Anda di halaman 1dari 27

BAB III FRAKTUR

A. Definisi
1. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (R. Sjamsuhidayat dan Wim de Jong,1998). 2. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditemukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner dan suddarth, 2001). 3. Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Sylvia Anderson Price. Larraine Mc Carty Klilson, 1995). 4. Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang diakibatkan oleh tekanan eksternal yang lebih besar dari setiap oleh tulang (Lynda Juall Carpenito, 1999).

B. Etiologi
1. Trauma Merupakan penyebab utama yang sering menyebabkan terjadinya fraktur seperti kecelakaan dan lain-lain 2. Patologi Merupakan fraktur yang disebabkan kerena timbulnya fraktur seperti osteoporosis dan tumor 3. Malnutrisi Karena kurang meniral dan kalsium serta perubahan hormonal

C. Jenis-Jenis Fraktur
1. Fraktur komplet adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal). Sedangkan fraktur tidak komplet, yaitu patah yang hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang. 2.
3.

Fraktur tertutup (fraktur simple) biasanya tidak menyebabkan robeknya kulit. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/ kompleks) merupakan fraktur dengan

luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi: grade I dengan luka bersih dan panjangnya kurang dari 1 cm,
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 16

grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif, dan grade III yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif serta merupakan fraktur yang paling berat. 4. Fraktur berdasarkan sudut patahnya terdiri atas: a. Fraktur transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Pada fraktur semacam ini, segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direduksi kembali ke tempatnya semula, maka segmensegmen tersebut akan stabil, dan biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips. b. Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang. Fraktur ini cenderung tidak stabil dan sulit untuk diperbaiki. c. Fraktur spiral, biasanya timbul akibat torsi pada ekstremitas. Fraktur ini biasanya hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada jaringan lunak, dan fraktur semacam ini cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar. 5. Fraktur multipel pada satu tulang, terdiri atas: a. Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya. Fraktur semacam ini biasanya sulit untuk ditangani. Biasanya satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh, dan keadaan ini mungkin memerlukan pengobatan secara bedah. b. Fraktur kominuta adalah serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang. 6. Fraktur impaksi Fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk (akibat tubrukan) tulang ketiga yang berada di antaranya, seperti satu vertebra dengan dua vertebra lainnya. Fraktur pada korpus vertebra ini dapat didiagnosis dengan radiogram. Pada orang muda, fraktur kompresi ini dapat juga disertai dengan perdarahan retroperitoneal yang cukup berat. Seperti pada fraktur pelvis, pasien dapat secara cepat menjadi syok hipovolemik dan meninggal jika tidak dilakukan pemeriksaan denyut nadi, tekanan darah, dan pernapasan secara akurat dan berulang selama 24 sampai 48 jam pertama setelah cedera. 7. Fraktur patologik Fraktur patologik biasanya terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor atau proses patologik lainnya. Tulang seringkali
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 17

menunjukkan penurunan densitas. Penyebab yang paling sering dari fraktur-fraktur semacam ini adalah tumor primer atau tumor metastasis. 8. Fraktur beban (kelelahan) Fraktur beban atau kelelahan biasanya terjadi pada orang-orang yang baru saja menambah tingkat aktivitas mereka. Fraktur ini biasanya akan sembuh dengan baik jika tulang itu diimobilisasi selama beberapa minggu. Tetapi jika tidak terdiagnosis, tulang-tulang itu dapat bergeser dari tempat asalnya dan tidak dapat sembuh dengan baik. Jadi, setiap pasien yang mengalami nyeri berat setelah meningkatkan aktivitas tubuhnya, mungkin mengalami fraktur dan seharusnya diproteksi dengan memakai tongkat atau bidai gips yang tepat. Setelah 2 minggu, harus dilakukan pemeriksaan radiografi. 9. Fraktur greenstick Fraktur greenstick adalah fraktur tidak sempurna dan sering terjadi pada anak-anak. Korteks tulangnya sebagian masih utuh, demikian juga periosteum. Fraktur-fraktur ini akan segera sembuh dan segera mengalami remodeling ke bentuk dan fungsi normal. 10. Fraktur avulsi Fraktur avulsi memisahkan suatu fragmen tulang pada tempat insersi tendon ataupun ligamen. Biasanya tidak ada pengobatan yang spesifik yang diperlukn untuk memulihkan fraktur ini. Namun, bila diduga akan terjadi ketidakstabilan sendi atau hal-hal lain yang dapat menyebabkan kecacatan, maka perlu dilakukan pembedahan untuk membuang atau meletakkan kembali fragmen tulang tersebut. 11. Fraktur sendi Fraktur sendi ini harus segera ditangani, karena apabila tidak segera ditangani secara tepat, fraktur semacam ini dapat menyebabkan osteoartritis pasca trauma yang progresif pada sendi yang mengalami trauma tersebut.

Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta

18

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang biasanya terjadi pada fraktur, yaitu: a. Nyeri Terjadi karena terputusnya kontinuitas jaringan dari tulang. Nyeri hampir selalu muncul dan biasanya parah, terutama pada ujung tulang yang tidak dapat digerakkan.
b. Menurunnya fungsi ekstremitas normal dan abnormal

Disebabkan oleh ketergantungan fungsional otot pada kestabilan otot


c. Bengkak

Berasal dari proses vasoliladatasi, eksudasi plasma dan adanya peningkatan leukosit pada jaringan di sekitar tulang.
d. Spasme otot

Dapat menambah rasa sakit dan tingkat kecacatan, kekuatan otot yang sering disebabkan karena tulang menekan otot.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 19

e. Krepitasi Sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya.
f.

Pemendekatan tulang

Terjadi pada fraktur panjang, yang terjadi karena konstraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.

E. Patofisiologi
Fraktur terjadi ketika tulang mendapatkan energi kinetik yang lebih besar dari yang dapat tulang serap. Fraktur itu sendiri dapat muncul sebagai akibat dari berbagai peristiwa diantaranya pukulan langsung, penekanan yang sangat kuat, puntiran, kontraksi otot yang keras atau karena berbagai penyakit lain yang dapat melemahkan otot. Pada dasarnya ada dua tipe dasar yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur, kedua mekanisme tersebut adalah: yang pertama mekanisme direct force dimana energi kinetik akan menekan langsung pada atau daerah dekat fraktur. Dan yang kedua adalah dengan mekanisme indirect force, dimana energi kinetik akan disalurkan darri tempat tejadinya tubrukan ke tempat dimana tulang mengalami kelemahan. Fraktur tersebut akan terjadi pada titik atau tempat yang mengalami kelemahan. Ketika tulang mengalami frakur, periostenin dan pembuluh darah disekitar jaringan terganggu, pendarahan terjadi karena kerusakan di ujung tulang dan juga kerusakan dekat jaringan hematoma dapat terjadi diantara ujung tulang yang mengalami fraktur dan dibawah periosteum dapat pula terjadi nekrotik, peradangan salah satu karakteristiknya adalah vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit infiltrasi sel darah putih. Pathway ( Terlampir )

F. Proses Penyembuhan Fraktur


Jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak di sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Biasanya terbentuk
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 20

bekuan darah pada daerah yang mengalami fraktur atau patah tersebut. Bekuan akan membentuk jaringan granulasi di dalamnya dengan sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) berdiferensiasi menjadi kondroblas dan osteoblas. Kondroblas akan mensekresi fosfat, yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus) di sekitasr lokasi fraktur. Lapisan ini terus melebar dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen lainnya dan menyatu. Penyatuan dari kedua fragmen (penyembuhan fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula oleh osteoblas, yang melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur. Penyatuan tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalus tulang akan mengalami remodeling untuk mengambil bentuk tulang yang utuh seperti bentuk osteoblas tulang baru dan osteoklas akan menyingkirkan bagian yang rusak. 1) Pembentukan Hematoma Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 2) Proliferasi Seluler Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya. 3) Pembentukan Kallus Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 21

4)

Konsolidasi Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

5)

Remodelling Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

G. Faktor-Faktor Yang Dapat Mempercepat Penyembuhan Fraktur


Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 22

Menurut Chairudin Rasjad (1999), faktor faktor yang menentukan lama penyembuhan fraktur sebagai berikut : 1. Usia penderita. Waktu penyembuhan tulang anak anak jauh lebih cepat dari pada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan aktiovitas proses osteogenesis pada peritoseum dan endosteum serta proses pembentukan tulang pada bayi sangat aktiv. Apabila usia bertambah, proses tersebut semakain berkurang. 2. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur. Lokalisasi fraktur memegang peranan penting. Penyembuhan fraktur metafisis lebih cepat dari pada fraktur diafisis. Disamping itu, konfigurasi fraktur seperti fraktur transversal lebih lambat penyembuhannya dibandingkan dengan fraktur oblik karena kontak yang lebih banyak. 3. Pergeseran awal fraktur. Pada fraktur yang periosteummnya tidak bergeser, penyembuhannya dua kali lebih cepat dibandingkan dengan fraktur yang bergeser.
4. Vaskularisasi pada kedua fragmen. Apabila kedua fragmen mempunyai

vaskularisasi yang baik, penyembuhannya tanpa komplikasi. Bila salah satu sisi fraktur memiliki vaskularisasi yang jelek sehingga mengalami kematian, pembentukan union akan terhambat atau mungkin terjadi non-union. 5. Reduksi serta mobilisasi. Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk asalnya. Imobilisasi yang sempurna akan mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang menganggu penyembuhan fraktur.
6. Waktu imobilisasi. Bila imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan

sebelum terjadi union, kemungkinan terjadinya non-union sangat besar. 7. Ruangan diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak. Adanya interposisi jaringan, baik berupa periosteum maupun otot atau jaringan fibrosa lainnya akan menghambat vaskularisasi kedua ujung fraktur. 8. Faktor adanya infeksi dan keganasan lokal. 9. Cairan sinovial. Caira sinovial yang terdapat pada persendian merupakan hambatan dalam penyembuhan fraktur. 10. Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak. Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak akan meningkatkan vaskularisasi daerah fraktur.akan tetapi, gerakan yang dilakukan pada daerah fraktur tanpa imobilisasi yang baik juga akan menganggu vaskularisasi.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 23

Penyembuhan fraktur berkisar antara tiga minggu sampai empat bulan. Secara kasar, waktu penyembuhan pada anak waktu penyembuhan orang dewasa. Faktor lain yang mempercepat penyembuhan fraktur anata lain adalah nutrisi yang baik, hoirmon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, Vitamin D, dan steroid anabolik, seperti kortikosteroid (menghambat pertumbuhan perbaikan).

H. Faktor-Faktor Yang Menghambat Penyembuhan Fraktur


1. 2. 3. 4. 5. 6. Trauma lokal ekstensif Kehilangan tulang Imobilisasi tidak memadai Adanya rongga atau jaringan Infeksi Keganasan lokal 7. 8. 9. 10. Nekrosis avaskuler Fraktur intraartikuler Usia (lansia biasanya sembuh Kortikosteroid (dapat

lebih lama) menghambat kecepatan perbaikan)

di antara fragmen tulang

I. Komplikasi
1.
a) Kerusakan Arteri

Komplikasi Awal Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan. b) Kompartement Syndrom Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan. Gejala utama dari sindrom kompartemen adalah rasa sakit yang bertambah parah terutama pada pergerakan pasif dan nyeri tersebut tidak hilang oleh narkotik. Tanda lain adalah terjadinya paralysis, dan berkurangnnya denyut nadi. c) Fat Embolism Syndrom Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan

Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta

24

bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam. Serangan biasanya 2-3 hari setelah cedera. d) Infeksi System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. e) Avaskuler Nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans Ischemia. f) Shock Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. 2. Komplikasi Akhir / Lanjutan a) Mal union yaitu proses penyembuhan tulang berjalan dengan normal tetapi bentuknya abnormal. b) Non union yaitu suatu kegagalan dalam penyembuhan tulang, walaupun sudah pada waktunya ditandai dengan nyeri pada waktu digerakkan.
c) Delayed union yaitu proses penyembuhan tulang yang berjalan dalam waktu

lama dari proses penyembuhan tulang yang diperkirakan (lebih dari 4 bulan).
d) Kerusakan pembuluh darah seperti iskhemia. e) Kerusakan saraf seperti kelumpuhan. f) Infeksi tulang seperti osteomyelitis. g) Kekakuan sendi seperti ankylosis

J. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan diagnostik a) Sinar-X untuk mengevaluasi klien dengan kelainan muskuloskeletal, sinar-X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, porosi dan perubahan hubungan tulang.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 25

b) CT-scan untuk menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cidera ligamen atau tendon. c) MRI adalah teknik pencitraan khusus, non invasif yang menggunakan medan magnet, gelombang radio dan komputer untuk memperlihatkan abnormalitas jaringan lunak seperti jaringan otot, tendon dan tulang rawan. 2. Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksan darah lengkap meliputi kadar haemoglobin (biasanya rendah bila

terjadi pendarahan karena trauma) hitung sel darah putih). Ht mungkin meningkat (Hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multiple). Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple atau cedera hati b) Pemeriksaan kimia darah Kadar kalsium serum berubah pada oesteomalasea, tumor tulang metastase dan pada immobilisasi lama dan creatinin kinase serta SGOT yang meningkat pada kerusakan otot.

K. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar tulang tetap menempel sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh, tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi (Corwin, 2010). Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing), dan sirkulasi (circulating), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi , baru lakukan amnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu terjadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 26

jam , bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan amnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat , singkat dan lengkap. Kemudian, lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto (Mansjoer, 2000) Prinsip-prinsip penanganan fraktur meliputi: 1. Reduksi fraktur Reduksi fraktur (setting ulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur, harus mendapatkan izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika yang diberikan sesuai dengan ketentuan. Reduksi tertutup banyak dilakukan dengan cara mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan). Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukkan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat, dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi. Reduksi terbuka diperlukan pada beberapa fraktur tertentu. Dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau dipasang melalui fragmen tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang. 2. Imobilisasi fraktur Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai trjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. 3. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 27

Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai dengan kebutuhan. Status neurovaskuler (misalnya: pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, dan gerakan) harus selalu dipantau. Kegelisahan, ansietas, dan ketidaknyamanan harus selalu dikontrol dengan berbagai pendekatan. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. 1. Emergency Management Setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari adanya fraktur, dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah. Maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga di atas dan di bawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi ataupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang. Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ektremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ektremitas yang cedera. Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Ektremitas diusahakan untuk tidak digerakan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
2. Manajemen Keperawatan

a. Perawatan Pasien Fraktur Tertutup Pasien fraktur tertutup (sederhana) harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur dan pengambilan kekuatan penuh dan mobilitas mungkin memerlukan waktu sampai berbulan bulan. Pasien diajari bagaimana mengontrol pembengkakan dan nyeri sehubungan dengan fraktur dan trauma jaringan lunak. Mereka didorong untuk
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 28

aktif dalam batas imobilisasi fraktur. Tirah baring diusahakan seminimal mungkin. Latihan segera dimulai untuk meningkatkan kekuatan otot yang dibutuhkan untuk pemindahan dan untuk menggunakan alat bantu (mis, tongkat, walker). Pasien diajari mengenai bagaimana menggunakan alat tersebut dengan aman. Perencanaan dilakukan untuk membantu pasien menyesuaikan lingkung rumahnya sesuai kebutuhan dan bantuan keamanan pribadi, bila perlu. Pengajaran pasien meliputi perawatan diri, informasi obat obatan, pemantauan kemungkinan potensial masalah dan perlunya melanjutkan supervise perawatan kesehatan. b. Perawatan Pasien Fraktur Terbuka Pada fraktur terbuka (yang berhubungan dengan luka terbuka memanjang sampai permukaan kulit dan ke daerah cedera tulang) terdapat risiko infeksi osteomielitis, gas gangrene, dan tetanus. Tujuan penanganan adalah meminimalkan kemungkinan infeksi luka, jaringan lunak dan tulang untuk mempercepat penyembuhan jaringan lunak dan tulang.Pasien dibawa ke ruangan operasi, dimana luka dibersihkan, didebrimen (benda asing dan jaringan mati di angkat), dan diirigasi. Dilakukan usapan luka untuk biakan dan kepekaan. Fragmen tulang mati biasanya diangkat. Mungkin perlu dilakukan graft tulang untuk menjembatani defek, namun harus yakin bahwa jaringan resipien masih sehat dan mampu memfasilitasi penyatuan. Fraktur direduksi dengan hati hati dan distabilisasi dengan fiksasi eksterna. Setiap kerusakan pada pembuluh darah, jaringan lunak, otot, saraf dan tendodiperbaiki. Ekstermitas ditinggalkan untuk meminimalkan terjadinya edema. Status neurovaskuler dikaji sesering mungkin. Suhu tubuh pasien diperiksa dengan interval teratur, dan pasien dipantau mengenai adanya tanda infeksi. Penutupan primer mungkin tak dapat dicapai karena adanya edema dan potensial iskemia, cairanluka yang tak dapat keluar, dan infeksi anaerob. Luka yang sangat terkontaminasi sebaiknya tidak dijahit, dibalut dngan pembalut steril, dan tidak ditutup sampai ketahuan bahwa daerah tersebut tidak mengalami infeksi. Profilaksis tetanus diberikan. Biasanya, diberikan antibiotika intravena untuk mencegah atau menangani infeksi serius. Luka ditutup dengan jahitan atau graft atau flap kulit autogen pada hari ke-5 sampa ke-7
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 29

L. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Diagnosa Fraktur Cruris


1. Data Fokus Data subjektif Data objektif 1. Klien tampak sadar, kes.CM . 2. Klien tampak tidak bisa berdiri. 3. Klien tampak luka 4. Klien terpasang bidai pada tungkai kiri. 5. Klien terpasang mitela pada bahu kiri. 6. Klien tampak bengkak pada sendi bahu kiri dan 7. tungkai bawah tampak terkulai. 8. Nyeri tekan & nyeri sumbu (+) pada cruris sinistra 9. Pada pemeriksaan fisik tampak acral klien dengan keadaan baik. 10. TD :140/100 RR: 20 x/menit S : 380 N : 50x/menit 11. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan fraktur cruris sinistra 1/3 tengah dan pada bagian depan deltoid.

2. Data Tambahan 1. Data Subjektif Kemungkinan klien mengeluhkan nyeri dengan skala : 8. Kemungkinan klien mengeluhkan bagian ekstermitasnya sulit untuk digerakan. Klien mengatakan nyeri yang tidak tertahankan pada cruris sinistranya Kemungkinan klien mengeluhkan sesak Data Objektif 1. Tampak hematom pada area cruris sinistra 2. Tampak adanya bengkak pada cruris sinistra 3. Tampak ada perubahan warna pada cruris sinistra 4. Crepitus (+) pada kruris sinistra klien 5. Ditemukan deformitas pada cruris snistra 6. Cruris sinistra tampak lebih pendek dibandingkan cruris dekstra klien. 7. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kondisi kulit klien tidak elastis. 8. Kemungkinan ditemukan peningkatan suhu tubuh. 9. Kemungkinan ditemukan kulit klien dingin, dan pucat. 10. Kemungkinan ditemukan klien
30

2.

3.

4.

Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta

mengalami kelemahan 11. Kemungkinan ditemukan urine output 1200 ml/24jam (1400-1500ml/24jam) 12. Pada Pemeriksaan Laboratorium kemungkinan ditemukan : Hb : 11g /dl ( 14-16g/dl) Ht : 55% (40-48%) Leukosit :8000/ul (5000-10000/ul) Trombosit : 130000/l (150000-450000/l) Albumin : 2,5 gr/dl (3,8-5,1 gr/dl) Ureum : 15 mg/dl (20 40 mg/dl) Creatinin: 2 mg/dl (0,5 1,5 mg/dl) Elektrolit: Natrium :132mEq/L (135-145mEq/L) Kalium: 3,3mEq/L (3,5-5,3 mEq/L) Klorida: 97 mEq/L (97-107 mEq/L) AGD: pH: 7.30 (7,35 7,45) PO2: 83 mmHg (80 100 mmHg) SaO2: 94% (93% 98%) PCO2: 46 mmHg (35 45 mmHg) HCO3: 23mEq/L (2226 mEq/L) BE: -8 mEq/L (-2 s/d +2 mEq/L)

3. Analisa Data Data DS : 1. Kemungkinan klien mengeluhkan nyeri dengan skala : 8. 2. Kemungkinan klien mengeluhkan bagian ekstermitasnya sulit untuk digerakan. 3. Klien tampak tidak bisa berdiri. 4. Klien tampak luka 5. Klien tampak bengkak pada sendi bahu kiri dan 6. Tungkai bawah tampak terkulai DO : 1. Klien tampak tidak bisa berdiri. 2. Klien tampak terpasang bidai pada tungkai kiri. 3. Klien tampak terpasang mitela.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 31

Masalah Gangguan mobilitas fisik

Etiologi Kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)

4. Klien tamapk bengkak pada sendi bahu kiri dan tungkai bawah terkulai 5. Kemungkinan kelemahan DS : 1. kemungkinan klien mengeluhkan sesak DO : 1. Kemungkinan ditemukan klien sulit bernapas 2. (pem. Radiologi)??
3. Pemeriksaan darah lengkap Hb : 11g /dl ( 14-16g/dl)

ditemukan

klien

mengalami

Perubahan aliran darah, Gangguan pertukaran gas emboli, perubahan membran aveolar/kapiler

4. AGD: pH: 7.30 (7,35 7,45) PO2: 83 mmHg (80 100 mmHg) SaO2: 94% (93% 98%) PCO2: 46 mmHg (35 45 mmHg) HCO3: 23mEq/L (2226 mEq/L) BE: -8 mEq/L (-2 s/d +2 mEq/L) DS : 1. Kemungkinan klien mengeluhkan bagian ekstermitasnya sulit untuk digerakan 2. Klien mengatakan nyeri yang tidak tertahankan pada cruris sinistranya DO : 1. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan fraktur cruris sinistra 1/3 tengah dan pada bagian depan deltoid.
2. TD :140/100

Penurunan aliran darah Gangguan neurovask uler (cedera vaskuler, edema, pembentukantro mbus)

RR: 20 x/menit S : 380 C N :

50x/menit 3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kulit klien dingin, dan pucat. 3. Diagnosa Keperawatan

Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta

32

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi). Gangguan pertukaran gan berhubungan dengan Perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran aveolar/kapiler a. Gangguan neurovaskuler berhubungan dengan Penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukantrombus) 4. Intervensi Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas Intervensi : 1) Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional) R: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama. 2) Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan R : Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri. 3) Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien. R : Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial. 4) Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien. R: Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi. 5) Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi. R :Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 33

6)

Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai

keadaan klien. R :Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien. 7) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien. R :Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia) 8) Berikan diet TKTP. R : Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh. 9) Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi. R : Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual. 10) Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi. R: Menilai perkembangan masalah klien.

a. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,

perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti). Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal. Intervensi
1)

Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan

Rasional : Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi. 2) klien. Rasional : Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru. 3) Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 34

Rasional : Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda dini insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.
4)

Dorong/pertahankan

asupan

cairan

2000-3000

ml/hari.

Rasional : urinarius dan konstipasi


5)

Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi. Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan

Rasional : Menilai perkembangan masalah klien. 6) kortikosteroid sesuai indikasi. Rasional : Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak
7)

Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan

trombosit. Rasional : Penurunan pao2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.

8)

Berikan diet TKTP

Rasional : Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus). Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif. Intervensi 1) Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera. Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.
2)

Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu


35

ketat.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta

Rasional : Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk. 3) Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal. Rasional : Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan klien. 4) Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya sindroma kompartemen. Rasional : Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi 5) Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan. Rasional : Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena.

M. Asuhan Keperawatan Post Operasi Fraktur Cruris


1. Pengkajian Segera setelah menerima klien dari kamar operasi, perawat memeriksa klien berdasarkan status pemeriksaan kewaspadaan meliputi tanda vital, irama jantung, kecepatan dan efisiensi pernapasan, saturasi oksigen, patensi intravena, serta kondisi saat pembedahan. Khusus pembedahan ortopedi, perawat mengkaji ulang kebutuhan klien berkaitan dengan nyeri, perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas, dan konsep diri. Trauma skelet dan pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot, dan sendi dapat mengakibatkan nyeri. Perfusi jaringan harus dipantau karena edema dan perdarahan ke dalam jaringan dapat memperburuk peredaran darah dan mengakibatkan sindrom kompartemen. Anestesi umum, analgesik dapat menyebabkan kerusakan fungsi dari berbagai sistem. Pengkajian Beberapa masalah kolaborasi atau risiko komplikasi yang dapat terjadi pada klien pascaoperasi ortopedi adalah syok hipovolemia, atelektasis, pneumonia, retensi urine, infeksi, dan trombosis vena profunda. Penyakit tromboembolik, merupakan salah satu dari semua komplikasi yang paling sering dan paling berbahaya pada klien pascaoperasi ortopedi. Usia lanjut, hemostasis, pembedahan ortopedi ekstremitas bawah, dan
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 36

imobilisasi merupakan faktor-faktor risiko. Pengkajian tungkai bawah harus dilakukan setiap hari, dari adanya nyeri tekan, panas, kemerahan, dan edema pada betis serta tanda Homan positif. Temuan abnormal harus dilaporkan pada tim medis. Juga perlu dikaji terjadinya emboli lemak, yang ditandai adanya perubahan pola napas, tingkah laku, dan penurunan tingkat kesadaran klien. Peningkatan suhu dalam 48 jam pertama sering kali berhubungan dengan atelektasis atau masalah pernapasan lain. Peningkatan suhu pada beberapa hari kemudian, sering berhubungan dengan infeksi saluran kemih. Infeksi superfisial memerlukan sekitar lima sampai sembilan hari kemudian. 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada klien pascaoperasi ortopedi adalah sebagai berikut. a. b. c. d. e. f. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan imobilisasi. Risiko perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah. Perubahan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan kehilangan kemandirian. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan, adanya alat imobilisasi (misal bidai, traksi, gips). Perubahan konsep diri; citra diri, harga diri dan peran diri berhubungan dengan dampak masalah musculoskeletal Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya prosedur invasive. 3. Rencana Keperawatan Rencana asuhan keperawatan pada klien postoperatif ortopedi disusun seperti berikut ini meliputi diagnosis keperawatan, tindakan, dan kriteria
a.

Diagnosis Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan,

Keperawatan:

pembengkakan, dan imobilisasi. Hasil yang diharapkan : Klien melaporkan nyeri berkurang/ hilang: Menggunakan berbagai pendekatan untuk mengurangi nyeri.
37

Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta

1)

Kadang

menggunakan

obat

per

oral

untuk

mengontrol

ketidaknyamanan. Meninggikan ekstremitas untuk mengontrol pembengkakan dan Bergerak dengan lebih nyaman Lakukan pengkajian nyeri meliputi skala, intensitas, dan jenis nyeri. ketidaknyamanan. Intervensi : Rasional : Untuk mengetahui karakteristik nyeri agar dapat menentukan diagnosa selanjutnya. 2) Kaji adanya edema, hematom, dan spasme otot. Rasional : Adanya edema, hematom dan spasme otot menunjukkan adanya penyebab nyeri 3) Tinggikan ekstremitas yang sakit. Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri. 4) 5) Berikan kompres dingin (es). Ajarkan klien teknik relaksasi, seperti distraksi, dan imajinasi Rasional : Menurunkan edema dan pembentukan hematom terpimpin. Rasional : Menghilangkan / mengurangi nyeri secara non farmakologis 6) 7) Laporkan kepada tim medik, bila nyeri tidak terkontrol. Berikan obat-obatan analgetik sesuai order. Rasional : Agar dapat menentukan terapi yang tepat Rasional : Pemberian rutin mempertahankan kadar analgesic darah secara adekuat, mencegah fluktuasi dalam menghilangkan nyeri. b. Diagnosis darah. Hasil yang diharapkan : Klien memperlihatkan perfusi jaringan yang adekuat: Warna kulit normal. Kulit hangat. Respons pengisian kapiler normal (c 3 detik).
38

Keperawatan:

Risiko

perubahan

perfusi

jaringan

perifer

berhubungan dengan pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran

Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta

Intervensi : 1)

Perasaan dan emosi normal. Memperlihatkan pengurangan pembengkakan. Kaji status neurovaskular (misal warna kulit, suhu, pengisian kapiler,

denyut nadi, nyeri, edema, parestesi, gerakan). Rasional : Untuk menentukan intervensi selanjutnya 2) Tinggikan ekstremitas yang sakit. Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri. 3) 4) Balutan yang ketat harus dilonggarkan. Anjurkan klien untuk melakukan pengesetan otot, latihan Rasional : Untuk memperlancar peredaran darah. pergelangan kaki, dan "pemompaan" betis setiap jam untuk memperbaiki peredaran darah. Rasional : Latihan ringan sesuai indikasi untuk mencegah kelemahan otot dan memperlancar peredaran darah. 5) Laporkan kepada tim medis jika peredaran darah mengalami gangguan Rasional : Agar dapat menentukan intervensi yang tepat. c. Diagnosis Keperawatan: Perubahan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan kehilangan kemandirian Hasil yang diharapkan : 1) Klien memperlihatkan upaya memperbaiki kesehatan. Mengubah posisi sendiri untuk menghilangkan tekanan pada kulit. Menjaga hidrasi yang adekuat. Berhenti merokok. Melakukan latihan pernapasan. Bergabung dalam latihan penguatan otot. Bantu klien untuk merubah posisi setiap 2 jam.

Intervensi : Rasional : Untuk mencegah tekanan pada kulit sehingga terhindar pada luka decubitus. 2) Pantau adanya luka akibat tekanan.
39

Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta

Rasional : Untuk mengetahui tindakan selanjutnya. 3) Lakukan perawatan kulit, lakukan pemijatan dan minimalkan tekanan pada penonjolan tulang. Rasional : Untuk menjaga kulit tetap elastic dan hidrasi yang baik. 4) Kolaborasi kepada tim gizi; pemberian menu seimbang dan pembatasan susu. Rasional : Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan. d. Diagnosis Keperawatan: Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan, adanya alat imobilisasi (misal bidai, traksi, gips) Hasil yang diharapkan : 1) Klien memaksimalkan mobilitas dalam batas terapeutik. Meminta bantuan bila bergerak. Meninggikan ekstremitas yang bengkak setelah bergeser. Menggunakan alat imobilisasi sesuai petunjuk. Mematuhi pembatasan pembebanan sesuai anjuran Bantu klien menggerakkan bagian cedera dengan tetap memberikan

Intervensi : sokongan yang adekuat. Rasional : Agar dapat membantu mobilitas secara bertahap 2) Ekstremitas ditinggikan dan disokong dengan bantal. Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri 3) Nyeri dikontrol dengan bidai dan memberikan obat anti-nyeri sebelum digerakkan. Rasional : Mengurangi nyeri sebelum latihan mobilitas 4) Ajarkan klien menggunakan alat bantu gerak (tongkat, walker, kursi roda), dan anjurkan klien untuk latihan. Rasional : Alat bantu gerak membantu keseimbangan diri untuk latihan mobilisasi e. Diagnosis Keperawatan: Perubahan konsep diri; citra diri, harga diri, dan peran diri berhubungan dengan perubahan penampilan diri. Hasil yang diharapkan :
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 40

Klien memperlihatkan konsep diri yang positif: Mendiskusikan perubahan sementara atau menetap terhadap

perubahan citra tubuh. Mendiskusikan kinerja peran. Mempunyai pandangan diri dan mampu menerima tanggung jawab. Berpartisipasi aktif dalam merencanakan perawatan dan dalam

program terapeutik. Intervensi : 1) Dorong klien mengungkapkan perasaan dan rasa ketakutan, mengenai perubahan konsep diri. Rasional : Ekspresi emosi membantu pasien mulai menerima kenyataan dan realitas hidup 2) klien. Rasional : Agar pasien dapat memahami perubahan citra diri dengan proses rekonstruksi perbaikan pada dirinya. 3) Jelaskan setiap kesalahpahaman yang di alami klien, untuk membantu penyesuaian terhadap perubahan kapasitas fisik dan konsep diri. Rasional : Salah memberikan informasi akan berakibat salah persepsi. 4) 5) Susun sasaran dan tujuan yang akan dicapai bersama klien. Anjurkan dan motivasi klien untuk melakukan perawatan diri sendiri Rasional : Agar proses penyampaian informasi tersusun sesuai rencana. mandiri sesuai kemampuan. Rasional : Perawatan diri secara mandiri dapat menambah kepercayaan dalam diri klien. 6) Berikan dukungan dan pujian terhadap upaya klien. Rasional : Dukungan bantuan orang terdekat memotivasi dan membantu proses rehabilitasi. 7) Anjurkan keluarga/orang terdekat untuk mendukung penyembuhan klien dengan dampak masalah muskuloskeletal. Rasional : Keluarga merupakan orang terdekat yang dapat membantu proses penyembuhan penyakit klien. f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta 41

Bantu klien dalam penerimaan perubahan citra diri sesuai kebutuhan

Hasil yang diharapkan : Tidak terjadi Infeksi 1) 2) Kaji respon pasien terhadap pemberian antibiotik Pantau tanda-tanda vital Intervensi : Rasional : Untuk menentukan antibiotic yang tepat untuk pasien Rasional : Peningkatan suhu tubuh di atas normal menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi 3) Pantau luka operasi dan cairan yang keluar dari luka Rasional : Adanya cairan yang keluar dari luka menunjukkan adanya tanda infeksi dari luka. 4) Pantau adanya infeksi pada saluran kemih Rasional : Retensi urine sering terjadi setelah pembedahan 4. Pelaksanaan Keperawatan

Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan yang telah ditentukan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal. Pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan keperawatan berdasarkan rencana keperawatan yang telah disusun. 5. Evaluasi a. Nyeri berkurang sampai dengan hilang b. Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan perifer c. Pemeliharaan kesehatan terjaga dengan baik d. Dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri. e. Tidak terjadi perubahan konsep diri; citra diri, harga diri dan peran diri

Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPNVeteranJakarta

42

Anda mungkin juga menyukai