jaringan periodontal, hemostasis dan penyembuhan luka. Oleh karena itu, kelainan darah sistemik dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap jaringan periodontal. Diskrasia darah seperti polisitemia, trombositopenia atau kekurangan faktor pembekuan darah dapat menyebabkan waktu perdarahan yang panjang setelah prosedur perawatan periodontal. Kelainan sel darah merah seperti anemia aplastik dapat memperburuk hasil perawatan periodontal dan menyebabkan komplikasi pasca operasi yang berat. Mieloma multipel adalah malignansi sel plasma yang sering dikaitkan dengan perdarahan gingiva dan kerusakan tulang alveolar. 9. Penyakit periodontal pada penderita AIDS Penyakit AIDS ditandai dengan melemahnya sistem imun pada individu yang terkena. Lesi periodontal pada penderita AIDS diantaranya eritema gingiva linear (LGE), yaitu gingivitis yang terlokalisasi, persisten dan eritematous yang

dapat mengawali terjadinya gingivitis ulseratif nekrosis (NUG) atau periodontitis ulseratif nekrosis (NUP). Jenis Penyakit Periodontal Penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu gingivitis dan periodontitis. Konsep patogenesis penyakit periodontal yang diperkenalkan oleh Page dan Schroeder terdiri dari 4 (empat) tahap yaitu : Permulaan, Dini, Menetap dan Parah Tiga tahap pertama yaitu permulaan, dini dan menetap merupakan tahap pada diagnosa gingivitis dan tahap parah merupakan diagnosa periodontitis. Gingivitis Penyakit gingiva dapat terjadi karena adanya plak maupun tanpa adanya plak, penyakit gingiva karena plak disebabkan adanya bakteri pada plak subgingiva (Martinez dan Ruis, 2005). Walaupun faktor-faktor lain dapat mempengaruhi jaringan periodontal, penyebab utama penyakit periodontal adalah mikroorganisme yang berkolonisasi di permukaan gigi berupa bakteri plak dan produk-produk yang dihasilkannya. Beberapa kelainan sistemik dapat

berpengaruh buruk terhadap jaringan periodontal, tetapi faktor sistemik semata tanpa adanya bakteri plak tidak dapat menjadi pencetus terjadinya penyakit periodontal (Fedi dkk., 2005). Prevalensi bakteri anaerob gram negatif terbanyak pada daerah subgingiva adalah Actinobacillus actinomycetemcomitans (Aa), Porphyromonas gingivalis (Pg), Prevotella intermedia (Pi), dan Tannerella forsythensis (Tf) (Martinez dan Ruiz, 2005). Karakteristik klinis yang terlihat yaitu gingiva lunak, eritema, edema, perdarahan dan mengalami inflamasi. Penyakit gingiva yang tidak dipengaruhi oleh plak disebabkan oleh infeksi dari produk bakteri eksogen yang bukan komponen bakteri pembentuk plak gigi seperti Neisseria gonnorrhoeae, Treponema pallidum, Streptococcus dan mikroorganisme lain misalnya virus dan fungi (Martinez dan Ruiz, 2005). Manifestasi klinisnya berupa adanya ulkus yang terasa sakit dan edema, makula pada mukosa, inflamasi.

Gingivitis dapat berkembang menjadi periodontitis jika proses inflamasi meluas hingga terbentuk true pocket dan hilangnya perlekatan jaringan ikat diperparah rendahnya sistem imun host. Terbentuknya poket menjadi tempat bakteri patogen untuk berkembang biak. Jika terdapat karakteristik bakteri patogen pada plak gigi misalnya bakteri gram negatif kemudian berinvasi ke jaringan maka akan menimbulkan inflamasi dan respon imunologis yang spesifik. Produk-produk metabolisme bakteri yang menyebabkan inflamasi meliputi enzim, antigen, toksin, dan substansi signal yang mengaktivasi makrofag serta sel T. Enzim, toksin dan produk metabolisme lain yang dihasilkan oleh bakteri dapat secara langsung menimbulkan inflamasi pada jaringan periodontal meskipun tanpa pengaruh langsung respon host. Pada saat terjadi inflamasi, produk-produk bakteria lain termasuk hyaluronidase, chondroitin sulfatase, enzim proteolitik, sitotoksin dalam pembentukan asam organik, amonia, hidrogen sulfida dan endotoksin (lipopolisakarida, LPS) juga ditemukan pada jaringan periodontal (Wolf dkk., 2005). Klasifikasi Penyakit Gingiva Berdasarkan World Workshop in Clinical Periodontics yang diadakan pada tahun 1989, gingivitis diklasifikasikan menjadi 6, yaitu: 1. Penyakit gingiva yang dipengaruhi oleh plak gigi 2. Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis (ANUG) 3. Gingivitis yang dipengaruhi oleh hormon steroid 4. Pembesaran gingiva karena pengaruh obat-obatan 5. Gingivitis karena pengaruh kelainan darah, kekurangan nutrisi, tumor, faktor genetik, dan infeksi virus 6. Gingivitis Deskuamatif (Martinez dan Ruiz, 2005) Wilson dan Kornman (2003), secara lebih spesifik mengklasifikasikan penyakit gingiva menjadi: A. Penyakit gingiva disebabkan oleh plak gigi

1. Gingivitis yang hanya disebabkan oleh plak gigi a. Tanpa kontribusi faktor lokal b. Disertai kontribusi faktor lokal 2. Penyakit gingiva terkait faktor sistemik a. Berhubungan dengan sistem endokrin 1) Gingivitis karena faktor pubertas 2) Gingivitis karena siklus menstruasi 3) Disebabkan faktor kehamilan - Gingivitis - Pyogenic granuloma b. Berhubungan dengan kelainan darah 1) Gingivitis karena leukemia 2) Disebabkan faktor lain 3. Penyakit gingiva dampak dari medikasi a. Pembesaran gingiva akibat obat-obatan b. Gingivitis akibat obat-obatan - Kontrasepsi oral - Obat-obatan lain 4. Penyakit gingiva karena malnutrisi a. Gingivitis akibat defisiensi asam askorbat b. Gingivitis karena faktor lain B. Penyakit gingiva bukan disebabkan oleh plak gigi 1. Penyakit gingiva yang disebabkan oleh bakteri spesifik a. Neisseria gonorrhea b. Treponema pallidum c. Spesies Streptococcal d. Bakteri lain 2. Penyakit gingiva yang disebabkan oleh virus a. Infeksi virus herpes 1) Primary herpetic gingivostomatitis 2) Recurrent oral herpes

3) Infeksi Varicella zoster b. Infeksi virus lain 3. Penyakit gingiva yang disebabkan oleh jamur a. Infeksi akibat spesies candida Generalized gingival candidosis b. Linear gingival erythema c. Histoplasmosis d. Infeksi faktor lain 4. Lesi gingiva karena faktor genetik a. Hereditary gingival fibromatosis b. Lesi karena faktor lain 5. Manifestasi pada gingiva karena kondisi sistemik a. Kelainan mukokutaneus 1) Lichen planus 2) Pemphigoid 3) Pemphigus vulgaris 4) Erythema multiforme 5) Lupus erythematosus 6) Pengaruh obat-obatan 7) Faktor lain b. Reaksi alergi 1) Bahan tumpatan gigi - Mercury - Nikel - Akrilik - Bahan lain 2) Reaksi akibat: - Pasta gigi / dentrifices - Obat kumur - Bahan tambahan pada permen karet - Bahan tambahan pada makanan

3) Faktor lain 6. Lesi traumatik a. Faktor khemis b. Faktor fisik c. Faktor thermal 7. Reaksi tubuh terhadap benda asing 8. Not otherwise specified (NOS) Periodontitis Periodontitis secara umum diartikan sebagai inflamasi yang melibatkan struktur periodontal pendukung. Terlibatnya struktur periodontal pendukung oleh inflamasi bisa akibat: 1) kelanjutan inflamasi dari gingivitis kronis yang tidak dirawat atau tidak tuntas perawatannya, atau 2) penjalaran inflamasi dari pulpa gigi melalui foramen apikalis ke ruang ligament periodontal di bagian apical. Untuk membedakan kedua bentuk periodontitis tersebut, digunakan terminology yang berbeda yaitu: 1) periodontitis marginalis, yaitu periodontitis yang merupakan kelanjutan gingivitis, dan 2) periodontitis apikalis, yaitu periodontitis yang diakibatkan penjalaran inflamasi dari pulpa gigi melalui foramen apikalis. 1. Periodontitis Marginalis Meskipun periodontitis marginalis dapat diklasifikasikan lagi atas beberapa tipe periodontits, namun secara umum ada ciri-ciri klinis yang biasa menyertai gingivitis kronis juga dijumpai pada kasus-kasus periodontitis marginalis. Ciri-ciri klinis (selain ciri-ciri klinis gingivita kronis) yang dijumpai pada kasus periodontitis marginalis adalah: 1) saku periodontal atau poket periodontal, 2) abses periodontal, 3) kehilangan tulang dan pola perusakan tulang, 4) trauma karena okulasi, 5) migrasi gigi patologis, 6) mobilitas gigi, dan 7) resesi gingival. Saku Periodontal

Secara umum dengan istilah saku (pocket) diartikan sebagai sulkus gingival yang bertambah dalam secara patologis. Bertambahnya kedalaman sulkus gingival yang normal bisa disebabkan oleh: (1) bergeraknya tepi gingival kea rah koronal akibat adanya pertambahan besar gingival; (2) bergeraknya perletakan epitel penyatu ke arah apical; atau (3) kombinasi antara keduanya. Saku yang terbentuk semata-mata karena bergeraknya tepi gingival ke arah koronal tanpa disertai perubahan perletakan epitel penyatu dinamakan sebagai saku gusi atau saku relative atau saku semu (gingival pocket/relative pocket/false

pocket).Sebaliknya saku yang terbentuk karena telah bergeraknya perlekatan epitel penyatu ke apital, dengan atau tanpa bergeraknya tepi gingival ke koronal, dinamakan sebagai saku periodontal atau saku absolute atau saku sebenarnya (periodontal pocket/absolute pocket/true pocket).

Gambar 1. Mekanisme pembentukan saku, dimana pendalaman sulkus gingival (gambar kiri) menjadi saku (gambar kanan) terjadi dalam dua arah (tanda panah). Klasifikasi saku Klasifikasi berdasarkan lokasi dasar saku.- Saku periodontal dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi dasar sakunya atas: (1) saku supraboni atau saku suprakrestal atau saku supra-alveolar (suprabony pocket/supracrestal

pocket/supra-alveolar pocket), yaitu tipe saku periodontal dimana dasar sakunya berada koronal dari tulang alveolar; dan (2) saku infaboni atau saku intrabony pocket/subcrestal pocket/intra-alveolar pocket), yaitu tipe saku dimana dasar sakunya berada apikal dari level tulang alveolar yang berbatasan; dengan kata lain dinding lateral saku berada antara permukaan gigi dengan tulang alveolar.

Gambar 2.Tipe-tipe saku. (A), Saku gusi; belum ada kerusakan pada jaringan periodontal pendukung. (B) Saku supraboni; dasar saku berada koronal dari level tulang alveolar; kehilangan tulang horizontal. (C) Saku infraboni; dasar saku berada apikal dari level tulang alveolar; kehilangan tulang vertical/angular.

Gambar 3.Klasifikasi saku berdasarkan sisi/permukaan gigi yang terlibat. (A) Saku simple. (B) Saku gabungan. (C) Saku kompleks.

Klasifikasi berdasarkan permukaan gigi yang terlibat.- Berdasarkan permukaan gigi yang terlibat, saku periodontal dibedakan atas: (1) Saku simple (simple pocket), dimana saku hanya melibatkan satu sisi/permukaan dari gigi; (2) saku gabungan (compound pocket), dimana saku melibatkan lebih dari satu sisi/permukaan dari gigi; dan (3) saku kompleks (complex pocket), dimana sakunya berjalan melingkar dari dasar saku ke arah muaranya dengan melibatkan beberapa sisi/permukaan dan dasar saku dengan muara saku berada pada sisi/permukaan yang berlainan. Saku periodontal bisa melibatkan satu, dua, atau lebih sisi/permukaan gigi.Kedalaman maupun tipe saku pada masing-masing sisi permukaan gigi bisa berbeda, demikian pula antara dua sisi aproksimal yang berbatasan.

Gambaran klinis Satu-satunya cara yang paling akurat untuk menetapkan lokasi saku periodontal dan menentukan perluasannya adalah dengan jalan probing (pemeriksaan dengan menggunakan alat prob periodontal) secara hati-hati pada setiap permukaan gigi dimulai dari tipe gingival ke arah apikal. Mengenai tehnik probing ini akan dikemukakan secara lebih rinci pada waktu membahas pemeriksaan periodontal. Meskipun demikian ada beberapa ciri-ciri klinis maupun simtom yang dapat dijadikan pedoman guna mencurigai keberadaan saku periodontal.

Ciri-ciri klinis.- Ciri-ciri klinis yang bisa menyertai saku periodontal adalah: 1) gingival bebas menebal dan berwarna merah kebiru-biruan; 2) adanya zona vertikal berwarna merah kebiru-biruan mulai dari tepi gingival ke mukosa alveolar; 3) pendarahan gingival dan/atau supurasi (penanahan); 4) gigi menjadi mobil; 5) terjadinya diastema yang sebelumnya tidak ada.

Simtom.-Simtom yang menyertai pembentukan saku periodontal bisa berupa: 1) nyeri sakit yang terlokalisir pada daerah saku; 2) nyeri sakit yang terasa di dalam tulang. Namun perlu diingat bahwa nyeri sakit yang demikian tidak

terjadi pada setiap kasus, setidak-tidaknya belum terjadi pada stadium awal pembentukan saku.

Permukaan akar gigi yang menjadi dinding saku periodontal.-Permukaan akar gigi yang mendindingi saku sering mengalami perubahan yang berakibat memperparah inflamasi pada periodonsium, menimbulkan nyeri sakit, dan mempersulit perawatan. Perubahan pada sementum akar gigi tersebut mencakup: perubahan structural, perubahan kimiawi, dan perubahan sitotoksik. 1. Perubahan structural.-Akibat pembentukan saku periodontal, pada sementum bisa dijumpai perubahan berikut: 1) Pembentukan granul-granul patologis. Granul-granul tersebut adalah merupakan daerah yang tadinya berisi kolagen sebelum mengalami degenerasi, atau berisi fibril kolagen yang tidak mengalami mineralisasi. 2) Daerah dengan mineralisasi yang meningkat. Peningkatan mineralisasi ini adalah disebabkan oleh interaksi antara mineral dengan komponen organik pada sementum yang terpapar oleh saliva. 3) Daerah demineralisasi. Akibat terpaparnya sementum terhadap cairan oral dan plak bakteri terjadi proteolisis sisa serabut Sharpey yang masih tertanam dalam sementum. Hal ini akan menyebabkan sementum menjadi lunak dan mengalami frakmentasi dan terbentuk karies. 2. Perubahan kimiawi.-Kandungan mineral dari sementum yang terlibat meningkat, misalnya kalsium, magnesium, posfor, dan fluor. Sementum yang terpapar dapat mengabsorbsi kalsium, posfor, dan fluor dari lingkungan sekitar, sehingga bisa terbentuk lapisan yang sangat terklasifikasi yang resisten terhadap pembentukan karies.Namun kemampuan sementum mengabsorbsi substansi dari lingkungan sekitar bisa berakibat buruk apabila yang diabsorbsi adalah substansi yang toksik. 3. Perubahan sitotoksik.-Bakteri ternyata bisa penetrasi sampai ke batas sementum-dentin. Selain bakteri, produk bakteri seperti endotoksin bisa pula dijumpai masuk ke sementum. Terjadinya perubahan sitotoksik ini merupakan

salah satu alas an bagi dilakukannya penyerutan akar dan penyiapan permukaan akar pada waktu perawatan periodontal. Pada pengamatan dengan menggunakan mikroskop electron skening, terlihat adanya beberapa zona pada sementum akar di daerah dasar saku, yaitu: 1) Sementum yang dibalut kalkulus, dimana ketiga bentuk perubahan yang dikemukakan di atas dijumpai. 2) Plak yang melekat, yang membalut kalkulus, dan meluas 100-500 m apikal dari kalkulus. 3) Daerah plak yang tidak melekat yang berada di sekeliling plak yang melekat dan meluas sampai ke apikalnya. 4) Daerah dimana epitel penyatu melekat ke gigi. Pada sulkus normal daerah ini berada sekitar 500 m dari dasar sulkus, tetapi pada saku periodontal berkurang menjadi sekitar 100 m dari dasar saku. 5) Daerah serabut jaringan ikat yang mengalami perusakan sebagian, yang berada apikal dari epitel penyatu. Daerah 3, 4, dan 5 termasuk daerah yang dinamakan daerah bebas plak.

Perubahan pulpa berkaitan dengan saku periodontal Penyebaran inflamasi dari saku periodontal bisa menyebabkan perubahan patologis pada pulpa.Perubahan tersebut pada akhirnya menyebabkan timbulnya simtom nyeri sakit, atau mempengaruhi respon pulpa terhadap prosedur restoratif. Terlibatnya pulpa oleh inflamasi yang berasal dari penyakit periodontal bisa melalui fomanen apikalis atau melalui kanal lateralis akar gigi.Pada keadaan yang demikia, pada pulpa terjadi perubahan inflamatori dan atrofi.

Hubungan antara kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang dengan kedalaman saku Pembentukan saku menyebabkan kehilangan perlekatan dan tersingkapnya permukaan akar gigi.Biasanya, tetapi tidak selamanya, kehilangan perlekatan mempunyai korelasi dengan kedalaman saku.Hal ini disebabkan derajat kehilangan perlekatan (atau resesi yang diakibatkan) tergantung pada lokasi dari dasar saku periodontal pada permukaan akar, sementara kedalaman saku adalah jarak antara dasar saku dengan Krista tepi gingival. Beberapa saku dengan kedalaman yang sama bisa disertai kehilangan perlekatan yang berbeda (Gambar

4), dan beberapa saku dengan kedalaman yang berbeda bisa disertai kehilangan perlekatan yang sama (Gambar 5). Biasanya, tetapi tidak selamanya, keparahan kehilangan tulang umumnya berkorelasi dengan kedalaman saku.Kehilangan tulang yang parah bisa terjadi pada saku yang dangkal, sebaliknya kehilangan tulang yang sedikit bisa terjadi pada saku yang dalam.

Hubungan antara saku periodontal dengan tulang alveolar Pada saku infraboni dasar saku berada apikal dari level tulang alveolar, dan dinding saku berada antara akar gigi dengan tulang. Saku infraboni paling sering terbentuk pada sisi interproksimal, tetapi dapat juga terbentuk pada sisi vestibular dan oral.Sering sekali saku periodontal meluas dari satu sisi dimana saku berasal ke satu atau lebih sisi lainnya.Sebaliknya dasar saku saku supraboni berada koronal dari Krista tulang alveolar.

Gambar 5. Hubungan antara kedalaman saku dengan resesi. Kedalaman saku berbeda, tetapi jarak antara dasar saku dengan batas sementum enamel tetap sama. Perubahan inflamatori, proliferative dan degeneratif pada saku infraboni dan saku supraboni adalah sama, dan keduanya menjurus pada perusakan jaringan periodontal pendukung.

Perbedaan antara saku infraboni dengan saku supraboni.-Perbedaan utama antara saku infraboni dengan saku supraboni adalah dalam hal: 1) hubungan

antara dinding jaringan lunak saku terhadap tulang alveolar, 2) pola destruksi tulangnya, dan 3) arah serabut transeptal. Pada saku supraboni Krista tulang alveolar dan jaringan fibrous yang melekat padanya secara bertahap posisinya semakin ke apikal dari batas sementum enamel, tetapi morfologi dan arsitekturnya tetap seperti biasa. Sebaliknya pada saku infraboni morfologi krista tulang alveolar berubah secara total (selanjutnya lihat Tabel 1). Gambaran morfologis saku infraboni penting artinya karena memodifikasi tehnik perawatan yang akan dilakukan. Tabel 1.Perbedaan gambaran antara saku supraboni dengan saku infraboni.
Saku supraboni 1. Dasar saku berada koronal dari level tulang 2. Pola destruksi tulang alveolar dibawah saku adalah horizontal. 3. Pada sisi interproksimal, serabut Saku infraboni 1. Dasar saku berada apikal dari krista tulang alveolar, sehingga tulang

berdampingan degan dinding jaringan lunak (lihat gambar 2). 2. Pola destruksi tulangnya adalah

transeptal yang mengalami perbaikan selama perkembangan penyakit tersusun horizontal pada ruang antara dasar saku dengan tulang alveolar. 4. Pada sisi vestibular dan oral, serabut ligament periodontal dibawah saku merentang antara gigi dengan tulang alveolar seperti keadaan normal

vertikal/angular. 3. Pada sisi interproksimal, serabut

interseptal tersusun oblik dan bukannya horizontal. Serabut tersebut meluas dari sementum sepanjang dibawah tulang dasar saku menuju

alveolar

sementum dari gigi tetangga. 4. Pada sisi vestibular dan oral, rentangan serabut ligament periodontal mengikuti pola angular dari Serabut dibawah tulang alveolar dari saku

(horizontal dan oblik).

dibawahnya. sementum

tersebut dasar

merentang sepanjang tulang alveolar, melintasi krista tulang alveolar, dan akhirnya menyatu dengan periosteum sebelah luar.

Abses Periodontal Abses periodontal adalah inflamasi dengan purulen yang terlokaliser pada jaringan periodontal. Abses ini dinamakan juga sebagai abses lateral atau abses parietal. Pembentukan abses periodontal.-Pembentukan abses periodontal bisa terjadi dengan cara: 1. Perluasan inflamasi dari saku periodontal ke jaringan periodontal pendukung dan lokalisasi proses inflamatori supuratif sepanjang sisi lateral akar gigi. 2. Perluasan inflamasi dari permukaan dalam saku periodontal ke arah lateral ke jaringan ikat dinding saku. Pembentukan abses terjadi apabila drainase ke rongga saku terhambat. 3. Pada saku yang berjalan melingkar sepanjang akar gigi (saku kompleks) abses periodontal bisa terjadi apabila sakunya tersumbat sehingga dasar saku yang berada jauh kehilangan hubungan dengan muara saku. 4. Penyingkiran kalkulus yang tidak tuntas sewaktu perawatan periodontal. Pada keadaan yang demikian, dinding gingival akan menyusut yang menyebabkan tersumbatnya muara saku, dan abses periodontal terbentuk pada saku yang tersumbat. 5. Abses periodontal bisa terjadi pada keadaan tanpa penyakit periodontal, yaitu akibat trauma atau perforasi akar gigi yang menjadi dinding lateral saku pada waktu perawatan endodonti. Abses periodontal dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya atas: 1) Abses pada jaringan periodontal pendukung sepanjang sisi lateral akar gigi. Pada keadaan seperti ini biasanya sinus di dalam tulang alveolar yang meluas kearah lateral dari abses ke permukaan luar. 2) Abses pada dinding jaringan lunak dari saku periodontal yang dalam. Ciri-ciri klinis dan simtom.-Abses periodontal bisa terjadi dalam bentuk akut atau kronis. Abses periodontal akut.-Abses periodontal akut terlihat berupa penonjolan ovoid pada gingival pada sisi lateral akar gigi (Gambar 6). Gingiva oedematous,

merah dengan permukaan yang licin dan berkilat.Bentuk dan konsistensi daerah penonjolan adalah bervariasi, bisa seperti kubah dengan konsistensi yang padat, atau meruncing dan lunak. Pada kebanyakan kasus, bila ditekan dengan jari pus akan keluar dari tepi gingival. Abses periodontal kronis disertai oleh simtom seperti: nyeri sakit berdenyut dan menyebar, gingival terasa nyeri bila disentuh, gigi sensitif bila diperkusi, mobiliti gigi, dan limfadenitis. Meskipun jarang, bisa pula disertai demam, leukositosis dan malaise.Tidak jarang pasien mengeluhkan simtom seperti abses periodontal akut, meskipun secara klinis maupun radiografis belum terlihat perubahan yang nyata. Abses periodontal kronis.-Pada abses periodontal kronis biasanya dijumpai sinus (fistel) yang bermuara ke mukosa gingival setentang dengan akar gigi. Muara sinusnya biasanya berupa penonjolan halus yang sukar terlihat (Gambar 7).Apabila diperiksa dengan prob terasa adanya saluran yang dalam ke arah periodonsium.Muara sinus tersebut sering pula ditutupi oleh masa jaringan granulasi berbentuk manik-manik kecil berwarna merah jambu.Abses periodontal kronis biasanya asimtomatis (tanpa simtom), namun bisa juga disertai simtom berupa nyeri sakit yang samar-samar, gigi terasa memanjang, dan adanya keinginan untuk mengasah-asahkan gigi.Abses kronis ini bisa mengalami eksaserbasi akut. Absorbsi Tulang Alveolar Penjalaran inflamasi kronis dari gingival ke tulang alveolar merupakan penyebab paling sering dari perusakan tulang pada penyakit

periodontal.Menjalarnya inflamasi dari gingival ke jaringa periodontal pendukung menandai peralihan gingivitis menjadi periodontis marginalis.Periodontis marginalis selalu didahului oleh gingivitis, tetapi tidak semua kasus gingivitis kronis menjadi periodontis marginalis. Perusakan tulang pada penyakit periodontal bukanlah proses nekrosis tulang. Perusakan tulang melibatkan aktivitas sel-sel yang hidup sepanjang tulang alveolar yang hidup (bukan nekrosis).Nekrosis dan pus bila terjadi pada penyakit

periodontal hanyalah melibatkan dinding jaringan lunak saku periodontal, dan bukan di sepanjang tepi tulang alveolar yang mengalami resorbsi. Dihipotesakan berperannya dua tipe sel dalam proses resorpsi tulang alveolar, yaitu: 1) osteoklas, yang berperan menyingkirkan bagian mineral dari tulang, dan 2) sel mononukleus, yang berperan dalam degradasi matriks organic. Kedua tipe sel tersebut ditemukan pada permukaan tulang alveolar yang mengalami resorpsi. Radius aksi perusakan.-Dihipotesakan oleh beberapa pakar bahwa faktor-faktor lokal penyebab resorpsi tulang harus berada dekat ke permukaan tulang untuk dapat beraksi menyebabkan resorpsi tulang. Plak bakteri dapat memicu resorpsi tulang apabila berada dalam jarak antara 1,5-2,5 mm dari tulang alveolar; apabila plak bakteri berada lebih dari 2,5 mm dari tulang alveolar efek peresorpsinya tidak berperan. Cacat angular interproksimal hanya bisa terjadi apabila ruang interproksimalnya lebih lebar dari 2,5 mm; apabila ruang interproksimal lebih sempit maka tulang/septum interdental akan teresorpsi secara keseluruhan. Cacat besar yang lebih dari 2,5 mm dari permukaan gigi (seperti yang terlihat pada periodontis juvenile lokalisata, periodontitis berkembang cepat, dan sindroma Papillon-Lefevre) kemungkinan disebabkan oleh keberadaan bakteri yang invasi ke jaringan periodonsium. Laju kehilangan tulang.-Laju kehilangan tulang pada permukaan vestibular adalah berkisar 0,2 mm per tahun, sedangkan pada permukaan interproksimal berkisar 0,3 mm per tahun. Berdasarkan laju kehilangan tulangnya individu dapat dibedakan atas tiga kelompok: 1) individu degan perkembangan penyakit periodontal yang cepat, ditandai dengan kehilangan perlekatan sebesar 0,1-1,0 mm per tahun (8% individu); 2) individu dengan perkembangan penyakit periodontal yang sedang, ditandai dengan kehilangan perlekatan sebesar 0,05-0,5 mm per tahun (81% individu); dan 3) individu denga perkembangan penyakit periodontal yang minimal atau tidak ada, ditandai dengan kehilangan perlekatan sebesar 0,05-0,09 mm per tahun (11% individu).

Periode perusakan.-Seperti yang telah dibahas sebelumnya, perusakan periodontal berlangsung secara episodik, denga periode tenang/inaktif dan periode aktif berlangsung secara bergantian. Mekanisme perusakan tulang.-Hausmann telah mengemukakan lima mekanisme bagaimana produk plak bakteri dapat menyebabkan kehilangan tulang pada penyakit periodontal: 1. Aksi langsung dari produk plak terhadap sel-sel progenitor tulang menginduksi diferensiasi sel-sel progenitor tersebut menjadi osteoklas. 2. Produk plak beraksi secara langsung terhadap tulang, dan merusaknya melalui mekanisme nonseluler. 3. Produk plak menstimulasi sel-sel gingival, sehingga sel-sel giginya tersebut melepas mediator, yang pada akhirnya menginduksi sel-sel progenitor tulang berdiferensiasi menjadi osteoklas. 4. Produk plak menyebabkan sel-sel gingival melepas ajen atau substansi yang dapat bertindak sebagai ko-faktor pada resorpsi tulang. 5. Produk plak menyebabkan sel-sel gingival melepaskan ajen yang merusak tulang dengan jalan aksi kimiawi secara langsung, tanpa keterlibatan osteoklas. Agen farmakologis dan resorpsi tulang.-Beberapa agen lokal yang terbukti berkemampuan menginduksi resorpsi tulang secara in vitro bisa berperan dalam penyakit periodontal. Termasuk disini adalah: 1) prostaglandin dan prekursonya, yang dijumpai pada inflamasi; 2) osteoclast-activating factor (faktor pengaktif osteoklas), yang juga dijumpai pada inflamasi; dan 3) endotoksin yang diproduksi oleh bakteri. Endotoksin yang berasal dari organism Bacteroides asam lipoteihoit berperan dengan cara yang sama. Prostaglansin adalah kelompok lemah yang secara alamiah ada dan berpartisipasi dalam proses inflamasi serta mempunyai efek seperti hormone. Bila disuntikkan secara intradermal, substansi ini menyebabkan perubahan vascular seperti yang terjadi pada inflamasi.Apabila diinjeksikan ke atas permukaan tulang, substansi ini menginduksi resorpsi tulang tanpa keberadaan sel-sel inflamasi dan dengan hanya sedikit osteoklas multinukleus.

Pembentukan prostaglandin dari asam lemak prekursornya, misalnya asam arahidonat, dikontrol oleh siklooksigenase (sintesa prostaglandin), yang akan mengkonversi asam lemak precursor prostaglandin menjadi endoperoksidase siklik (cyclic endoperoxidases). Resorpsi tulang bisa pula diinduksi oleh kultur lekosit yang distimulasi antigen yang berasal dari plak dental. Dihipotesakan bahwa limfosit memproduksi osteoclast-activating factor yang menginduksi pembentukan dan aktivitas osteoklas. Ensim proteolitik yang diproduksi pada waktu berkembangnya penyakit periodontal atau yang diproduksi oleh bakteri bisa pula berperan pada resorpsi tulang.Kolagenase dijumpai pada periodonsium normal dan meningkat jumlahnya pada gingival yang terinflamasi; kolagenase juga diproduksi oleh bakteri.Aktivitas kolagenolisis terjadi pada tulang yang teresobsi secara in vitro, namun kandungan kolagen tidak berkorelasi dengan keparahan kehilangan tulang. Hialuronidase yang diproduksi oleh bakteri oral bisa pula mempengaruhi proses resorpsi tulang dengan jalan menguraikan substansi dasar matriks tulang. Trauma Oklusi Penyebab lain dari perusakan tulang secara lokal adalah trauma karena oklusi. Trauma karena oklusi dapat menyebabkan kehilangan tulang tanpa atau dengan keberadaan inflamasi. Trauma tanpa keberadaan inflamasi.-Tanpa adanya inflamasi, perubahan yang disebabkan trauma karena oklusi bervariasi mulai dari meningkatnya kompresi/himpitan dan tarikan (tension) pada ligament periodontal dan peningkatan osteoklasis tulang alveolar sampai ke nekrosis ligament periodontal dan resorpsi tulang dan substansi gigi. Perubahan tersebut adalah reversible; artinya dapat mengalami perbaikan apabila tekanan yang berlebihan dapat dihilangkan. Namun demikian, trauma karena oklusi yang menetap

mengakibatkan pelebaran berbentuk cerobong asap (membesar kearah atas) pada bagian ligament periodontal yang dekat ke krista tulang alveolar, disertai resorpsi tulang alveolar yang berbatasan. Perubahan yang dapat menyebabkan krista tulang

alveolar berbentuk angular, adalah merupakan adaptasi dari jaringan periodontal yang bertujuan menyiapkan bantalan bagi tekanan oklusal yang meningkat. Namun sebaliknya, perubahan pada bentuk tulang yang terjadi justru memperlemah dukungan gigi dan menyebabkan timbulnya mobilitas gigi (kegoyangan gigi). Trauma berkombinasi dengan inflamasi.-Apabila berkombinasi dengan inflamasi, trauma karena oklusi memperparah perusakan tulang yang disebabkan inflamasi dan menyebabkan pola tulang yang angular. Pengaruh trauma karena oklusi terhadap perkembangan

periodontitis marginalis.-Iritan lokal yang memicu gingivitis dan saku periodontal mempengaruhi gingival, tetapi trauma karena oklusi yang terjadi pada jaringan periodontal pendukung tidak mempengaruhi gingival. Gingiva tidak terpengaruhi trauma karena oklusi disebabkan pasok darahnya mencukupi, meskipun pembuluh darah pada ligament periodontal terganggu karena tekanan oklusal yang meningkat. Beberapa teori mengenai interaksi trauma dengan inflamasi telah dikemukakan: 1. Trauma karena oklusi bisa mengubah jalur penjalaran inflamasi gingival ke jaringan periodontal pendukung. Inflamasi akan lebih dulu menjalar ke ligamen periodontal dan bukannya ke tulang alveolar. Akibatnya kehilangan tulangnya angular dan sakunya menjadi saku infraboni. 2. Daerah resorpsi akar yang diinduksi traum ayang tidak dibalut perlekatan gingivitas karena telah migrasi ke apikal akan menjaid lingkungan yang menguntungkan bagi pembentukan dan perlekatan plak dan kalkulus, sehingga akan menjurus ke terjadinya lesi yang lebih parah. 3. Plak supragingival bisa menjadi plak subgingival pabali gigi menjadi miring (tilting) karena digerakkan secara ortodontik atau migrasi ke daerah edentulous, dengan akibat perubahan suku supraboni menjadi suku infraboni. Ciri-ciri trauma karena oklusi sekunder.- Trauma karena oklusi sekunder ditandai dari ciri-ciri berikut: 1) mobiliti gigi yang berlebihan, yang dikategorikan sebagai mobility dinamis, terutama pada gigi yang pada foto ronsen

menunjukkan adanya pelebaran ruang ligament periodontal; 2) cacat tulangnya lebih sering angular; 3) sakunya lebih sering saku infraboni; dan 4) migrasi patologis, terutama pada gigi anterior. Migrasi Gigi Patologis Migrasi gigi patologis atau wandering adalah berpindahnya posisi gigi akibat terganggunya keseimbangan antar faktor-faktor yang memelihara posisi gigi yang fisiologis oleh penyakit periodontal. Keadaan ini relatif sehingga terjadi dan bisa merupakan tanda dini dari penyakit, atau bisa terjadi setelah penyakit berkembang lebih lanjut. Migrasi patologis lebih sering terjadi pada regio anterior, meskipun bisa juga melibatkan gigi posterior. Gigi yang terlibat bisa bergerak ke segala arah, dan migrasi biasanya disertai mobiliti dan rotasi. Migrasi patologis ke arah oklusi atau insisal dinamakan ekstrusi. Penting sekali untuk mendeteksi wandering pada stadium dini dan mencegah akibat lebih lanjut dengan jalan menyingkirkan faktorfaktor penyebabnya. Pada stadium yang paling dini dari migrasi patologis kehilangan tulang telah terjadi. Ada dua faktor utama yang berperan dalam memelihara posisi normal gigi yaitu: 1) kesehatan tinggi yang normal ari periodonsium, dua 2) tekanan yang mengenai gigi, yang mencakup tekanan oklusal, tekanan bibir, pipi, dan lidah. Faktor-faktor penting karena berkaitan dengan oklusal adalah: 1) morfologi gigi dan inklinasi tonjol gigi; 2) keberadaan gigi yang komplit; 3) tendensi fisiologis migrasinya gigi ke mesial; 4) bentuk dan lokasi kontak proksimal; dan 5) atrisi pada permukaan proksimal, insisal dan oklusal. Perubahan pada salah satu atau beberapa faktor tersebut akan memicu sekuens perubahan yang saling terkait pada satu atau sekelompok gigi dengan akibat terjadinya migrasi patologis. Dengan demikian, migrasi patologis terajadi kondisi yang melemahkan dukungan periodontal, dan/atau peningkatan atau modifikasi tekanan yang mengenai gigi. Mobilitas Gigi

Yang dimaksud dengan mobiliti gigi adalah goyangnya gigi. Karena gigi yang tertanam didalam soket gigi bukanlah tertanam kaku sebagaimana layaknya tiang yang disemenkan, maka harus dibedakan dua jenis mobiliti: mobiliti fisiologis dan mobiliti patologis. Mobiliti fisiologis Mobiliti gigi bukanlah semata-mata pertanda penyakit periodontal. Pada gigi yang normal pun dijumpai mobiliti yang fisiologis, yang bervariasi berdasarkan tipe gigi dan paruh waktu hari. Mobiliti fisiologis lebih besar pada waktu bangun tidur di pagi hari, untuk selanjutnya akan berkurang. Meningkatnya mobiliti di pagi hari adalah karena gigi sedikit ekstrusi karena di waktu tidur tidak berkontak dengan angagonisnya. Mobiliti gigi terjadi dalam dua tahap: 1) Tahap inisial atau intrasoket, pada tahap mana gigi bergerak sebatas ligamen periodontal. Hal ini berkaitan dengan distorsi viskoelastik ligamen periodontal dan redistribusi cairan, kandungan interbundel, dan serabut ligamen periodontal. Pergerakan inisial ini terjadi dengan tekanan sekitar 100 lb dan pergerakannya sejauh 0,05-0.10 mm (50-100 m). 2) Tahap sekunder, yang terjadi secara bertahap. Mobiliti patologis Mobiliti yang melebihi rentangan mobiliti yang normal dinamakan mobiliti abnormal atau mobiliti patologis. Kategori patologis disini adalah karena mobilitinya melampaui mobilit yang normal; periodonsiumnya sendiri pada saat pemeriksaan tidak harus menunjukkan tanda-tanda berpenyakit. Meningkatnya mobilitas gigi bisa disebabkan salah satu atau lebih faktor berikut: 1. Hilangnya dukungan terhadap gigi karena kehilangan tulang. 2. Trauma karena oklusi. 3. Penjalaran inflamasi dari gingiva atau dari periapikal ke ligamen periodontal. 4. Bedah periodontal. 5. Kehamilan, menstruasi dan kontrasepsi hormonal.

6. Proses patologis pada rahang yang merusak tulang alveolar dan/atau akar gigi. Resesi Gingiva Resesi gingiva (gingival recession) adalah tersingkapnya akar gigi akibat bergesernya posisi gingiva ke apikal. Resesi tampak dan resesi tersembunyi.-Resensi gingiva dapat dibedakan atas: 1) Resesi tampak (visible recession), yaitu resesi yang telrihat secara klinis; dan 2) Resesi tersembunyi (hidden recession), yaitu resesi yang tidak terlihat karena masih didindingi oleh gingiva dan hanya terukur dengan bantuan alat prob yang diselipkan ke dalam saku/sulkus sampai ke epitel penyatu.

Gambar 15. Posisi gingiva: posisi nyata dan posisi semu. Dengan istilahresesi dimaksudkan adalah lokasi dari gingiva, dan bukan kondisi gingivanya. Gingiva yang resesi sering dalam keadaan terinflamasi, tetapi bisa pula ditemukana resesi dengan gingiva yang sehat. Dengan demikian, berdasarkan proses terjadinya resesi gingiva dapat dibedakan atas: 1) Resesi akibat penyakit gingiva dan periodontal; dan 2) Resesi akibat iritasi mekanis pada periodonsium yang sehat.

Ciri-ciri klinis Resesi gingiva akibat periodonsium yang terinflamasi.- Ciri-ciri klinis dari resei yang diakibatkan oleh periodonsium yang terinflamasi adalah: 1. Krista gingival bebas berada apikal dari batas sementum-enamel.

2. Gingiva bisa merah atau merah muda dan lunak atau kaku tergantung perubahan patologis yang terjadi. 3. Gingiva tipis, getas dengan gingival cekat yang minimal atau tidak ada sama sekali. 4. Gigi yang terlibat adalah gigi dengan pembentukan saku periodontal, yang kedalamannya bisa tidak berbeda dari sulkus normal. Resesi gingiva akibat iritasi mekanis. Ciri-ciri klinis dari resensi noninflamatori yang diakibatkan oleh iritasi mekanis adalah: 1. Biasanya tanpa tanda-tanda inflamasi gingiva. 2. Resesi bisa setempat pada gigi yang labioversi, tetapi bisa juga menyeluruh pada hapir semua gigi. Klasifikasi Saliva dan Atkins telah mengemukakan klasifikasi resesi gingiva yang paling sederhana berdasarkan morfologinya, dimana resesi dibedakan atas: 1. Resesi yang dangkal-sempit 2. Resesi yang dangkal-lebar 3. Resesi yang dalam-sempit 4. Resesi yang dalam-lebar Etiologi Beberapa faktor telah diduga sebagai etiologi resesi gingiva, sementara beberapa faktor lainnya diduga beperan dalam mempengaruhi kerentanan bagi terjadinya resesi gingiva. Faktor-faktor yang bisa berperan sebagai etiologi resesi gingival.1. Inflamasi gingiva.2. Friksi sikat gigi.3. Friksi dari jaringan lunak.4. Perlekatan frena atau otot.Faktor yang mempengaruhi kerentanan terjadinya resesi gingival.1. Posisi gigi.2. Morfologi akar gigi.-

3. Zona gingiva cekat yang inadekuat.4. Tekanan oklusal yang berlebihan.-

C. Diagnosis Penyakit Periodontal Cara Menentukan Diagnosis Penyakit Gingival Dan Periodontal Diagnosa : cara/teknik untuk menentukan jenis penyakit dan cara menganamnesa dan dengan bantuan alat-alat pendukung. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit periodontal oleh karena itu diperlukan pemeriksaan yang teliti dan memerlukan kesabaran bagi setiap praktisi, apabila ingin melakukan perawatan secara komprehensif dengan hasil yang optimal. Dalam menegakkan diagnosa, diperlukan hal-hal sebagai berikut : 1. Pemahaman mengenai keluhan 2. Menggunakan alat-alat standar pemeriksaan (probe periodontal/probe sonde) 3. R foto sebagai penunjang Praktisi dapat mendeteksi penyakit periodontal secara dini, dengan memperhatikan : - Dalamnya poket - Adanya resesi - Adanya perdarahan - Kegoyangan gigi - Lebarnya dan tinggi pelekatan - Warna dan tekstur gingiva Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan rontgen foto : Pemeriksaan Kesehatan Pemeriksaan kesehatan meliputi riwayat medis dan kesehatan gigi. Riwayat medis Riwayat medis sebaiknya didapat pertama kali melalui kuesioner tertulis. Setelah kuisioner ini dilengkapi, apa yang tertulis sebaiknya dibahas kembali

dengan pasien sehingga dapat diberikan penjelasan yang menyeluruh untuk bidang-bidang yang penting. Inilah waktu yang paling tepat untuk merujuk pasien guna menjalani konsultasi medis jika ada kondisi yang dapat mempengaruhi perkembangan penyakit periodontal dan/atau penatalaksanaan pasien. Alasan penting riwayat menis adalah: a. Untuk menemukan manifestasi oral dari kondisi sistemik tertentu seperti diabetes melitus, gangguan hormonal dll. b. Untuk memastikan adanya kondisi sistemik seperti kehamilan, diabetes melitus, kelainan darah, defisiensi nutrisi, dan penyakit kardiovaskulerhipertensi yang dapat mengubah hormon hospes terhadap bakteri. c. Untuk menentukan ada atau tidaknya kondisi sitemik tertentu yang membutuhkan modifikasi, baik pada terapi periodontal primer maupun suportif. Riwayat Kesehatan Gigi Sebelum pemeriksaan intraoral dilakukan, ada baiknya praktisi mencari riwayat kesehatan gigi secara lengkap. Karena dengan melakukannya, praktisi mendapatkan kesempatan untuk menilai perilaku pasien, membangun hubungan, dan mempelajari penyakit gigi yang telah lalu serta responnya terhadap perawatan. Juga penting untuk mengetahui cara pemeliharaan kebersihan mulut yang selama ini dilakukan oleh pasien di rumah yang mencerminkan pengetahuan pasien tentang kesehatan gigi. Pemeriksaan Gigi Menyeluruh Kesan keseluruhan yang diperoleh dari survai ini menentukan besarnya lingkup permasalahan. Aspek-aspek di bawah ini harus diamati dan dicatat: 1. Pemeriksaan jaringan lunak. Pemeriksaan ini adalah penelusuran adanya kanker rongga mulut. Lesi-lesi lain juga harus diperhatikan, tetapi hanya sedikit yang berlanjut menjadi parah, terutama apabila tidak terdeteksi pada tahap awal atau terabaikan. 2. Posisi gigi. Meliputi kesesuaian lengkung rahang, maloklusi morfologi, dan migrasi gigi-gigi.

3. 4.

Karies. Meliputi pemeriksaan lokasi, jenis, dan luas karies. Perawatan restoratif. Sebaiknya diperiksaan apakah protesa dan restorasi yang telah dibuat cukup baik atau tidak. Kemudian, keadaan ini dihubungkan dengan retensi plak, kesulitan membersihkan plak, oklusi traumatik, dan ungkitan berlebihan karena daya toksi protesa. Juga penting untuk melihat adanya kemungkinan tepi restorasi yang melebihi lebar biologis epitel jungsional dan perlekatan jaringan ikat, karena apabila batas ini dilanggar, dapat mengakibatkan cedera iatrogenik yang serius pada jaringan periodontal.

5.

Kebiasaan. Misalnya kebiasaan meroko, menjulurkan lidah, bruksisme (mengerot), cleching (menggeletukan gigi), dan kebiasaan yang disengaja serta tidak wajar.

6.

Kondisi pulpa gigi, khususnya yang mengalami kehilanmgan tulang yang hebat (terutama gigi yang mengalami restorasi dalam dan/atau kerusakan furkasi. Hubungan antara penyakit pulpa dan jaringan periodontal telah semakin penting dan dapat mengubah rencana perawatan. Sindrom gigi retak dapat mirip atau menyebabkan kelaina pulpa. Fraktur gigi relatif umum terjadi, khususnya pada gigi posterior dan harus selalu

dipertimbangkan apabila disertai dengan poket yang dalam dan sempit. 7. Kegoyangan gigi. Ini adalah aspek pertimbangan diagnostik yang sangat penting dan mempengaruhi prognosis. Jaringan Periodontal Pemeriksaan ini merupakan bagian terpenting dalam proses diagnostic. Probe periodontal berkalibrasi, eksplorer furkasi, kaca mulut, dan pencahayaan yang baik, pelpasi dan semprotan udara,semua ini harus digunakan dengan optimal untuk memperjelas pemeriksaan visual dari jaringan periodontal. Aspekaspek yang harus diamati adalah : 1. Warna,bentuk dan konsistensi gingival. Perubahan yang terjadi pada aspek ini menunjukkan adanya penyakit periodontal, tetapi tidak dapat menentukan tingkat keparahan penyakit.

2.

Perdarahan dan eksudasi purulen. Merupakan indicator klinis dari aktifnya penyakit dan perlu dicatat. Eksudasi dapat terjadi spontan atau hanya pada saat dilakukan probing atau palpasi. Perdarahan dan eksudasi bukan indikator keparahan penyakit, tetapi dapat berarti adanya ulserasi dinding epitel poket.

3.

Kedalaman poket (kedalama probing).Pengukuran poket dilakukan dari tepi gingiva seluruh gigi dengan menggunakan prob berkalibrasi.

4.

Jarak antara tepi gingiva ke pertautan sementoemail (resesi). Kedalaman resesi dicatat sebagai garis kontinu pada rekam medik.

5.

Hubungan antara pertautan sementoemail dan dasar poket (tingkat perlekatan). berpengaruh Lokasi lebih dasar besar poket terhadap terhadap pertautan sementoemail gigi-gigi

prognosis

individual

dibandingkan kedalaman poket. Kehilangan tingkat perlekatan dapat merupakan tanda aktifnya penyakit. 6. Lebar keseluruhan gingival berkreatin, hubungan antara kedalaman probing dan pertemuan muko-gingiva, dan pengaruh letak frenulum serta perlekatan otot terhadap tepi gingival. 7. Perluasan patologis dari daerah furkasi. Probing yang teliti menggunakan probe furkasi berbentuk kurva dapat membantu menentukan keterlibatan furkasi. Pemeriksaan Radiografi Radiografi merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting dalam menegakkan diagnosa penyakit periodontal, tetapi radiografi semata tidak dapat menentukan diagnosa. Interpretasi radiografi sebaiknya disertakan bersama datadata klinis untuk mendapatkan diagnosa akhir yang tepat. Setiap tahap diagnostik berfungsi untuk mengawasi keakuratan tahap diagnostik yang lain. Rencana Perawatan dan Pencegahan Pencegahan penyakit periodontal merupakan kerja sama yang dilakukan oleh dokter gigi, pasien dan personal pendukung. Pencegahan dilakukan dengan memelihara gigi-gigi dan mencegah serangan serta kambuhnya penyakit.

Pencegahan dimulai pada jaringan periodontal yang sehat yang bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan kesehatan jaringan periodontal dengan mempergunakan teknik sederhana dan dapat dipakai di seluruh dunia. Umumnya penyakit periodontal dan kehilangan gigi dapat dicegah karena penyakit ini disebabkan faktor-faktor lokal yang dapat ditemukan, dikoreksi dan dikontrol. Sasaran yang ingin dicapai adalah mengontrol penyakit gigi untuk mencegah perawatan yang lebih parah. Pencegahan penyakit periodontal meliputi beberapa prosedur yang saling berhubungan satu sama lain yaitu : 1. Kontrol Plak Kontrol plak merupakan cara yang paling efektif dalam mencegah pembentukan kalkulus dan merupakan dasar pokok pencegahan penyakit periodontal, tanpa control plak kesehatan mulut tidak dapat dicapai atau dipelihara. Setiap pasien dalam praktek dokter gigi sebaiknya diberi program kontrol plak. Bagi pasien dengan jaringan periodonsium yang sehat, kontrol plak berarti pemeliharaan kesehatan. Bagi penderita penyakit periodontal, kontrol plak berarti penyembuhan. Bagi pasien pasca perawatan penyakit periodontal, kontrol plak berarti mencegah kambuhnya penyakit ini. Metode kontrol plak dibagi atas dua yaitu secara mekanis dan kimia Secara mekanis merupakan cara yang paling dapat dipercaya, meliputi penggunaan alat-alat fisik dengan memakai sikat gigi, alat pembersih proksimal seperti dental floss, tusuk gigi dan kumur-kumur dengan air. Kontrol plak secara kimia adalah memakai bahan kumur - kumur seperti chlorhexidine (Betadine, Isodine). 2. Profilaksis mulut Profilaksis mulut merupakan pembersihan gigi di klinik, terdiri dari penyingkiran materi alba, kalkulus, stain dan pemolisan gigi. Untuk memberikan manfaat yang maksimum bagi pasien, profilaksis mulut harus lebih luas dan meliputi hal-hal berikut :

Memakai larutan pewarna (disclosing solution) untuk mendeteksi plak. Gincu kue warna ros dapat dipakai untuk mendeteksi plak pada anak-anak. Penyingkiran plak, kalkulus (supra dan sub gingiva) pada seluruh permukaan. Membersihkan dan memolis gigi, menggunakan pasta pemolis/pasta gigi Memakai zat pencegah yang ada dalam pasta pemolis/pasta gigi. Memeriksa tambalan gigi, memperbaiki tepi tambalan yang menggantung . Memeriksa tanda dan gejala impaksi makanan.

3. Pencegahan trauma dari oklusi Menyesuaikan hubungan gigi-gigi yang mengalami perubahan secara perlahanlahan (akibat pemakaian yang lama). Hubungan tonjol gigi asli dengan tambalan gigi yang tidak tepat dapat menimbulkan kebiasaan oklusi yang tidak baik seperti bruxim atau clenching. 4. Pencegahan dengan tindakan sistemik Cara lain untuk mencegah penyakit periodontal adalah dengan tindakan sistemik sehingga daya tahan tubuh meningkat yang juga mempengaruhi kesehatan jaringan periodontal. Agen pencedera seperti plak bakteri dapat dinetralkan aksinya bila jaringan sehat. 5. Pencegahan dengan prosedur ortodontik Prosedur ortodontik sangat penting dalam pencegahan penyakit

periodontal. Tujuan koreksi secara ortodontik ini adalah untuk pemeliharaan tempat gigi tetap pengganti, letak gigi dan panjang lengkung rahang. 6. Pendidikan kesehatan gigi masyarakat Agar pencegahan penyakit periodontal menjadi efektif, tindakan pencegahan harus diperluas dari klinik gigi kepada masyarakat. Hal yang penting diketahui masyarakat ialah bukti bahwa penyakit periodontal dapat dicegah dengan metode yang sama atau lebih efektif dari metode pencegahan karies gigi Pendidikan kesehatan gigi masyarakat adalah tanggung jawab dokter gigi, organisasi kedokteran gigi dan Departemen Kesehatan. Pengajaran yang efektif dapat diberikan di klinik. Sedangkan untuk masyarakat dapat diberikan melalui

kontak pribadi, aktivitas dalam kelompok masyarakat, media cetak maupun elektronik, perkumpulan remaja, sekolah dan wadah lainnya. Perlu diluruskan adanya pertentangan psikologis pada masyarakat, seperti : Menerangkan bahwa kerusakan yang disebabkan penyakit periodontal pada orang dewasa dimulai pada masa anak-anak. Menghilangkan dugaan bahwa pyorrhea (gusi berdarah) tidak dapat dielakkan dan disembuhkan. Juga menghilangkan pendapat masyarakat bahwa kehilangan gigi selalu terjadi bila mereka sudah tua. Menegaskan bukti bahwa seperti karies gigi, penyakit periodontal biasanya tidak menimbulkan rasa sakit pada awalnya sehingga masyarakat tidak menyadarinya. Pemeriksaan gigi dan mulut secara teratur diperlukan untuk mengetahui adanya karies gigi dan penyakit periodontal secepatnya kemudian segera merawatnya bila ditemukan adanya penyakit Memberi penjelasan bahwa perawatan periodontal yang efektif adalah bila segera dirawat sehingga lebih besar kemungkinan berhasil disembuhkan. Disamping itu waktu yang digunakan lebih sedikit dan merupakan cara yang paling ekonomis daripada menanggulangi penyakit. Menegaskan manfaat pencegahan dengan higine mulut yang baik dan perawatan gigi yang teratur . Menerangkan bahwa tindakan pencegahan penyakit gigi dan mulut harus merupakan inti dari perencanaan kesehatan gigi masyarakat. 7. Pencegahan kambuhnya penyakit Setelah kesehatan jaringan tercapai, diperlukan program yang positif untuk mencegah kambuhnya penyakit periodontal. Ini merupakan tanggung jawab bersama antara dokter gigi dan pasien (untuk pasien anak peran orang tua juga dibutuhkan). Pasien harus mentaati pengaturan untuk menjaga higine mulut dan kunjungan berkala, dokter gigi harus membuat kunjungan berkala sebagai pelayanan pencegahan yang bermanfaat. 8. Metode menyikat gigi

Menggosok gigi, setelah makan dan sebelum tidur adalah kegiatan rutin sehari-hari. Tujuannya untuk memperoleh kesehatan gigi/mulut dan napas menjadi segar. Terdapat beberapa cara yang berbeda-beda dalam menggosok gigi, yang perlu diperhatikan ketika menggosok gigi adalah: (1) Cara menyikat harus dapat membersihkan semua deposit pada permukaan gigi dan gusi secara baik, terutama saku gusi dan ruang interdental (ruang antar gigi); (2) Gerakan sikat gigi tidak merusak jaringan gusi dan mengabrasi lapisan gigi dengan tidak memberikan tekanan berlebih; (3) Cara menyikat harus tepat dan efisien. (4) Frekuensi menyikat gigi maksimal 3 X sehari (setelah makan pagi, makan siang dan sebelum tidur malam), atau minimal 2 X sehari (setelah makan pagi dan sebelum tidur malam). Telah kita ketahui bahwa frekuensi menggosok gigi adalah sehari 3 X, setiap sehabis makan dan sebelum tidur. Kenyataannya menggosok gigi 3 X sehari tidak selalu dapat dilakukan, terutama ketika seseorang berada di sekolah, kantor atau tempat lain. Manson (1971) berpendapat bahwa menggosok gigi sehari cukup 2 X, setelah makan pagi dan sebelum tidur malam. Menyikat gigi harus dilakukan secara sistematis, tidak ada sisa makanan tertinggal. Caranya menggosok mulai dari gigi belakang kanan/kiri digerakan ke arah depan dan berakhir pada gigi belakang kanan/kiri dari sisi lainnya. Hasil penyikatan akan lebih baik bila menggunakan disclosing solution atau disclosing tablet sebelum dan sesudah penyikatan gigi. Dengan disclosing solution, lapisanlapisan yang melekat pada permukaan gigi dapat terlihat jelas. Dikenal beberapa macam cara menggosok gigi, yaitu: (a) Gerakan vertikal. Arah gerakan menggosok gigi ke atas ke bawah dalam keadaan rahang atas dan bawah tertutup. Gerakan ini untuk permukaan gigi yang menghadap ke pipi (bukal/labial), sedangkan untuk permukaan gigi yang menghadap lidah/langitlangit (lingual/palatal) , gerakan menggosok gigi ke atas ke bawah dalam keadaan mulut terbuka. Cara ini terdapat kekurangan, yaitu bila menggosok

gigi tidak benar dapat menimbulkan resesi gingival/penurunan gusi sehingga akar gigi terlihat. (b) Gerakan horizontal. Arah gerakan menggosok gigi ke depan ke belakang dari permukaan bukal dan lingual. Gerakan menggosok pada bidang kunyah dikenal sebagai scrub brush. Caranya mudah dilakukan dan sesuai dengan bentuk anatomi permukaan kunyah. Kombinasi gerakan vertikal-horizontal , bila dilakukan harus sangat hati-hati karena dapat menyebabkan resesi gusi/abrasi lapisan gigi. (c) Gerakan roll teknik/modifikasi Stillman. Cara ini, gerakannya sederhana, paling dianjurkan, efisien dan menjangkau semua bagian mulut. Bulu sikat ditempatkan pada permukaan gusi, jauh dari permukaan oklusal/bidang kunyah, ujung bulu sikat mengarah keapex/ujung akar, gerakan perlahan melalui permukaan gigi sehingga bagian belakang kepala sikat bergerak dalam lengkungan.

Penentuan Prognosis Prognosis adalah suatu prediksi dari lama perjalanan, penghentian dari penyakit dan responnya terhadap perawatan. Prognosis sangat penting bagi praktisi dalam membuat suatu keputusan. Prognosis untuk kelainan/penyakit gingival akan baik kalau penyebab keradangannya faktor lokal, tetapi apabila terdapat komplikasi karena kondisi atau penyakit sistemik, prognosisnya tidak menjanjikan. Prognosis dapat ditetapkan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : Apakah perawatan harus dilakukan ? Apakah mungkin akan berhasil ? Apakah gigi-gigi yang masih ada dapat mendukung beban tambahan dari gigi tiruan ?

Untuk penentuan prognosis secara keseluruhan, faktor-faktor berikut perlu dipakai sebagai bahan pertimbangan. Tipe dari periodontitis, misalnya pada slowly progressive periodontitis atau adult periodontitis, prognosisnya masih menjanjikan dibandingkan dengan juvenile priodontitis. Pada prepubertal periodontitis umumnya prognosis sangat jelek. Usia serta latar belakang penyakit sistemik yang diderita, adanya maloklusi, status periodontal yang dihubungkan dengan pembuatan protesa, merokok, dan kooperasi dari pasien, juga merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan dalam penentuan prognosis. Prognosis untuk gigi per gigi secara individual ditentukan setelah prognosis secara menyeluruh. Misalnya pada pasien dengan prognosis secara menyeluruh jelek, praktisi mungkin tidak perlu mempertahankan gigi yang prognosisnya meragukan karena kondisi lokal. Apabila akan menentukan prognosis pada suatu gigi, praktisi harus mempertimbangkan mengenai kegoyangan gigi, poket periodontal, masalah muko gingival dan furkasi, morfologi gigi, gigi-gigi tetangga dan regio yang tidak bergigi, lokasi dari tulang yang masih tertinggal pada permukaan akar, hubungan antar gigi, adanya gigi karies, gigi non vital, dan resorpsi gigi. Penerapan Klinis Prognosis Faktor yang harus dipertimbangkan dalam penentuan prognosis dari gigi geligi secara keseluruhan dan individual telah dijelaskan di atas. Dari hasil analisis mengenai faktor-faktor tersebut diatas, praktisi dapat menentukan kategori prognosis secara klinis sebagai berikut : Prognosis sempurna, apabila tidak ada kehilangan tulang, kondisi gingiva bagus, dan pasien kooperatif. Prognosis bagus, apabila terjadi salah satu atau lebih dari hal-hal berikut : kondisi tulang penyangga memadai, dapat menghilangkan faktor etiologi yang memperlihatkan kemungkinan gigi dipertahankan, dan pasien kooperatif. Prognosis sedang, apabila terjadi salah satu atau lebih dari hal-hal berikut : kondisi tulang penyangga kurang memadai, beberapa gigi goyang, terjadi kelainan

furkasi derajat I (permulaan, poket supraboni), kemungkinan yang memadai untuk dipertahankan, kooperasi pasien yang masih dapat diterima. Prognosis jelek, apabila terjadi salah satu atau lebih dari hal-hal berikut : kehilangan tulang yang moderat sampai berat, gigi goyang, kelainan furkasi derajat I dan derajat II (kerusakan tulang sedikit, prob periodontal dapat masuk sedikit, sedikit radiolusensi) dan kooperasi pasien meragukan. Prognosis yang dipertanyakan, apabila terjadi salah satu atau lebih dari hal-hal berikut : kerusakan tulang lanjut, kelainan furkasi derajat II dan derajat III (kehilangan sebagian tulang furkasi, tanpa kehilangan gingiva), gigi goyang, area yang tidak terjangkau oleh sikat gigi/alat. Prognosis tanpa harapan, apabila terjadi salah satu atau lebih dari halhal berikut : kerusakan tulang lanjut, tidak ada area yang dapat dipertahankan, indikasi pencabutan.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit pada skenario adalah gingivitis pada gigi 31, 32, 33, 41, 42, 43, dan periodontitis pada gigi 36. Perbedaan dari gingivitis dan periodontitis dapat dilihat dari hasil pemeriksaan probing depth dan radiologi. Pada gingivitis hanya sebatas sampai gingiva saja, dibawah dasar sulkus tidak terjadi perubahan, hanya secara klinis yang terlihat dan pada pemeriksaan radiologinya tidak terjadi perubahan. Pada periodontitis tidak hanya sebatas gingiva tetapi mengenai ligament, sementum dan tulang alveolar. Yang terlihat tidak hanya secara klinisnya saja tetapi juga dari pemeriksaan radiologi juga terlihat adanya kerusakan. Ligament periodontal rusak sehingga dasar sulkus tidak tetap. Saat dilakukan pemeriksaan probing depth, didapatkan hasil probing depth yang dalam. Rencana perawatan yang dapat dilakukan untuk penderita gingivitis yang pertama adalah DHE lalu dapat dilakukan scalling dan pada penderita periodontitis dapat dilakukan DHE, scalling dan kuretase. Rencana perawatan penyakit periodontal dpat dibagi menjad beberapa fase: 1. Fase Inisial, yaitu DHE, perawatan scalling. 2. Pembedahan, seperti kuretase, pembersihan kalkulus dan plak apikal di dasar pocket, pulpektomi, gingivektomi, bedah tulang (rekonstruktif,

mengembalikan bentuk tulang), bedah mucogingiva yang ditujukan untuk mengembalikan keadaan gingiva yang semula mengalami resesi dan menutupi permukaan akar yang terdapat resesi gingiva. 3. Restoratif, perawatan lanjutan yang diperlukan oleh pasien seperti pemasangan alat ortodonti, gigi tiruan, dll. 4. Pemeliharahan, dilakukan kontrol periodik setiap 6 bulan sekali supaya jaringan disekitarnya tidak terkena penyakit.

BAB IV DAFTAR PUSTAKA Newman, Michael G. Carranzas Clinical Periodontology.10 ed.2006. Hiranya Putri, Megananda, dkk. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan Jaringan Pendukung Gigi. 2009. EGC:Jakarta Oetomo Roeslan, Boedi. Imunologi Oral, kelainan di dalam rongga mulut. 2002. Arief, Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Vol. 1, Media Aesculapius, Jakarta Fedi, P. F., Vernino, A. R., Gray, J. L., 2005, Silabus Periodonti, (terj.), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Field, A. dan Longman, T., 2004, Tyldesleys Oral Medicine, 5th ed., New York: Oxford, p.40 - 4 Langlais, R. P. dan Miller, C. S., 1998, Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut, (terj.), Hipokrates, Jakarta, hal. 26 Martinez, B. dan Ruiz, F., 2005, Periodontal Diseases as Bacterial Infection, Av Periodon Implantol, 17(3) : 111-118 Pindborg, J. J., 1987, Atlas Penyakit Mukosa Mulut, (terj.), ed.4, Binarupa Aksara, Jakarta, hal.34 Scully, C. dan Cawson, R. A., 2002, Atlas Bantu Kedokteran Gigi; Penyakit Mulut, (terj.), Hipokrates, Jakarta Susanto, Amilia J., 2009, Penyakit Periodontal, Bahan Ajar Kuliah FKG UI, Jakarta Wilson, T. G. dan Kornman, K. S., 2003, Fundamentals of Periodontics, 2nd ed., Quintessence Publishing Co. Inc., Chicago, USA Wolf, H. F., Rateitschak, K. H., Hassel, T. M., 2005, Color Atlas of Dental Medicine Periodontology, Thieme, New York, USA

Anda mungkin juga menyukai