Anda di halaman 1dari 14

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

TUBERKULOSIS A. DEFINISI TB paru adalah infeksi kronik pada paru yang disebabkan oleh basil Mycobactetium tuberculosis, ditandai dengan pembentukan granuloma dan adanya reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Infeksi ditularkan melalui saluran nafas berupa droplet infection dan masuk ke dalam parenkim paru membentuk sarang primer dan kemudian menyebar secara per kontinuitatum, hematogen, dan limphogen ke jaringan tubuh lainnya. B. EPIDEMIOLOGI Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 3 juta setiap tahun. Indonesia masih menempati urutan ke-3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Setiap satu menit muncul satu penderita baru TB paru. Setiap dua menit muncul satu penderita TB paru yang menular. Setiap empat menit satu orang meninggal akibat TB di Indonesia. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia, TB adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. C. ETIOLOGI Myobacterium tuberculosis, kuman penyebab penyakit TB, termasuk ke dalam family mycobacteriaceae dan genus mycobacterium. Mycobacterium tuberculosis adalah parasit intraseluler fakultatif yang menimbulkan penyakit dengan pertumbuhan dalam makrofag, tetapi dapat juga berproliferasi dalam

ruangan ekstraseluler dari jaringan yang terinfeksi dan mampu in vitro dalam sistem biakan bebas sel.
C. KLASIFIKASI

TB paru adalah TB yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. 1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) a. TB paru BTA (+) adalah: - Minimal 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA (+) - Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA (+) dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran TB aktif. - Hasil pemeriksaan 1 spesimen dahak menunjukkan BTA(+) dan biakan(+).

b.

TB paru BTA (-) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-), gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-) dan biakan M. tuberculosis positif.

2. Berdasarkan tipe pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu: a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. c. Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai dan datang berobat lagi karena BTA positif. d. Kasus gagal Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. e. Kasus kronik Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik. f. Kasus bekas TB Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi. Pasien ini termasuk kategori kasus TB paru lalai karena pasien pernah diberi obat OAT dan Os hanya berobat selama 2 bulan dan berhenti

tanpa izin dokter karena merasa sudah sehat, serta dengan alasan os pindah rumah.

D. DIAGNOSIS Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala klinis Gejala klinis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). 1. Gejala respiratori batuk 2 minggu batuk darah sesak napas nyeri dada 2. Gejala sistemik demam (biasanya subfebril menyerupai demam influenza yang bersifat hilang timbul) malaise keringat malam anoreksia berat badan menurun

Pada anamnesis pasien ini didapatkan riwayat batuk lama berdahak, demam yang hilang timbul , adanya keringat malam hari, nafsu makan menurun dan penurunan berat badan.

Pemeriksaan Fisis Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak atau sulit sekali menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior dan inferior, di daerah apeks. Dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi redup, auskultasi suara napas bronkial, ronki basah, kasar, dan nyaring. Akan tetapi jika infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, auskultasi menjadi vesikuler melemah. Bila ada kavitas cukup besar, perkusi hipersonor atau timpani dan auskultasi amforik. TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit menjadi ciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Bila fibrosis lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran paru, dan selanjutnya hipertensi pulmonal diikuti terjadinya tanda-tanda korpulmonal dan gagal jantung kanan. Jika TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan, perkusi pekak, dan auskultasi suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.

Kelainan pulmo yang dapat ditemukan pada Tn. A adalah Paru-paru pada inspeksi statis, dinamis kanan = kiri, pada perkusi didapatkan Sonor di kedua lapangan paru, pada auskultasi didapatkan Vesikuler (+) Normal, Wheezing (-), Ronki Basah sedang pada 2/3 paru atas kanan dan kiri.

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan foto thorax standar untuk menilai kelainan pada paru ialah foto thorax PA dan lateral. Kelainan yang didapat harus dinilai secara arif dan cermat, penilaian aktif atau tidaknya suatu lesi sebaiknya berdasarkan foto serial, bukan berdasarkan pada pembacaan foto tunggal. Gambaran lesi yang menyokong kearah TB paru aktif biasanya berupa infiltrate nodular berbagai ukuran di lobus atas paru, kavitas (terutama lebih dari satu), bercak milier ataupun adanya efusi pleura unilateral. Gambaran lesi tidak aktif biasanya berupa fibrotic, atelektasis, kalsifikasi, penebalan pleura, penarikan hillus dan deviasi trakea. Berdasarkan luas lesi pada paru, ATS (American Thoracic Society) membagi kelainan radiologic paru atas 3 kelompok: 1. Lesi minimal Lesi dengan densitas ringan sampai sedang tanpa kavitas, pada satu atau dua paru dengan luas total tidak melebihi volume satu paru yang terletak di atas sendi kondrosternal kedua atau korpus vertebra torakalis V (kurang dari 2 sela iga) 2. Lesi sedang Lesi terdapat pada satu atau dua paru dengan luas total tidak melebihi batas sebagai berikut: Lesi dengan densitas sedang, luas seluruh lesi tidak melebihi satu volume paru Lesi dengan densitas tinggi/konfluen, luas seluruh lesi tidak melebihi luas 1/3 paru, bila ada kavitas ukurannya tidak melebihi 4 cm

3. Lesi luas Luas melebihi lesi derajat sedang. Pada foto thorax pasien ini didapatkan kesan TB paru lesi luas. Pemeriksaan Laboratorium 1. Pemeriksaan BTA Pemeriksaan sputum BTA (Basil Tahan Asam) mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis TB paru. Dahak terbaik adalah dahak pagi hari sebelum makan, kental, purulen, dengan jumlah minimal 3-5 ml. Dahak diperiksa 3 hari berturut-turut dengan pemeriksaan Ziel Neelsen atau Kinyoun Gabbet. Untuk lebih efisien, DepKes RI menganjurkan pengambilan dahak sewaktu, dahak pagi, dan dahak sewaktu yang dikumpulkan dalam 2 hari. BTA dikatakan positif bila BTA dijumpai setidaknya pada dua dari tiga pemeriksaan BTA yang dilakukan. Pemeriksaan ulang BTA harus dilakukan bila BTA hanya dijumpai pada satu kali pemeriksaan, adanya BTA pada pemeriksaan ulang (walaupun hanya satu kali) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis BTA positif. Pembacaan BTA berdasarkan IUALTD : Hasil Negative Ragu-ragu + ++ ++ Jumlah BTA per lapangan pandang BTA (-) per 100 lapangan pandang BTA 1-9 per 100 lapangan pandang BTA 10-99 per 100 lapangan pandang BTA 1-10 per 1 lapangan pandang BTA >10 per 1 lapangan pandang

Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan bila:


3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif

1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian

bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif bila 3 kali negatif BTA negatif Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan BTA I,II yaitu +. + sehingga dapat ditegakan TB paru 2. Kultur Pemeriksaan kultur mempunyai sensitifitas sekitar 20-30%, superior dibandingkan pemeriksaan BTA langsung, namun membutuhkan waktu yang lebih lama (6-8 minggu). Pemeriksaan kultur dan uji resistensi tidak dilakukan secara rutin. Pemeriksaan ini dilakukan pada kasus dengan riwayat OAT sebelumnya (kasus kambuh dan kasus gagal) dan pada daerah dengan kasus resistensi OAT tinggi Pro kultur dan tes resistensi mikroorganisme, karena diagnosis yang paling pasti dari TB ialah dengan pembuatan terhadap kultur/biakan obat-obatan kuman. Bahan spesimen Penting dapat berupa untuk dahak/sputum segar. Tes resistensi yaitu tes kepekaan kuman tuberkulosis antituberkulosis. dilakukan pengobatan yang tepat. 3. Darah rutin Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk TB paru, kelainan yang dapat dijumpai adalah anemia, peningkatan laju endap darah, peningkatan leukosit, dan limfositosis. Pada pasien ini didapatkan anemia dan peningkatan LED.

E. PENGOBATAN Pengobatan TB paru bertujuan untuk meningkatkan angka kesembuhan, menurunkan kematian, mencegah komplikasi, mencegah kekambuhan, mencegah resistensi serta memutuskan rantai penularan. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan : 1. Pengobatan sekurang-kurangnya menggunakan 2 macam OAT efektif 2. Pengobatan dibagi atas 2 fase yaitu : Fase awal Efek yang ingin dicapai pada fase awal adalah efek bakterisidal, yaitu kemampuan obat untuk memusnahkan bakteri yang sedang bermetabolisme aktif. Efek diperoleh dengan memberikan kombinasi OAT yang bersifat bakterisidal kuat seperti rifampisin dan INH, yang diberikan setiap hari selama 1 sampai 3 bulan. Fase lanjutan Efek yang ingin dicapai pada fase lanjutan adalah efek sterilisasi, yaitu efek obat untuk memusnahkan populasi kuman yang semidormant. Untuk mendapatkan efek tersebut, paling sedikit kita herus memberikan 2 OAT selama 4-11 bulan, dapat dosis harian ataupun dosis berkala. 3. Panduan yang diberikan sebaiknya panduan jangka pendek 4. Lakukan uji resistensi pada kasus gagal dan kambuh 5. Pemberian dosis berdasarkan berat badan

Regimen Pengobatan Berdasarkan Kategori (WHO / Depkes RI) Kategori Kriteria penderita I Kasus baru BTA (+) Kasus baru BTA (-) Ro (+) sakit berat Kasus TBEP berat Kasus BTA positif Kambuh Gagal Putus berobat III Kasus baru BTA (-) TBEP ringan 2 RHZ (E) 2 RHZ (E) 2 RHZ* (E) IV Kasus kronik Obat-obat sekunder 6 EH 4 RH 4 R3H3* Fase awal 2 RHZE (RHZS) 2 RHZE (RHZS) 2 RHZE (RHZS)* 2 RHZES / 1 RHZE 2 RHZES / 1 RHZE* Fase lanjutan 6 EH 4 RH 4 R3H3* 5 RHE 5 R3H3E3*

II

Dosis obat antituberkulosis (OAT) Obat Dosis harian (mg/kgbb/hari) 5-15 (maks 300 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-40 (maks. 2 g) 15-25 (maks. 2,5 g) Dosis 2x/minggu (mg/kgbb/hari) 15-40 (maks. 900 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 50-70 (maks. 4 g) 50 (maks. 2,5 g) Dosis 3x/minggu (mg/kgbb/hari) 15-40 (maks. 900 mg)

INH

Rifampisin Pirazinamid Etambutol

15-20 (maks. 600 mg) 15-30 (maks. 3 g) 15-25 (maks. 2,5 g)

Streptomisin

15-40 (maks. 1 g)

25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

Diet yang diberikan adalah diet nasi biasa tinggi kalori dan tinggi protein, untuk memenuhi kebutuhan kalori karena pasien ini termasuk underweight, meningkatkan daya tahan tubuh, dan mengurangi stres metabolik. F. KOMPLIKASI Penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Komplikasi dini antaralain pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, Poncets artrhopathy. Komplikasi lanjut antara lain obstruksi jalan nafas atau SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat (SOPT/fibrosis paru), kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB. G. PROGNOSIS Prognosis pada os ini yaitu quo ad vitam adalah dubia ad bonam karena jika penatalaksanaan yang adekuat pasien, penderita dapat tetap hidup dengan kelainan paru yang dideritanya saat ini. Prognosis quo ad functionam adalah dubia ad bonam, karena jika ditatalaksana dengan baik maka fungsi paru berangsur-angsur dapat membaik. .

MALNUTRISI Usia lanjut merupakan kelompok yang paling rentan terhadap malnutrisi. Banyaknya penyakit serta meningkatnya hendaya berkaitan dengan indikatorindikator risiko nutrisi. Status nutrisi pasien usia lanjut yang dirawat atau baru keluar dari perawatan biasanya masih tetap buruk dan dibutuhkan perhatian khusus dirumah. Malnutrisi Energi protein Malnutrisi energi protein adalah kondisi dimana energi dan atau protein yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan metabolik. Malnutrisi energi protein dapat terjadi karena buruknya asupan protein atau kalori, meningkatnya kebutuhan metabolik bila terdapat penyakit atau trauma, atau meningkatnya kehilangan zat gizi. Status nutrisi mempengaruhi berbagai sistem pada usia lanjut seperti imunitas, cara berjalan dan keseimbangan, fungsi kognitif serta merupakan faktor resiko untuk timbulnya infeksi, jatuh, delirium, serta mengurangi manfaat pengobatan. Terdapat hubungan antara malnutrisi dengan mortalitas, lama rawat, banyaknya komplikasi, dan perawatan kembali. Pada usia lanjut, stress ringan jangka pendek sudah dapat menyebabkan timbulnya malnutrisi energi protein. Karena itu, malnutrisi energi protein sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita infeksi paru dan saluran kemih ringan dan sering ditemukan setelah prosedur operasi elektif. Patofisiologi Malnutrisi energi protein dapat terjadi sebagai akibat dari asupan yang tidak adekuat, atau berhubungan dengan mekanisme fisiologis penyakit yang mempengaruhi metabolisme tubuh, komposisi tubuh dan selera makan. Pada keadaan defisiensi kalori primer, tubuh beradaptasi dengan menggunakan

cadangan lemak sambil menghemat protein dan otot. Perubahan fisiologis yang terjadi sering reversible dengan kembalinya asupan dan aktivitas seperti biasa. Tatalaksana Pada penderita dengan penyakit akut, perhatian utama ditujukan untuk mengatasi problem akut tersebut seperti mengatasi infeksi, kontrol tekanan darah, dan menjaga kondisi keseimbangan metabolik, elektrolit, dan cairan. Setelah masalah akut teratasi, pasien diminta untuk secara sadar mengkonsumsi sebanyak mungkin makanan. Tujuannya adalah memberikan asupan kalori kira-kira 35 kkal/kgbb ideal.

DAFTAR PUSTAKA 1. Arifin N [2002] Diagnosis Tuberkulosis Paru. UPF Paru Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Persahabatan Jakarta Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_DiagnosisTuberkulosisParu.pdf/05_ DiagnosisTuberkulosisParu.html 2. Aditama TY dkk. Tuberkulosis. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006. 3. Komite DOTS DIY. Buku Saku TBC Bagi Masyarakat. Jogjakarta: HDL Project; 2003 4. Abiyoso. Tuberkulosis Praktis. Malang: Program Studi Paru RSU Dr. Saiful Anwar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; 2003 5. Amin Z dan Bahar A. Tuberkulosis Paru. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. pp.998-1004 6. G. Wang, J. Ensor, S. Gupta, M. Hicks, A. Tam [2009] Bronchial Artery Embolization for the Management of Hemoptysis in Oncology Patients: Utility and Prognostic Factors Journal of Vascular and Interventional Radiology, Volume 20, Issue 6, Pages 722-729 .Available from: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1051044309002024 7. Healthcommunities.com, Inc. [2009] Hemoptysis Available from: http://www.pulmonologychannel.com/hemoptysis/index.shtml

Anda mungkin juga menyukai